Anda di halaman 1dari 14

EKONOMI POLITIK APBN

A. LEPAS KAITAN ANTARA APBN DAN ASPIRASI RAKYAT Seperti telah ditekankan berulang-ulang dalam bab-bab sebelumnya, Indonesia tidak hanya sedang mengalami proses transisi dari reim otoriter ke rezim demokratik sebagai tahapan awal dari konsolidasi demokrasi melainkan juga secara bersamaan sedang menapaki peralihan yang sangat signifikan dari sosok perekonomian yang serba diatur dengan mekanisme perencanaan yang old fashioned dan sentralistik menuju perekonomian yang lebih berbasis mekanisme pasar dengan pendekatan perencanaan yang longgar dan terdesenteralisasikan. Perubahan sosok perekonomian bukan lagi menjadi pilihan tetapi sudah merupakan suatu keniscayaan. Tidak ada yang pantas diratapi. Bikan pula sesuatu yang harus ditabukan. Asalkan perjalanan selanjutnya disadari sebagai suatu langkah koreksi total atas kemencengan yang selama ini terjadi. Oleh karena itu, langkah langkah kedepan adalah mengembalikan ke jalur yang sepatutnya ( back to basics ) yang seharusnya menjadi acuan. Akan menjadi konyol seandainya yang ditempuh justru menuju ke arah eksterm yang lain. Dengan bahasa lain, yang sepatutnya dilakukan adalah suatu koreksi total atas kemencengan yang selama ini berlangsung, yang telah menimbulkan semakin banyak anomali. Tidak berarti bahwa yang dilakukan di masa lalu semuanya salah. Kalau kenyataan menunjukkan bahwa kemencengan atau anomali kian menjamur, maka patut dicermati bahwa sistem, makanisme dan prosedur sudah kian tidak peka terhadap perubahan perubahan yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal. Perubahan tidak bisa lagi dilakukan secara ad hoc , sepenggal- sepenggal berdasarkan pragmatisme sesaat. Oleh karena itu, ada baiknya dibangun terlebih dahulu kesepakatan atau konsensus baru atas beberapa prinsip pokok, sehingga perubahan perubahan yang dilakukan tidak justru menimbulkan sejumlah masalah baru yang menambah kerumitan serta mambuat kita semakin jauh dari tujuan. Apakah jalan ke arah sana telah tampak? Samapai saat ini, tampaknya belum. Contoh yang cukup gamblang terlihat dari sosok APBN 2001. APBN sejatinya merupakan implementasi janji suatu partai yang memenangkan pemilu dan berkuasa. Pemerintahan yang dikendalikan oleh partai pemenang tersebutlah yang menyusun rancangan anggaran negara untuk memperoleh persetujuan dari parlemen. Namun, di Indonesia APBN harus di dasarkan pada program pembangunan lima tahunan, yang sekarang dikenal dengan Program Pembangunan Nasional ( Propenas ), sebelumnya disebut Repelita, dan Rencana Pembanguna Tahunan ( Repeta ). Keduanya harus tunduk pada Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ). Propenas dan Repeta mensyaratkan persetujuan dari DPR, sedangkan GBHN dihasilkan oleh MPR. Bisa saja pemerintah memiliki posisi tawar yang kuat terhadap DPR untuk menggolkan rancangan anggaran menjadi APBN, asalkan yang sedang berkuasa merupakan koalisi yang menghasilkan mayoritas di DPR. Tetapi, kenyataannya Indonesia tidak menganut sistem parlementer. Di sinilah letak serba salahnya. Keadaan tidak menentu tersebut akan terus berlanjut seandainya akar permasalahan tidak mau di sentuh yakni carut marutnya tata kenegaraan kita. Konsekuensi logis selanjtnya dalah ketidak jelasan atau bahkan lepas kaitan antara sosok APBN dengan aspirasi rakyat yang terepresentasikan pada berbagai partai yang ada di DPR. Jadi, sosok APBN tidak mencerminkan optimalisasi keseimbangan dari berbagai kepentingan masyarakat yang berbedabeda. Kenyataan demikianlah yang kita bisa jumpai pada APBN kita sekarang, APBN 2001. Apakah APBN telah menjadi salah satu sarana penjarahan dan konsesi politik tertutup diantar para politisi? Entahlah.

Mari kita tengok alokasi anggaran pembangunan. Logika politiknya, alokasi anggaran pembangunan akan relatif besar ke sektor-sektor yang kelompok te\argetnya adalah penduduk miskin kota ( konstituen PDI P ) dan penduduk desa di Jawa ( konstituen PKB ). Kenyataannya tidak demikian, padahal kedua partai inilah yang memegang tampuk pemerintahan demokratis pertama di Indonesia dalam 40 tahun terakhir. Alokasi kedua kelompok masyarakat ini juga secara teoritis akan mendapat dukungan parlemen dari unsur PPP. Ketiga partai tersebut- kalau memang benar- benar setia kepada barsis konstituennya masing-masing sudah barang tentu akan memperjuangkan pemngkasan subsidi BBM yang didalam APBN 2001 berjumlah Rp41 triliun, yang notabene sebagian besar dinikmati oleh kelas menengah diperkotaan. Yang tidak kalah ironisnya adalah bahwa justru DPR lebih mendorong kenaikan penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) ketimbang Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas; baik PPh perusahaan maupun PPh perseorangan, kenaikan biaya telepon, listrik, dan BBM; serta di sisi lain tidak serius menegakkan penagihan utang raksasa para konglomerat. Rancangan APBN mencantumkan penerimaan dari PPN sebesar Rp46,8 triliun sedangkan APBN yang disetujui DPR berjumlah Rp48,8 triliun, yang berarti kenaikan sebesar Rp2 triliun. Padahal PPN bersifat regresif, artinya baik si kaya maupun si miskin menanggung beban pajak yang sama besar atas pembelian suatu barang atau jasa yang persis sama. Sebaliknya, untuk PPh perusahaan maupun PPh perseorangan tidak ada perubahan antara RAPBN yang diajukan pemerintah dengan APBN yang disetujui DPR. Padahal, kenaikan PPh lebih mencerminkan rasa keadilan karena yang kaya lebih banyak membayar pajak. Dari pemaparan di atas, kita tidak melihat suatu kerangka makroekonomi yang utuh dari sosok APBN 2001. Perubahan perubahan yang terjadi selama pembahasan di DPR justru kian memperteguh keyakina bahwa para politisi tidak peka terhadappermaslahan rakyat dana bahkan menjauh dari aspirasi konstituennya. Yang terlihat Cuma hal-hal yang artifisial dan kian tak hati-hati. Misalnya, kesepakatan DPR menaikkan asumsi harga minyak dari US$22 menjadi US$24 per barel. Tujuan para politisi di DPR barangkali untuk menggelembungkan penerimaan agar mereka lebih leluasa menaikkan alokasi untuk pos-pos pengeluaran tertentu,untuk meningkatkan pengaruh politik mereka. Tetapi, sepantasnya mereka mewaspadai pula dampaknya kalau asumsi itu tidak tercapai. Bagaimana pos-pos pengeluaran yang sudah digelembungkan itu dapat di biayai deandainya target penerimaan tidak tercapai? Lebih dari itu, mereka menuntut agar kalau harga minyak lebih tinggi dari asumsi APBN, kelebihan penerimaan pemerintah harus dialokasikan untuk kemaslahatan rakyat miskin dengan cara ibarat menaburkan uang dari helikopter, yang sudah terbukti selama ini sangat melenceng dari sasaran. Pengeluaran untuk rakyat miskin haruslah dianggarkan terlebih dahulu dan direncanakan dengan baik. Mengapa penerimaan, yang bisa dikategorikan sebagai rezeki tidak terduga seperti itu, tidak dialokasikan untuk mempercepat pembayaran utang luar negeri agar bebab utang tidak membebani generasi mendatang ? atau para politisi Cuma memikirkan popularitas sesaat biarpun menyesatkan ? Inkonsistensi pemerintah maupun DPR dalam penyusunan APBN hanyalah salah satu sisi dari carut marutnya wajah perpolitikan dan pengelolaan ekonomi negara. Kalau kecenderungan ini berlangsung terus, maka ujungnya dalah krisis APBN yang akan kian menyengasarakan rakyat. Padahal, tugas politisi adalah menyejahterakan rakyat, agar rakyat puas dan memilih mereka kembali sebagai wakil-wakilnya. Ironis.

B. KRISIS FISKAL 2001 : ANCAMAN KEBANGKRUTAN EKONOMI 1. Tinjauan Umum Sebagaimana diperkirakan banyak kalangan, krisis fiskal akhirnya menerpa Indonesia di tahun 2001 yang diliputi ketidak pastian ini. Krisis fiskal tahun 2001 di awali dari kemungkinan tidak terpenuhinya beberapa target penerimaan dan pengeluaran negara karena asumsi yang dipergunakan untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negar ( APBN ) tahun 2001 nyaris seluruhnya meleset dari perkiraan. Akibatnya, perkiraan angka defisit anggaran nragar menjadi semakin membengkak, yang akan sukar sekali untuk dibiayai dari pembiayaan dalam negeri perbankan dan non perbankan privatisasi dan penjualan aset restrukturisasi perbankan serta pembiayaan luar negeri sekalipun. Sementara itu, pihak kreditor asing seperti Dana Monitor Internasional (IMF), Bank Dunia dan beberapa donor bilateral masih belum mengucurkan pinjamannya karena berbagai hal yang mungkin amat berhubungan dengan faktor non ekonomi yang sering dipersoalkan seperti persoalan politik, keamanan, kepastian dan penegakan hukum, dan sebagaunya. Perkembangan terakhir yang dapat di pantau adalah kesepakatan antar pemerintah dengan IMF utnuk mepertahankan defisit anggaran sekitar 3,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) suatu angka logis dalam kerangka pemulihan ekonomi. Implikasinya, pemerintah di paksa untuk mengambil beberapa langkah kebijakan ( policy actions ) dalam menaggulangi defisit annggaran tersebut, yang mungkin dapat meredam gejolak perekonomian pada jangka pendek, tetapi dapat menciptakan akumulasi persoalan yang lenih besra pada jangka panjang. Krisis fiskal sekarang, selain karena ketidak tercapaian pembiayaan defisit ( financing gap ) seperti di atas, juga sangat erat kaitannya denag beban-beban ( baru ) pengeluaran negara karena anjloknya nilai tukar rupiah. Ketidakmulusan hubungan antara pemerintah dan Bank Indonesia juga amat berpengaruh terhadap koordinasi hubungan kebijakan fiskal moneter, yang tentu saja amat diperlukan sebagai modal utama untuk melakukan pemuliha ekonomi. Dampak yang paling mencolok dari krisis fiskal tahun 2001 ini adalah munculnya tanda tanda kebangkrutan ekonomi karena persoalan kebijakan fiskal yang tidak hanya berdimensi on the spot satu tahun anggaran saja, tetapi berdimensi spiral terhadap keselamatan anggaran tahun-tahun berikutnya. Bab ini menganalisis krisis fiskal pada tahu 2001, dengan fokus pembahasan pada ancaman seriusnya terhadap gejala kebangkrutan ekonomi Indonesia. Analisis ini juga bermaksud untuk memberikan penyadaran ( awareness ) kepada masyarakat luas mengenai kedalaman krisis fiskal tersebut karena dampak yang ditimbulkannya sering kali bersifat virtual dalam jangka pendek atau tidak dirasakan masyarakat karena aktifitas ekonomi dalam jangka pendek relatif tidak terpengaruh namun dalam jangka panjang, dimensi keadilan sosial ekonomi dari buruknya aransemen kebijakan fiskal jelas akan membebani masyarakat dari berbagai segi dan sendi kehidupan. 2. APBN 2001 dan persoalan Stimulasi Ekonomi Begitu rangkaian kebijakan fiskal di sahkan dengan Undang-Undang (UU) APBN 2001 per 1 Januari 2001, skeptisme masyarakat pun bermunculan. Persoalan utamanya adalah bahwa kebijakan fiskal yang diharapkan menjadi stimulasi pemulihan ekonomi tersebut, ternyata lebih banyak dilandasi strategi konservatif dengan pertimbangan utama untuk keberlanjutan fiskal ( fiscal sustainability )walaupun volume APBN 2001 itu terkesan ekspansif, namun rincian kebijakan yang ada di dalamnya sama sekali tidak menunjukkan arah kebijakan dan menjadi program guidelines yang dapat memberikan peluangpeluang stimulasi bagi aktifitas perekonomian dan sektor swasta. Sebagian besar dari komponen

kebijakan yang ada di dalamnya justru di dominasi oleh unsur unsur tidak produktifdan tidak dinamis, seperti pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri serta penyisihan anggaran untuk keperluan dana rekapitalisasi perbankan. Bahkan, beberapa pihak telah meberikan wanti-wanti ( warning ) cukup keras terhadap APBN 2001 karen dimensi stimulasi dan dimensi keadilan ekonomi sosial belum terlihat. Persoalan keadilan ekonomi menjadi amat dominan ketika seluruh rangakaian proses penganggaran (budgeting stage ), alokasi anggaran dalam pembahasan tingkat legislatif ( legislative stage ), dan komitmen implementasi pelaksanaan anggaran ( implementation stage )tidak menerikan arah perubahan besar bagi terciptanay suatu nuansa keadilan sebagai stimulasi pertumbuhan ekonomi. Setidaknya, APBN 2001 tidak menampilkan keseriusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sekto-sektor vital dalam membangun suatu bangsa yang maju dan beradab seperti sektor pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup seluruh bangsa Indonesia. Ekspektasi masyarakat bahwa para wakil rakyat yang terhimpun dalam panitia Anggaran ( dan komisi IX ) DPR RI akan banyak memberikan masukan dan peran signifikan dalam proses legislasi kebijakan fiskal tersebut, ternyata tidak banyak menghasilkan perubahan berarti, kecuali pada beberapa asumsi dan besaran tertentu. Memang, beberapa asumsi awal yang disampaikan pemerintah lewat Nota Keuangan 2001 per Oktober 2001 telah mengalami perubahan, seperti : (1) pertumbuhan ekonomi diubah dari 4,5 persen menjadi 5,0 persen per tahun; (2) laju inflasi menjadi 7,2 persen ( dari semula 7,0 persen ); (3) kurs rupiah terhadap dollar AS adalah Rp7.800 ( semula Rp. 7.300 ); (4) harga minyak US$24,0 (semula US$24,0)per barel;(5)produksi minyak bumi 1.460 juta barel per hari (bph);dan (6)ratarata tingkat bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan 11,5 persen (semula 11,0 persen). Akan tetapi, asumsi-asumsi yang terlalu ambisius itu kini menjadi hambar karena faktor internal dan eksternal sosial ekonomi indonesia amat tidak kondusif untuk suatu beban kebijakan fiskal yang begitu berat. Sekedar catatan, dalam versi asli Undang Undang APBN 2001, volume belanja negara dalam APBN 2001 mncapai RP 315,756 triliun, sementara tingkat penerimaan negara tercatat hanya Rp263,227 triliun, angka sebesar itu merupakan peningkatan cukup signifikan atau lebih 20 persen dari usulan awal dalam Nota keuangan yang disampaikan pemerintah. Dengan demikian, volume defisit yang harus ditanggung negara dalam RAPBN 2001 adalah Rp. 52,529 triliun atau sekitar3,7 persen dari Produk Domestik Bruto tahun 2001. Sangat disayangkan bahwa kebijakan yang ekspansif tersebut masih diliptu ketiidakjelasan arah strategi, dan agenda pemulihan ekonomi yang diambil pemerintah apakah mengacu pada 10 pogram pokok yang pernah dilansir oleh Kantor Menko Perekonomian ataukah strategi kebijakan dengan pendekatan struktural yang konon dijadikan andalan utama sebagai alternatif pendekatan monetaris dan teknokratis yang terlalu dominan selama beberapa dekade terkahir. Sektor pajak diperkirakan akan dapat menyumbang Rp179.892 triliun ( dari semula Rp173,443 triliun ) atau sekitar 70 persen pada penerimaan negara, sesuatu yang agak berbeda dari APBN selama ini yang masih mengandalkan penerimaan dari minyak dan gas bumi ( migas ). Pada sisi belanja pemerintah pusat dialokasikan sebesar Rp234,080 triliun ( dari semula Rp220,217 triliun ) atau 75 persen dari total belanja negara, sementara pos baru dana perimbanagn pusat daerah hanya di alokasikan sebesar Rp81,676 triliun ( semula Rp 74, 896 triliun ) atau 25 persen dari total pengeluaran. Sesuatu yang masih harus diperjelas pada fase pelaksanaan anggaran kelak adalah klarifikasi pemerintah pusat tentang arah kebijakan desentralisasi ekonomi. Pmerintah daerah pasti tidak puas apabila

permainan semantik kata- kata masih terlalu dominan, sedangkan langkah desentralisasi fiskal tidak mendapat perhatian memadai. Defisit anggaran sebesar Rp52,529 triliun tidak dapat terelakkan karena RAPBN 2001 yang sangat ekspansif tersebut. Pemerintah merencanakan pembiayaan defisit itu dari sumber pembiayaan dalam negeri sebesar Rp33,5 triliun ( dari semula Rp32 triliun ) atau 61,4 persen dari total defisit, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp19,029 triliun ( menurun dari eencana semula Rp20,1 triliun ) atau 38,5 persen dari total defisit. Dari Rp33,5 triliun pembiayaan dalam negeri tersebut, sejumlah Rp6,5 triliun diharapkan diperoleh dari privatisasi Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) dan Rp 27 triliun sisanya dari penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Mengingat lambatnya privatisasi BUMN dan penjualan aset BPPN program restrukturisasi, tampaknya pembiayaan utang luar negeri masih akan dijadikan tumpuan di tahun 2001. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, semangat yang terkandung dlam APBN 2001, yang kono dimaksudkan untuk menciptakan kesinambungan fiskal dan sekaligus untuk memebrikan stimulus, sebatas kemampuan keuangan negara terhadap kegiatan perekonomian. Di sinilh tim ekonomi pemerintah yang di koordinasi Menteri Perekonomian Rial Ramli berada dalam kebimbangan yang serius, apakah harus ekspansif atau terpaksa harus konservatif untuk menggapai kesinambungan fiskal ( fiscal sustainability ) yang dapat saja menajdi jebakan. Hal seperti tiu pun sebenarnya merupakan suatu kebimbangan yang berulang karena kejadian yang serupa juga dijumpai pada saat perumusan kebijakan fiskal atau APBN 2000. Pada waktu itu pemerintah di bawah koordinasi Menteri Ekuin lama, Kwik Kian Gie, dikritik karena kebijakan fiskal yang diambil konservatif dan mengikuti resep ortodoks. Dana Moneter Internasional (IMF). Sementara, para ekonom arus tengah (mainstream wconomists ) senantiasa menganjurkan bahwa dalam upaua memulihkan stagnasi upaya ekonomi seperti sekarang diperlukan kebijakan fiskal yang ekspansif. Pembiayaan anggaran dengan utang luar negeri masih dapat dibenarkan asalkan untuk tujuan stimulasi perekonomian Indonesia. Menurut mazhab ekspansif ini, kebijakan fiskal dapat digunakan untuk mengimbangi laju penurunan konsumsi karena krisis dan lesunya investasi swasta karena sektor perbankan sebelum dapat diandalakan. Di samping itu, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru terpilih saat itu dengan semangat nasionalisme yang cukup tinggi berusaha menggali potensi potensib bdalam negeri melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan dan mengurangi utang luar negeri atau ketergantungan pembiayaaan asing. Mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo sempat mengalami kesulitan karen potensi penerimaan pajak dalam negeri tidak akan besar apabila roda-roda perekonomian dan pergerakan dunia usaha masih begitu lamban. Pressure kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk tidak tergantung pada utnag luar negeri juga sangat besar, sehingga pemerintah hanya memiliki ruang gerak yang amat terbatas untuk menempuh kebijakan fiskal yang ekspansif. Di sinilah cerdiknya para pelobi dan diplomat lembag donor sekalipun kono hanya berkualifikasi kelas 4 untuk menempuh dan mengikuti arus opini publik yang berkembang di tanah air. Mereka tidak menganjurkan Kebijakan fiskal ekspansif seperti biasanya, melainkan agak konservatif dan hati-hati, asalkanpemerintah Indonesia dapat membayar kembali utang-utang luar negerinya. Bahkan Bank dunia pun terpaksa ikut campur sampai ketingkat mikro karena sangat berkepentingan bahwa perintah Indonesia mampu

melunasi utang-utangnya . dalam formulasi formal yang berjudul Public Spending in a time of change (April 2010), bank dunia dengan nyata sekali menganjurkan strategi pengencangan ikat pinggang dan memengtingkan keberlanjutan fiskal (Fiscal Sustainability) karena kebijakan fiscal yang ekspansif ternyata tidak banyak menolong Indonesia keluar dari krisis ekonomi. Strategi konservatif seperti inilah yang terbeli oleh pemerintah dan DPR yang akhirnya di adopsi pada kebijakan fiscal APBN 2000 dan 2001. Fase-fase awal krisis fiskal tahun 2001 ini terlihat jelas karena APBN 2001 tidak dapat berfungsi sebagai panduan program pemulihan ekonomi.ketidakmampuan dan ketidak seriusan pemerintah (dan DPR) dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan fiskal sekarang ini juga disebabkan karena kebiasaan burukpada masa lalu masih berulang. Pada masa lalu draft Nota keuangan dan RAPBN hanya merupakan kompilasi program-program lepas masing-masing departemen tanpa visi pemulihan ekonomi yang jelas, sehingga tidak mudah di mengerti oleh sesame anggota cabinet, apalagi oleh masyarakat umum Dismaping itu, masayrakat luas perlu lebih cermat dalam memantau pemerintah (dan DPR) agar lebih serius lagi dalam mengembangkan system pendukung untuk menopangseluruh rangkaian kebijakan pemulihan ekonomi, terutama hal-hal yang berhubungan dengan infrastruktur keras dan lunak, system informasi pasar, pengembangan kapasitas, dan sebagainya. Demikian pula publik akan senantiasa awas dan waspada terhadap langkah privatisasi perusahaan BUMN, yang sangat riskan untuk dimanfaatkan oleh petualang untuk kepentingan politik sesaat dan cenderung menguntungkan segelintir kelompok saja. Jika pemerintahmasih ter kesan berpihak berlebihan pada usaha besar dan konglomerat, maka kebijakan fiskal tidak akan berdampak apa-apa dan seluruh program-program pemulihan ekonomi hanya pemanis belaka. Hal yang di inginkan masyarakat sebenarnya sederhana, yaitu pemerintah dituntu lebih banyak mencurahkan energinya untuk menggulirkan sector real, termasuk dalam memberi kemudahan o[personal yang lebih terbuka dan dapat di akses oleh seluruh lapisan usaha. Jika tidak, krisis fiscal tahun 2001 ini benar- benar merupakan tanda-tanda awal kebangkrutan ekonomi,karena sinyal-sinyaloptimisme masih belum muncul dan direspon positif oleh pelaku ekonomi dan mayarakat luas. Tidak berlebihanjika dikatakan bahwa debat publik mengenai revisi APBN 2001 dan langkah-langkah untuk mempertahankan deficit anggaran sebesar 3,7 persen dari PDB itu justru menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian baru di tengahtengah masyarakat. 3. manajemen defisit dan debat revisi APBN 2001 Seperti diketahui, dalam sebulan terakhir , persoalan manajemen defisit anggaran cukup memperoleh perhatian dari masyarakat. Konsekuensinya adalah masyarakat terbawa kedalam debat publik berkepanjangan apakah APBN 2001 perlu segera direvisi ataukah pemerinyah harus memfokuskan pada pencarian sumber-sumber pembiayaan baru untuk menutup defisit anggaran. Kedua tersebut samasama tidak menggunakan, karena langkah apapun yang diambil, ancaman krisis fiskal tahun 2001 tetap akan mengintai dan menjadi gejala awal menuju kebangkrutan ekonomi . hal yang perlu dihindari adalah mengubah-ubah APBN 2001 setiap waktu hanya ketidakpastian sosial politik dan keamanan tidak mendukung untuk mempertahankan asumsi asumsi dasar penyusunan APBN. Disinilah, kredibilitas

dan akuntabilitas tim ekonomi dan pycuk pimpinan pemerinyah dipertaruhkan karena asumsi-asumsi itu diambil berdasarkan pertimbangan objektif dan akurat untuk rentang waktu yang diperlukan. Kesepakatan atau dukungan IMFterhadap pemerintah tentang manajemen divisit APBN 2001 yang dipatok pada kisaran Rp. 53,8 triliun atau sekitar 3,7 persen dari PDB serta langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena Indonesia tidak memiliki luxury untuk dapat melepaskan diri dari IMF. Persoalannya adalah sejauh mana DPR dapat lebih pro aktif dalam menjalankan fungsi budget-nya, yang selama ini sering dikritik keras oleh masyarakat tidak berfungsi secara optimal. Dluar fungsi kontrol yang sudah berjalan cukup baik bahkan dianggap melebihi kapasitasnya fungsi budget dan legislasi DPR ini memang perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu, kapasitas anlitis tekhnis para anggota dewan beserta staf ahli dan pedukungnya masuh perlu ditingkatkan lagi. Jika tidak, esensi sebenarnya dari suatu kebijakan fiscal, justru lebih banyak bergantung pada kreditor asing yang di khawatirkan telah turut campur terlalu jauh pada manajemen ekonomi mikro Indonesia. Disamping itu, debat publik mengenai revisi APBN 2001 terlihat cukup intensif walaupun seringkali menyimpang dari esensi sebenarnya dari suatu asumsi-asumsi yang dibutuhgkan dalam menyusun kebijakan fiskal.Berdasarkan hasil pertemuan denganTim Review kebijakan IMF dan pra pertemuan Consultative Group on Indonesia ( CGI ) dijakarta April 2001, Pemerintah telah menyampaikan kisaran devisiasumsi-asumsi itu sebagai berikut : pertumbuhan ekonomi diturunkan menjadi 3,7 persen (dari semula 5,0 persen), laju inflasi atau indeks harga konsumen menjadi 9,8 persen ( dari semula 7,2 persen), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adlah Rp. 9.600 (dari semula Rp. 7.000), harga minyak perbarel menjadi US $24 (dari semula US$24,5), dan tingkat suku bunga SBI rata-rata menjadi 15,0 persen ( dari semula 11,5 persen) selengkapnya lihat tabel 6-2. Namun, seperti biasa, angka-angka usulan pemerintah tersebut ditanggapi skeptic Karena beberapa asumsi diperkirakan tidak dapat dipenuhi dengan baik. Nampaknya, berapa pun angka-angka yang disampaikan oleh pemerintah akan memperoleh kritik keras karena mayrakat mempersoalkan kredibilitas dan tingkat kepercayaan hampir seluruh jajaran birokrasi. Persoalan sebenarnya dari suatu kebijakan fiskal adalah bagaimana pemerintah dan DPR dapat mengawal setiap jengkal kebijakan agar pemerintah dan pighak eksekutif lainnya bekereja keras, agar asumsi-asumsi yang pernah dianggap layak pada awal pembahasan APBN itu dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik. Disinilah, kebijakan fiskal dapat menjadi stimulasi bagi rangkain kebijakan lain serta dapat digunakan sebagai panduan bagi dunia usaha dalam mnenyusun dan menjalankan aktivitas ekonominya. Jika tidak, harga yang harus dibayar oleh bangsa dan rakyat Indonesia menjadi sangat mahal karena tand-tanda kebangkrutan ekonomi hanya tinggal menunggu waktu. Tabel 6-2 berikut ini adalah simulasi APBN revisi, yang menampilakn besara-besaran total dan komponen penerimaan, pengeluaran Negara, defisit anggaran, dan skema pembiayaan untuk dapat menutup defisit anggaran tersebut. Total angka penerimaan Negara dengan asumsi-asumsi baru tersebut diperkirakan sebesar Rp. 282 triliun (19,1 persen PDB), total pengeluaran Negara tercatat Rp. 338 triliun ( 22,9 pesen PDB), defisit anggaran sebesar Rp.53,8 triliun (3,7 persen PDB) yang harus dibiayai dari privatisasi BUMN dan penjualan restrukturisasi asset dalam genggaman BPPN sebesar Rp.35,7 triliun serta pembiayaan luar negeri bersih sebesar Rp. 20,3 triliun. Beberapa kompnen jelas

mengalami perubahan, terutama karena asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tingkat suku bunga SBI, dan pertumbuhan ekonomi

KOLOM2
Juga berubah. Dari sumilasi APBN 2001 revisi tersebut, sebenarnya terlihat bahwa tingkat sensitivitas ketiga asumsi itu demikian tinggi terhadap besaran total dan beberapa komponen yang menyusunnya. Hal ini tentu saja tidak baik dan tidak kondusif terhadap[ seluruh kebijakan fiskal, karena sedikit saja perubahan dalam asumsi, maka dampaknya terhadap APBN ternyata cukup besar. Anjloknya nilai tukar rupiah akan membebani pembayaran pokok dan cicilan bunga utang luar negeri, yang tentu saja menambah beban pengeluaran rutin pemerintah pusat. Peningkatan tingkat suku bunga SBI dapat meningkatkan beban cicilan bunga utang dalam negeri, sampai triliunan rupiah. Demikianpula, target pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi besaran-besaran penerimaan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak ekspor. Disinilah, tekad dan targetyang ditetapkan pemerintah disektor penerimaan ini sangat kontradiktif dengan kenyataan yang terjadi. Sulit sekali bagi birokrasi manapun untuk mampu memenuhi penerimaan pajak sebesar 68 persen dari total penerimaan Negara, apalagi pengalaman Indonesia selama ini terlalu banyak mengandalkanpenerimaan Negara dari minyak dan gas bumi. Dalam simulasi dan prinsip-prinsip manajemen defisit diatas, juga terlihat bahwa fokus jangka pendek yang berlebihan dalam menyelamatkan krisis fiskal tahun 2001 ini dapat berakibat serius pada keberlanjutan fiskal itu sendiri. Sendi-sendi perekonomian suka atau tidak suka, masih harus terfokus pada kebijakan penyehatan perbankan manajemen bunga pinjaman/ obligasi sukar untuk dapat berputar normal pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis bagi rancangan kebijakan fiskalyang terlalu eceran dan terlepas satu dengan lainnya karena pemerintah mengabaikan prinsip dan mekanisme manajemen pengeluaran jangka menengah (Medium term ekspenditure framework MTEf). Demikian pula ketidak mulusan antara pemerintah dan Bank sentral walaupun masih sering ditutup-tutupi juga berakibat fatal bagi kerja sama dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneteryang kredibel serta dapat dijadikan acuan bagi agenda stategis dan implementatif pemulihan ekonomi Indonesia. Hal penting lain yang perlu diperhatikan dari hasil simulasi APBN 2001 revisi itu adalah dana perimbangan (pusat daerah) yang berkurang sekitar Rp.8 triliun karena beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah pusat. Dengan persoalan implementasi ontonomi daerah yang masih serba tidak pasti tersebut, daerah otonom dan daerah dekonsentrasi (provisnsi) nyaris tidak dapat berfungsi dngan baik karena penyaluran dana bantuan dan dekonsentrasi hanya dapat digunakan untuk aktifiats rutin pemerintah daerah dan pemerintah provinsi. Apalagi, dana dekonsentrasi yang disalurkan dengan metode seperduabelas (1/12) setiap bulan dari total dana yang harus diterima provinsi, nyaris tidak dapat menggerakkan roda-roda pembangunan dan perekonomian ditingkat provinsi. Sedangkan, implementasi otonomi daerah ditingkat kabupaten hanya dapat berjalan dengan baik apabila keterkaitan ekonomi ( Linkages) antar kabupaten/ kota didalam provinsi juga terjalin dengan baik. Oleh

karena itu, [engurangan dana perimbangan itu pasti memperoleh tanggapan keras dan skeptisme dari masyarakat daerah. 4. Revisi APBN dan Konsekuensinya Revisi APBN tidaklah sekedar perubahan target-target kuantitatif. Tetapi, yang terpenting lagi adalah bagaimana perubahan-perubahan itu mencerminkan keseimbangan antar stimulus dan proses konsolidasi fiscal yang berkelanjutan, seraya mempertimbangkan implikasi jangka pendeknya terhadap stablitas makro ekonomi, kinerja dunia usaha, aspek keadilan social, serta prioritas-prioritas pada masalah yang urgen yang tidak dapat ditunda. Pemerintah tampaknya cenderung mempertahankan angka defisit pada kisaran 3,7 persen terhadap PDB. Penetapan angka deficit ini diperoleh dari perubahan target penerimaan dalam negeri yang meningkat sekitar Rp.19 triliun, dari Rp. 263 triliun dalam APBN 2001 menajdi Rp. 282 triliun dalam rencana revisi, dan perubahan target pengeluaran yang meningkat sekitar Rp. 20 triliun, dari Rp 316 triliun dalam APBN semula menjadi Rp. 336 triliun. Seperti tercermin dalam table berikut, perubahanperubahn ini dilakukan berdasarkan sejumlah langkah yang akan ditempuh oleh pemerintah, diantaranya: Ektensifikasi dan intensifikasi pajak ( PPh dan PPN), serta peningkatan cukai dan penerimaan sumber daya alam; pengurangan subsidi ; perampingan dan fokus pengeluaran pembangunan; perubahan alokasi dana desentralisasi; ekselarasi; prifatisasi;dan pinjaman luar negeri. Langkah-langkah utama pemerintah dalam menutupi defisit : Peningkatan basis pajak , cukai dan pendapatan dari sumber daya : 1. PPh, pajak pertambahan nilai (PPN) cukai Rp. 3,0 triliun 2. Non pajak ( sumber daya alam, pembayaran utang daerah, laba dari pertamina , dll Rp. 2,5 triliun P engurangan subsidi Rp. 5,6 triliun Perampingan dan fokus pengeluaran pembangunan Rp. 8,9 triliun Alokasi dari dana desentralisai : 1. Penghematan dana cadangan desentralisasi Rp. 3,0 triliun 2. Alokasi revenue sharing, DAU dan Dak 2001 Rp. 4,9 triliun 3. Pengalihan dana alokasi dalam bentuk saham, konversi utang daerah dan bonus Rp. 5,2 triliun Akselerasi dan penambahan privatisasi Rp. 2,2 triliun Jumlah Rp. 35,3 triliun

Rencana perubahan perubahan kuantitatif dalam APBN 2001, dengan segenap kebijakan kebijakan pendukungnya, bisa jadi memiliki konsekuensi, baik dilihat dalm konteks stabilitas makroekonomi jangka pendek, upaya pemulihan krisis ekonomi, serta aspek keadilannya. Peningkatan basis pajak, cukai, dan pendapatan dari sumber daya alam bisa jadi memang merupakan salah satu solusi potensial guna menutup defisit anggaran. Apabila, jika hal ini dikaitkan dengan tax ratio Indonesia yang relatif masih sangat rendah dibanding negara negara lain sekawasan. Namun, langkah ini memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya adalah ekstensifikasi dan intensifikasi pajak bertentangan dengan spirit untuk memulihkan perekonomian yang tengah berada pada dasar krisis. Ekstensifikasi dan Intensifikasi pajak, terutama Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ), dikhawatirkan justru kian memperburuk kinerja dunia usaha di tengah kinerjanya yang memang sedang terpuruk. Selain itu, PPN di Indonesia pada praktiknya adalah pajak penjualan yang senantiasa dibebankan pada konsumen, karena itu memiliki konsekuensi cost push inflation yang pada gilirannya kian mengurangi daya beli masyarakat. Daya beli ini kian terpuruk oleh upaya peningkatan penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh). Jika ini terjadi, maka stabilisasi makroekonomi lewat penyelamatan APBN disatu sisi justru bakal memperburuk stabilitas makroekonomi di sisi lainnya. Pemerintah sesungguhnya memiliki sejumlah pilihan kebijakan di sisi penerimaan guna menutup defisit anggaran. Dalam jangka pendek, pilihan pilihan tersebut diantaranya percepatan asset recovery BPPN serta penyelesaian sejumlah kasus korupsi dan pengembalian kekayaan negara yang telah diselewengkan. Karena itu, pemerintah bisa saja meningkatkan target penjualan aset BPPN serta merumuskan target pengembalian harta korupsi melalui pemberdayaan hukum. Program peningkatan pengawasan anggaran seyogjanya pun sudah dimulai guna melekatkan dasar bagi penyehatan keuangan negara dalam jangka menengah dan jangka panjang. Sayangnya, pilihan pilihan ini praktis tidak disentuh oleh pemerintah. Karena itu, pilihan menutup defisit anggaran melalui peningkatan basis pajak dinilai sangat tidak adil bagi publik. Peningkatan basis pajak yang tidak disertai dengan perbaikan perbaikan kelembagaan (institusional improvement ) niscaya akan mendorong tax avoidance dan memperbesar kebocoran penerimaan. Karena itu, secara kuantitatif target ini bisa jadi sangat terpenuhi, namun dengan biaya sosial yang sangat mahal dan dibebankan kepada masyarakat. Peningkatan penerimaan sumber daya alam bisa jadi memiliki implikasi dalam dua aspek. Pertama, akselerasi dalam eksploitasi sumber daya alam. Jika hal ini terjadi, maka biaya dari penutupan defisit anggaran tahun ini harus dipikul oleh generasi-generasi mendatang, karena itu memiliki aspek ketidakadilan antar generasi. Kedua, peningkatan sisi penerimaan APBN dari penerimaan sumber daya alam bisa pula berarti bahwa pemerintah bakal meningkatkan rate of charges tehadap kegiatan produksi yang memenfaatkan sumber daya alam. Jika ini terjadi, maka paling tidak terdapat dua konsekuensi potensial, yaitu: (1) iklim investasi cenderung berkembang kian tidak kondusif, bahkan dibeberapa sektor seperti pertambangan, bakal kian tidak kompetitif dibanding negara negara lainnya; (2) peningkatan penerimaan tidak sebanding dengan akselerasi tingkat eksploitasi sebagai konsekuensi peningkatan rate of charges yang tidak disertai dengan perbaikan kelembagaan. Selanjutnya, pengurangan subsidi. Paling tidak ada tiga komponen subsidi penting dalam struktur anggaran, yaitu subsidi BBM, subsidi pangan, dan subsidi perumahan- dimana subsidi BBM

memiliki porsi dominan. Implementasi ketiganya dimasa lalu hingga kini menunjukkan missallocation, dalam artian subsidi yang dikucurkan tidak dinikmati oleh kelompok masyarakat target, bahkan mendorong terjadinya penyelundupan. Dari sisi ini, pengurangan bahkan pengeliminisian subsidi menjadi hal yang tidak dapat ditawar. Tetapi, kebijakan pengurangan subsidi, seperti pengalaman sebelumnya memiliki beberapa konsekuensi antar lain : (a) Kebijakan pengurangan subsidi terutama jika tidak disertai dengan langkah langkah persiapan senantiasa menimbulkan gejolak pasar, diman biaya sosial dari gejolak itu pada gilirannya menjadi beban masyarakat berpendapatan rendah dan menengah bawah; (b) Kebijakan pengurangan subsidi senantiasa bersifat inflationary dengan dampak kenaikan harga harga secara berantai. Karena itu biaya dari kebijakan ini pada akhirnya dibebankan pada masyarakat luas dan tidak terbatas pada kelompok masyarakat konsumen lansung dari barang / jasa yang semula disubsidi; dan (c) Penghapusan subsidi, khususnya untuk pangan, memiliki konsekuensi peningkatan secara nyata dalam jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, kebijakan penghapusan subsidi pangan secara tidak langsung mengundang akselerasi biaya program guna mengentaskan kemiskinan. Pengurangan dalam pengeluaran pembanguna melalui program focussing sejumlah Rp 8,9 triliun, atau sekitar 34 persen dari total pengeluaran pembangunan yang dicanangkan semula dalam APBN yang disetujui DPR. Dengan demikian, total pengeluaran pembangunan yang tersisa dalam rencana revisi APBN adalah Rp35 triliun atau sekitar 8 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Penciutan nilai nominal pengeluaran pembangunan ini tampaknya sangat ironis, mengingat tuntutan stimulus fiskal serta penciptaan lapangan kerja yang tidak dapat ditunda ditengah penghentian bantuan Bank Dunia untuk program pengentasan kemiskinan sebesar US$300 juta. Padahal, waktu yang sama, pengeluaran rutin ( Rp190 triliun ) tidak mengalami perubahan, yang bisa jadi berarti bahwa tingkat kemakmuran pejabat dan pejabat tinggi negara tidak mengalami perubahan berarti. Jika kebijakan ini disertai dengan pengetatan moneter dalam bentuk kenaikan tingakat suku bunga seperti yang tercermin dalam perubahan asumsi APBN, maka jelaslah kiranya bahwa revisi APBN menuntut pengencangan ikat oleh publik, sementara pemerintah dan aparatnya tidak dituntut untuk itu. Lagi lagi kebijakan revisi APBN dalam konteks ini sama sekali tidak mencerminkan sense of crisis di tingkat pejabat elit dan birokrasi serta jauh dari asas keadilan. Pemerinyah mengharapkan realokasi dana desentralisasi untuk menyumbang penutupan defisit anggaran senilai Rp18,1 triliun atau lebih setengah dari total pembiayaan defisit dari sumber pembiayaan dalam negeri. Sumber sumber ini antara lain dari penghematan dana cadangan desentralisasi sebesar Rp3,0 triliun, alokasi revenue sharing, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran tahun 2001 sebesar Rp4,9 triliun, dan pengalihan dana alokasi dalam bentuk saham dan konversi utang daerah senilai Rp5,2 triliun. Sumber pembiayaan pertama tampaknya tidaklah menimbulkan komplikasi politik, sementara dua sumber pembiayaan berikutnya diperkirakan menimbulkan reaksi. Betapa tidak, pola distribusi, porsi, dan nilai nominal DAU dan DAK yang diterima masing masing daerah berdasarkan APBN beberapa waktu lalu telah menimbulkan reaksi keras dari sejumlah daerah. Karena itu, pengurangan jatah alokasi untuk daerah sebagai

konsekuensi revisi APBN sangat bisa jadi menimbulkan reaksi keras di daerah daerah. Sementara, sumber pembiayaan lain dari alokasi dana desentralisasi dalam bentuk konversi utang daerah serta penawaran saham BUMN dalam kerangka desentralisasi hingga kini. Pemerintah mengharapkan pula tambahan penerimaan sebesar Rp2,2 triliun dari hasil tambahan privatisasi, sehingga total dana hasil privatisasi selama tahun anggaran 2001 diharapkan menjadi Rp8,7 triliun. Paling tidak, dua aspek yang patut dicatat dari langkah kebijakan ini. Pertama, target nominal ini bukanlah sesuatu yang sulit jika kondisi pasar yang terpuruk, porsi aset yang harus dilepas untuk mencapai target itu akan jauh lebih besar dibanding ketika kondisi pasar piluh kembali. Pemerintah bisa saja mendekatinya dengan memilih strategic partner, tetapi pendekatan ini pun tidak akan menggiring strategic partner-nya untuk berpaling dari kondisi pasar sebagai refensi. Kedua, penjualan aset BUMN sebagai langkah kebijakan menutup defisit anggaran adalah hal yang ironis di tengah ketidaktersediaan blue print pengelolaan BUMN. Berikutnya, pinjaman luar negeri. Karena total defisit ditetapkan sebesar RP53,8 triliun, sementara tambahan pembiayaan dalam negeri sebagai konsekuensi langkah kebijakan pemerintah sebesar Rp35,3 triliun, maka kebutuhan pinjaman luar negeri neto untuk menutup defisit anggaran diperkirakan mencapai Rp18,5 triliun, atau sekitar US$1,94 miliar dengan catatan nilai tukar Rp9.600 per dolar AS berdasarkan asumsi rencana revisi APBN. Titik kunci dari sumber pembiayaan defisit ini adalah hubungan pemerintah Indonesia dengan lembaga-lembaga donor, terutama dengan IMF, yang pada gilirannya akan sangat ditentuukan oleh kinerja pemerintah Indonesia sendiri diukur dari pelaksanaan butir butir Letter of Intent (LoI), dimata IMF. Dan dilihat dari sisi ini, maka APBN 2001 tampaknya akan snagat rentan karena hubungan Indonesia-IMF yang mengalami pasang surut dengan akselerasi yang sangat cepat. Pada gilirannya, komponen ini sangat membutuhkan kesamaan bahasa antara pemerintah dengan IMF. Penanaman Kebijakan Fiskal Sebagai catatan penutup, fokus penajaman fiskal masih perlu dikembangkan, di-excercise dan diseminasikan kepada masyarakat luas untuk memperoleh feed back yang bermutu dan kredibel. Dalam kondisi krisis fiskal tahun 2001 seperti saat ini, pola penajaman fiskal yang baik mungkin sangat sulit untuk diaplikasikan, mengingat prioritas utamanya adalah untuk segera dapat menyelamatkan anggaran tahun berjalan. Namun, langkah-langkah produktif dan strategis, minimal di tingkat konsep dan paradigma, perlu juga dipertimbangkan untuk mencegah agar tidak membawa dampak berganda yang lebih dahsyat. Fokus penajamn kebijakan fiskal itu antara lain: Pertama, penurunan rasio APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selama ini, nilai rasio APBN terhadap PDB terhadap PDB sekitar 22 persen memang terkesan cukup tinggi, apalagi faktor pemicunya adalah besarnya nilai utang luar negeri. Penurunan ini sebenarnya sangat berhubungan dengan strategi kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah. Strategi ekspansif memang masih diperlukan dalam suasana lesu dan resesi ekonomi seperti sekarang. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah perangkap utang luar negeri yang sukar sekali dihindari, sekalipun niat pemerintah untuk menggantinya dalam bentuk obligasi. Negara akan selalu berutang pada lembaga-lembaga internasional, hanya untuk melunasi utang-utang yang berjalan dan yang jatuh tempo. Rasio APBN terhadap PDB yang dapat dianggap wajar adalah 15persen, terutama apabila diikuti oleh penurunan dana manajemen

utang yang lebih dapat diandalkan. Beberapa negara telah mencoba strategi diplomasi untuk melakukan penghapusan utang luar negeriny, tidak sekedar penundaan grace period pembayaran kembali utangutang tersebut, yang sebenarnya masih cukup menganggu manajemen keuangan publik secara keseluruhan. Kedua, pencegahan dana penurunan defisit anggaran secara sistematis. Suatu defisit anggaran masih dapat ditoleransi apabila tidak sampai mencapai 4 persen dari PDB. Dahulu, pemerintah pernah mencanangkan tekad untuk menjadikan angka defisit ini mencapai atau mendekati 1 persen dari total PDB. Strategi untuk merealisasi penurunan defisit tersebut sangat diperlukan apabila pemerintah merencanakan pengendalian inflasi. Dampak jangka panjang dari suatu defisit anggaran adalah tingginya angka inflasi, yang dapat amat mengganggu langkah pemulihan ekonomi Indonesia secara umum. Akan tetapi, pada saat kelesuan ekonomi seperti sekarang ini, strategi penurunan defisit sampai 1 persen itu terlihat tidak realistis karena di sisi lain pemerintah masih menerapkan strategi kebijakan fiskal ekspansif. Langkah jangka panjang yang dapat ditempuh adalah fokus efisiensi dan efektivitas belanjabelanja pemerintah agar diarahkan pada aktivitas-aktivitas yang membawa dampak ganda (multiplier effect) besar bagi perekonomian. Ketiga, rasionalisasi subsidi yang eksesif. Di satu sisi, subsidi besar yang digunakan untuk program program populis cenderung menciptakan distorsi baru dalam perekonomian. Subsidi subsidi itu yang dimaksudkan untuk menciptakan suatu struktur insentif ternyata menghasilkan suatu inefisiensi. Banyak sekali contoh contoh subsidi yang justru dinikmati oleh mereka yang tidak berhak, seperti yang dialami subsidi BBM, tarif dasar listrik, subsidi bahan pangan, dan sebagainya. Di tingkat teori dan strategis, pemberian subsidi masih dapat dibenarkan sepanjang dirancang untuk memenuhi sasaran yang tepat ( well targeted ). Disamping itu, kebijakan insentif perekonomian dalam bentuk penegakan kebijakan persaingan sehat ( UU No. 5 / 1999 ), program program deregulasi, dan debirokratisasi menjadi sangat relevan untuk segera dapat diberlakukan lebih efektif. Pada tahun anggaran 2001, pemerintah sekali lagi akan menerima ujian berat dalam penyaluran dana pengganti subsidi BBM yang dicabut efektif pada bulan Oktober 2000. Keempat, penghematan dalam pembelanjaan sosial. Pengeluaran sosial yang terlalu besar adalah pemborosan, terutama apabila negara masih berada dalam kesulitan cash flow seperti sekarang. Akan tetapi, pemerintah seringkali menginginkan porsi besar bantuan sosial untuk menunjukkan keseriusannya dalam merasakan penderitaan rakyat karena krisis ekonomi. Tanpa terlalu terfokus tinggi, untuk meleset dari tujuan redistribusi pendapatan yang terlalu digemborkan, kebijakan sosial yang baik adalah kebijakan ekonomi yang benar dan mengena sasaran. Di samping itu, pemerintah perlu lebih meningkatkan efektivitas intermediasi fiskal dalm hal mekanisme dan prosedur penyerahan bantuan pembelanjaan sosial. Pengalaman Indonesia mengelola dan besar sejitar Rp17 triliun untuk Jaring Pengaman Sosial ( JPS ) yang sangat buruk, seharusnya dijadikan pelajaran berharga, karena toh pihak kreditor asing juga memantaunya dengan sangat ketat. Jalur birokrasi yang terlalu panjang, terlalu banyak departemen yang terlibat ( sampai Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan lian-lain ), tingkat akuntabilitas pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sering menjadi sorotan, pembelanjaan sosial itu memerlukan perbaikan aransemen kelembagaan yang menyeluruh. Kelima, defragmentasi birokarsi dan kelambagaan untuk mendukung penajamn strategi fiskal yang efektif. Saat ini, jumlah birokrasi terlalu besar dan perannya terlalu dominan dalam setiap kebijakan ekonomi. Akan tetapi, struktur gaji yang terlalu kaku serta disparitas yng terlalu besar antar

kelompok bergaji besar dengan kelompok bergaji kecil amat berkontribusi terhadap efisiensi manajemen keuangan publik serta produktivitas birokrasi secara keseluruhan. Rencana dan tekad perampingan jumlah pegawai negeri sipil dan BUMN sampai seluruh dari total yang ada sekarang kecuali guru dan tenaga pendidik lain perlu ditindaklanjuti secara sistematis. Pemerintah dituntut untuk lebih profesional dan accountable dalam meredefinisikan kebijakan fiskal sebagai salah satu kebijakan penting dalam perekonomian Indonesia, dan tidak mustahil, dapat menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi yang efektif. Keenam, dalam hal dana perimbangan, pemerintah pusat harus segera berpikir untuk merumuskan suatu sistem dan mekanisme dana perimbangan yang lebih sustainable, berdimensi keadilan dan keutuhan bangsa dalam suatu kerangka pengeluaran jangka menengah ( medium-term expenditure frame work ) yang tidak rumit. Strategi dana perimbangan keuangan pusat daerah tidak bisa dilakukan secara ad hoc, tambal sana, tutup sini, tetapi perlu lebih sistematis dengan target dan kerangka waktu yang jelas dan transparan termasuk rencana alternatif ( contingency plan ) apabila satu langkah menemui kesulitan. Di sinilah pentingnya beberapa exercise komprehensif yng harus dilakukan pemerintah dan wakil rakyat serta melibatkan banyak pihak termasuk para ahli dari perguruan tinggi, lembaga penelitian atau think-tank independen, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tidak terlalu partisan untuk dapat segera menghasilkan rumusan dan terobosan yang diperlukan. Mengelola negar jelas sangat memerlukan disiplin tinggi secara kelembagaan dan organisasional, amat berbeda dengan mengelola pesantren dan usaha kaki lima tradisional yang tidak dilandasi keterbukaan dan akuntabilitas. Apabila langkah-langkah tersebut di atas segera ditindaklanjuti, persoalan leadership segera dapat diselesaikan, serta keberdaulatan negara dapat dijunjung tinggi dengan bijakssana, masyarakat sebenarnya cukup yakin bahwa krisis fiskal tahun 2001 tidak akan berakhir menjadi kebangkrutan ekonomi. Namun bila sebaliknya, hanya mukjizatlah yang dapat menolong.

Anda mungkin juga menyukai