Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

Diabetes melitus dan hipertensi adalah dua keadaan yang berhubungan erat dan keduanya merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan penanganan yang seksama. Insidensi hipertensi pada penderita diabetes melitus lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes melitus, dan pada beberapa penelitian dibuktikan, kenaikan tersebut sesuai dengan kenaikan umur dan lama diabetes. Diperkirakan 30-60% penderita diabetes melitus mempunyai hubungan dengan hipertensi. Hipertensi pada diabetes melitus meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta berperan dalam mekanisme terjadinya penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan pembuluh darah serebral dan terjadinya gagal ginjal. Kelainan pada mata akibat diabetes melitus yang berupa retinopati diabetik juga dipengaruhi oleh hipertensi.Oleh karena itu, hipertensi pada diabetes melitus perlu ditanggulangi secara seksama. Untuk tujuan ini diperlukan pengetahuan mengenai patogenesis hipertensi pada diabetes melitus, dan berbagai obat antihipertensi serta pengaruhnya terhadap diabetes melitus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Diabetes Melitus Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.

2.1.2

Klasifikasi Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus : 1. Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) : a. Proses imunologik b. Idiopatik 2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan sekresi insulin bersama resistensi insulin). 3. Diabetes Melitus Tipe Lain a. Defek genetik fungsi sel beta: Kromosom 12, HNF-1 alfa ( dahulu MODY 3 ) Kromosom 7, glukokinase ( dahulu MODY 2 ) Kromosom 20, HNF 4 alfa ( dahulu MODY 1 ) DNA mitokondria

b. Defek genetik kerja insulin c. Penyakit eksokrin pankreas Pankreatitis

Trauma/pankreatektomi Neoplasma Cystik fibrosis Hemochromatosis Pankreatopati fibro kalkulus

d. Endokrinopati Akromegali Sindrom Cushing Feokromositoma Hipertiroidisme

e. Karena obat/zat kimia Vacor, pentamidin, asam nikotinat glukokortikoid, hormon tiroid tiazid, dilantin, interferon alfa f. Infeksi Rubella kongenital, Cyto-MegaloViru (CMV)

g. Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, Huntington, Chorea, Sindrom Prader Willi 4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)

2.1.3

Etiologi Etiologi dari DM dapat tejadi karena berbagai aspek seperti disebabkan oleh

munculnya fenomena autoimunitas, yang disebabkan oleh adanya mutasi akibat insersi virus variola, coxsackie B4, rubela ataupun paparan zat kimia yang bersifat sitotoksik nitrofenilurea atau sianida dari singkong basi, hal ini yang terjadi pada DM type I. Pada DM type II terjadi kelainan genetik pada kromosom 7, 12 & 20 yang menyebabkan insufisiensi enzim glukokinase dan penurunan ekspresi gen hepatocyt nuclear factor 1 alpha dan 4 alpha yang dapat menghambat sintesa proinsulin.

2.1.4

Patofisiologi

1. Diabetes Mellitus tipe I ( IDDM ) DM tipe I ( IDDM ) atau DM bergantung insulin, biasanya disebabkan oleh munculnya fenomena autoimunitas, dimana telah terjadi molecular mimicry dari sel-sel beta pankreas (langerhans) yang disebabkan oleh adanya mutasi akibat insersi virus variola, coxsackie B4, rubella ataupun paparan zat kimiawi yang bersifat sitotoksik nitrofenilurea, atau sianida dari singkong basi. Mutasi yang tejadi pada genom sel beta langerhans di pankreas akan menyebabkan terjadinya kelainan ekspresi protein yang disandi oleh gen-gen yang terletak di kromosom 6 baik lengan panjang maupun di sentromer. Pada lengan p atau panjang terdapat gen-gen yang menyandi HLA A, B8 dan B18 serta Cw3 sedangkan pada sentromer disandi HLA DR3 dan DR4. Pada IDDM terjadi defisiensi insulin yang berat, sehingga penderita memerlukan terapi insulin untuk menghindari terjadinya ketoasidosis. 2. Diabetes Mellitus tipe II ( NIDDM ) Pada DM tipe II ( NIDDM ) atau DM tidak bergantung insulin, paling sedikit ada dua kondisi patologis. Pertama, adanya penurunan kemampuan insulin untuk berfungsi pada jaringan perifer untuk menstimulasi metabolisme glukosa dan menghambat pengeluaran glukosa dari hati, suatu keadaan yang dinamakan resistensi insulin. Obesitas menyebabkan resistensi insulin dan obesitas merupakan faktor resiko utama terjadinya NIDDM. Kedua, ketidak mampuan kelenjar endokrin dipankreas untuk mengkompensasi secara penuh penanganan resistensi insulin ini (defisiensi insulin relatif ). Pada DM tipe II didapat kelainan kromosomal 7, 12, 20, dimana kelainan kromosomal 7 mengakibatkan terjadinya insufisiensi enzim glukokinase sehingga terjadi hambatan pada proses stimulasi sel beta langerhans di pankreas. Kelainan kromosom 12 dan 20 berdampak pada terjadinya penurunan ekspresi gen hepatocyt nuclear factor 1a dan 4a akan mengakibatkan terjadinya hambatan fosforilasi dan kaskade kinase di sel langerhans yang akhirnya akan menghambat sintesa proinsulin.

Perbedaan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2 Tabel 1. Perbandingan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2 DM tipe 1 Nama Lama Umur (th) DM Juvenil DM tipe 2 DM dewasa

Biasa < 40 (tapi tak Biasa > 40 (tapi tak selalu) selalu)

Keadaan

Klinik Berat

Ringan

saat diagnosis Kadar Insulin Berat Badan Pengobatan Tak ada Insulin Biasanya kurus Insulin, diet, olahraga Insulin cukup atau tinggi Biasanya gemuk/normal Diet,olahraga,tablet,Insulin

2.1.5

Gejala Klinis Gejala khas Poliuri Polidipsi Polifagi Berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas

Gejala tidak khas Kesemutan Gatal di daerah genital Keputihan Infeksi sulit sembuh Bisul yang hilang timbul Penglihatan kabur Cepat lelah Mudah mengantuk , dll

2.1.6

Diagnosis

I. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, TGT (toleransi glukosa terganggu), dan GDPT (glukosa darah puasa terganggu), sehingga kemudian dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan sekunder dapat segera diterapkan. Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu: kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun) kegemukan {BB (kg)> 110% BB idaman atau IMT > 23 (kg/m2)} tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg) riwayat keluarga DM riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram riwayat DM pada kehamilan dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl). pernah TGT atau GDPT

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar (lihat skema langkah-langkah diagnostik DM). Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun. Pasien dengan Toleransi Glukosa Terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.

Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi daripada kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) Bukan DM Belum pasti DM DM 200 200 126 110

Kadar glukosa darah sewaktu(mg/dl) Plasma vena darah kapiler Kadar glukosa darah puasa(mg/dl) Plasma vena darah kapiler

< 110

110 - 199 90 199

< 90

< 110

110 - 125 90 109

< 90

Sumber : Konsensus Pengelolaan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI 2002

II. Langkah-langkah untuk Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
7

glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl. Cara Pelaksanaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) : 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1, 75 gram/kgBB (anakanak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok Kriteria diagnostik Diabetes Melitus* dan gangguan toeransi glukosa : 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl

Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir atau 3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO** (Konsensus Pengelolaan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI 2002) * Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat. ** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria

diagnostik kadar glukosa darah puasa. Untuk DM Gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.

2.1.7

Komplikasi Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan menahun.

A.

Komplikasi akut : ketoasidosis diabetik hiperosmolar non ketotik hipoglikemia

B.

Komplikasi menahun 1. Makroangiopati atau makrovaskular 2. Pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner) Pembuluh darah tepi ( gangren perifer ) Pembuluh darah otak (stroke)

Mikroangiopati atau mikrovaskular Retinopati diabetik Nefropati diabetik

3. 4.

Neuropati Diabetik Rentan infeksi, seperti misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi saluran kemih

5.

Gangren diabetik atau kaki diabetik (gabungan 1 sampai dengan 4).

2.1.8

Tatalaksana Ada empat cara pengelolaan DM :

1. Edukasi 2. Perencanaan makan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu : 1) Karbohidrat sebanyak 60 70 %

2) Protein sebanyak 3) Lemak sebanyak

10 15 % 20 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga didapatkan: 1) Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal 2) Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal 3) Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal 4) Gemuk = > 120% dari BB Ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu : 1) Makanan pagi sebanyak 2) Makanan siang sebanyak 3) Makanan sore sebanyak 20% 30% 25%

4) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya. 3. Latihan jasmani Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging. 4. Intervensi farmakologis a. Obat Hipoglikemik

10

1) Sulfonilurea Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara : - Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan. - Menurunkan ambang sekresi insulin. - Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih. Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal. 2) Biguanid Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin. Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea b. Insulin Indikasi pengobatan dengan insulin adalah : a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis. b) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet (perencanaan makanan). DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal

11

tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin.

2.1.9

Pencegahan

a. Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk menderita DM. Tentu saja untuk pencegahan primer ini harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer. Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan. b. Pencegahan Sekunder Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut memerlukan biaya besar. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal berarti mengelola DM dengan baik agar tidak timbul penyulit lanjut DM. Dalam mengelola pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.

12

c. Pencegahan Tersier Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80 - 325 mg) dapat dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyulit makro-angiopati.

2.1.0

Kriteria Pengendalian Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian

DM yang baik. DM terkendali baik tidak berarti hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid dan HbA1C seperti tercantum pada tabel. Untuk pasien berumur > 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi dari pada biasa (puasa < 150 mg/dl dan sesudah makan < 200 mg/dl), demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.

Tabel 3. Kriteria Pengendalian DM Baik Glukosa (mg/dl) Glukosa (mg/dl) Hb A1c (%) Kolesterol total (mg/dl) Kolesterol LDL 4 - 5,9 < 200 68 200 239 130 159 >8 >240 >160 darah 2 jam 110 159 160 199 >200 darah puasa 80 109 Sedang 110 139 Buruk >140

(mg/dl) < 130

13

tanpa PJK Dengan PJK Kolesterol HDL (mg/dl) < 100 > 45 100 129 35 45 200 249 150 199 23 25 25 27 140 160 / 90 95 >130 < 35 >250

Trigliserida (mg/dl) tanpa < 200 PJK Dengan PJK BMI = IMT wanita Pria Tekanan darah (mmHg) 20 - 24,9 < 140/90 < 150 18,5 - 22,9

>200 > 25 atau

< 18,5 > 27 atau < 20 > 160/95

2.2 2.2.1

Hipertensi pada Diabetes Melitus Patogenesis Hipertensi pada diabetes melitus dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu : 1. Hipertensi diabetik Hipertensi diabetik adalah bentuk hipertensi renal yang terjadi pada nefropati diabetik yang sering ditemukan pada diabetes melitus tipe I 2. Hipertensi sistolik Hipertensi sistolik merupakan akibat terjadinya aterosklerosis pada diabetes melitus 3. Hipertensi esensial Hipertensi esensial merupakan bentuk yang paling sering dijumpai dan biasanya merupakan komplikasi akhir dari diabetes melitus. Patogenesis hipertensi pada diabetes melitus dapat ditinjau dari berbagai segi,

misalnya peran ginjal, sistem pembuluh darah dan jantung, sistem renin-angiotensinaldosteron, sistem susunan saraf otonom, dan peran berbagai hormon. Kelainan histopatologik pada ginjal akibat hipertensi dapat mengenai glomerulus, tubulus, interstitium, dan arteriol. Kelainan patologik yang paling sering
14

dijumpai adalah lesi nodular yang mengenai mikrovaskular dan lesi glomerular yang difus. Kelainan ini lebih banyak dijumpai pada diabetes melitus tipe I dan dikenal dengan lesi Kimmelstiel Wilson. Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya hialinisasi glomerulus yang mengakibatkan penurunan kliren air, peningkatan volume intravaskular, dan hipertensi. Gambaran klinik yang dijumpai adalah proteinuri, hipertensi, dan gagal ginjal. Peningkatan tekanan darah yang terjadi sejalan dengan beratnya kelainan pada ginjal. Dengan adanya pielonefritis yang sering dijumpai pada diabetes melitus, akan memperberat glomerulosklerosis, dan kemungkinan berperan secara bermakna pada patogenesis hipertensi. Terdapat 2 (dua) teori yang dapat menerangkan mekanisme terjadinya kelainan mikrovaskular pada glomerulosklerosis diabetik, yaitu teori genetik dan teori metabolik yang keduanya saling kontroversial. Teori genetik menyatakan, terjadinya mikroangiopati disebabkan oleh sifat genetik (genome) dari vaskular sendiri dan tidak dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan defisiensi insulin. Hal ini dibuktikan bahwa lesi mikrovaskular dijumpai pada beberapa penderita tanpa kelainan glukosa dan terjadinya lesi awal pada glomerulosklerosis diabetik yang berupa penebalan membrana basalis jarang dijumpai pada awal penyakit. Teori metabolik menyatakan, terjadinya mikroangiopati secara langsung oleh karena kelainan metabolik akibat defisiensi insulin baik secara absolut maupun relatif. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah obesitas. Obesitas dijumpai pada 80% penderita diabetes melitus tipe II dan diduga faktor ini juga mempengaruhi terjadinya hipertensi pada diabetes mellitus. Kelainan pada diabetes melitus yang klasik adalah mikroangiopati spesifik dan makroangiopati yang tidak spesifik yang mempunyai andil terhadap terjadinya hipertensi. Pada hipertensi dan diabetes melitus terjadi proliferasi otot polos pembuluh darah akibat kerusakan pembuluh oleh kadar hormon dan lemak dalam sirkulasi yang abnormal, dan atau intervensi trombosit yang menimbulkan hiperagregasi. Keadaan tersebut merupakan latar belakang terjadinya aterosklerosis, dengan akibat terjadinya hipertensi sistolik pada penderita diabetes melitus.

15

Hubungan antara hipertensi pada diabetes melitus dengan sistem reninangiotensin-aldosteron dilaporkan kontroversial oleh beberapa peneliti. Pada umumnya menyatakan, pada awal penyakit aktifitas renin plasma (PRA) masih normal atau meningkat, sedangkan pada akhir penyakitnya didapatkan penurunan respon renin terhadap efek stimulasi oleh perubahan posisi, furosemid, diaksosid dan angiotensin II. Pada umumnya peninggian tekanan darah tidak diikuti oleh peningkatan renin dan aldosteron. Keadaan inilah yang dapat menerangkan bahwa hipertensi maligna jarang diju.mpai pada penderita diabetes mellitus. Adanya kadar katekolamin yang rendah pada penderita hipertensi dan diabetes melitus kemungkinan merupakan salah satu yang dapat menerangkan keadaan ini. Dalam keadaan basal, kadar katekolamin ditemukan normal pada penderita diabetes melitus. Akan tetapi perangsangan dengan perubahan posisi dan aktifitas fisik isometrik menunjukkan kelainan dalam peningkatan katekolamin. Katekolamin diketahui mempengaruhi pelepasan renin, sehingga adanya penurunan kadar katekolamin bertanggung jawab terhadap penekanan sistem renin-angiotensinaldosteron. Beberapa hormon diduga mempunyai pengaruh terhadap terjadinya hipertensi pada diabetes melitus. Hormon yang diketahui mempunyai peran terhadap mekanisme kontrol tekanan darah adalah PRA, katekolamin, kortisol dan growth hormone.

2.2.2

Evaluasi Klinik dan Diagnostik Pada prinsipnya, evaluasi hipertensi pada diabetes tidak berbeda dengan

evaluasi hipertensi pada penderita nondiabetes, akan tetapi berbagai bentuk hipertensi yang dapat terjadi pada diabetes perlu diperhatikan. Anamnesis yang telitimengenai riwayat hipertensi atau diabetes dalam keluarga, riwayat penggunaan obat yang dapat meningkatkan tekanan darah atau gula darah antara lain steroid, pil kontrasepsi, antiinflamasi nonsteroid atau dekongestan nasal perlu ditanyakan. Keluhan yang dapat timbul pada hipertensi atau diabetes perlu ditanyakan dengan teliti. Riwayat pengobatan hipertensi dan perkembangan keadaan tekanan darahnya dapat dipakai

16

untuk menduga kemungkinan hipertensi sekunder. Walaupun hipertensi sekunder yang potensial dapat disembuhkan dengan tindakan bedah (potentially sugical curable) seperti hipertensi renovaskular, hiperaldosteronisme primer,

feokromositoma, biasanya jarang dijumpai, akan tetapi hal ini perlu dipertimbangkan. Hipertensi golongan ini biasanya merupakan hipertensi maligna, secara klinis sesuai dengan hipertensi sekunder, respon pengobatan yang jelek, atau pada penderita yang semula mudah dikontrol tiba-tiba menjadi sulit terkontrol. Kebiasaan minum alkohol, makan makanan yang banyak mengandung garam, faktor psikososial dan lingkungan yang dapat mempengaruhi tekanan darah perlu diteliti. Dalam pengukuran tekanan darah harus diperhatikan cara pengukuran, alat ukur, saat pengukuran dan tempat pengukuran. Pemeriksaan pada jantung, mata, ginjal dan susunan saraf pusat perlu dilakukan untuk menilai keterlibatan organ tersebut pada hipertensi. Penilaian yang mengarah pada hipertensi sekunder seperti bruit di abdomen, ginjal polikistik, takikardi dan keringat tidak boleh dilupakan. Pemeriksaan darah tepi dan urin lengkap, fungsi ginjal, kadar gula darah, kalium dalam serum, dan hemoglobin glikosilated diperlukan untuk menilai keadaan diabetes dan kemungkinan penyebab hipertensi. Pemeriksaan fraksi lemak diperlukan untuk menilai faktor risiko kardiovaskular.

2.2.3

Penatalaksanaan Pengobatan hipertensi pada diabetes selain bertujuan untuk mengontrol

tekanan darah harus juga diperhatikan kontrol terhadap diabetes melitus dan komplikasinya, terutama yang menyangkut ginjal dan kardiovaskular. Secara garis besar penatalaksanaan hipertensi dapat dibedakan atas penatalaksanaan nonfarmakologik dan penatalaksanaan farmakologik. Prinsip pengobatan hipertensi masa kini dengan perhatian terhadap pengaruh pengobatan pada kualitas hidup penderita harus selalu mendasari sikap kita dalam pemilihan obat.

Pengobatan non-farmakologik

17

Pengobatan non-farmakologik dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada pengobatan farmakologik. Pengobatan non-farmakologik dapat berupa kontrol terhadap berat badan, membatasi asupan garam, atau asam lemak. Pengobatan ini biasanya diberikan untuk hipertensi yang ringan. Jenis pengobatan yang diberikan diupayakan yang tidak mengganggu gaya hidup dan tanpa efek samping. Penurunan berat badan sampai dengan batas tertentu yang diharapkan merupakan indikasi pengobatan, baik pada hipertensi maupun diabetes melitus. Penurunan berat badan ini dapat dilakukan dengan pembatasan kalori ataupun olahraga. Pada beberapa penelitian, olah-raga terbukti dapat menurunkan tekanan darah melui penurunan tahanan perifer. Di samping itu olah-raga menimbulkan perasaar. santai yang dapat membantu menurunkan tekanan darah. Kedua bentuk pengobatan non-farmakologik tersebut sangat sesuai pada penderita diabetes karena dapat mengontrol gula darah. Pembatasan asupan garam di samping penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah. Akan tetapi perlu diperhatikan agar pembatasan garam masih telap dapat diterima oleh penderita. Untuk ini perlu diperhatikan kebiasaan makan dan jenis makanan yang banyak mengandung garam. Penambahan kalium, pemanfaatan ion kalsium dan magnesium belum seluruhnya meyakinkan sehingga masih belum direkomendasi. Pada beberapa penelitian, pemberian diet rendah lemak jenuh dibuktikan dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular. Menghindari rokok, alkohol, hiperlipidemi dan stres yang berlebihan akan menolong menghindarkan diri dari risiko hipertensi.

Pengobatan farmakologik Apabila dengan pengobatan non-farmakologik belum menolong, langkah selanjutnya adalah menggunakan obat. Pengobatan hipertensi pada diabetes harus mulai diberikan pengobatan farmakologik apabila tekanan darah 140 mmHg sistolik atau lebih, setelah pengobatan non-farmakologik tidak berhasil. Pertimbangan ini sesuai dengan penelitian KNOWLER, yang mendapatkan, tekanan darah 145 mmHg

18

sistolik

insidensi

retinopati

menjadi

dua

kalinya.

Sedangkan

PARVING

menunjukkan, dengan pengobatan hipertensi secara agresif ternyata dapat menurunkan 57% albuminuri setelah pengobatan selama 1 tahun pada penderita muda dengan diabetes melitus tipe I. Apabila telah disepakati bahwa hipertensi pada diabetes melitus harus diobati, maka masalah kedua adalah obat mana yang akan digunakan. Pada prinsipnya disetujui bahwa pengobatan hipertensi pada diabetes melitus tidak berbeda dengan pengobatan pada hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus. Yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa efek samping obat anti-hipertensi dapat menimbulkan gangguan metabolik pada diabetes melitus. Oleh karena itu pengobatan harus diberikan dengan mengingat kepentingan secara individual dan tingkat kelainan metabolik yang ada. Golongan diuretik tiasid banyak dipakai pada pengobatan hipertensi pada diabetes, karena dihubungkan dengan adanya retensi natrium. Akan tetapi, secara epidemiologik terbukti dapat meningkatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain. Pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi gangguan toleransi glukosa, kenaikan kadar lemak darah, hipokalemi dan gangguan seksual yang pada diabetes melitus kemungkinannya menjadi meningkat. Pada diabetes melitus tipe II penggunaan tiasid dapat menurunkan sekresi insulin melalui efek hipokalemi sehingga akan mengganggu kontrol terhadap diabetes. Keadaan ini tidak berpengaruh pada diabetes melitus tipe I karena memang teijadi ketidakefektifan sekresi insulin. Pada gangguan fungsi ginjal, tiasid menjadi kurang efektif. Pada keadaan ini furosemid dapat digunakan. Golongan ini juga menimbulkan efek samping yang kurang lebih sama sehingga memerlukan pengawasan yang seksama. Pada penggunaan diuretik golongan spironolakton perlu dipikirkankemungkinan terjadi penimbunan kalium yang dapat mengganggu irama jantung. Golongan ini dilaporkan pula dapat menimbulkan gangguan seksual sehingga penggunaannya jarang dianjurkan. Golongan penyekat beta atau betabloker, sering mengaburkan gejala hipoglikemi dan memperlambat penyembuhannya. Di samping itu dapat pula

19

mengganggu toleransi glukosa dengan menghambat sekresi insulin. Hal ini lebih banyak terjadi pada betabloker golongannon-selektif akibat terjadinya hambatan pada resptor beta-2 yang berperan dalam sekresi insulin melalui perangsangannya. Golongan penyekat alfa yang beredar di Indonesia adalah prasozin. Akibat samping yang sering teijadi pada golongan ini adalah hipotensi ortostatik. Oleh karena golongan ini tidak memperberat gangguan metabolisme lemak pada diabetes melitus dan jarang menimbulkan gangguan seksual, obat golongan ini dipakai sebagai pengobatan tingkat pertama untuk hipertensi pada diabetes melitus. Pada penderita dengan gangguan saraf otonom perlu mendapat perhatian khusus karena sudah terjadi hipotensi ortostatik. Golongan penghambat simpatik seperti reserpin, klonidin, alfametildopa, dan guanitidin sering menimbulkan efek samping seperti hipotensi ortostatik, dan gangguan seksual. Gangguan ini akan makin menonjol pada penderita diabetes melitus yang disertai gangguan saraf otonom. Golongan vasodilator seperti hidralasin dan minoksidil juga sering menimbulkan hipotensi ortostatik, walaupun sedikit pengaruhnya terhadap toleransi glukosa, elektrolit dan kadar lemak. Golongan antagonis kalsium dan penghambat ensim konversi angiotensin dapat dipakai pada hipertensi pada diabetes melitus. Mengenai pengaruhnya terhadap toleransi glukosa dan metabolisme insulin masih merupakan kontroversial. Sebagian mengatakan, golongan ini tidak mempengaruhi sekresi insulin dan metabolisme glukosa; sedangkan yang lain menyatakan, golongan ini mempunyai tendensi diabetogenik. Penghematan ensim konversi angiotensin selain mempunyai efek

antihipertensi pada diabetes melitus juga mengurangi proteinuri dan mempertahankan fungsi ginjal pada nefropati diabetik. Penggunaan obat golongan ini harus hati-hati apabila terdapat keadaan hiporenin-hipoaldosteronisme dan gangguan fungsi ginjal karena efek sampingnya. Hiperkalemi, gangguan fungsi ginjal dan proteinuri dapat timbul sehingga perlu pemantauan secara seksama. Keuntungannya, golongan ini tidak mempengaruhi toleransi glukosa, kadar lemak dan gangguan seksual. Enalapril

20

merupakan obat yang baru dari golongan ini dan dinyatakan lebih jarang menimbulkan efek samping. Berbagai efek samping obat dan kaitannya dengan gangguan metabolisme glukosa pada diabetes melitus, harus merupakan bahan pertimbangan dalam pemilihan obat dan harus selalu dikaitkan pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Dkk. Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta : IPD FKUI.2007 2. Soegondo, Sidartawan. Soewondo, Pradana. Subekti, Imam. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan kelima, 2005. Jakarta: FKUI Balai Penerbit FKUI. 3. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorreaine McCartty. Patofisiologi konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta EGC.2005 4. M,S.Lumbantobing.2008. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 5. Guyton and Hall. BUKU Ajar Fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC, 2007 6. Juaidi, Iskandar,dr.2010.Hipertensi,Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai