Anda di halaman 1dari 12

Median dosis efektif (ED50) dari paracetamol dan morfin untuk nyeri post operatif: studi interaksi

A. Zeidan1*, J. X. Mazoit2,3, M. Ali Abdullah4, H. Maaliki5, TH. Ghattas1 and A. Saifan,1

ABSTRAK Latar belakang Paracetamol digunakan secara luas untuk mengobati nyeri post

operatif dan telah diketahui memiliki sparing effect dengan morfin. Sehingga, feel dari kombinasi ini dapat sinergis, saling menguuntungkan, atau infra-aditif. Tujuan primer dari studi kami adalah untuk menentukan median dosis efektif (ED50) dari paracetamol, morfin, dan kombinasi keduanya. Serta, mengetahui sifat interaksi keduanya untuk nyeri post operatif setelah pembedahan yang tingkat nyerinya sedang menggunakan up and down method dan analisis isobolografi. Metode Sembilan puluh pasien, yang menjalani operasi dengan nyeri sedang,

dmasukkan pada satu dari tiga grup. Penentuan dari median ED50 dilakukan dengan Dixon and Mood up-and-down method. Dosis inisial adalah 1.5g dan 5mg, dengan interval pengaturan dosis lanjutan 0.5g dan 1mg, berurut pada paracetamol dan morfin. Dosis inisial kombinasi paracetamol-morfin dengan interval pengaturan 0.25g untuk paracetamol dan 0.5mg untuk morfin. Efek analgesik dilihat dari penurunan tingkat nyeri menjadi 3 pada 0-10 numeric rating scale, 45 menit setelah pemberian obat. Analisis isobolografi digunakan untuk melihat sifat interaksinya. Hasil Median ED50 dari paracetamol dan morfin adalah 2.1g dan 5mg, berturutturut. Median ED50 dari kombinasi keduanya adalah 1.3g untuk paracetamol dan 2.7mg untuk morfin.

Kesimpulan Sifat interaksi dari paracetamol yang dikombinasi dengan morfin adalah saling berkesinambungan dan menguntungkan.

LATAR BELAKANG Paracetamol (acetaminophen) umum digunakan secara tunggal ataupun dikombinasi dengan analgesik tradional untuk mengobati nyeri ringan hinggasedang pada pasien post operatif. Lokasi primer dari kerja paracetamol masih belum jelas. Beberapa sttudi memiliki teori bahwa paracetamol bekerja secara sentral di otak dibandingkan pada pareifer (ujung serabut saraf). Efek sentral diasumsikan dimediasi melalui aktivasi jalur serotonergik descendens melalui inhibisi siklooksigenase (COX). Penemuan terbaru menjelaskan bahwa mungkin ada keterlibatan dari COX2, COX3dan COX4 juga. Mekanisme sentral lain yang dikemukakan termasuk inhibisi dari L-arginine-nitric oxide (NO) melalui N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan zat P atau efek dari metabolisme aktif paracetamol (p-aminophenol) pada reseptor cannaboid. Efek perifernya dapat dijelaskan melalui penurunan sintesis prostacylin. Morfin berikatan dengan reseptor opioid neuronesin di otak, serabut spinal, dan traktus gastrointestinal. Respetor ini dimediasi melalui inhibisi langsung transmisi dari ujung dorsal serabut spinal dan dari interaksi dengan reseptor opioid. Mekanisme ini menghasilkan hiperpolarisasi dari interneuron dan depresi pengeluaran transmiter yang diasosiasikan dengan transmisi nyeri itu sendiri. Sebagai tambahan, morfin berinteraksi dengan reseptor opioid yang terletak di supraspinal dan kemudian mengaktivasi sistem supraspinal. Multimodalitas analgesia, digunakan pada manajemen nyeri akut post operatif, termasuk administrasi dua agen analgesik yang bekerja via mekanisme berbeda melalui jalur tunggal atau multipel untuk menyediakan feke analgesik yang superior dengan efek samping yang ekuivalen atau menurun. Beberapa studi

menunjukkan bahwa dengan mengkombinasi morfin dengan beberapa analgesik akan memproduksi efek samping yang berbeda. Sinergi antara morfin dan NSAIDs telah didemonstasikan pada hewan, dimanainteraksi antara morfin dengan nefopam atau tramadol telah menunjukkan adiksi. Di sisi lain, studi klinis telah mendeskripsikan efek sinergis morfin yang signifikan dengan paracetamol. Namun, sulit untuk menentukan sifat alami dari interaksi ini sebab studi tersebut menggunakan fixed dose dari paracetamol. ED50 dari parasetamol postoperatif tunggal atau kombinasi dengan morfin belum dipaparkan. Sebagai tambahan, belum ada studi yang mendeskripsikan sifat interaksi dari paracetamol dan morfin.Berdasarkan hal tersebut, tujuan studi kali ini adalah untuk mendefiniskan median dosis analgesik efektif (ED50S) dari paracetamol, morfin, da kombinasinya. Serta untuk mengevaluasi sifat interaksinya dengan menggunakan metode Dixon dan Mood-up-and-down dan analisis isobolografi.

METODE Persetujuan komisi etik penelitian diambil dari Procare Riaya Hospital. Informed consent tertulis diambil dari 90 pasien yang mengikuti studi ini. Pasien yang sedang menjalani operasi dan dikelompokkan kepada nyeri sedang (seperti hernia inguinalis, appendektomi, varicocelektomi, fistulotomi ani, tumor payudara, atau operasi ortopedik minor). Kriteria eksklusi adalah: (i) kontraindikasi apapun dari penggunaan parasetamol atau morfin, (ii) kehamilan, (iii) usia kurang dari 18 tahun, (iv) berat badan, 65kg (v) penggunaan anestesi regional intraoperatif., (vi) pemberian analgesik intraoperatif selain fentanyl, (vii) nyeri post-operatif, 3 pada numeric rating scale (NRS) (dengan 0, tanpa nyeri hingga 10, nyeri hebat) pada saat waktu datang ke post-anaesthesia care unit (PACU).

Sebelum operasi, pasien diinstruksikan mengenai bagaimana menggunakan NRS. Seluruh pasien memperoleh anestesi general yang terdiri dari propofol, sevoflurane, dan cisastracurium. Dalam ruang operasi, monitoring rutin digunakan dengan sensor monitor BIS
W

standar pada kening pasien sebelum anestesi general diinduksi pada selruh

pasien. Pasien mendapatkan midazolam IV (2-3mg), glikopirolat (0.2mg), dan preoksigenasi pada rata-rata 10 liter permenit melalui semi-closed absorber system. Setelah preoksigenasi maksimal dicapai (tidal oksigen, 90%), anestesi general dimulai dengan menggunakan propofol (2mg/kg) dan cisastracurium (0.2mg kg). Dosis tunggal fentanyl (2mg/kg) dimasukkan sebelum insisi bedah. Intubasi trakea dilakukan menggunaan tube 7.0-7.5. Ventilasi mekanik dimulai untuk mengatur normocapnia selama operasi. Anestesi diatur dengan unfus propofol (50-150 mg/kg/menit) dan sevofluran (0.5-2.5%) pada oksigen untuk mengatur variasi hemodinamik didalam 25% nilai preoperatif dan BIS score diantara 40-50%. Segera setelah masuk ke PACU, intensitas nyeri dihitung menggunakan NRS. Setelahnya, penilaian nyeri dilakukan setiap 5 menit atau ketika pasien komplain. Segera setelah skor nyeri mencapai 3/10 (disimbolkan sebagai To), pasien yang memperoleh analgesia diikutkan sesuai protokol setelah diacak secara prospektif kepada satu dari tiga grup menggunakan komputer dan amplop tertutup. Seluruh peralatan dikaburkan. Penilaian nyeri diselesaikan oleh investigator yang tidak tahu mengenai obat yang diberikan. Morfin (morfin sulfat, 10mg) diberikan dalam bentuk bolus (dicairkan ke 1mg/ml) dan paracetamol (Perfalgan 1g:100ml) diberikan dalam infus lambat (dilarutkan pada 250ml larutan salin ketika dibutuhkan). Pada To, pasien pada grup paracetamol mendapatkan paracetamol pada kantung 250ml sebagai infus salin berkelanjutan selama 15 menit dan saline 10ml sebagai bolus. Pasien pada grup morfin (Grup M) mendapatkan morfin iv sebagai bolus dalam syringe 10ml dan salin

250mg dan dilanjutkan sebagai infus selama lebih dari 15 menit. Pasien dalam grup morfin-parasetamol (Grup P+M) mendapatkan paracetamol pada kotak 250ml sebagai infus berkelanjutan lebih dari 15 menit, dan morfin IV sebagai bolus pada syringe 10ml. Dosis paracetamol, morfin, atau keduanya yang diterima oleh pasien dihitung menggunakan respon dari pasien sebelumnya dalam grup yang sama, menggunakan teknik alokasi sequential up-and-down. Pada grup P, pasien pertama yang mendapatkan 1.5 g, dan dosis intervalnya 1mg. Pada grup P+M, pasien pertama yang menerima paracetamol 1.5mg dan morfin 3mg Pengaturan dosis interval ini adalah 0.25g untuk paracetamol dan 0.5mg untuk morfin. Efisiensi dari obat diukur menggunakan NS, 45 menit setelah pemberian obat. Hasilnya diharapkan: Efektif: NRS 3 atau lebih rendah dari 10 pada T45. Hasil reduksi: 0.5mg paracetamol pada grup P, 1mg morfin pada grup M, dan 0.25mg paraetamol dan 0.5 mg morfin pada grup P+M untuk pasien selanjutnya. Tidak efektif: NRS 3 dari 10 di T45. Nilai hasil sama dengan pasien diatas.

Pada menit ke 45, peserta yang melapor bahwa mereka memiliki analgesia yang tidak efektif akan diberikan rescue analgesik dan titrasi morfin yang telah dimulai berdasarkan protokol PACu. Maka dari itu, protokol analgesia postoperatif 24 jam tidak memasukkan dosis paracetamol lain. Sebagai tambahan dari pengukuran NRS. Denjut jantung, tekanan arteri, saturasi oksigen, diukur dengan oksimetri (Sp02), dan efek samping paracetamol (skin rash, malaise, penurunan tekanan darah) dan efek samping morfin: retensi urin, nausea, muntah, gatal, pusing, sedasi (menggunakan skala four-point sederhana, sesuai dengan kebijakan rumah sakit kami, dimana 0, pasien bangun. 1, merespon hanya dengan stimulus verbal, 2, merespon hanya pada stimulasi fisik, 3, tidak merespon), kekakuan thoraks (didefinisikan melalui kesulitan bernapas normal dengan observasi visual dan SpO2 90%) diambil pada menit ke 15, 30, 45, dan 60 setelah pemasangan infus dan setiap 30 menit setelah dikeluarkan dari PACU.

ANALISIS STATISTIK Jumlah subjek yang dibutuhkan sesuai dengan metode Dixon and Mood dan rekomendasi dari National institue of Environmental Health Sciences telah dihitung. Angka teoritikal dari pasien pergrup meningkat menjadi 30 sebab angka awalnya terlalu jauh dari ED50. Kami awalnya mengkalkulasi median dan 95% confidene interval (CI) ED50. Efisiensi analgesik pada 50% pasien untuk paracetamol, morfin, dan kombinasi keduanya menggunakan Dixon and Mood up-and-down technique. Singkatnya, dosis pertama dberikan pada pasien pertama, dan dosis berikutnya diberikan sesuai dengan peraturan berikutL jika subjek merespon secara positif (NRS3), dosis diturunkan satu tingkat untuk subjek berikutnya, dan sebaliknya, jika subjek merespon negatif (NRS3), maka dosis dinaikkan satu tingkat. Karena adanya potensi toksisitas dari paracetamol, kami membatasi dosis maksimal ke 2.5g. Pada beberapa pasien yang mengalami kekurangan analgesik dengan 2.5g paracetamol (gagal), kami mengkalkulasi angka mediannya

mempertimbangkan ED50 yang lebih tinggi dikalkulasi berdasarkan sukses dan kegagalan dan dengan mempertimbangkan CI yang lebih lebar: (i) batasan pertama dihitung berdasarkan kesuksesan yang telah diobservasi; (ii) batsan kedua dikalkulasi dengan mengatur peningkatan dosis ke 0.5 pada tiap kegagalan diatas 2g, lalu menentukan kemungkinan skenario terburuk. Misalnya, dosis berikutnya jika 2.5g gagal adalah 3g, lalu ditingkatkan menjadi 3.5g jika gagal lain, hingga sukses. Seluruh dosis ini tetap dianggap gagal. Kami lalu menggunakan isobolografik untuk menentukan interaksi antara morfin dan paracetamol. Analisis isobolografi adalah metode grafis yang memungkingkan penentuan jika dua dua obat yang dikombinasikan bersifat saling melengkapi, infra-adiktid, atau sinergis pada grafik, garis yang berhimpit dengan ED50 dari setiap obat menentukan adiktivitas. 95% confidence contour yang berhimpit dengan 85% CI pada tiap aksis juga tergambar.

Asosiasi antaa kedua obat ini dianggkap saling melengkapi jika kontur-kontur ini overlap, dan sebaliknya sinergis, atau infra-adiktf. Tiga kelompok telah dibandingkan untuk data karakteristik pasien menggunakan X2 analysis of variance secara benar. Kejadian efek samping dibandingkan antara grup menggunakan tes x2 (dengan koreksi Bonferroni). ED50 ada pada 95% CI.

HASIL Seluruh pasien yang direkrut menyelesaikan studi. Karakeristik data pasien (usia, sex, berat badan, tipe, dan durasi pembedahan) dari ketiga grup memiliki kesamaan (Tabel 1). ED50 dari morfin adalah (3.5-6.5)mg (gambar 1). ED50 dari paracetamol adalah 2.1 (1.7-2.7)g. ED50 dari kombinasi keduanya (95% CI) adalah 2.7 (2.2-3.2)mg untuk morfin, dan 1.35 (1.1-1.6)g untuk paracetamol. Asosiasinya saling melengkapi (gambar 2). Studi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara ketiga grup mengenai efek samping, kecuali mulut kering yang diobservasi lebih sering pada grup morfin. Mual dan muntah diobservasi pada dua pasien di grup morfin dan empat pasien di grup P+M. Satu pasien mengalami depresi pernafasan pada grup M dan dapat diobati dengan mudah.

DISKUSI Investigasi saat ini adalah studi pertama yang mendefinisikan ED50 parasetamol dan kombinasinya dengan morfin untuk mengobati nyeri post operatif. Median dosis analgesik yang efektif dari paracetamol adalah 2.1g, dimana morgin memiliki ED50 5mg, dan kombinasi keduanya adalah 1.3g dan 2.7mg, berturut.

Analisis isobolografik kami mendemonstrasikan bahwa parasetamol dan morfin saling melengkapi jika dikombinasi. Dosis paracetamol terbatas dikarenakan toksisitasnya. Kami tidak dapat memberi lebih dari 2.5g. Oleh sebab itu, kami memodifikasi up-and-down technique yang pada akhirnya mengestimasi ED50 dengan dua batasan. Batas pertama dihitung berdasarkan skenario terburuk (seluruh dosis yang dianggap gagal diatas 2.5g). Onset dari paracetamol dan morfin telah dipertanyakan; namun, kami telah menunjukkan bahwa morfin dan paracetamol iv memiliki onset yang lambat sebelum efek puncaknya. Sifat molekul keduanya yang hidrofobik dapat menjelaskan mengapa efek maksimalnya terjadi 30-60 menit setelah injeksi. Oleh sebab itu, kami memilih waktu 45 menit sebagai testing interval time . Disisi lain, meskipun paracetamol memiliki potensi yang lebih rendah dibanding morfin untuk nyeri post operatif, ini tidak mengimplikasi adanya efek yang lemah dari paracetamol. Kedua obat menunjukkan efek yang sepadan (kedua obat mampu menurunkan skor nyeri NRS3). Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa ED50 dari morfin adalah 5mg, yang konsisten dengan studi kami. Dosis 1g paracetamol telah direkomendasikan untuk manajemen nyeri akut pasca operasi. Morfin telah diperlihatkan efektif dalam menurunkan nyeri akut, menunda waktu rescue analgesia dan menurunkan konsumsi analgesik padda hari ke4-6 pasca operasi. Juga telah didemonstrasikan bahwa efek analgesik pada dosis yang lebih tinggi, dosis awal paracetamol 2-3g, lebih superior dari dosis yang disarankan, yaki 1g. Studi kami menemukan bahwa ED50 paracetamol adalah 2.1g yang lebih tinggi dari dosis rekomendasi 1g pada nyeri post operasi sedang. Namun, kami tidak menyarankan ED50 sebagai dosis klinis yang digunakan; Tetapi telah dilaporkan perbandingan dengan morfin untuk mendapatkan gambaran analisis isobolografi. Berdasarkan observasi kami, kami menyimpulkan

bahwa paracetamol tidak perlu diberikan secara tunggal untuk menjamin analgesia post operatif pada kebanyakan pasien, meskipun angka ED50nya lebih tinggi.
Tabel 1. Karakteristik pasien. Data adalah mean (SD), atau range, atau angka Paracetamol1morphi ne 35 (24 54) 78 (10) (65 95) 14/16 17 (57%) 1 (3%) 3 (10%) 10 (33%) 2 (7%)

Group Usia (yr) Berat badan (kg) Gender (F/M) Jenis pembedahan Umum (abdomen, rectal, dan thoraks) Urogenital Gynaecology Orthopaedic THT

Paracetamol 35 (18 57) (7) (65 76 90) 14/16 20 (67%) 2 (7%) 4 (13%) 6 (20%) 1 (3%)

Morphine 34 (21 56) 78 (9) (65 90) 14/16 14 (47%) 4 (13%) 2 (7%) 4 (13%) 0 (0%)

Telah banyak studi yang menunjukkan bahwa dengan menggabungkan paracetamol dengan analgesia opioid pada manajemen pasca operasi akan menghasilkan peningkatan analgesia yang signifikan. Tujuh studi prospektif metaanalisis memasukkan 265 pasien dengan patient-controlled analgesia (PCA) morfin besera asetaminofen, dan 226 diantaranya mendapatkan 20% morphine-sparing effect pada 24 jam pertama pasca operasi. Laporan lain menunjukkan efek yang lebih signifikan, hingga 40%. Studi ini menggunakan paracetamol dengan fixed doses, dan sejak sparing effect tidak selalu berarti sinergi, cukup sulit untuk menentukan sifat dari interaksi morfin dengan paraetamol. Investigasi terkini menunjukkan bahwa kombinasi keduanya saling berkesinambungan. Kesinambungan ini awalnya terlihat ketika pro-paracetamol dihubungkan dengan morfin pada studi hewan. Namun, studi kami adalah yang pertama yang memperhitungkan ED50 dari paracetamol, morfin, dan kombinasinya dalam mengevaluasi sifat kombinasi. Keuntungan utama dari interaksi ini adalah untuk menurunkan efek samping dari kedua obat ketika dikombinasi. Diharapkan, menggabungkan keduanya dapat

menurunkan efek samping morfin yang telah banyak diketahui. Beberapa studi telah gagal dalam memperlihatkan penurunan efek samping ketika mengkombinasi morfin dengan paracetamol. Begitu juga engan studi kami yang tidak memperlihat perbedaan signifikan antara ketiga grup, kecuali mulut kering yang lebih sering ditemukan pada grup morfin. Namun, sebab penilaian kami hanya terbatas pada recovery room, seteah pemberian analgesik, penurunan efek samping yang signifikan tidak dapat diacuhkan setelah pasien dikeluarkan dari PACU. Tetap ada kemungkinan ED50 paracetamol dan kombinasinya dengan morfin memberikan efek samping. Studi tambahan dibutuhkan untuk memeriksa hipotesis ini. Kontras dengan itu, Marret dan kolega menunjukkan meta-analisis mereka dalam menggabungkan NSAIDs dengan PCA morfin mampu menurunkan nausea, muntah, dan efek sedasi post operatif sekitar 30%. Pada studi kami, kami membatasi dosis maksimal paracetamol menjadi 2.5g sebagai loading dose. Namun, dosis harian optimal belum begitu jelas. Teori menunjukkan bahwa 7.5g per 24 jam dapat dihubungkan dengan hepatotoksisitas yang signifikan. Studi sebelumnya menggunakan dosis lebih tinggi dari yang direkomendasikan tanpa ada efek samping yang signifikan. Silvanto dan kolega mempelajari efek dan kemanan dari 3g paraetamol sebagai dosis awal analgesia post operatif. Hanya satu dari 107 pasien yang menunjukkan elevasi enzim hati. Namun, pada studi kami, kami tidak memonitor level enzim hati; pasien kami tidak mengalami tanda dan gejala klinis hepatoksisitas. Berdasarkan ED50 kami, kami merekomendasikan bahwa penggunaan paracetamol sebaiknya tidak diberikan secarra tunggal pada analgesia post operatif. Memang, angka yang diberikan disini adalah ED50 dan ED95 masih lebih tinggi. Sebagai kesimpulan, studi ini memperlihatkan median ED50 dari paracetamol dan morfin adalah 2.1g dan 5mg, berturut-turut. Median ED50 dari kombinasi keduanya adalah 1.3g untuk paracetamol dan 2.7mg untuk morfin. Analisis

isobolografi menunjukkan bahwa sifat interaksi dari paracetamol yang dikombinasi dengan morfin adalah saling berkesinambungan dan menguntungkan.

Gambar 1. Gambaran dosis antara ketiga grup. (A), paracetamol (B), dan morphine+paracetamol (C).Lingkaran menunjukkan sukses dan bintang menujukkan gagal. Garis horiontal tebal dan bertitik menunjukkan rata-rata ED50 dan 95% CI. Pada grup paracetamol, CI sekitar median asimetris (lihat bagian metode).

Gambar 2. Gambaran isobolografi dari kombinasi morfin-paracetamol. Tiap aksis mewakili ED50 dan 95% CI dari tiap obat. Terdapat dua ED50 untuk paracetamol dengan dua batas. Garis tebal (bertitik untuk garis yang menghubungkan ED50 morfin dan batas atas paracetamol adalah garis kesinambungan keduanya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kombinasi kedua obat ini sangat baik.

Anda mungkin juga menyukai