Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Edisi II: 24 Maret 2014

H JAIYAH
Sebab Kata Tumbuh Untuk Mengusik
Editorial edisi II:

JURNAL HIJAIYAH
Pelindung: Allah SWT Dewan Kehormatan: Ali Rokhman Ph.D Dr. Ridwan M.Ag H. Ashad Kusuma D Ahmad Sabiq M.A Redaktur Pelaksana: Arief Ikhsanudin Staf Redaksi: Syahid M Muthahhari Bagus Argha Mulia Muhammad Dimas A P Idrus Chaelani Desi Eka Rahmayanti Website: www.jurnalhijaiyah.com Email: jurnalhijaiyah@gmail.com Telp: 085726005884 Diterbitkan Oleh: HMI-MPO Purwokerto Sekretariat: JL. Kenanga No.141 Rt: 02 Rw: II Kel. Grendeng Purwokerto Utara

Friksi Politik dan Persatuan Ummat Islam


Dalam setiap periode sejarah, Ummat Islam tidak pernah lepas dari friksi politik yang mengakibatkan keutuhannya sebagai ummatan wahidan menjadi terpecah belah. Perbedaaan pandangan yang dalam terminologi islam disebut sebagai rahmat tidak kemudian menjadi pondasi untuk membangun peradaban yang mapan dan sistemik, melainkan menghadirkan faksi-faksi politik yang saling menjatuhkan. Orentasi rahmat kemudian berubah menjadi hanya sekedar orientasi kekuasaan sesaat. Akhirnya, Islam yang dahulu sempat mengalami puncak keemasaannya mengalami kebuntuan dan kerancuan berfikir yang disebabkan oleh adanya kepentingan politik untuk melanggengkan atau melawan kekuasaan. Akibatnya orisinalitas dan otentisitas pemikiran justru tidak menghadirkan pencerahan. Perdebatan antar umat Islam semakin meruncing tanpa menemukan titik temu. Persatuan umat Islam menjadi sebuah khayalan, sulit untuk di ciptakan. Di tengah perdebatan yang semakin meruncing, membaca kembali peta konflik politik Islam merupakan hal yang perlu dilakukan. Hal tersebut dilakukan untuk melihat secara jujur bagaimana setiap pemikiran, setiap ide dan gagasan disebarluaskan dan dilembagakan menjadi sebuah intitusi maupun gerakan keagamaan, hal ini yang akan memperlihatkan kepada ummat Islam bahwa dalam rentang sejarah yang panjang, dalam epos yang berbeda, pemahaman keagamaan tidak pernah lepas dari kondisi sosial masyarakat tertentu yang membentuk dialektika pemahaman keagamaan mereka sendiri. Umat Islam Indonesia termasuk bagian dari negara dengan mayoritas muslim yang tidak terlepas dari terjadinya konflik. Gerakan kegamaan yang bersifat puritan, modern, sekuler, liberal hingga fundamental, dari Islam politik hingga politik Islam memperlihatkan proses panjang islamisasi di Indonesia yang begitu bercorak dan beragam. Namun persoalannya adalah dengan berbagai khasanan pemikiran, dari berbagai bentuk corak gerakan dan dari berbagai bentuk orientasi politik dan kendaraan politiknya. Umat Islam seperti terjebak dalam perdebatan yang justru tidak subtantif. Perdebatan justru tidak kunjung menemukan sintesa dari dilalektika, inilah kejumudan yang melahirkan perpecahan dan keterasingan ummat Islam, hilangnya kerukunan dan akhirnya, kesejahteraan umat terabaikan. Kepentingan umat menjadi korban dari pertikaian tanpa akhir. Apakah ummat Islam Indonesia bisa memposisikan dirinya dihadapan persoalan ummat yang terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman? Hal inilah yang menjadi titik refleksi yang semestinya bisa di tranformasikan kedalam tatanan masyarakat Indonesia. Akhirnya ummat Islam bisa bersanding bersama problem kemuatan. (Redaksi)
1

Indonesia: Konflik Politik Islam dan Pendekatan Sosio Kultural


Oleh: Muhammad Azmy

Pendahuluan Islam berarti harmoni dan daya kesempurnaan dengan segala kondisi kehidupan yang memiliki berbagai aspek spiritual dan kehidupan. Islam bukanlah serangkaian pemikiran dalam dunia spekulasi metafisika belaka, bukan pula eksis untuk sekedar mengatur kehidupan sosial manusia. Islam memiliki daya tarik sekaligus daya tolak bagi kutub-kutub yang berbeda sekaligus menawarkan pada masing-masing kutub suatu pemikiran universal yang mampu menjawab segala persoalan yang memecah belah umat manusia. Keragaman dalam tubuh islam menuntut dirumuskannya suatu tatanan yang bisa mewakili umat Islam dalam benturannya atas heterogenitas. Munculnya dua kelompok besar pemikiran politik Islam, yang pertama, perlu dan wajibnya sebuah pemerintahan dalam bentuk Negara Islam. Pemikiran ini sering dikategorikan sebagai revivalisme atau fundamentalisme yang mengusung reaksi ekstrem terhadap meluasnya ide-ide pemikiran Barat ke dunia Islam. Para pendukung arus ini secara mutlak menolak liberalisme parlementer dan ideologi-ideologi Barat lainnya. Kelompok kedua menyatakan bahwa pemerintahan atau negara islam tidak wajib didirkan, yang perlu dibangun adalah kehidupan masyarakat madani, islami, dan syariat bisa dijalankan di situ dengan aman, terjamin dan tanpa hambatan. Mereka biasa dikategorikan sebagai pendukung interpretasi liberal yang berupaya untuk menunjukkan keserasian Islam dengan nilai-nilai modernism yang berlaku, lebih tepatnya dengan sistem politik Barat. Pendukung arus ini melihat kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan mereka dari sudut pandang sekuler, yang sebagian besar mengadopsi ideologi-ideologi seperti Nasionalisme, Pan-Arabisme, Sosialisme, dan Marxisme. Tanpa perlu menitikberatkan apakah itu dibawah naungan pemerintahan Islam ataupun bukan. Dengan demikian, kerangka politik pun dibangun, tentunya tidak luput dari pijakan sejarah, perkembangan, dan perubahan-perubahan yang terjadi. Di Indonesia, hubungan politik Islam dan Negara mengalami jalan buntu, semenjak pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Kedua presiden tersebut memandang bahwa partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan Negara. Selama empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan partai2

partai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama Negara pada 1945 (menjelang kemerdekaan) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan di majelis konstituante) mengenai masa depan konstitusi Indonesia, tapi juga secara politis berkali-kali disebut sebagai kelompok minoritas atau kelompok luar. Dengan kata lain, Islam politik telah berhasil dikalahkan, baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilu secara simbolik. Bahkan sampai pada titik dimana Islam tidak dipercaya, dicurigai menentang ideologi Negara Pancasila. Terlepas dari keinginan negara untuk mengakui dan membantu umat Islam dalam mempraktikkan ajaran agama mereka, aktivis muslim di Indonesia memandang bahwa Negara tengah melakukan manuver untuk menghilangkan arti penting politik Islam dan pada saat yang sama mendukung gagasan mengenai sebuah masyarakat politik yang sekuler. Negara dianggap berstandar ganda, di satu sisi mengizinkan dimensi spritual Islam (riualitas fiqhiyah) untuk berkembang dan tumbuh, di sisi lain sama sekali tak memberi ruang gerak atau kesempatan bagi berkembangnya islam politik. Seorang pemikir terkemuka V.Fitzgerald dalam bukunya Mohamedian Law mengemukakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion), tetapi juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Begitu juga seorang orintalis asal Amerika, H.A.R.Gibb mengemukakan, jelaslah bahwa Islam bukan sekedar kepercayaan agama individual, tetapi ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi. Adapun fakta-fakta sejarah Islam menunjukkan, bahwa sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah saw bersama kaum mukmin di Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variable-variabel sistem politik modern, maka akan dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence, tetapi juga tak disangkal jika dikatakan sebagai sistem religious karena dilihat dari tujuan-tujuan, motifmotif, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak. Pada ujung satu spektrum, beberapa kalangan Muslim beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar Negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang Negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam)

yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan bahwa, sementara mengakui prinsip syura (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Pada ujung spektrum yang lain, beberapa kalangan Muslim lainnya berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori Negara (atau sistem politik) yang harus dijalankan oleh ummah. Dalam kata-kata Muhammad 'Imara, seorang pemikir Muslim Mesir, mengatakan: Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang akan selalu berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia (untuk memikirkannya), dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah digariskan agama ini. Menurut aliran pemikiran ini, bahkan istilah Negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam al Quran. Namun demikian, pendapat tersebut juga mengakui bahwa al Quran mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis...mengenai aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Model teoritis politik islam yang pertama, merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai dengan keingninan untuk menerapkan syariah secara langsung sebagai konstitusi Negara. Negara-negara yang di dalamnya muncul kecenderungan seperti itu bisa ditemukan seperti di Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan Indonesia, model seperti itu berpotensi untuk berbenturan dengan sistem politik modern. Sebaliknya, aliran dan model pemikiran kedua lebih menekankan substansi daripada bentuk Negara yang legal dan formal. Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana Negara-bangsa (nation-state) merupakan salah satu unsur utamanya. Sejarah Konflik Politik Islam Bermula dari persoalan suksesi di Saqifah yang tidak tuntas hingga memunculkan beberapa faksi, berlanjut dan semakin meruncing dan memuncak pada masa khalifah ketiga. Khalifah utsman bin Affan yang dinilai terlalu lemah, sehingga mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan kekeluargaan (nepotisme),

berbuntut pada konflik yang menyebabkannya terbunuh, dan dilantiknya Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Namun Ali bin Abi Thalib segera mendapat perlawanan dari Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah. Perang Jamal yang melibatkan tiga nama pertama berhasil dimenangkan, namun berbeda dalam perang Shiffin. Muawiyah yang menyadari posisinya terdesak menawarkan arbitrase. Proses arbitrase inilah yang kelak melahirkan kelompok Khawarij, yang kemudian dikenal sebagai golongan radikal baik pandangan politik maupun teologisnya. Khawarij menilai Muawiyah dan Ali sudah berdosa besar , kafir atau murtad dari Islam, dan karena itu darah mereka halal ditumpahkan. Semboyan yang digunakan Khawarij adalah La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain bagi Allah) dan La hakama illa Allah (tidak ada hukum selain Allah) yang diangkat dari surat al Maidah ayat 44. Pandangan theologis yang keras ini diikuti pula dengan sikap politis yang ekstrem dan radikal. Mereka berpendapat bahwa orang-orang yang tak sependapat dengan mereka adalah musyrik sehingga halal darahnya. Hanya daerah mereka sendiri yang termasuk dalam dar al Islam, sedangkan kawasan Muslim lain adalah dar al Kufr (dar al Harb) yang harus diperangi dan dihancurkan. Hal ini menimbulkan reaksi dan respon dari kalangan Islam lainnya. Maka memunculkan aliran teologi (kalam) Murji'ah, Syi'ah, Mu'tazilah, Maturidiyah, Asy'ariah dan lain-lain. Dan setiap aliran itu kemudian mencari keabsahan pandangannya dalam ayat-ayat al Quran dan Hadits, yang tentunya dilihat dari perspektif masing-masing, sehingga pemahaman terhadap ayatayat al Quran cenderung tidak lagi utuh dalam satu kesatuan. Seiring dengan kian kompleksnya konflik politik dan perbedaan teologis dan semakin menajamnya perbedaan-perbedaan pemahaman dalam melihat ajaran Islam, terciptalah konflik misalnya antara Mu'tazilah melawan Asy'ariah, antara kaum filosof dengan kaum mutakallimin, antara ahli syariah dngan ahli tasawuf, dan lain-lain. Hingga mengantarkan pada situasi kemunduran dan terjajah secara berturut-turut semenjak Mongol meskipun akhirnya bangsa Mongol memeluk Islam--, hingga Barat hadir di berbagai wilayah umat Islam baik secara militer, budaya, teknologi, ekonomi dan sebagainya. Islam menjadi termarjinalkan; kemiskinan dalam bidang ekonomi, tertinggal dalam pendidikan, tertindas dalam bidang politik dan sebagainya. Gerakan fundamentalis Islam pra-modern pertama, yang selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan fundamentalis Islam muncul di Semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhammad ibn 'Abd alWahhab (1703-92). Banyak dipengaruhi gagasangagasan Ibn Taymiyah dan memperoleh pendidikan di kalangan 'ulama' di Haramayn, Ibn 'Abd al-Wahhab
3

menggoyang pendulum reformisme Islam ke titik ekstrem: fundamentalisme Islam radikal. Bekerjasama dengan kepala kabilah lokal di Nejd, Ibn Saud (w.1765), Ibn 'Abd al-Wahhab melancarkan serangan terhadap kaum muslim yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni; yang menurutnya banyak mempraktekkan bid'ah , khurafat , takhayul dan semacamnya. Fundamentalisme Wahhabi tidak hanya berupa purifikasi tauhid, tetapi juga penumpahan darah dan penjarahan Mekkah dan Madinah, yang diikuti pemusnahan monumen-monumen historis yang mereka pandang sebagai praktek-praktek menyimpang. Bergeser ke wilayah lain, gerakan fundamentalis yang mirip dengan Wahhabi muncul dalam gerakan Padri di Minangkabau. Gerakan Padri bermula dari pembaharuan moderat yang dilancarkan oleh Tuanku Nan Tuo dari mudrid-muridnya dari Surau Koto Tuo, Agam, sejak perempatan abad ke-18. Oposisi yang keras dari para pembaharu moderat dan kaum adat merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya radikalisasi gerakan pembaharuan ini oleh murid-murid Tuanku Nan Tuo, khususnya Tuanku Nan Renceh. Kembalinya tiga haji pada tahun 1803 Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang setelah melaksanakan haji di Mekkah pada waktu kaum Wahhabi Berjaya di tanah suci menjadi pemicu gerakan jihad kaum Padri melawan kaum muslim yang menolak mengikuti ajaran keras mereka. Di antara pandangan kaum Padri yang mirip dengan gerakan Wahhabi adalah oposisi terhadap bid'ah dan khurafat, serta pelarangan penggunaan tembakau dan pakaian sutra. Pada masa perkembangannya, Wahhabi menggambarkan cap Islam Arab Saudi yang ultrakonservatif dan puritan: literalis, kaku, dan eksklusif. Wahhabi mencari jalan untuk menerapkan keyakinan dan penafsiran mereka yang keras ini, yang mana secara umum tidak diterima oleh kaum muslimin lainnya di seluruh dunia Islam, baik dari kalangan Sunni maupun Syi'ah. Visi Wahhabi menginternasional pada tahuntahun 1960an sebagai respons atas ancaman yang dikemukakan oleh nasionalisme dan sosialisme Arab. Dipicu oleh petrodollar, terutama kekayaan dari meroketnya pendapatan setelah embargo minyak tahun 1973. Arab Saudi pun menciptakan organisasiorganisasi Islam internasional yang dibiayai oleh Negara guna mempromosikan ideologi, visi pan-Islami, dan basis Wahhabi-nya. Mendirikan Liga Islam Dunia di tahun 1962 yang aktif terlibat dalam dakwah internasional yang enerjik, mendakwahkan dan menyebarkan paham Wahhabi kepada muslim dan nonmuslim, membiayai pembangunan masjid-masjid, sekolah-sekolah, perpustakaan-perpustakaan, rumah sakit-rumah sakit, dan klinik-klinik. Melatih dan mencukupi para imam masjid, mendistribusikan puluhan juta al Quran terjemahan dan literatur-literatur agama
4

yang disetujui oleh Saudi. Mendirikan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1969 dan melalui organisasi ini mendirikan Bank Pembangunan Islam pada tahun 1970an. Melalui organisasi-organisasi semacam ittulah, pemerintah Saudi dan pebisnis kaya raya Saudi mengekspor paham Wahhabi ke seluruh dunia. Selain itu, dibangun hubungan ikatan-ikatan yang erat dengan organisasiorganisasi dan gerakangerakan Islam utama seperti Ikhwanul Muslimin dan Jamaat-i-Islami. Meskipun di antara mereka memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan, namun mereka memiliki visi relijius yang sama yakni kembali ke fundamental Islam dan adanya musuh bersama Nasserisme, sekulerisme, dan komunisme. Perubahan-perubahan dramatik sebagai akibat konflik politik Islam di berbagai penjuru dunia menelusup masuk dan mempengaruhi umat Islam di Indonesia. Pengaruh-pengaruhya demikian lebih terasa dan berkembang secara terbuka pada masa pasca Reformasi 1998 karena adanya perubahan regulasi mengenai keorganisasian dan berbagai corak pemikiran serta ideologi. Gesekan-gesekan yang terjadi pada level terendah masyarakat hingga level elit politik tak bisa dihindari. Hal tersebut memicu lahirnya berbagai pemikiran mengenai sebuah bentuk Islam yang cocok dan tepat untuk diaplikasikan di Indonesia dengan keragaman corak budaya, adat istiadat, bahasa, suku, dan kearifan lokalnya. Dalam satu kurun waktu di Indonesia ada beberapa peristiwa konflik internal umat Islam, baik itu konflik antar mazhab, gesekan tradisi fiqih, gesekan pengaruh antar lembaga, hingga konflik-konflik di level elit politik. Setidaknya konflik-konflik tersebut memang bisa berangkat dari persoalan agama, atau agama sekedar dijadikan balutan atas konflik. Namun, tak bisa dipungkiri, bahwa konflik politik Islam yang terjadi dalam rentetan sejarah hingga menjadi bentuk-bentuknya di masa kini turut memberikan andil signifikan munculnya konflik di Negara ini. Indonesia dengan latar belakangnya yang Multirelijius (Islam,Hindu,Buddha,Katolik,Kristen,Kepercayaan, Kong Hu Chu) dengan berbagai varian aliran-aliran di dalamnya, dan juga Multietnik (Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Papua, Ambon, Arab, China, dsb) dituntut untuk menyajikan sebuah formula ke-Islam-an yang lebih akomodatif dan kontekstual. Solusi: Pendekatan Sosio-Kultural Salah satu tokoh sentral dalam upayanya menjembatani dunia Islam tradisional dan pemikiran modern di Indonesia adalah K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Seorang intelektual reformis yang mendukung sintesa dan agenda sosial yang membedakan antara doktrin-doktrin atau hukum-hukum agama yang tak berubah dan doktrin-doktrin atau hukum-hukum yang dapat diganti guna mengakomodasi

perubahan sosial. Dua pilihan yang menghadang adalah: mengikuti suatu Islam statis yang legalformalistis atau memperoleh kembali atau menggubah lagi sebuah pandangan global yang lebih dinamis, kosmopilitan, universal, dan pluralis. Berkebalikan dengan kebanyakan fundamentalis hari ini, ia menolak pemikiran bahwa Islam mesti membentuk basis bagi sistem politik atau legal negara bangsa-bangsa, suatu pemikiran yang digolongkannyaa sebagai sebuah tradisi Timur Tengah yang asing bagi Indonesia. Islam Kosmopolitan Wahid bersifat pluralistik dan global, mempertegas keragaman bangsa dan peradaban. Tantangan bagi kaum muslimin kontemporer adalah menjelaskan dengan jernih dan melestarikan identitas otentik yang diberitahukan oleh warisan Islam mereka namun terbuka bagi realitas-realitas kosmopolitan sebuah lingkungan yang global. Landasannya adalah pengakun atas hak-hak dasar universal, menghormati kepercayaan, ideologi, dan kebudayaan orang lain, dan terbuka pada hal-hal terbaik yang ditawarkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Abdurrahman Wahid pernah menyampaikan konsepsinya yang dikenal dengan Pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam bukanlah 'jawanisasi' atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya merumuskan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhankebutuhan darri budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologia atau sistem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membuat semacam panteisme. Pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalahmasalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri. Kalau yang terakhir ini terjadi, maka yang berlangsung sebenarnya hanyalah proses eskapisme (pelarian). Umat Islam menuntut syarat-syarat yang terlalu idealistik untuk menjadi muslim yang baik. Lalu tidak diakuilah kemusliman orang yang tidak mampu memenuhi syaratsyarat itu, seperti orang-orang yang baru bisa melaksanakan ibadah haji dan zakat sementara belum mampu melaksanakan shalat dan puasa dengan baik. Kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam kehidupann masyarakat dan islamisasi dalam bentuk manifestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya akan menimbulkan kekeringan substitusi. Karena itu patut diusulkan agar terlebih dahulu Islam menekankan pembicaraan tentang keadilan, demokrasi

dan persamaan. Dengan demikian, peran umat Islam dalam kehidupan berbangsa ini akan lebih efektif dan perilaku mereka akan lebih demokratis. Wahid merumuskan sebuah tujuan perlawanan, orientasi dan metode melalui pendekatan kultural. Dalam pandangannya, bahwa perubahan bias terjadi dalam proses yang panjang (evolusi). Berikut pendapatnya : Perlawanan kultural tersebut akan mencapai tujuannya apabila diletakkan dalam kerangka lebih luas dari apa yang dimilikinya selama ini. Ia tidak lagi cukup hanya menjadi ekspresi keimanan sebagai muslim untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan dan kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk mulia. Untuk itu dituntut dari gerakan-gerakan perlawanan kultural kaum muslimin agar terlebih dahulu mampu hidup bersama dengan manusia dari agama-agama lain, ideologi politik dan pandangan budaya, yang memiliki kesamaan pandangan dasar tentang hakikat tempat manusia dalam kehidupan dan cara-cara untuk mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pendekatan sosiokultural adalah hendak melakukan perubahan cultural secara sadar, yang akan menghindari terjadinya kekerasan secara tidak seimbang, dan hendak melakukan perubahan struktur secara evolusioner melalui level masyarakat, bukan pada level Negara. Dengan pendekatan sosio-kultural, agama tidak hanya bagi keperluan spiritualitas pribadi, namun juga bagi nilai yang akan menjiwai masyarakat, termasuk masyarakat politik (Negara). Karenanya Wahid melihat Negara Pancasila merupakan Negara sekuler yang tidak sekulerisme. Baginya Pancasila harus dimaknai sebagai ideologi terbuka yang harus menjunjung tinggi mekanisme demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996 Effendy, Bahtiar, Islam & Negara: Transformasi Gagasan dan Praktek Politik di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998 Esposito, John L., Unholy War: Teror Atas Nama Islam, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003 Musawi Lari, Mujtaba, Islam: Spirit Sepanjang Zaman,
5

Jakarta: Al-Huda, 2010 Rochmat, Saefur, Jurnal Kebudayaan & Peradaban Islam: Jurnal Al-Qurba Vol.2, Ragam Pemikiran Politik Islam, Bab.Abdurrahman Wahid,Islam, dan Negara: Pendekatan Sosio-Kultural, Makassar: Komunitas Mafatihul Jinan, 2011 Satori, Akhmad, Sistem Pemerintahan Iran Modern: Konsep Wilayatul Faqih Imam Khomeini Sebagai Teologi Politik dalam Relasi Agama & Demokrasi, Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2012 Vaezi, Ahmad, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta:

Citra,2006 Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Pengantar Dawam Rahardjo, Bab. Pribumisasi Islam, Jakarta : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1989

Konflik Internal dan Masa Depan Parpol Islam


Oleh: Inggar Saputra[1]
kokoh. Pada tahun 1999 misalnya pernah dimunculkan gagasan koalisi parpol Islam bertajuk poros tengah sebagai usaha memaksimalkan peran politik umat Islam dalam ajang perebutan kepemimpinan nasional. Dengan mengusung tokoh kharismatik NU, Abdurrahman Wahid, koalisi ini berhasil memenangkan pertarungan dengan menyingkirkan Megawati Soekarnoputri yang didukung PDIP. Tapi koalisi transaksional itu kandas setelah Gus Dur bertindak arogan dengan memecat menteri parpol pengusungnya karena terjadi perbedaan pendapat (Ahmad Dzakirin: 2010). Belakangan ini, koalisi parpol Islam bahkan tidak pernah berhasil diwujudkan dengan berpijak kepada alasan sudah bukan waktunya politik aliran menjadi mainstream utama dalam merebut hati pemilih. Dalam kacamata kehidupan demokrasi yang berkembang subur sejak pasca reformasi, belum mampunya partai politik Islam mengulang sejarah emas Masyumi menjadi bukti belum menyatunya kekuatan umat Islam. Padahal hampir 90% penduduk Indonesia adalah muslim. Organisasi Islam yang berjuang di jalur pendidikan, sosial dan politik bahkan sudah berkembang sebelum berdiri Republik Indonesia. Dalam catatan sejarah Sarekat Islam dan Jami'at Khair lahir pada 1905, Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), Al Irsyad (1913), Persatuan Islam (1923) dan Nahdlatul Ulama (1923) Fakta historis itu seharusnya menguatkan parpol Islam, bahwa kemenangan politik umat Islam sudah waktunya tiba. Realisasinya, sampai Pemilu 2009, parpol Islam tidak pernah sukses menjadi pilihan utama umat Islam (Andree: 2009) Fakta historis itu menyiratkan suatu kesimpulan bagaimana konsolidasi internal umat Islam khususnya dalam sektor politik masih lemah. Dalam struktur masyarakat Indonesia yang religius, partai Islam belum mampu menghadirkan pesona terbaiknya sehingga layak dipilih umat Islam. Dalam pemilu terakhir tahun 2009 misalnya semua parpol Islam terlempar dari tiga besar. Kondisi itu berbanding terbalik dengan dua partai lama, Partai Golkar dan PDI-Perjuangan yang semakin kokoh sebagai partai papan atas. Partai Politik Islam di Indonesia Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, partai

Abstract Perolehan suara partai politik Islam pasca kesuksesan di Pemilu 1955 terus menurun. Dalam setiap pemilu, parpol Islam selalu kalah dari partai nasionalis sekuler. Ini sebagai tanda bahwa meski mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, partai politik Islam belum menjadi pilihan utama. Salah satu sebabnya, kesibukan partai politik Islam dalam mengurus konflik internalnya sehingga gagal memimpin di Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan solusi untuk menyelesaikan konflik internal sehingga ke depan partai politik Islam dapat fokus kepada agenda kolektif di pemerintahan maupun parlemen dan penjaringan suara pemilih pemula dan massa mengambang agar mau memilihnya dalam pemilu 2014 mendatang. Kata-kata kunci: partai politik Islam; konflik ; pemilu Pendahuluan Harus diakui, rekor terbesar kemenangan politik Indonesia masih dipegang Partai Masyumi. Melalui tangan dingin Muhammad Natsir dkk, Partai Masyumi pada dekade 1950-an berhasil menorehkan tinta emas dengan mendapatkan 20 persen suara sehingga mendapatkan posisi kedua dalam Pemilu 1955. Pasca itu, partai politik Islam hampir dapat dikatakan belum mampu kembali merebut simpati publik untuk memilihnya dalam ajang Pemilihan Umum. Dalam beberapa kali kesempatan Pemilu kekuatan politik nasionalis-sekuler selalu mampu keluar sebagai pemenang. Ini menandakan belum adanya keutuhan kekuatan politik Islam untuk menggalang gerakan bersama sehingga mampu memenangkan persaingan merebut kekuasaan dalam kehidupan bernegara. Setiap menjelang pemilu memang selalu berkembang wacana koalisi partai politik Islam. Namun ikatan yang terbangun bukan murni ideologis melainkan kepentingan fragmatisme masing-masing partai sehingga tidak pernah sukses melahirkan kesadaran internal yang
6

politik adalah instrumen penting dalam kehidupan politik Indonesia. Aksioma yang berlaku, tak ada sistem politik yang berjalan tanpa partai politik kecuali sistem politik otoriter dimana raja atau penguasa dalam menjalankan kekuasaannya sangat bergantung kepada tentara dan polisi (Roy Macridis: 1988) Di parlemen misalnya para anggota parlemen dipilih rakyat melalui mekanisme pemilu yang dijalankan partai politik. Kekuatan partai politik juga yang menentukan hampir sebagian besar proses kepemimpinan di Indonesia termasuk pemilihan presiden Indonesia dan pemimpin lembaga negara lainnya. Terminologi partai politik dalam ruang keilmuan sangat banyak dan beragam. Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan mereka (Miriam Budiarjo: 1991). Dalam perspektif lain, partai politik (parpol) dianggap sebagai keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis, pengecualiannya hanya pada masyarakat tradisional yang sistem politiknya otoritarian yang pemerintahannya bertumpu pada tentara atau polisi. Sebagai organisasi, parpol bertujuan mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai (Roy C. Macridis: 1988) Dalam bernegara, ada beberapa fungsi partai politik. Pertama, sarana komunikasi politik dimana parpol berfungsi menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang-siuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Kedua, sarana sosialisasi politik yakni suatu proses dari seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik di dalam lingkungan masyarakat yang berjalan sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah penerangan, kursus-kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya. Ketiga, sarana rekrutmen politik dimana parpol mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Parpol juga diharapkan mengajak golongan muda untuk dididik untuk menjadi kader yang di masa mendatang untuk menggantikan pimpinan lama. Keempat, arana pengatur konflik. Di dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, parpol berusaha untuk mengatasinya. Mengingat peran strategisnya dalam kehidupan politik Indonesia, partai politik menjadi bagian penting dalam memperoleh kekuasaan. Itu mengapa setiap orang atau kelompok dalam masyarakat termasuk kelompok Islam mendirikan partai poiitik. Diharapkan pendirian parpol dapat menjadi alat efektif kelompok Islam dalam memperjuangkan keyakinan, aspirasi dan kepentingannya sehingga menjadi keputusan bersama yang mendapatkan legalitas secara hukum. Maka tidak mengherankan, sepanjang sejarah Indonesia, parpol

Islam terus berusaha mengambil peran aktif sejak pemilu pertama kali digelar. Pada Pemilu 29 September 1955, setidaknya ada lima parpol Islam yang ikut berpartisipasi aktif yakni Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tharekat Islam Indonesia (PTII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Hasilnya cukup menggembirakan, dimana parpol Islam mendapatkan 116 kursi DPR (45,13%) dan 514 kursi Konstituante (44,74%). Dua parpol Islam, Masyumi dan NU mendapatkan posisi tiga besar sehingga cukup berpengaruh dalam menentukan kebijakan di parlemen untuk kemakmuran rakyat. Masa ini dinilai sebagai prestasi terbaik parpol Islam yang sampai sekarang belum mampu dapat terulang oleh generasi penerusnya. Pasca kesuksesan Masyumi dalam memperoleh dukungan suara yang cukup besar pada Pemilu 1955, pemerintahan Orde Lama berakhir. Kekuasaan dipergilirkan kepada Soeharto yang memandang perlunya penyederhanaan parpol untuk menciptakan stabilitas sosial politik dalam negeri. Untuk itu, parpol disederhanakan berdasarkan afiliasi ideologis, dimana hanya ada tiga partai yakni Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Hal itu tergambar dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Peta Politik Orde Baru

Dalam masa kepemimpinan Soeharto, kanalisasi politik umat Islam dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan sempat memunculkan harapan akan penyatuan suara umat Islam kepada PPP. Harapan itu lahir, mengingat dominan umat Islam adalah penduduk mayoritas negeri ini. Apalagi sebelumnya, Masyumi pernah berhasil memegang peranan penting dalam perpolitikan Indonesia pada tahun 1955. Namun, apa daya sepanjang Orde Baru berkuasa, parpol Islam kehilangan daya dobrak disebabkan kuatnya dominasi Partai Golkar yang dikendalikan Soeharto. Dengan bermodalkan kekuatan Golkar, birokrasi dan militer, denyut nadi kehidupan parpol Islam semakin jauh terpendam. Dalam catatan Hamdan Zoelva (2008), pada pemilu 3 Juli 1971 terdapat 4 partai Islam yakni PSII (10 kursi), NU (58 kursi), Parmusi (26 kursi) dan Partai Islam Perti (2 kursi) dengan total jumlah kursi adalah 96 kursi (26,5%) dari 362 kursi DPR yang diperebutkan. Ketika Pemilu 1977, perolehan suara parpol Islam semakin menurun yakni mendapatkan 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun 1982, memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari 400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi yang diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 16%. Ketika usai reformasi 1998, terjadi perubahan radikal dalam perpolitikan Indonesia sehingga Pemilu 1999 diikuti
7

setidaknya 49 parpol dimana terdapat 8 parpol Islam. Hasil Pemilu 1999, PKB mendapatkan 61 kursi (12,6%), PPP 58 kursi (10,7%), PAN 35 kursi (7,1%), PBB 13 kursi (2%), PK 7 kursi (1,5%), Partai Nahdatul Ummah 5 kursi atau 1%, serta 3 partai Islam lain yang meperoleh kursi masingmasing 1 kursi, yaitu Partai Kebangkitan Ummat, Partai Syarikat Islam serta Partai Masyumi sehingga berjumlah 3 kursi atau 0,64 %. Sementara itu, kedua partai yang berbasiskan massa Islam yakni Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh 51 kursi (11%) dan Partai Amanat Nasional memperoleh 34 kursi (7,36%). Sehingga total perolehan kursi kedua partai ini adalah 85 kursi (18,36%). Jumlah ini seimbang dengan perolehan kursi partai-partai Islam. Sedangkan total perolehan kursi partai Islam dan partai barbasis massa Islam adalah 171 kursi (37 %) Pada pemilu 2004, PKB mendapatkan 62 kursi (10,57%), PPP 58 kursi (8,15%), PKS 45 kursi (7,34%) dan PAN 42 kursi (6,44%). Perubahan peta politik ini khususnya dalam partai politik Islam disebabkan persoalan konflik internal yang semakin membesar. PKB mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan karena dianggap bertentangan dengan kebijakan Abdurrahman Wahid selaku Ketua Dewan Syuro. PAN mengalami nasib serupa, dimana Sutrsno Bachir dan Hatta Radjasa saling memperebutkan kekuasaan. Hasil pemilu 2009 dapat dikatakan pemilu terburuk, sebab partai politik Islam terlempar dari posisi 3 besar. PKS mendapatkan 51 kursi (7,88%), PAN 42 kursi (6,01%), PPP 35 kursi (5,32%) dan PKB 26 kursi (4,94%). Konflik Parpol Islam Di dalam masyarakat yang demokratis, perbedaan pendapat dan persaingan dalam sebuah organisasi atau partai politik adalah sebuah kewajaran. Perbedaan itu disebabkan setiap manusia atau kelompok memiliki kepentingan, status, tujuan dan nilai yang tidak sama. Untuk mempertemukan kepentingan yang ada, maka diperlukan sebuah cara yang tepat dalam pengelolaannya sehingga tidak berujung perpecahan. Namun, perbedaan kepentingan itu kadang tidak mudah dikelola dengan baik sehingga berujung konflik yang dapat membahayakan eksistensi organisasi atau partai politik di masa mendatang. Konflik dapat dimaknai dengan satu pandangan di dalam masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dimana komponen ini saling menaklukkan satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Sebuah konflik bagaikan sisi mata uang, berfungsi menguatkan atau melemahkan organisasi yang ditentukan bagaimana kapasitas pemimpin dan anggota dalam mengupayakan sebuah jalan keluar dalam meredam konflik yang ada. Secara umum, hampir dapat dikatakan konflik sudah menjadi bagian penting dalam partai politik Islam dimana menjelang Pemilu atau pergantian kepemimpinan partai, konflik politik internal selalu bermunculan. Ketika momentum pergantian kepemimpinan partai, parpol Islam disibukkan mengurus konflik internalnya sehingga berujung kepada kepemimpinan ganda (dualisme kepemimpinan-pen). Akibat konflik itu tentunya berpengaruh kepada citra politik Islam di Indonesia secara keseluruhan. Kenyataan itu juga seakan membenarkan asumsi bahwa sejarah politik Islam Indonesia adalah
8

sejarah konflik dan perpecahan, sehingga konsep ukhuwah selalu gagal diterjemahkan dengan baik. Kita masih menilai wajar jika terjadi konflik di zaman Orde Baru, sebab ada intervensi kekuasaan dalam setiap forum sukses parpol. Tapi pada situasi sekarang, konflik parpol Islam menandakan kegagalan pengurus partai dalam mengelola manajemen konflik secara sehat dan dewasa (Anas Urbaningrum: 2006) Dalam analisisnya, Anto Djawamaku (2005) menilai sumber konflik dalam parpol termasuk parpol Islam disebabkan tiga persoalan krusial. Pertama, parpol tidak memiliki platform jelas sehingga tidak adanya ikatan ideologis di antara anggotanya. Dampaknya parpol mudah terpecah belah ketika terjadi perbedaan pandangan antar anggotanya. Pada masa pasca reformasi 1998 misalnya, terjadi dualisme kepemimpinan dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa akibat kegagalan para pemimpin partai tersebut dalam mengelola perbedaan yang ada. Kondisi ini, dalam perspektif politik menghasilkan dampak kerugian politik yang cukup signifikan yakni penurunan suara partai akibat kaburnya suara pemilih ke partai lain, rusaknya citra partai di mata publik dan adanya kebingungan kalangan nahdiyin sebagai basis massa tradisional PKB dalam menyalurkan aspirasinya dalam kehidupan bernegara. Kedua, adanya faktor kepemimpinan tunggal dan manajemen yang buruk. Mayoritas parpol di Indonesia termasuk parpol Islam sangat mengandalkan figuritas para pemimpinnya sehingga menciptakan ketergantungan yang kuat, ketika pemimpin itu sudah tiada, parpol Islam kehilangan sosok figur penggantinya akibat lambannya proses regenerasi. Beberapa figur tokoh parpol yang cukup melekat di mata masyarakat adalah Abdurrahman Wahid (PKB), Amien Rais (PAN), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Hamzah Haz (PPP) dan lainnya. Kuatnya pengaruh figur seorang pemimpin memiliki efek yang kurang baik yakni lemahnya regenerasi kepemimpinan dalam parpol. Kita dapat melihat misalnya bagaimana Partai Amanat Nasional membutuhkan waktu yang panjang untuk mencari sosok pengganti Amien Rais. Ketika Sutrisno Bachir dan Hatta Radjasa memimpin, ketergantungan PAN kepada Amien Rais masih sangat kuat. Ini tanda kegagalan partai tersebut dalam melahirkan kepemimpinan baru yang memiliki pengaruh dan kematangan gagasan. Ketiga, parpol gagal menjalankan reformasi dan regenerasi kepemimpinan karena figur pemimpinnya menjadi simbol institusi. Partai Bulan Bintang sampai sekarang masih identik dengan Yusril Ihza Mahendra, meski sudah tidak menjabat sebagai ketua umum, peran Yusril masih menonjol dalam pengelolaan dan perumusan kebijakan strategis partai yang mengklaim pewaris Masyumi tersebut. Keinginan itu bahkan tampak terlihat dalam beberapa waktu belakangan, dimana Yusril masih menjadi jagoan PBB dalam pertarungan kepemimpinan nasional Indonesia untuk lima tahun mendatang. Kegagalan regenerasi menandakan belum efektinya kinerja parpol dalam menjalankan proses rekrutmen di masyarakat. Buruknya rekrutmen belakangan semakin diperparah dengan kemalasan parpol menjalankan pengkaderannya dan mengandalkan pola kaderisasi instan dengan merekrut kalangan artis dan public figure yang kompetensi politik dan keilmuannya layak dipertanyakan. Menurut Nurcholish Madjid (2002), perpecahan

dalam parpol sampai saat ini disebabkan belum ada kedewasaan berpolitik. Perpecahan partai politik umumnya disebabkan oleh egoisme politik yang begitu besar yang merupakan indikasi ketidakdewasaan partai tersebut. Ketidakdewasaan partai juga ditunjukkan dengan ketidakberanian partai politik terkait untuk menjadi independen. Ketidakdewasaan ini mudah terjadi, sebab penguasaan sumber daya politik memang cenderung bagaimana mengejar kekuasaan. Fenomena ini mudah terlihat pada PKB yang terpecah dua antara faksi Muhaimin Iskandar (PKB) dan Yenny Wahid (PKBIndonesia), terpecahnya PAN antara faksi Faisal Basri dan AM Fatwa dan kasus PKS antara faksi keadilan (Hidayat Nur Wahid) dan kesejahteraan (Anis Matta) Prospek Parpol Islam di Indonesia Bukanlah persoalan mudah untuk partai politik Islam dapat kembali menempati posisi terbaik seperti pemilu 1955. Cepatnya pergeseran peta politik dalam setiap pemilu membuat parpol Islam harus mampu adaptif dan inovatif terhadap perubahan tersebut. Hemat penulis, parpol Islam memerlukan tiga langkah strategis sehingga mampu mengulang kesuksesan Masyumi. Pertama, perlu adanya perumusan dengan cara yang efektif dalam mengkomunikasikan gagasan dan program parpol Islam kepada masyarakat luas. Di masa mendatang, parpol Islam harus lebih menjalankan program kerakyatan yang mengakar namun tetap berpijak kepada segmentasinya (kelas bawah, menengah dan atas). Kepedulian parpol Islam terhadap isu fundamental seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan sosial harus menjadi fokus dalam merebut hati masyarakat Indonesia. Program itu harus dijalankan secara bertahap dan berkesinambungan, bukan hanya dijalankan menjelang pemilu saja. Kedua, partai politik Islam harus mulai berfikir bagaimana tetap mempertahankan basis tradisionalnya dan meningkatkan kapasitasnya untuk mampu meraup suara dari pemilih pemula dan massa mengambang. Selama ini, akibat terlalu sibuk dengan konflik internalnya maka massa mengambang semakin bertambah banyak. Mereka umumnya sudah terlalu lelah dengan perilaku elit parpol yang sibuk berkonflik dengan kepentingan kelompoknya, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Konflik internal juga membingungkan pemilih pemula, sebab mereka gagal mendapatkan pendidikan dan keteladanan politik yang baik dari para elite politik. Ketiga, perlu dibentuknya kesamaan persepsi dan penyamaan agenda gerakan secara kolektif (Amin Sudarsono: 2010) Dalam mengupayakan penyamaan ini, semua parpol Islam dapat bertemu dalam satu titik kepentingan. Misalnya untuk mengatasi kemiskinan, parpol Islam dapat bertemu menyamakan persepsi sehingga produk konstitusi seperti UU Zakat, UU Fakir Miskin dan UU BPJS dapat diputuskan dan dijalankan dengan maksimal sehingga berpihak kepada umat Islam dalam tataran praktis. Bagaimanapun di masa depan, umat Islam sangat mengharapkan parpol Islam dapat lebih konsisten terhadap nilai Islam dan mengefektifkan agenda perjuangan Islam di parlemen maupun pemerintahan. Dalam ranah internal partai, ketika terjadi konflik maka diupayakan penyelesaian dengan dialog yang

intensif dan konsolidatif dengan mengedepankan hati nurani serta ukhuwah islamiyah. Berbagai ketidakpuasan yang muncul dalam sebuah pergantian kepemimpinan atau kebijakan partai hendaknya disikapi dengan bijaksana, serta mengedepankan mentalitas siap menang dan kalah. Ketika mentalitas ini terkonstruksi, maka perasaan kalah dan tersingkir tidak akan pernah ada. Terbangunnya mentalitas itu juga menjadi contoh bagaimana mengelola konflik kepartaian secara sehat dan dewasa. Dalam mencapai ketiga langkah strategis itu, persoalan mendasar yang harus diselesaikan adalah meredakan ketegangan friksi politik dalam tubuh internal parpol Islam. Jika konflik internal dapat terselesaikan, maka konsolidasi internal yang bertujuan mengorganisir, memobilisasi, merumuskan dan menyuarakan kepentingan umat islam akan berjalan dengan lebih baik. Sekali lagi, kuncinya sekarang bermuara kepada sejauhmana partai politik Islam mampu mengelola konflik sehingga mampu merebut kepercayaan masyarakat pemilihnya. 1. Inggar Saputra adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ketahanan Nasional Universitas Indonesa. Ia dapat dihubungi melalui e-mail : inggar.ui@gmail.com DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Amin, 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan, Jakarta: Muda Cendekia Urbaningrum, Anas, 2004. Melamar Demokrasi, Jakarta: Penerbit Republika Andree, 2009. Biarkan Dakwah Bermetamorfosa. Jakarta: Muda Cendekia Machmudi, Yons, 2006. Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia, Bandung: Harakatuna Publishing Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi, 1988, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Penerbit Karunika Amal, Ichlasul; 1996,Pengantar dalam Ichlasul Amal (editor). 1996, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana Miriam Budiardjo, 1991, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Djamawaku, Anto, Perpecahan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya, dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta, Vol. 34, No.2, 2005. Harian Kompas, 11 Januari 2002 Hamdan, Zoelvan, Partai Politik Islam dalam Peta Politik Indonesia dalam http://hamdanzoelva.wordpress.com/ 13 Oktober 2008

Islam tanpa Partai Politik


Ahmad Jaetuloh[1] If I could not go to heaven but with a party, I would not go there at all -Thomas JeffersonLatah kata yang tepat untuk mengambarkan posisi partai politik islam di Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, di tengah fleksibelitas ruang dalam sistem demokrasi kini, partai islam justru terlihat semakin tidak bisa memberikan pencerahan dalam proses demokrasi. Lihat saja permasalahan yang terjadi dalam internal partai Islam tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh partai-partai non Islam.Korupsi misalnya, terdengar familiar memang namun yang mengejutkan bahwa dari 110 anggota DPR RI yangterjerat korupsi dari tahun 2005-2013, 23 diantaranya berasal dari partai Islam atau urutan no. 3 (tiga) setelah PDIP.[2] Selain itu, di lihat dari komitmen pejabat dalam memberantas korupsi pun demikian.Data yang ada menunjukan bahwa dari 36 anggota DPR RI, 8 diantaranya berasal dari partai Islam.[3] Artinya, ini memperlihatkan bahwaprilaku pejabat yang berlatar belakang partai Islam tidak jauh berbeda dengan pejabat yang berasal dari partai non-Islam. Hal yang lebih menyedihkan lagi bahwa secara keseluruhan platform yang dibangun oleh partai Islam menunjukan degradasi yang mendalam. Kebanyakaan partai Islam kini lebih bersifat konformis dan pragmatis atau apabila mengambil istilah dari Sartori polarised pluralist.[4] Platform yang dibangun partai yang berlambangpadi dan bulan sabit misalnya, yaitu konsep tentang negara maju yang minimalis.Sebuah negara yang tentu saja lebih mengedepankan kesejahteraan dan kebebasan individu.Konsep negara dengan model seperti itu adalah konsep negara kapitalis.[5] Pertanyaanya adalah apakah tidak salahdengan konsep negara ini.Padahal apabila merujuk pada sejarahawal berdirinya partai Islam di Indonesia bahwa alasan utama didirikannya partai-partai Islam adalah untuk menentangnegara-negara kapitalis dan imperilais.[6] Tidak jauh berbeda dengan partai Islam lainnya, alih-alih ingin menunjukan tradisionalisnya[7] partai ini justru terjebak dalam perebutan kekuasaan antara keluarga dan menantu.Boro-boro ngomongin platform, untuk sekedar mencari sosok pemimpin pun harus mencari raja dari alam dangdut Raja Dangdut.Padahal berbicara platform jelas menjadi hal yang sangat vital dalam partai politik.Adanya platform tidak hanya menunjukan jati diri partai politik namun yang lebih esensial bahwa platform merupakan fondasi dalam menentukan arah gerak partai kedepannya. Pragmatisme partai-partai Islam ini tentu saja menjadi permasalahan yang serius bagi umat Islam.Secara praktek maupun teori, kebanyakan partai Islam menganggap bahwa berpartai sudah tidak lagi menjadi wadah perjuangan kelas.Sebaliknya, partai dipandang sebagai ladang pencarian kuasa dan uang.Oleh karena itu,wajar kiranya umat Islam untuk mengevaluasi kembali posisi partai Islam di Indonesia.Pertanyaan adalahapakahdalam era demokrasi ini, berpartai menjadi jalan satu-satunya perubahan?dan apakah tidak ada ruang lain untuk tetap bisa beramal? Demokrasi, ruang kosong yang harus segera di eksploitasi Nampaknya sudah jelas bahwa hari ini tidak ada lagi pihak yang tidak tunduk terhadap demokrasi. Demokrasi hadir bukan hanya persoalan kemenanganrezim penguasa yang kuat terhadap rezim yang lebih lemah namun demokrasi seperti pelepas dahaga di tengah kebekuan dan ke-jumudan rezim yang tiran dan puritan. Lantas,apa itu yang berada dalam perut demokrasi. Pengandaian itu datang ketika Lefortbercerita tentang sebuah zaman yang ditandai dengan hilangnya penanda-penanda kepastian ruang kekuasaan (the dissolution of the markers of power's certainty). Zaman dimana tidak ada satu pihak pun yang bisa menempati ruang kuasa secara utuh. Zaman yang selalu mengandaikan ruang kekuasaan yang selalu terbuka, kontingen, dan berada dalam proses menjadi. [8] Konsekuensinya, tidak ada satu pihak pun yang bisa berkuasa secara absolut. Ketidakabsolutan ini tentu saja membawa dampak yang berarti bagi demokrasi itu sendiri. Akibatnya, akan muncul suatuwaktu ketika demokrasi hanya menyisakan ruang kosong sebagai indikasi hilangnya penanda-utama kekuasaan. Oleh karena itu,demokrasi juga menuntut agar kekosongan ruang kekuasaan iniharus terus-menerus diupayakan terisi sehinggamembawa penanda kepastian yang definitif dan harus jugadisadari bahwa kekuasaan yang definitif ini selalu bersifat sementara. Dalam hal ini partai merupakan salah satu penanda kuasa yang dibentuk dalam ruang kosong

10

demokrasi.Partai tidaklah bersifat absolut karena partai hanyalah salah satu jembatan untuk mengeksploitasi demokrasi. Ketika partai justru membawa pada zaman yang beku dan jumud,tidak akanada yang menyalahkan bahwa penanda dalam ruang kosong demokrasi itu harus segera di definisikan kembali. Selanjutnya, pendefinisian itu tidak senantiasa me-negasikan partai politik itu sendiri, karena dalam pendefinisian itu akan muncul penanda kuasa baru yang pasti berbeda dari penanda sebelumnya. Penanda baru ini lah yang harus segera difinisikan kepastiannya oleh umat Islam itu sendiri.Sebuah penanda yang jauh akan konsep kuasa dan uang namun sebuah penanda syarat akan pemberdayaan dan keikhlasan beramal.Dengan demikian, berpartai bukanlah satu-satunya ruang dalam memperjuangkan kepentingan, tidak berpartai juga bukan berarti Islam apatis terhadap demokrasi.[9] Jalan alternatif Ber-demokrasi umat muslim Pembahasan tentang penanda baru dalam demokrasi ini cukup jelas dapat di imajinasikan oleh Sahal Mafudz, salah satu cendekia yang memahami betul bagaimana Islam dan demokrasi berpadu.Dia melihat bahwa salah satu faktor penting dalam proses penyatuan Islam dan demokrasi adalah dengan meletakanajaran Islam sebagai faktor komplementer. Dalam artian bahwa ajaran Islam harus menjadi komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara Indonesia.[10] Faktor komplementer ini tidak lah selesai dalam sebuah perjuangan umum tentang kemanusiaan saja namun justru akan merombak visi kemanusiaan menjadi lebih luas dan global. Perjuangan ini tentu saja harus bisa memilah bagian mana yang harus dihindaridan bagian mana yang harus diambil dan dikembangkan. Dalam hal ini, Mahfudz melihat bahwa peletakan Islam dalam kegiatan politik praktis justru akan semakin memperuncing jurang perbedaan dalam tubuh Islam sendiri.Partai politik misalnya, Mahfudz beranggapan bahwa partai politik merupakan salah satu kegiatan politik tingkat rendah low politics. Hal ini dikarenakan kegiatan politik ini hanyalah kegiatan yang mencakup partai politik dan warga negara saja.[11] Partai politik juga dianggap sebagai ruang yang idealis, sehingga ketika pemahaman tentang hubungan antara Islam dan negara mengalami titik kesalahan makaakan semakin memperuncing perbedaan umat Islam itu sendiri. [12] Oleh Karena itu, konsentrasi yang penuh terhadap kegiatan politik tingkat rendah ini di pandang oleh Mahfudz sebagai salah satu faktor komplementer yang harus segera dihindari. Penghindaran Mafudz dalam memandang partai politik ini, membuat mafudz mencoba melihat politik dalam kerangka yang lebih luas lagi.Mafudz beranggapanbahwa politik merupakan kegiatan

yangharus diwujudkan dalam sikap kebangsaan, kerakyatan dan etika politik atau politik tingkat tinggi high politics. [13] Maksud dari politik kebangsaan adalah bahwa dalam konteks iniumat Islam harus proaktif dalam mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Selanjutnya, agar tetap menjaga keadilan dan kesejahteraan masyarakat maka berfungsi lah politik kerakyatan dimana umat islam harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.Untuk mencapai impian tersebut tentu saja harus menggunakan caracara yang baik pula, bukan asal jalan lantas memperburuk keadaan.[14] Oleh karena itu, etikapolitik harus selalu ditanamkan kepada umat Islam agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara. Pada konteks ini tentu saja lah tidak perlu menggunakan partai yang syarat akan perpecahaan dan faksi-faksi. Mafudz, berkeyakinan bahwa ormas akan lebih tepat dalam melakukan misi ini. Penting kiranya menempatkan posisi ormas sebagai bagian dari definisi baru dalam ruang kosong demokrasi. Mafudz beranggapan bahwa perangkat ormas dapat berfungsi sebagai sebuah ruang yang dapat menjaga, melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam.Secara praktik misalkan dengan membentuk lembaga dakwah dan lembaga takmir masjid. Di samping itu, sebagai organisasi sosial,ormas juga berbagai bentuk pemberdayaan,seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian dan lain-lain yang menjadi problem kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.[15] Inilah konsep Aliyah Samiyah, sebuah kegiatan politik yang tidak hanya terbatas pada pemahaman partai politik namun juga suatu kegiatan yang syarat akan pengabdian dan pemberdayaan.

1. Umat Muslim yang senantiasa ber-ikhtiar mencari jalan keluar 2. Hanni Sofia Demokrat Kalim bukan Partai yang terkorup, antaranews.com, dimodifikasi 14 Maret 2014, http://www.antaranews.com/berita/424188/demokratklaim-bukan-partai-terkorup 3. Komitmen Partai Membrantas Korupsi diragukan tempo.co, dimodifikasi 14 Maret 2014, http://www.tempo.co/read/news/2013/06/28/078492037/K omitmen-Partai-Memberantas-Korupsi-Diragukan 4. Giovanni Sartori, Parties and party Systems: A Framework Analysis (London: ECPR Press, 2005) 5. Diskusi di UI Anis Matta dicecar Soal Platform, nasional.kompas.com, dimodifikasi 15 Maret 2014,http://nasional.kompas.com/read/2014/01/07/14480 24/Diskusi.di.UI.Anis.Matta.Dicecar.soal.Platform.PKS. 6. Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), 39-40. 7. Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi
11

(Jakarta: Kompas, 2010), 97. 8. Claude Lefort, Democracy and Political Theory, terj. David Macey (English: Polity Press, 1988), 9. Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), 15. 10. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS) 11. Sahal Mafudz,Politik NU sebagai Syasah Aliyah Samiyah, nu.co.id, dimodifikasi 15 Maret 2014, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6id,46891-lang,id-c,taushiyah t,Politik+NU+sebagai+Siyasah++Aliyah+Samiyah.phpx 12. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS) 13. Sahal Mafudz,Politik NU sebagai Syasah Aliyah

Samiyah, nu.co.id, dimodifikasi 15 Maret 2014,http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detailids,6-id,46891-lang,id-c,taushiyaht,Politik+NU+sebagai+Siyasah++Aliyah+Samiyah.phpx 14. Sahal Mafudz,Politik NU sebagai Syasah Aliyah Samiyah, nu.co.id, dimodifikasi 15 Maret 2014,http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detailids,6-id,46891-lang,id-c,taushiyaht,Politik+NU+sebagai+Siyasah++Aliyah+Samiyah.phpx 15. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)

Sikap PB HMI-MPO Tentang Pemilu 2014


Pemilihan Umum adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari rakyat, menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat. Permasalahan Persiapan Pemilu 2014 Pemilu yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Melihat perkembangan kekinian, Komisi Politik HMI-MPO mengkaji beberapa permasalah yang berkembang menjelang perhelatan Pemilu 2014. Permasalahan itu adalah Pertama, carut marutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga kini masih terdapat sekitar 3,3 juta orang yang memiliki nomor induk kependudukan (NIK) tidak valid, akan terancam hak pilihnya. Permasalahan DPT merupakan bagian yang sangat krusial dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Kesalahan penetapan DPT akan melanggar hak azasi rakyat. Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Tahun 1966 dinyatakan bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk; memilih dan dipilih pada pemilu yang dilaksanakan secara berkala, yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan setara, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih. Kedua, masih adanya inkonsistensi dalam menjalankan aturan kampanye oleh penyelenggara dan peserta pemilu. hal ini terkait dengan adanya sejumlah pelanggaran yang terjadi dalam iklan kampanye di media elektronik. Padahal di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Kampanye mengatur, kampanye pemilu melalui media massa hanya dapat dilakukan selama 21 hari sebelum masa tenang, yaitu 16
12

Maret hingga 5 April 2014. Eksploitasi media untuk kepentingan kampanye dapat merusak kompetisi yang fair dalam pemilu. Ketiga, Permasalahan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Keputusan MK dinilai mengundang polemik yang akan mengundang kegaduhan secara politik. Sikap PB HMI-MPO Dihadapkan dengan persoalan diatas dan mengingat pentingnya Pemilu 2014. Pertama bahwa kami menilai Pemilu 2014 Cacat Dalam Penyelenggaraanya. Hal ini dikarenakan lemahnya profesionalitas, integritas, dan akuntable dari penyelenggara dan peserta pemilu sehingga nantinya akan memunculkan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusi rakyat. Kedua, HMI-MPO tetap meneguhkan komitmen untuk menjaga Independensi gerakanya dan tetap kritis untuk mengawasi jalannya pemilu 2014 ini. Ketiga, HMIMPO juga menyerukan kepada gerakan pelajar, mahasiswa, dan pemuda untuk tidak terjebak dalam politik praktis yang akan membuat fragmentasi dan faksionalisasi di gerakan kaum muda. Arfianto Purbalaksono Komisi Politik PB HMI (MPO)

Yudhie Haryono Ph.D

Anda mungkin juga menyukai