Anda di halaman 1dari 30

Nama Peserta

: dr. Nur Maslahah

Nama Wahana : RSUD dr. Rehatta Kelet/Donorojo, Jepara Topik : Reaksi Anafilaksis

Tanggal (kasus) : 26 Desember 2013 Nama Pasien : Ny. S Tanggal Presentasi : 4 April 2014 No RM : 17839 Nama Pendamping : dr. Arief Putranto, dr. Kurmin H. Darsono

Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD dr. Rehatta Obyek Presentasi Keilmuan Diagnostik Neonatus Deskripsi : Wanita, 40 tahun, datang dengan keluhan lidah menebal yang muncul segera setelah minum obat Antalgin 60 menit yang lalu. Keluhan diawali dengan gatal-gatal di sekitar dagu dan leher serta rasa tidak enak di dada dan perut. Pasien juga nampak gelisah, sesak nafas, dan kesulitan untuk berbicara. Keluhan serupa sebelumnya tidak pernah dialami. Tujuan : Mendiagnosis kelainan pasien, life saving, penatalaksanaan lebih lanjut pada pasien, menentukan prognosis pasien, edukasi pasien dan keluarganya Bahan bahasan : Cara membahas : Data pasien : Nama klinik : Tinjauan pustaka Diskusi Riset Kasus Email Audit Pos Bayi Keterampilan Manajemen Anak Penyegaran Masalah Remaja Dewasa Tinjauan pustaka Istimewa Lansia Bumil

Presentasi dan diskusi

Nama : Ny. S Telepon :

Nomor registrasi : 17839 Terdaftar sejak :

Data utama untuk bahan diskusi : 1. Diagnosis / Gambaran klinis : Reaksi anafilaksis. Keadaan umum gelisah, sakit sedang dengan GCS E4V5M6, nafas sesak, lidah menebal hingga sulit untuk bicara, urtikaria (+) di sekitar dagu dan leher, takikardi (+), nausea (+), vomitus (-), kejang (-), diare(-).

2. Riwayat pengobatan : Pasien belum memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan. 3. Riwayat kesehatan / Penyakit : Pasien sebelumnya belum pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat alergi obat sebelumnya disangkal. Riwayat asma disangkal. Riwayat rhinitis alergi disangkal. Riwayat dermatitis disangkal. 4. Riwayat Keluarga : Riwayat penyakit serupa disangkal. 5. Riwayat pekerjaan dan pendidikan : Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pendidikan terakhir pasien adalah SLTA. Pasien tidak memiliki jaminan kesehatan dan membayar biaya kesehatan dengan biaya sendiri. Kehidupan perekonomian pasien tampak mampu. 6. Pemeriksaan fisik yang bermakna : Kesan Umum: Keadaan umum: gelisah Kesadaran: GCS E4V5M6 Tanda-tanda Vital: TD : 180/100 Nadi : 112x/menit RR : 34x/menit Suhu : 36oC Kulit : urtikaria di sekitar dagu dan leher (+) Mata : lakrimasi (+) Mulut : edema lidah (+), hipersalivasi (+), sianosis (-) Paru : Inspeksi : simetris, retraksi (-) Palpasi : fremitus raba kanan = fremitus raba kiri Perkusi : sonor/sonor Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-) Jantung : Inspeksi : iktus kordis tak tampak Palpasi : iktus kordis tak kuat angkat Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi : BJ I-II regular, bising (-)

7. Pemeriksaan laboratorium : WBC : 7.103/mm3 RBC : 5,60. 106 HGB : 13,7 g/dl HCT : 45,6% PLT : 140 L. 103/mm3 GDS : 116 SGOT : 59 SGPT : 54 Daftar pustaka :
1. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.p.370-83 2. Tintinalli, dkk. Emergency Medicine Fifth Edition. American College of Emergency Physicians; 2000.30. 242 246 3. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008. 4. AP Arwin Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Buku ajar Alergi-imunologi anak edisi kedua,Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 207-223 5. Perhimpunan, Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II: Jakarta : Balai Penerbit FK UI; 2001. 43 48

6. Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 14 Februari 2014]. Available from: URL: www.duniakedokteran.cq.bz.7. 7. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle Hospitals, Western Australia; 20068.
8. Morgan, 6 Edward, MD. Dkk. Clinical Anesthesiology Third Edition. Lange Medical Books/McGRaw Hill Medical Publishing Division; 2002. 47 902 906 9. http://www.docstoc.com/docs/13143429/Treatment-of-severe-Anaphylactic-Reations

Hasil pembelajaran : 1. Definisi reaksi anafilaksis 2. Patogenesis reaksi anafilaksis 3. Manifestasi klinis anafilaksis 4. Diagnosis anafilaksis

5. Diagnosis banding 6. Penatalaksanaan anafilaksis 7. Pencegahan dan edukasi terhadap pasien

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio : 1. Subyektif : Pasien mengeluhkan lidahnya menebal hingga sulit untuk berbicara. Keluhan ini diawali dengan rasa gatal-gatal di sekitar dagu dan leher segera setelah minum obat Antalgin 60 menit sebelum ke rumah sakit. Pasien mengeluh rasa tidak enak di perut dan mengeluh sesak nafas serta dada berdebar. Tidak pernah didapatkan keluhan serupa sebelumnya.

2. Obyektif : Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien terlihat gelisah, sakit sedang, GCS E4V5M6, TD : 180/100, nadi 112 kali permenit, laju pernapasan 34 kali permenit, suhu 36oC per aksila. Pada kulit nampak urtikaria di sekitar dagu dan leher. Mata lakrimasi (+), lidah edema (+), hipersalivasi (+). Pada pemeriksaan paru dari inspeksi tak tampak retraksi, palpasi didapatkan fremitus raba kanan sama dengan kiri, perkusi didapatkan bunyi sonor di kedua lapang paru, auskultasi didapatkan suara vesikuler di kedua lapang paru dan tidak didapatkan bunyi paru tambahan ronki (-/-) maupun wheezing (-/-). Pemeriksaan jantung dari inspeksi tak tampak iktus kordis, palpasi pun tidak didapatkan iktus kordis kuat angkat, perkusi didapatkan kesan batas jantung dalam batas normal, auskultasi didapatkan BJ I-II regular dan bising (-). Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan sedikit peningkatan enzim transaminase (SGOT dan SGPT). Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium maka diagnosis yang sangat mendukung adalah Reaksi Anafilaksis. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan a. Anamnesis b. Pemeriksaan fisik

3. Assessment : Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskuler, respirasi, kutan, dan gastrointestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. Keluhan berdasarkan anamnesis pada pasien ini dimana pasien mengeluh muncul gatal-gatal di sekitar dagu dan leher segera setelah meminum obat Antalgin yang kemudian diikuti dengan lidah menebal hingga pasien sulit bicara merupakan gejala reaksi alergi yang muncul segera setelah pasien terpajan oleh alergen atau pencetus yang dalam kasus ini adalah obat oral golongan NSAID. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien terlihat gelisah, sakit sedang, GCS E4V5M6, TD : 180/100, nadi 112 kali permenit, laju pernapasan 34 kali permenit, suhu 36oC per aksila. Pada kulit nampak urtikaria di sekitar dagu dan leher. Mata lakrimasi (+), lidah edema (+), hipersalivasi (+). Pada pemeriksaan paru dari inspeksi tak tampak retraksi, palpasi didapatkan fremitus raba kanan sama dengan kiri, perkusi didapatkan bunyi sonor di kedua lapang paru, auskultasi didapatkan suara vesikuler di kedua lapang paru dan tidak didapatkan bunyi paru tambahan ronki (-/-) maupun wheezing (-/-). Pemeriksaan jantung dari inspeksi tak tampak iktus kordis, palpasi pun tidak didapatkan iktus kordis kuat angkat, perkusi didapatkan kesan batas jantung dalam batas normal, auskultasi didapatkan BJ I-II regular dan bising (-). Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan sedikit peningkatan enzim transaminase (SGOT dan SGPT). Berdasarkan tanda-tanda tersebut, organ sasaran nya adalah kulit dan saluran nafas dan reaksi yang ditimbulkan termasuk reaksi sedang. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type reaction), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase, yaitu fase sensitasi dan fase aktivasi. alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap terlebih dulu oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL3) yang

menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik yang memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah preformed mediators. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permebailitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin

menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Manifestasi klinis anafilaksis yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator yang dilepaskan dari sel mastosit jaringan dan basofil yang memiliki sensitivitas yang berbeda pada setiap organ yang dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari anafilaksis sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat ringan, sedang, sampai bera. Pada pasien ini reaksi yang ditimbulkan merupakan reaksi sedang dimana tidak sampai terjadi syok anafilaktik yang merupakan contoh manifestasi klinis yang berat. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, sindrom karsinoid, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.

4. Plan : Penatalaksanaan Segera: a. Jaga ABC (Airway, Breathing, Circulation) b. Berikan oksigen 3 liter/menit c. Infus RL 30 tpm d. Injeksi Dipenhidramin HCl 50 mg iv Terapi Suportif : e. Injeksi Dexametason 0,5 mg IV

f. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV g. Injeksi Asam tranexamat 500 mg IV h. Pasang DC dan NGT i. Rawat HCU j. Konsul Sp.PD

LEMBAR FOLLOW UP
NO TANGGAL ANAMNESIS DAN HASIL PEMERIKSAAN TERAPI

1.

26 Desember 2013 (di IGD)

2.

26 Desember 2013 (di HCU)

3.

27 Desember 2013

4.

28 Desember 2013

a. Jaga ABC b. Berikan oksigen 3 liter/menit c. Injeksi Dipenhidramin HCl 50 mg iv d. Infus RL 30 tpm e. Injeksi Dexametason 0,5 mg IV f. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV g. Injeksi Asam tranexamat 500 mg IV h. Pasang DC dan NGT i. Rawat HCU j. Konsul Sp.PD Kel: lidah menebal, urtikaria di a. O2 3 lpm sekitar dagu dan leher, b. Infus RL 30 tpm c. Injeksi Metil Prednisolon 2 x hipersalivasi (+) 62,5 mg IV KU: lemah GCS: E4V5M6 d. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV TD: 130/76 mmHg e. Loratadin1 x 10 mg Nadi: 81x/menit f. Cetirizin 1 x 10 mg RR: 37x/menit g. Trilac 2 x 4 mg 0 Suhu: 36,8 C Kel: lidah menebal, urtikaria di a. O2 3 lpm sekitar dagu dan leher, b. Infus RL 30 tpm c. Injeksi Metil Prednisolon 2 x hipersalivasi (+) 62,5 mg IV KU: lemah, GCS: E4V5M6 d. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV TD: 126/68 mmHg e. Loratadin1 x 10 mg Nadi: 76x/menit f. Cetirizin 1 x 10 mg RR: 34x/menit g. Trilac 2 x 4 mg 0 Suhu: 36,5 C Kel: lidah menebal (), a. O2 3 lpm b. Infus RL 30 tpm hipersalivasi () c. Injeksi Metil Prednisolon 2 x KU: lemah, GCS: E4V5M6 62,5 mg IV TD: 107/53 mmHg d. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV Nadi: 73x/menit e. Loratadin1 x 10 mg RR: 17x/menit f. Cetirizin 1 x 10 mg Suhu: 36,50C g. Trilac 2 x 4 mg Kel: lidah menebal, urtikaria di sekitar dagu dan leher, dada berdebar KU: tampak gelisah, GCS: E4V5M6 TD : 180/100mmHg Nadi : 112x/menit RR : 34x/menit Suhu : 36oC Kel: lidah menebal (), a. O2 3 lpm b. Infus RL 30 tpm hipersalivasi (), sesak ()

5.

29 Desember 2013

KU: lemah, GCS: E4V5M6 TD: 107/61 mmHg Nadi: 62x/menit RR: 14x/menit Suhu: 36,80C 6. 30 Desember 2013 Kel: lidah menebal (-), hipersalivasi (-), sudah bisa makan per oral, jika batuk terkadang masih sesak KU: sedang, GCS: E4V5M6 TD: 134/80 mmHg Nadi: 76x/menit RR: 24x/menit Suhu: 360C Kel: pusing KU: sedang, GCS: E4V5M6 TD: 110/70 mmHg Nadi: 72x/menit RR: 22x/ menit Suhu: 36,40C

c. Injeksi Metil Prednisolon 2 x 62,5 mg IV d. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV e. Loratadin1 x 10 mg f. Cetirizin 1 x 10 mg g. Trilac 2 x 4 mg h. Bio ATP 2 x 1 tab a. Aff NGT b. Infus RL 30 tpm c. Injeksi Metil Prednisolon 2 x 31,25 mg IV d. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV e. Loratadin 1 x 10 mg f. Cetirizin 1 x 10 mg g. Trilac 2 x 4 mg h. Bio ATP 2 x 1 tab i. Acc Pindah Bangsal a. b. c. d. e. Aff infus Fallergi 1x1 tab Trilac 2x1 tab Lameson 2x4 mg Acc Pulang

7.

31 Desember 2013

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1,2 Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Reaksi anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. 2,3,4 B. EPIDEMIOLOGI2 Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan. Kematian akibat reaksi anafilaksis hebat diperkirakan terjadi 0,4 kasus per juta penduduk per tahun. Dalam bidang anastesi, kejadian reaksi anafilaksis diperkirakan terjadi 1 per 5000 sampai 1 per 25.000 kasus per tahun. Di Amerika Serikat, diperkirakan 1-2% pasien yang disuntik penisilin mengalami reaksi anafilaksis dan 400 800 diantaranya meninggal per tahun. Reaksi anafilaktoid oleh zat kontras 5% dari pengguna dan 250 1000 orang diantaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaksis oleh makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada data yang akurat. Diperkirakan 1/5 1/3 penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi makanan. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya. Umumnya tidak ditemukan predisposisi ras, jenis kelamin,

umur atau musim. Dilaporkan reaksi anafilaksis karena susu dan telur lebih sering pada anakanak, sedang reaksi anafilaktoid karena zat kontras lebih sering pada orang dewasa.

C. FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI Berbagai zat atau keadaan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis/Anafilaktoid. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormon, enzim, bisa binatang, makanan dan sebagainya), atau polisakarida (dekstran, jadam, dan sebagainya), juga ada yang berupa hapten, yang nanti bertindak sebagai antigen apabila berkaitan dengan protein (antibiotik, anestesi lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral, suntikan, sengatan, inhalasi atau tipikal.1,4,5 Secara umum penyebab Anafilaksis / anafilaktoid dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Tabel I Zat-zat dan keadaan yang telah dilaporkan menimbulkan reaksi anafilaksis/anafilaktoid AP Arwin Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Buku ajar Alergi-imunologi anak edisi
kedua,Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 207-223

1. Antibiotik

: Penisilin dan derivatnya, eritromisin, streptomisin

sefalosporin,

tetrasiklin,

2. Nonsteroid anti inflammatory : Salisilat, aminopirine agents 3. Narkotik analgetik : Morfin, kodein, meprobamate 4. Obat lain 5. Anestesi lokal 6. Anestesi umum 7. Obat pelumpuh otot 8. Produk darah dan antiserum : Protain, klorpropamide, zat besi parenteral, iodida, tiazid : Prokain, lidokain, cocain : Thipental : Suksinil kolon, tubokurarin : Eritrosit, leukosit, dan platelet transfusi, gamma globulin, rabies, tetanus, antitoksin difteri, antibisa ular dan laba-laba : Radiokontras iodida

9. Agent diagnosis

10. Makanan 11. Bisa/cairan binatang 12. Hormon 13. Enzim dan zat biologi 14. Getah tumbuhan 15. Bahan kosmetik / industri 16. Faktor fisis

: Telur, susu, kacang, ikan, udang dan lain-lain : Ular, laba-laba, serangga dan beberapa jenis hewan air/ikan : Insulin, ACTH, estrogen, progesteron, hormon pituitari : Asetilsistein, enzim pankreas : Lateks, perekat, akasia : Cat rambut, parfum, pelurus rambut, pemutih kulit, cat : Panas, dingin, tekanan, cahaya, getaran

17. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani 18. Idiopatik

D. PATOFISIOLOGI Berbagai manifestasi yang muncul dalam reaksi anafilaksis pada umumnya disebabkan oleh penglepasan mediator oleh mastosit/basofil, baik yang timbul segera (dalam beberapa menit), maupun yang timbul belakangan (sesudah beberapa jam). Pengaktifan mastosit/basofil untuk mengeluarkan mediatornya tidak hanya terjadi akibat alergi atau rangsangan yang dimediasi IgE, tetapi juga dapat terjadi oleh karena rangsangan yang dimediasi oleh komplemen, kompleks imun, atau faktor lain yang langsung membebaskan histamin seperti panas, dingin, tekanan, latihan jasmani, dan lain-lain. 1 Dari berbagai perangsang yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya, mekanismenya dapat melalui beberapa cara : 3,5 1. Reaksi yang dimediasi IgE (IgE mediated anaphylaxis) Berbagai jenis alergen bekerja melalui cara ini, baik yang berupa makanan, obatobatan, enzim maupun yang berupa sengatan serangga / ular, semen suami, getah tumbuhan dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi pada orang yang atopi atau tidak atopi yang terjadinya sesudah pajanan ulangan (kedua dan seterusnya). Pada pajanan alergen, alergen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cells) seperti makrofag, sel dendritik, sel langerhans atau yang lain. Kemudian antigen tersebut dipersembahkan bersama beberapa sitokin (IL-1, TNF IL-8) ke sel T.Helper melalui MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, sel T helper kemudian aktif dan mengeluarkan sitokin (IL-4 dan IL-5) yang merangsang sel B melakukan memori, proliferasi dan peralihan menjadi sel plasma

yang kemudian menghasilkan antibodi termasuk IgE. Imunoglobulin yang spesifik kemudian akan melekat pada permukaan mastosit, basofil, dan sel B sendiri dan beberapa sel imun yang lain. Apabila di kemudian hari terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama maka alergen itu akan ditangkap oleh IgE terutama yang melekat pada mastosit/basofil. Ikatan alergen dengan IgE spesifiknya ini akan merangsang mastosit/basofil mengeluarkan mediator, baik yang segera maupun yang lambat. Mediator tersebut menyebabkan dilatasi venula, peningkatan permeabilitas kapiler, bronkospasme, kontraksi otot polos dan dilatasi arteriol sehingga timbul manifestasi klinis reaksi anafilaktik berupa, urtikaria/angioedema, edema laring, asma, muntah, kram usus, dan renjatan yang bisa menyebabkan kematian tiba-tiba. Reaksi inilah yang sebenarnya disebut reaksi anafilaktik.

Gambar IA.

Kontak Alergen dengan APC (Antigen Presenting Cells)

Gambar IB.

Respon sel yang dimediasi IgE untuk mengeluarkan alergen

2. Reaksi yang dimediasi kompleks imun atau komplemen Reaksi ini terjadi apabila antibodi yang bebas (biasanya IgG atau IgM tetapi juga bisa IgE) melakukan ikatan dengan antigen yang masuk membentuk kompleks imun. Kompleks imun ini bisa langsung merangsang mastosit/basofil mengeluarkan mediator atau melalui pengaktifan komplemen untuk mengeluarkan anafilaktoksin, C3a, C4a, dan C5a yang akan merangsang mastosit/basofil mengeluarkan mediator. Reaksi ini sering terjadi pada pemberian transfusi darah, komponen darah, plasma, serum, imunoglobulin, kriopresipitat. Reaksi yang timbul juga dikenal sebagai aggregate anaphylaxis.

Gambar 2. Reaksi yang dimediasi kompleks imun atau komplemen

3. Gangguan Metabolisme Asam Arakidonat Aspirin dan beberapa antiinflamasi nonsteroid lainnya dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dalam 15 menit sampai 2 jam setelah pemasukan obat tersebut. Reaksi ini diduga terjadi akibat gangguan metabolisme asam arakidonat. Aspirin dan antiinflamasi non-steroid menghambat siklo-oksigenase suatu enzim yang diperlukan untuk sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Akibatnya pembentukan prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin menurun, tetapi produksi jalur lipoksigenase meningkat.

Gambar. 3. Gangguan Metabolisme Asam Arakidonat

4. Rangsangan Langsung pada Mastosit/Basofil Beberapa obat dan zat kontras secara langsung dapat merangsang mastosit jaringan dan basofil darah perifer untuk mengeluarkan mediatornya. Hal ini ditemukan pada pemberian opiat, antibiotik tertentu, pelemas otot, dekstran, zat kontras, dan lain-lain. Di samping itu beberapa faktor fisis seperti panas, dingin, tekanan dan lain-lain dapat secara langsung mempengaruhi pengeluaran mediator mastosit/basofil.

5. Idiopatik (Idiopathic Reccurent Anaphylaxis) Ada beberapa pasien yang mengalami reaksi anafilaktik berulang-ulang tanpa diketahui pencetus atau penyebabnya termasuk disini anafilaksis akibat latihan, sering terjadi sesudah makan-makanan tertentu sebelum latihan. Beberapa ibu mengalami anafilaktik berulang yang tidak ditemukan penyebabnya (disebut catamenial anaphylaxis), ternyata hipersensitif terhadap progesteron endogen dan positif pada tes kulit dengan medroksiprogesteron. Sebagian di antaranya mengalami anafilaksis bersiklus menurut fase luteal siklus haidnya. Pada umumnya anafilaktik rekuren idiopatik tidak ditemukan penyebabnya dan diagnosisnya didasarkan gejala klinis dan bukti peninggian kadar histamin dalam urinnya.

Secara

umum

dan

garis

besar

urutan

proses

dalam

kejadian

reaksi

anafilaktik/anafilaktoid dapat disebutkan sebagai berikut : I. Perangsangan pada membran mastosit dan sel basofil, rangsangan dilakukan oleh antigen IgE atau agregat imun yang lain atau langsung oleh faktor-faktor kimiawi, fisis, atau neurogenik II. Aktivasi enzim-enzim membran dan rangsangan kedua dari sitoplasma. Terjadi degradasi metabolik asam arakidonat menjadi subunit-subunit aktif dan penurunan rasio cAMP/cGMP dalam sel III. Penglepasan mediator inflamasi A. Yang siap langsung dilepas Histamin Serotonin Triptase NCF (Neutrophils Chmeotactic Factor) ECF (Eosinophils Chemotactic Factor)

B. Yang baru dibentuk dan segera dilepas : Leukotrin (LTB4, LTC4, LTD4) Tromboksan Prostaglandin (PGD2) Platelet Activating Factor (PAF)

Kinin dan kaskade faktor hageman

IV. Respons patologis fungsional Peningkatan permeabilitas vaskular Vasodilatasi venul Konstriksi bronkus Kontraksi otot polos usus Dilatasi arteriol

V. Anafilaksis Urtikaria + angioedema Edema laring Asma Muntah, sakit perut, diare Hipotensi/renjatan

Gambar.4. IgE terdiri atas 2 rantai Berat (Epsilon) dan 2 rantai ringan (Kappa/Lamda) yang dihubungkan oleh ikatan disulfide

Tabel 2. Mediator yang dihasilkan sel Mast dan Basofil Mediator 1. Histamin Struktur Kimia 5-B-Imidazolyethylamine (BNM=III) Efek Fisiologis Reseptor HI : Vasokonstriksi, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vascular, kontraksi otot polos bronkus Reseptor H2: Vasodilatasi, meningkatkan denyut jantung, kontraksi miokard, sekresi lambung, inhibitor sel T 2. ECF-A Asam tetrapeptida (BM = 360 390) 3. NEF Protein (BM = > 75.000) 4. SRS-A (LTC4, LTD4, LTE4) Lipo-oksigesae, asam arakidonat produk Meningkatkan permeabilitas vascular kontraksi otot polos bronkus produk PGD2 : Kontraksi otot polos bronkus PGE2 : Dilatasi otot polos bronkus PGF2: Kontraksi otot polos bronkus 6. LTB4 Lipo-oksigenase, asam arakidonat 7. PAF Asetilgliseril fosforilcolin (BM1000) eter Agregasi platelet produk Kemotaksis eosinofil dan neutrofil Kemotaksis neutrofil Kemotaksis eosinofil

5. Prostaglandin (PGD2, Siklo-oksigenase, PGE2, PGF2) asam arakidonat

E. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.6,7 Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadangkadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering

terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.5,6,8 Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.1,4,5 Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.4,6 Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.4,6 Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi

hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.4,6 Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.4,6 Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.4,6

Tabel 3. Manifestasi Klinis Reaksi Anafilaksis

F. TES DIAGNOSIS 4,5,6 Skin Prick Test (SPT) Skin Prick Test (tes kulit epikutan) dan tes kulit intradermal merupakan tes untuk mengetahui adanya IgE spesifik terhadap obat tertentu yang berguna hanya untuk beberapa obat dengan berat molekul rendah (penisilin, relaksan otot, barbiturat). Karena reagen belum tersedia, klinisi harus membuat sendiri reagennya. Meskipun kadang dapat dijumpai hasil positif pada pemberian obat yang dapat melepaskan histamin tanpa melalui perantaraan IgE, sepereti misalnya pada pemberian propofol atau atracurium. Radio Allergo Sorbent Assay (RAST) Merupakan solid phase radioimmunoassay yang mengukur circulating allergen spesific IgE antibodies. Kegunaannya terbatas sebagai tes diagnosis alergi obat, karena seperti tes kulit, immunochemistry dari kebanyakan obat belum diketahui. Tes ini telah dikembangkan untuk penisilin (penicilloyl moiety), insulin, chymopapain, relaksan otot, thiopental, protamine dan lateks. Tes Provokasi Tes Provokasi oral dapat menjadi gold standar dalam menentukan adanya alergi obat. Tes ini harus dikerjakan dengan pengawasan yang ketat dengan alat bantu resusitasi yang tersedia. Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan III Tes hemaglutinasi (Coombs test direk atau indirek) telah digunakan untuk menentukan adanya antibodi IgG dan IgM spesifik untuk membantu diagnosis anemia hemolitik yang diperantarai obat. Karena keterbatasannya (harus menjaga kesegaran eritrosit yang terkonyugasi dengan obat ) sekarang lebih banyak menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Yang terpenting adalah menentukan hubungan IgG dan IgM dengan manifestasi klinis, karena antibodi dapat positif tanpa kelainan imunopatologi.

Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV Patch test dapat menentukan etiologi reaksi yang diperantarai sel T, terutama eczematous, erupsi terinduksi obat. Tes ini dapat diaplikasikan pada kelainan kulit karena obat serta rekasi sistemik. Kegunaan metode ini tergantung dari pembawa obat dan tempat aplikasinya. Patch test berguna untuk antikonvulsan seperti carbamazepin dan penisilin. Metode ini terbatas penggunaannya karena terbatasnya reagen yang sesuai dengan determinan imunogenik dari obat.

Tes-tes lain Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis dan perjalanan respon inflamasi, tetapi hanya hal umum saja yang bisa didapatkan (tipe infiltrat seluler, adanya edema). Pemeriksaan imunohistokimia dapat memeberikan informasi tambahan. Tryptase yang merupakan mast cell spesific protease dapat meningkat pada reaksi anafilaksis. Konsentrasi yang meningkat didapatkan pada obat anestesi, lateks dan beberapa antibiotik. Tes lain yang dapat berguna antara lain basofil histamin release, proliferasi limfosit, aktivasi komplemen dan tes lymphocyte cytotoxicity. Tes-tes ini masih dalam penelitian, belum digunakan untuk evaluasi ADR.

G. DIAGNOSIS5 a. Anamnesis yang teliti b. Pemeriksaan fisik : Obat-obatan/makanan yang didapat : Kelainan timbul secara akut/dapat juga beberapa hari

sesudah masuknya obat/makanan c. Laboratorium : - Histamin; meningkat sejak 5 30 menit post reaksi Triptase : dihasilkan dari sel mast Serum triptase : meningkat beberapa jam dan digunakan untuk konfirmasi episode anafilaksis

H. DIAGNOSIS BANDING5 a. Reaksi vasovagal Sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis, pada reaksi vasovagal, nadanya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah, seperti anafilaksis. b. Infark miokard akut Gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala ini sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Pemeriksaan EKG dan enzim akan membantu diagnosis. c. Reaksi hipoglikemik Disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik. I. PENATALAKSANAAN5,6,8 a. First line terapi epinefrin, IV fluids dan oksigen b. Second line terapi anthistamin, kortikosteroid, glucagon, albuterol dan aminofilin untuk mencegah reaksi anafilaksis ulangan dan penanganan lanjutan reaksi anafilaksis. Manajemen tindakan pada reaksi anafilaksis/anafilaktoid Prioritas utama : ventilasi dan bebaskan jalan napas 1. Baringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dari kepala 2. Saluran nafas harus bebas Apabila pasien tidak sadar dilakukan ekstensi kepala, dorong mandibula ke depan dan buka mulut. Jika perlu dapat dilakukan intubasi trakea

3. Tornikuet dipasang proksimal dari tempat penyuntikan/gigitan binatang untuk menghambat penyebaran antigen 4. Epinefrin diberikan 0,3 0,5 ml dalam larutan 1 : 1000 secara subkutan 5. Oksigen diberikan, karena biasanya terjadi hipoksemia akibat edema jalan nafas bagian atas dan hipotensi 6. Jika hipotensi tidak membaik, berikan epinefrin 0,3 0,5 ml dalam larutan 1 : 1000 secara Sc atau IV 7. Aminofilin diberikan bila asma merupakan gejala utama Dosis yang diberikan 5 6 mg/kgBB yang dilarutkan dalam larutan garam dan diberikan intravena secara perlahan 8. Diberikan cairan intravena, dengan tujuan menigkatkan tekanan darah yang timbul akibat hipovolemik. Cairan yang digunakan ialah larutan ringer laktat atau plasma volume expanders 9. Monitor keadaan hemodinamik Jika perlu, berikan obat inotropik dan zat vasoaktif 10. Jika terjadi henti napas dan henti jantung dilakukan resusitasi jantung paru dan berikan obat-obat resusitasi

Semua pasien dengan anafilaksis sebaiknya diberikan anti histamin dan kortikosteroid. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus, misalnya difenhidramin 25 50 mg intravena secara perlahan-lahan. Kortikosteroid tidak

bermanfaat pada fase akut, tapi bermanfaat pada syok yang berkepanjangan dan penyempitan saluran nafas, dapat diberikan metilprednisolon 125 mg intravena. Pasien dengan anafilaksis yang keadaannya tidak stabil, sebaiknya dipindahkan ke ICU semua pasien yang menerima epinefrin, harus diobservasi minimal 6 jam. Jika keadaannya sudah pulih, pasien boleh dipulangkan.

Tabel.4. Dosis obat untuk reaksi anafilaksis dan alergi 6 Drug Epinephrine Adult Dose IV single dose: 100 g of 1:100.000 IV over 5-10 min IV infusion 4 g/min IV infusion: 0.1 g/min maximum g/kg/min SC: 0.3 0.5 mL 1:1000 IV fluids: NS or LR Diphenhydramine (Benadryl) Ranitidine (Zantac) Methylprednisolone (Solumedrol) Albuterol 12L SC: 0.01 mL/kg of 1:1000 20 mL/kg 0,3 1.5 Pediatric Dose

25-50 mg q6h IV, IM, or 1 mg/kg q6h IV, IM or PO PO 50 mg IV over 5 min 125 mg IV 0.5 mg/kg IV over 5 min 1 2 mg/kg IV

Single treatment : 2.5 mg Single treatment: 1.25 mg nebulized (0.5 ml 0.5% nebulized (0.25 mL 0.5% solution) solution) Continuous nebulization: 5 Continuous nebulization: 3 10 mg/h 5 mg/h

Glucagon

I mg IV q%min untul 50 g/kg IV q5min hypotension resolves, followed by 5 15 g/min infusion 5 6 mg/kg IV 5 6 mg/kg IV

Aminophylline Prednisone

40 60 mg/d divided bid 1 2 mg/d divided bid or qd or qd

Gambar 6. Algoritma reaksi anafilaktik 9

J. PENCEGAHAN a. Hindari alergen penyebab b. KIT anafilaktik Pasien yang sensitif sengatan serangga atau makanan harus selalu membawa kit anafilaktik yang terdiri dari semprit berisi adrenalin dan tablet anti histamin c. Desensitisasi Sengatan serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah dengan cara desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang dari dosis rendah sampai dianggap cukup dalam jangka waktu lama

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO DOKTER INTERNSHIP

REAKSI ANAFILAKSIS

Disusun oleh :

Nama : Wahana : Periode :

dr. Nur Maslahah RSUD dr. Rehatta Kelet/Donorojo Jepara 23 Mei 2013 23 Mei 2014

Dokter pendamping

dr. Arief Purwanto/dr. Kurmin Hadi Darsono

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Rehatta Kelet, Jepara 2014

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO


Pada hari ini tanggal dipresentasikan portofolio oleh Nama Kasus Topik Nama Pendamping Nama Wahana : dr. Nur Maslahah : Reaksi Anafilaksis : Kegawatdaruratan : dr. Arief Purwanto dr. Kurmin H. Darsono : RSUD dr. Rehatta Kelet/Donorojo Jepara April 2014 di Wahana RSUD dr. Rehatta Kelet telah

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nama peserta Presentasi dr. Gita Fajar Wardhani dr. Jiemi Ardian dr. Yestin Diana Bhakti dr. Ika Siti Rahmawati dr. Fitria Iqlima Ulfa dr. Emmanuel M. Siagian dr. Atika Ayuningtyas dr. Herdhita Galuh Kusuma A dr. Fajar Sholehudin Salim dr. Nurulita Tunjung Sari 9 7 5 3 1

Tanda Tangan

10

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya.

Mengetahui Dokter Internship Dokter Pendamping

dr. Nur Maslahah

dr. Arief Purwanto/dr. Kurmin HD

Anda mungkin juga menyukai