Anda di halaman 1dari 70

KAJIAN AKTIVITAS FRAKSI HEXAN RIMPANG KUNYIT (Curcuma longa Linn.

) TERHADAP PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus Albinus.)

RIFINA MURTI ALMIRA

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

ABSTRAK
RIFINA MURTI ALMIRA. Kajian Aktivitas Fraksi Hexan Rimpang Kunyit (Curcuma Longa) terhadap Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh WIWIN WINARSIH dan IETJE WIENTARSIH. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bahan aktif dari fraksi hexan rimpang kunyit dan membandingkan efektifitasnya dengan sediaan komersil terhadap kecepatan persembuhan luka, melalui pengamatan perubahan yang terjadi secara makroskopis dan mikroskopis. Sebanyak 45 ekor mencit digunakan dalam penelitian ini dan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu 15 ekor kontrol positif (memakai sediaan komersial), 15 ekor untuk kontrol negatif (tanpa pengobatan), dan 15 ekor untuk kelompok dengan pemberian sediaan fraksi hexan rimpang kunyit. Kulit di daerah punggung anterior tiap mencit dilukai sepanjang 1,5 cm dan diberi perlakuan sesuai kelompoknya. Dilakukan pengamatan patologi anatomi setiap hari untuk ukuran luka, kelembaban, dan warna luka. Untuk pengamatan histopatologi dilakukan pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan 21 dengan melihat menghitung jumlah neutrofil, jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi dan persentase luasan kolagen dilakukan dengan perhitungan statistik menggunakan uji sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Fraksi hexan mengandung senyawa alkaloid, kuinon, dan saponin. Saponin memiliki peran yang besar terhadap proses persembuhan. Sediaan fraksi hexan rimpang kunyit dapat mempercepat proses persembuhan luka dan sediaan hexan dapat menekan jumlah sel radang pada daerah luka, mempercepat proses pertumbuhan neovaskularisasi dan reepitelisasi.

ABSTRACT
RIFINA MURTI ALMIRA. Study of Rhizome (Curcuma longa Linn.) Fraction Activity upon the Process of wound recovery on mice (Mus musculus Albinus.). Supervised by WIWIN WINARSIH and IETJE WIENTARSIH. This research is aimed to recognize the active fraction of turmeric hexane and compare its effectiveness with commercial drugs in accelerating wound recovery, through observation on the change occurred macroscopically and microscopically. Forty five mice in this research were divided into three groups; 15 are positive controls (given commercial drugs), 15 are negative controls (without treatment) and the last 15 are given hexane turmeric fraction. Skin on the anterior back of each mice are sliced 1,5 cm long and then the mice are treated based on the group they belong to. Anatomic pathologic observations were conducted every day to measure the wound length, its moist and its color. Histopathology observations were conducted on day 2, 4, 7, 14, and 21 by the calculation of neutrophil and neovascularization number; and the percentage of reepithelization and collagen area were conducted by using statistical calculation; through analysis of variant (ANOVA) and followed by Duncan multiple range test. Hexane fraction consist of alkaloid, quinon, and saponin materials. Saponin play an important role in recovery process. Hexane drugs can quickly wound recovery process. Also, hexane drugs are able to minimize the number of inflamed cell in wound area, and to accelerate the growth of neovascularization and reephitelization.

KAJIAN AKTIVITAS FRAKSI HEXAN RIMPANG KUNYIT (Curcuma longa Linn.) TERHADAP PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus Albinus.)

RIFINA MURTI ALMIRA

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Judul Skripsi: Kajian Aktivitas Fraksi Hexan Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) terhadap Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus Albinus.) Nama : Rifina Murti Almira NIM : B04104156

Disetujui,

Dr. Drh. Wiwin Winarsih, M.Si Pembimbing I

Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. M.Sc. Pembimbing II

Diketahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmatNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada: 1. Papi, Mami dan kakak-kakakku tercinta untuk doa, kasih sayang dan dukungan materialnya selama ini. 2. Ibu Dr. Drh. Wiwin Winarsih M.Si dan Ibu DR. Dra. Hj. Ietje Wientarsih Apt, M.Sc. Selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Endang Rahman selaku dosen pembimbing akademik. 4. Ibu Rini dan Ibu Lina yang telah membantu dalam pembuatan salep fraksi hexan rimpang kunyit. 5. Pak Soleh, Pak Kasnadi, dan Pak Endang yang telah membantu selama bekerja di Laboratorium Patologi. 6. Anak kunyit Dika, Weni dan Ratih atas bantuan dan kerjasamanya selama melakukan penelitian ini. 7. Anak iswara Nona, Ismi, Lala, Eni, Nora, dan Tika atas persahabatan, dorongan semangat, doa, dan bantuannya. 8. Teman-teman Asteroidea 41 atas hari-hari yang indah selama masa kuliah. 9. Kakak-kakak angkatan 38, 39 dan 40 atas bimbingannya dan adik-adik angkatan 42, dan 43 atas kerjasamanya. 10. Ikatan alumni insan candekia (IAIC_BGR) atas doa dan persahabatannya selama di IPB. 11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi semua, khususnya bagi mahasiswa fakultas kedokteran hewan. Penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 1 Oktober 1986 dari ayah Syarifuddin Hamadu dan ibu Farida Munir. Penulis merupakan putri ke tiga dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri II Moluo Gorontalo (19921998), SLTP I Kwandang Gorontalo (1998-2001) dan MA Negeri Insan Cendekia Gorontalo (2001-2004). Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Kedoteran Hewan Indonesia pada tahun 2006/2007 dan pengurus DKM An-Nahl pada tahun 2006/2007 dan 2007/2008. Penulis juga menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi Hewan Ruminansia.

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................x DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................. xiii PENDAHULUAN ...........................................................................1 TINJAUAN PUSTAKA Kunyit ................................................................................................... 3 Penapisan Fitokimia .............................................................................. 7 Ekstraksi dan Identifikasi Bahan ........................................................... 9 Pelarut Heksan .................................................................................... 11 Salep ................................................................................................... 11 Mencit ................................................................................................. 12 Struktur dan Fungsi Kulit .................................................................... 13 Luka .................................................................................................... 16 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka ........................ 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat .............................................................................. 22 Alat dan Bahan .................................................................................... 22 Metode Fraksinasi Rimpang Kunyit .................................................... 23 Penapisan Fitokimia ............................................................................ 25 Pembuatan Sediaan Salep .................................................................... 26 Mencit Untuk Perlakuan ...................................................................... 26 Perlukaan Pada Mencit ........................................................................ 26 Pemberian Obat Luka komersil dan Sediaan Salep Hexan ................... 27 Pengamatan Patologi Anatomi............................................................. 27 Pengambilan Sampel Kulit .................................................................. 27 Pembuatan Sediaan Haematoxilin-Eosin (HE) ..................................... 27 Pembuatan Sediaan Masson Trichrome (MT) ...................................... 28 Pengamatan Histopatologi ................................................................... 29 Analisis Data ....................................................................................... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Fitokimia Fraksi Hexan Rimpang Kunyit ............................... 32 Pengamatan Luka secara Makroskopis ................................................ 33 Pengamatan Luka secara Mikroskopis ................................................. 38 Neutrofil ............................................................................................. 38 Neovaskularisasi ................................................................................. 40 Reepitelisasi ........................................................................................ 42

Kolagen............................................................................................... 43 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................................ 46 Saran ................................................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 47 LAMPIRAN ............................................................................................. 49

DAFTAR TABEL
Halaman 1. Patologi anatomi persembuhan luka kulit pada mencit..................................34 2. Rataan jumlah PMN (Neutrofil) pada mencit kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), dan Salep Hexan......................................................................39 3. Rataan jumlah neovaskularisasi pada mencit kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), dan Salep Hexan......................................................................41 4. Persentase reepitelisasi pada mencit kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), dan Salep Hexan.........................................................42 5. Persentase luasan kolagen pada mencit kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), dan Salep Hexan.........................................................44

DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Tanaman kunyit................................................................................................3 2. Rimpang kunyit dan simplisia..........................................................................5 3. Model struktur kurkumin.................................................................................6 4. Mencit............................................................................................................13 5. Struktur normal kulit..13 6. Diagram alur proses fraksinasi kunyit dengan pelarut hexan........................24 7. Metode penentuan luasan kolagen pada pengamatan histopatologis jaringan luka hari ke 14........30 8. Proses persembuhan luka (PA) pada hari ke-4..............................................36 9. Proses persembuhan (PA) luka hari ke-14.....................................................37 10. Neutrofil kelompok hexan hari ke-2, dengan pewarnaan HE........................39 11. Neovaskularisasi kelompok hexan hari ke-7, dengan pewarnaan MT...........41 12. Reepitelisasi yang kelompok hexan hari ke-7, dengan pewarnaan MT.........43 13. Jaringan ikat kolagen kelompok hexan hari ke-7, dengan pewarnaan MT....44

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Hasil perhitungan statistik jumlah neutrofil..50 2. Hasil perhitungan statistik jumlah neovaskularisasi.52 3. Hasil perhitungan statistik persentase reepitelisasi...54 4. Hasil perhitungan statistik persentase luasan kolagen.56

PENDAHULUAN
Latar Belakang Kondisi sehat merupakan hal yang diinginkan setiap mahkluk hidup. Sehat berarti bebas dari rasa sakit baik fisik maupun psikis seperti bebas dari rasa sakit yang diakibatkan oleh luka pada kulit. Selain rasa sakit, luka pada kulit juga akan mengurangi keindahan kulit dan jika terjadi luka yang besar maka akan mengganggu fungsi tubuh karena kulit mempunyai fungsi antara lain sebagai pertahanan pertama dari tubuh dan sebagai termolegulator. Melihat pentingnya fungsi kulit maka berbagai cara dilakukan untuk menyembuhkan kulit yang terluka, seperti mengkonsumsi obat atau pergi ke dokter. Namun, dengan naiknya semua kebutuhan hidup yang menjadikan perekonomian rakyat semakin terpuruk membuat rakyat tidak dapat memilih selain mengenyampingkan hal ini. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk memecahkan masalah ini antara lain dengan terus mencari alternatif obat yang murah, mudah didapat tetapi tetap berkhasiat demi membantu rakyat dalam bidang kesehatan. Cara ini ditempuh salah satunya dengan memberikan bantuan dana untuk mengadakan penelitian tanaman berkhasiat yang dapat dijadikan obat. Hal ini dilakukan mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan jenis tanaman dan diantara jenis tanaman tersebut banyak yang memiliki potensi untuk dijadikan tanaman obat (herbal medicine). Salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai obat adalah tanaman kunyit (Curcuma longa Linn.). Tanaman kunyit merupakan tanaman rempah dan obat yang tumbuh sepanjang tahun. Tanaman ini memiliki berbagai macam manfaat, bahkan setiap bagiannya memiliki manfaat yang berbeda. Bagian yang terpenting dan sering digunakan dari tanaman kunyit adalah bagian rimpangnya. Rimpang kunyit mengandung senyawa utama antara lain kurkumin dan minyak atsiri. Menurut Wijayakusuma (2005) senyawa kurkumin mempunyai efek antara lain sebagai anti bakteri, anti inflamasi, anti oksidan, hepatoprotektor dan sebagai kolagogum. Namun, hal ini belum cukup karena dengan adanya perkembangan teknologi dan adanya pasar global, menuntut setiap produk obat (baik obat sintetik maupun obat alami) yang beredar untuk terus meningkatkan

kualitasnya agar dapat bersaing di pasaran. Untuk itu penelitian tentang khasiat tanaman kunyit terus dikembangkan salah satunya dengan melakukan ekstraksi rimpang kunyit. Ekstraksi rimpang kunyit yang kemudian dilanjutkan dengan fraksinasi hexan dilakukan agar dapat menarik zat-zat aktif berkhasiat yang terkandung pada rimpang kunyit yang tidak dapat larut dalam pelarut lain. Penelitian ini juga dilakukan dengan dasar adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang ingin kembali ke alam, yaitu memakai obat-obat yang berasal dari alam karena dipercaya mempunyai sedikit efek samping dan lebih aman bagi tubuh.

Tujuan Penelitian 1. Mengetahui senyawa dari fraksi hexan rimpang kunyit. 2. Membandingkan efektifitas fraksi hexan rimpang kunyit dengan sediaan komersil yang beredar di masyarakat terhadap kecepatan persembuhan luka, melalui pengamatan perubahan yang terjadi secara makroskopis dan mikroskopis.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bahan aktif dan efektifitas fraksi hexan rimpang kunyit terhadap persembuhan luka.

TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit Sejarah dan Penyebaran Tanaman Kunyit Tanaman kunyit (Gambar 1) diperkirakan berasal dari Asia Selatan, Asia Tenggara atau dari India. Kata Curcuma berasal dari bahasa arab yaitu curcum dan bahasa yunani karkom. Pada tahun 1977 atau 1978 sesudah masehi Dioscorides menyebutkan tanaman ini sebagai Cyperus yang menyerupai jahe tetapi rasanya pahit, kelat, sedikit panas dan tidak beracun. Dahulu tanaman ini banyak dibudidayakan di India, Cina Selatan, Taiwan, Jawa dan Filipina. Sekarang kunyit ditanam secara luas di negara-negara tropis tapi penanamanya berskala besar sangat terbatas di India dan Asia Tenggara (Yuniati et al., 2001).

Gambar 1: Tanaman kunyit (Sumber: dokumentasi pribadi, 2008) Biologi Tanaman Kunyit Tanaman kunyit mempunyai nama lain yang cukup banyak antara lain: Curcuma longa Linn., Curcuma domestica Rump., dan Curcuma longa Auct. (Wijayakusuma et al., 1992). Sedangkan nama farmasi simplisia tanaman ini adalah Curcuma domestica Rhizome (Santosa & Gunawan, 2003). Tanaman kunyit mempunyai kurang lebih 47 genera dan 1400 jenis yang tersebar di daerah tropis dan subtropis, genus zingiber sendiri meliputi 80 jenis

(Taryono, 2001). Menurut Linnaeus dalam Winarto (2003) taksonomi tanaman kunyit diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae

: Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae : Zingiberales : Zingiberaceae : Curcuma : Curcuma longa Linn.

Tanaman kunyit merupakan tanaman menahun, tinggi dapat mencapai 100 cm. Batang semu, tegak dan bulat, berwarna hijau agak keunguan, dengan pangkal batang membentuk rimpang. Daun tunggal 3-8 helai, helai daun membentuk lanset memanjang, ujung dan pangkal daun meruncing, tepi rata, panjang 20-40 cm, lebar 8-12,5 cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau atau keunguan di dekat ibu tulang daun (Syukur & Hermani, 2002; Santosa & Gunawan, 2003). Menurut Yuniati et al. (2001) bunga tanaman kunyit tegak dan berbentuk paku besar yang muncul diantara pelepah daun, berbulu lebat yang ditutupi oleh pelepah yang akan tumbuh. Bunganya silindrikal berukuran 5-20 cm dan 3-7,5 cm. Setiap bunganya mempunyai tiga lembar kelopak bunga, tiga lembar tajuk bunga dan empat helai benang sari. Salah satu dari ke empat benang sari itu berfungsi sebagai alat pembiakan sedang tiga helai lainnya berubah bentuk menjadi daun bunga. Rimpang (Gambar 2) adalah bagian utama dari tanaman kunyit, yang juga merupakan tempat tumbuhnya tunas. Rimpang ini tumbuh menjalar, umbi utama berbentuk elips, sebesar 5-8 cm dengan tebal 1,5 cm. Berdasarkan bentuk fisiknya, rimpang kunyit digolongkan dalam tiga bentuk yaitu fingers, bulbs dan splits. Fingers artinya rimpang cabang yang panjangnya seperti jari antara 2,5-7,5 cm dan diameter sekitar 1 cm atau lebih. Biasanya digunakan sebagai bumbu karena baunya yang sedap dan tidak pahit. Bulbs artinya rimpang yang bulat, pendek dengan diameter lebih besar dibandingkan fingers. Biasanya digunakan

sebagai zat warna dan obat-obatan karena rasanya yang pahit. Splits merupakan potongan dari fingers dan bulbs, digunakan untuk membuat bubuk dari kunyit. Untuk keperluan bumbu orang-orang memilih umbi samping yang kecil, sedangkan umbi-umbi induknya digunakan untuk obat. Umbi induk jika diiris berwarna jingga dan mengandung banyak minyak (Taryono, 2001). Mutu dari Splits, fingers, dan bulbs dinilai berdasarkan kehalusan permukaan rimpang, kekerasan, warna bagian tengah rimpang, rasa, aroma serta kadar air. Rimpang yang baik berwarna kuning tua sampai jingga, tidak telalu putih, keras, mudah dipatahkan, baunya tajam serta kadar airnya rendah (Taryono, 2001).

Gambar 2: Rimpang kunyit dan simplisia (Sumber: dokumentasi pribadi, 2008) Menurut Yuniati et al. (2001) tanaman kunyit dapat beradaptasi dengan baik di daerah tropik dan sub-tropik dengan curah hujan 1000-2000 mm/tahun atau dengan irigasi. Ketinggian yang baik untuk pertumbuhan adalah 450-900 m. Tanaman ini membutuhkan kondisi yang hangat dan lembab, dengan suhu optimum 30-35 0C. Tanah yang cocok untuk tanaman kunyit adalah tanah lempung berpasir yang mengandung cukup organik dengan pH tanah 5-7,5.

Kandungan Rimpang Kunyit Menurut Biswas (2004) dan Yuniati et al. (2001) komposisi kimiawi rimpang kunyit adalah karbohidrat (69,4%) yang unsur utamanya adalah tepung, protein (6,3%), lemak (5,1%), mineral (3,5%), air (13,1%), serat (2-7%), asam

askorbik (25%), dan kurkuminoid (3-5%). Kurkuminoid terdiri dari kurkumin (49,6%), desmetoksikurkumin (28,7%) dan bis-demetoksikurkumin (22,3%). Persentase ke tiga senyawa kurkuminoid ini dipengaruhi oleh faktor umur rimpang, daerah dan tempat tumbuh, proses pengeringan dan lama penyimpanan. Kurkumin (Gambar 3) merupakan zat pemberi warna jingga kekuningkuningan pada kunyit, yang mempunyai rumus kimia C21H20O6 (Biswas, 2004; Yuniati et al., 2001). Kurkumin berupa serbuk kristal yang mempunyai sifat yang tidak mudah menghilang dengan pemanasan dan tidak larut dalam air tapi larut dalam larutan alkali dan agak larut dalam eter dan asam asetat pekat (Taryono, 2001). Dalam penyulingan uap rimpang kunyit mengandung minyak atsiri (5,8%) yang terdiri dari -pelandren (1%), sabinen (0,6%), cineol (1%), borneol (0,5%), zingiberen (25%), dan seskuiterpen (53%). Minyak atsiri inilah yang menentukan aroma dan cita rasa dari kunyit. Minyak atsiri berwujud cairan kental yang mempunyai sifat mudah menguap pada suhu ruangan dan dengan pemanasan (Biswas, 2004; Yuniati et al., 2001). Kandungan kimia utama rimpang kunyit adalah kurkumin dan desmetoksikurkumin, yaitu suatu bahan aktif berwarna kuning yang menjadi bahan dasar pembuatan obat-obat modern untuk anti asma, anti inflamasi, dan menurunkan kolesterol (Santosa & Gunawan, 2003).

Gambar 3: Model struktur kurkumin (Sumber: Biswas, 2004).

Manfaat Rimpang Kunyit Ada banyak data dan literatur yang membuktikan bahwa rimpang kunyit berpotensi besar dalam aktifitas farmakologi yaitu sebagai anti inflamasi, anti imunodefisiensi, anti virus, anti bakteri, anti jamur, anti oksidan, anti karsinogenik, dan anti infeksi (Kristina et al., 2007). Minyak atsiri dan kurkumin mempunyai khasiat sebagai anti inflamasi, karena mempunyai struktur kimia yang hampir sama. Aktivitas kurkumin sebagai anti inflamasi dilaporkan pertama kali tahun 1971. Namun, mekanisme kurkumin sebagai anti inflamasi belum sepenuhnya diketahui. Diduga efek anti inflamasi disebabkan oleh kemampuan kurkumin dalam menghambat pembentukan asam arakidonat, leukotrien, prostaglandin, enzim siklo-oksigenase dan enzim lipoksigenase (Kristina et al., 2007). Asam arakidonat yang dihasilkan oleh fosfolipid membran sel melalui aktivasi enzim fosfolipase A2, mempunyai salah satu fungsi yaitu mengaktivasi enzim lipoksigenase yang nantinya akan membentuk leukotrien dan enzim siklooksigenase yang akan membentuk prostaglandin. Leukotrien dan prostaglandin merupakan mediator kimiawi pada proses alergi dan inflamasi. Dengan dihambatnya produksi asam arakidonat berarti produksi leukotrien dan prostaglandin ikut mengalami penurunan sehingga proses peradanganpun akan dicengah. Selain itu kurkumin mempunyai aktivitas dalam menurunkan produksi interleukin I yang juga merupakan salah satu mediator kimiawi dalam inflamasi. Kurkumin juga dapat mencengah timbulnya edema pada proses peradangan (Biochem Pharmacol, 1995).

Penapisan Fitokimia Menurut Daris (2008) fitokimia berasal dari kata phytochemical. Phyto berarti tumbuhan atau tanaman dan chemical sama dengan zat kimia berarti fitokimia adalah zat kimia yang terdapat pada tanaman. Setiap tumbuhan atau tanaman mengandung sejenis zat yang disebut fitokimia yang dapat memberikan rasa, aroma atau warna pada tumbuhan itu. Sampai saat ini sudah sekitar 30.000 jenis fitokimia yang ditemukan dan sekitar 10.000 terkandung dalam makanan. Senyawa fitokimia tidak termasuk kedalam zat gizi karena bukan berupa

karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral maupun air yang dibutuhkan normal tubuh tapi memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki peran aktif bagi pencegahan penyakit. Studi pada manusia dan hewan telah dilakukan dan membuktikan zat-zat kombinasi fitokimia ini di dalam tubuh manusia memiliki fungsi tertentu yang berguna bagi kesehatan. Kombinasi itu antara lain menghasilkan enzim-enzim sebagai penangkal racun (detoksifikasi), merangsang sistem pertahanan tubuh (imunitas), mencegah penggumpalan keping-keping darah (trombosit),

menghambat sintesa kolesterol di hati, meningkatkan metabolisme hormon, meningkatkan pengenceran dan pengikatan zat karsinogen dalam liang usus, menimbulkan efek anti bakteri , anti virus dan anti oksidan, mengatur gula darah serta dapat menimbulkan efek anti kanker (Daris, 2008). Beberapa fitokimia yang sudah diketahui, antara lain sebagai berikut: Alkaloid Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dengan bahaya yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol jadi digunakan secara luas dalam pengobatan (Harbone, 1987). Alkaloid secara kimia merupakan golongan heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana seperti koniina yaitu alkaloid utama Conium maculatum, sampai ke struktur pentasiklik seperti strikhnina yaitu racun kulit Strychnos (Harbone, 1987). Alkaloid tertentu mempunyai kemampuan

mengurangi rasa nyeri dan bersifat sebagai penenang (Kalsum et al., 2008). Flavonoid Menurut Markham (1988) flavonoid merupakan senyawa polar sehingga flavonoid dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, methanol, aseton, dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fonfamida (DMF), dan air. Flavonoid adalah golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak merupakan pigmen tumbuhan. Saat ini lebih dari 6.000 senyawa yang berbeda masuk ke dalam golongan flavonoid. Flavonoid merupakan bagian penting dari diet manusia karena banyak manfaatnya bagi kesehatan. Manfaat kebanyakan flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai anti oksidan sehingga sangat baik untuk

pencegahan kanker. Manfaat lain flavonoid adalah untuk melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C (meningkatkan efektivitas vitamin C), anti inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik (Harbone, 1987). Kuinon Kuinon adalah senyawa berwarna (pigmen) yang terdapat pada tumbuhan. Kuinon termasuk dalam kelompok fenolat, berfungsi sebagai kofaktor. Senyawa fenolat pada tumbuhan umumnya dalam bentuk terikat dengan molekul lain, seringkali dengan residu glucosyl, sulphate atau asetil. Dalam keadaan bebas dan terdetoksifikasi secara parsial bersifat toksik. Kuinon memiliki efek

menghilangkan rasa sakit (Daris, 2008). Saponin Menurut Harbone (1987) saponin adalah suatu glikosida triterpana dan sterol yang mungkin ada pada banyak tanaman. Saponin bersifat iritan pada mukosa tubuh (Sayekti, 2008; Jenkins et al., 1957). Fungsi saponin dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui secara pasti tapi fungsinya bagi tubuh telah diketahui dari berbagai hasil penelitian. Saponin berfungsi sebagai

hipokolesterolemik, imunostimulator, dan anti karsinogenik. Mekanisme anti karsinogenik saponin meliputi efek anti oksidan dan sitotoksik langsung pada sel kanker. Saponin juga berfungsi sebagai anti bakteri (Sayekti, 2008). Tanin Tanin merupakan astringen, polifenol tanaman berasa pahit yang dapat mengikat dan mengendapkan protein. Umumnya tanin digunakan untuk aplikasi di bidang pengobatan, misalnya untuk pengobatan diare, hemostatik

(menghentikan pendarahan), dan wasir (Amelia, 2002). Sedangkan menurut Olivia et al., (2004) tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai anti oksidan kuat, anti inflamasi, dan anti kanker.

Ekstraksi dan Identifikasi Bahan Menurut Wientarsih & Prasetyo (2006) ekstraksi adalah proses penarikan atau pemisahan zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan cairan penyaring yang cocok. Pemikiran metode ekstraksi senyawa bukan atom dipergunakan oleh

beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar (Yuliani & Rusli, 2003). Menurut Wientarsih & Prasetyo (2006) pembagian ekstrak berdasarkan macam simplisia. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya bahan yang dikeringkan. Simplisia nabati; tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat tanaman. Simplisia hewani; hewan utuh atau bagiannya atau zat yang dihasilkan hewan. Simplisia mineral; simplisia berasal dari mineral baik yang diolah atau belum. Menurut Wientarsih & Prasetyo (2006) jenis ekstraksi ada 4 macam yaitu sediaan ekstrak: sediaan kering, kental, atau cair dari sampel nabati atau hewan; tingtur: sediaan cair yang telah dilakukan meserasi atau perkolasi dari simplisia nabati atau hewan dalam pelarut yang cocok (20% zat khasiat); infus: sediaan cair berasal dari simplisia nabati (90 0C selama 15 menit); dekok: sediaan cair berasal dari simplisia nabati (90 0C selama 30 menit). Sedangkan metode ekstraksi ada 4 macam yaitu: Maserasi (Perendaman), Perkolasi, Digesti, dan Infusi. Simplisia nabati dan jenis ekstrak tingtur yang digunakan dalam penelitian ini. Jenis ekstrak ini menggunakan metode maserasi (perendaman). Cara maserasi adalah mencampur 10% simplisia dengan 75 bagian penyari ke dalam sebuah wadah, kemudian ditutup dan dibiarkan selama 5 hari. Setelah itu diserkai, diperas, dan diaduk. Ampas dicuci dengan cara menambahkan penyari 100 bagian kemudian di pindahkan ke dalam bejana, ditutup selama 2 hari. Setelah itu, disaring dan dituang (Wientarsih & Prasetyo, 2006). Metode ini digunakan karena pengerjaan dan alatnya sederhana, tapi metode ini juga mempunyai kerugian yaitu pengerjaannya membutuhkan yang lama dan proses ekstraksinya kurang sempurna (Yuliani & Rusli, 2003).

Pelarut Hexan Menurut Basri (1996) hexan adalah hidrokarbon alifatik tak jenuh dengan formula CH3(CH2)4CH3 termasuk dalam alkana, berbentuk cairan beruap, tidak berwarna, mudah terbakar, tidak larut dalam air tetapi larut dalam alkohol, eter dan aseton. Hexan di dapat dari penyulingan bertingkat petrolum dan sering digunakan sebagai pelarut dan pengencer cat. Hexan adalah senyawa nonpolar. Akibatnya, gaya tarik antar molekul lemah. Hexan tidak larut dalam pelarut polar seperti air, tetapi larut dalam pelarut nonpolar atau sedikit polar seperti dietil eter atau benzena. Kelarutannya disebabkan oleh gaya tarik van der Walls antara pelarut dan zat terlarut. Hexan memiliki berat lebih ringan dibandingkan air dan titik didihnya adalah 69 oC (Brieger, 1969).

Salep Salep adalah sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi hampir sama dengan krem, dan umumnya sedikit atau tidak mengandung air yang digunakan sebagai obat luar pada membran mukosa/kulit dengan cara dioleskan. Salep memiliki 3 fungsi yaitu sebagai pembawa subtansi obat, sebagai pelumas pada kulit, dan sebagai pelindung permukaan kulit dari rangsangan luar (Wientarsih & Prasetyo, 2006; Farmakope Indonesia, 1979). Menurut Wientarsih & Prasetyo (2006) salep dibagi menjadi 3 berdasarkan daya kerjanya yaitu salep epidermik yang bekerja hanya pada permukaan kulit, salep endodermik yang bekerja lebih dalam tapi tidak menembus lapisan kulit, dan salep diadermik yang dapat bekerja menembus lapisan kulit dan masuk ke dalam peredaran darah. Masuknya salep ke lapisan lebih dalam (absorbsi obat) dipengaruhi oleh segi fisiologis tubuh seperti keadaan kulit, keadaan hidrasi pada stratum korneum, temperatur kulit, kosentrasi obat, sifatsifat obat seperti kelarutan, dan komposisi dasar salep . Bahan salep harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. Dasar salep berdasarkan komposisinya dibagi menjadi 4 yaitu dasar salep hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep tercuci dengan air, dan dasar salep yang larut dalam air. Sedangkan syarat-syarat dasar salep adalah harus stabil baik

fisik maupun kimia, warna dan bau harus stabil selama penyimpanan dan pemakaian, harus dapat dicampur dengan semua obat, harus halus dan licin sehingga mudah dioleskan pada kulit, daya kerja untuk semua jenis kulit, tidak mengiritasi kulit, dan harus mudah dioleskan (Wientarsih & Prasetyo, 2006; Farmakope Indonesia, 1979) .

Mencit (Mus musculus) Menurut Arrington (1992) mencit (Gambar 3) merupakan salah satu hewan laboratorium yang paling banyak dipakai sebagai hewan model. Hal ini dikarenakan siklus hidupnya relatif pendek hanya sekiar satu hingga dua tahun, cepat berkembangbiak (lama kebuntingan 19-21 hari) dengan jumlah anak per kelahiran rata-rata 6 ekor, mudah ditangani (tidak liar), dan mudah dipelihara dalam jumlah yang besar. Klasifikasi mencit laboratorium menurut Linneaus dalam Arrington (1992) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Subfilum Kelas Subkelas Order Suborder Family Subfamily Genus Spesies : Animalia : Chordata : Vetebrata : Mammalia : Theria : Rodentia : Sciurognathi : Muridae : Murinae : Mus : Mus musculus Albinus.

Mencit spesies Mus musculus pada awalnya berasal dari Eropa Timur dan Asia, kemudian dengan cepat menyebar keseluruh dunia. Mencit cepat menyebar ke berbagai daerah karena terkait dengan kemampuannya hidup pada kondisi iklim dingin, sedang maupun panas. Mencit termasuk hewan monogastrik, pemakan segalanya (omnivora), dan merupakan hewan yang aktif dimalam hari (nocturnal) (Malole & Pramono, 1989).

Gambar 4: Mencit (Sumber: www.rooj.com/Radioprotection_files/image002.jpg, 2008) Struktur dan Fungsi Kulit Kulit (Gambar 5) adalah suatu jaringan atau organ yang kompleks, suatu organ yang dinamis dengan banyak macam sel multiple dengan tipe dan fungsi yang khas. Karena merupakan organ pembalut tubuh paling luar, yang menjadi pertahanan tubuh terdepan (Dharmojono, 2002). Kulit merupakan salah satu organ yang paling besar dalam tubuh hewan. Kulit umumnya paling tebal pada permukaan dorsal dan permukaan lateral anggota tubuh. Paling tipis pada sisi ventral dan permukaan medial anggota tubuh. Terdapat perbedaan tergantung pada daerah tubuh, kelamin, dan spesies (Dellmann & Brown, 1992).

Gambar 5: Struktur normal kulit (Sumber: Sukasah, 2008) Kulit atau integium terdiri dari epidermis dan dermis, berikut folikel bulu, kelenjar peluh dan kelenjar palit, organ digital (kuku dan teracak), dan berbagai jenis kelenjar khusus (Dellmann & Brown, 1992). Ditinjau secara histologi, kulit hewan dan mamalia mempunyai struktur yang bersamaan, terdiri dari tiga lapisan

yang jelas dalam struktur maupun asalnya. Ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, dermis (corium) dan hypodermis (Judoamidjodjo, 1981).

Epidermis Epidermis adalah lapis kulit paling luar, terdiri dari epitel pipih banyak lapis berkeratin. Sedikitnya ada empat lapisan yang dapat diidentifikasi, yaitu stratum basale, stratum spinosum, stratum granulosum dan stratum corneum (Dellmann & Brown, 1992). Lapisan terluar epidermis adalah stratum corneum, sedangkan lapisan terdalamnya adalah stratum basale (Jones et al., 1996) Pada stratum corneum kandungan paling banyak adalah keratosit sehingga relatif tidak tertembus oleh penetrasi cairan, iritasi zat kimia, alergan atau berbagai jenis mikroorganisme. Keratosit menghasilkan perantara sitokine seperti interleukin-1 yang membantu reaksi sel perantara imunitas di dalam kulit. Disamping itu, stratum corneum juga terdiri atas lamel-lamel yang kencang yang merupakan lapisan terluar dan berkaitan dengan warna cokelat pigmen melanin yang dihasilkan oleh sel khusus yaitu melanosit. Melanosit adalah sel-sel yang berkembang dari bingkai neural yang bermigrasi ke dalam epidermis selama perkembangan embrio, terdapat di antara sel-sel stratum basale dan mengirim penjuluran dendritik di antara keratinosit pada stratum spinosum. Sel melanosit memiliki peranan sangat penting dalam melindungi tubuh dari zat karsinogenik dan efek penuaan oleh sinar ultra-violet (Dellmann & Brown, 1992) dan (Dharmojono, 2002). Sel-sel langerhans yang terdapat dibagian tengah epidermis berperan penting terhadap aspek imunologik. Sel-sel langerhans menyiapkan antigen sebagai langkah pertama yang diperlukan untuk mengurungkan reaksi hipersensitivitas. Dengan kata lain, kulit merupakan pertahanan terluar dari sistem imunitas (Dellmann & Brown, 1992).

Dermis Dermis (corium) terletak di antara epidermis dan jaringan lemak subkutan. Secara umum dermis dibagi menjadi lapis superfisial (stratum papilare) yang berbatasan langsung dengan epidermis yaitu stratum basale dan lapis dalam

(stratum reticularis) tanpa adanya batas yang jelas. Dermis merupakan jalinan serabut kolagen, serabut elastik dan serabut retikuler. Hampir 90% dari serabut dermis adalah serabut kolagen. Serabut ini elastik ini memiliki kekuatan yang luar biasa terhadap tekanan (Dellmann & Brown, 1992). Dermis memiliki banyak fungsi antara lain: melindungi jaringan dan struktur yang lebih dalam terhadap trauma; memberikan nutrisi (nourishment) kepada epidermis dan mengadakan interaksi dengan epidermis selama embryogenesis, morfogenesis, penyembuhan luka dan membentuk jaringan kulit kembali (remodeling); dan membuat kulit menjadi kuat, elastik dan lentur serta luwes. Selain itu, terdapat dua komponen utama dari dermis yaitu sistem peredaran yang unik dan kelengkapan-kelengkapan kulit khusus termasuk kelenjar keringat. Kedua komponen tersebut berfungsi dalam pengaturan suhu badan dan dengan adanya pensyarafan dalam jaringan kulit beserta kelengkapannya menyebabkan kulit menjadi indra reseptor yang dapat merasakan sensasi nyeri, gatal, getaran, panas, dan dingin (Dharmojono, 2002). Sel-sel yang menyusun lapisan dermis terdiri dari sel fibroblas, sel mast, dan histiosit. Fibroblast merupakan tipe sel tetap jaringan ikat longgar yang paling banyak jumlahnya. Fibroblast aktif terdapat pada hewan muda dan pada jaringan ikat yang beregenerasi akibat luka. Sel mast banyak berperan dalam respon terhadap perlukaan pada kulit dan terdapat hampir seluruh bagian jaringan ikat, terutama di dekat pembuluh darah. Sel ini memiliki butir sekreta yang mengandung heparin yang merupakan suatu anti koagulan, histamin sebagai anti koagulan, dan pada tikus dan mencit mnghasilkan serotonin yang menyebabkan vasokonstriksik vena. Histiosit adalah sel tipe limfoid dewasa yang memiliki kemampuan memfagosit bakteri maupun partikel asing. Histiosit yang mengandung material yang terfagosit disebut sebagai makrofag (Dellmann dan Brown, 1992).

Subcutis Hipodermis atau subkutis sebagian besar terdiri dari serat-serat kolagen dan elastik yang mempertautkan kulit dengan otot atau tulang dibawahnya (Judoamidjodjo, 1981). Jalinan serabut kolagen dan elastik yang longgar

memungkinkan fleksibilitas kulit serta gerakan bebas di sekitar daerah tersebut. Pada lapisan hipodermis juga terdapat pembuluh darah, syaraf (Jones et al., 1996) dan jaringan adipose yang disebut sebagai panniculus adiposus yang berfungsi sebagai bantalan (Dellmann & Brown, 1992).

Luka Menurut Tawi (2008) luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan kedalaman dan luasnya, luka dapat dibagi menjadi: Luka superfisial; luka yang hanya terbatas pada lapisan dermis. Luka partial thickness; luka yang menyebabkan hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis dan lapisan bagian atas dermis. Luka full thickness; luka yang menyebabkan hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis, dermis, dan fasia, tetapi tidak mengenai otot. Luka mengenai otot, tendon dan tulang. Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi: luka akut; luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati, dan luka kornis; luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen atau endogen (Tawi, 2008).

Persembuhan Luka Menurut Engelhardt et al. (1998) dan Tawi (2008) proses persembuhan luka bukanlah proses yang sederhana melainkan suatu proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkisanambungan Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Setiap proses persembuhan luka akan melalui 3 tahap yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan serta tergantung pada tiga fase yaitu waktu, tipe luka dan derajat keparahan jaringan yang rusak. Tahapan penyembuhan luka terdiri dari:

1. fase inflamasi; menghentikan perdarahan dan mempersiapkan tempat luka menjadi bersih dari benda asing atau mikroorgenisme sebelum dimulai proses penyembuhan. 2. fase proliferasi/granulasi; pembentukan jaringan granulasi untuk menutup defek atau cedera pada jaringan yang luka. 3. fase maturasi/deferensiasi; menjadikan jaringan penyembuhan yang telah terbentuk menjadi lebih matang dan fungsional. Menurut Vegad (1995) persembuhan luka dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe persembuhan primer dan tipe persembuhan sekunder. Suatu persembuhan luka digolongkan tipe persembuhan primer apabila luka tertutup, dimana ada sejumlah kecil jaringan yang hilang dan sedikit pendarahan tapi tidak disertai infeksi bakteri. Tipe persembuhan ini biasa terjadi pada luka insisi dengan scapel yang steril. Persembuhan luka digolongkan tipe persembuhan sekunder apabila luka terbuka, terjadi kerusakan jaringan yang luas atau hilangnya jaringan dalam jumlah yang besar dan terjadi pendarahan hebat pada luka disertai dengan infeksi bakteri, inflamasi pada daerah luka dan nekrosis jaringan.

Tahap-Tahap Penyembuhan Luka 1. Fase Inflamasi Fase inflamasi adalah adanya respons vaskular dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Respons vaskular terlihat dengan adanya perubahan pada pembuluh darah, perubahan pada aliran darah, eksudasi plasma darah, emigrasi dari leukosit, dan diapedesis dari eritrosit. Sedangkan respons seluler terlihat berupa adanya peningkatan aktivitas leukosit yang merupakan aktivitas berkelanjutan yang terdiri dari marginasi, adesi, emigrasi, fagositosis, dan pelepasan produk-produk leukosit ke jaringan ekstraseluler. Tujuan yang hendak dicapai dari adanya respons ini adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan (Tawi, 2008; Vegad, 1995). Pada awal fase ini menurut Tawi (2008) kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan

menutupi

vaskuler

yang

terbuka

dan

juga

mengeluarkan

substansi

vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung beberapa menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi. Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang segera diikuti oleh melambatnya sirkulasi darah. Kejadiaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap protein plasma yang

mengakibatkan protein plasma yang terdiri dari albumin, globulin, dan fibrinogen keluar ke jaringan interstitial. Keluarnya protein plasma kejaringan interstitial menyebabkan penurunan tekanan osmotik intravaskuler dan peningkatan tekanan osmotik interstitial. Akibatnya, cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan terakumulasi di jaringan interstitial. Kondisi ini biasa disebut sebagai udema peradangan dimana luka akan terlihat bengkak dan basah (Tawi, 2008; Vegad, 1995). Kejadian lain setelah vasokonstriksi adalah terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator: histamin, serotonin dan sitokins. Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit ke ekstravaskuler (Tawi, 2008). Leukosit (terutama netrofil) keluar ke ekstravaskuler melalui celah yang terbentuk antara dinding endotel pembuluh darah. Leukosit menuju ke daerah luka dengan mengikuti berbagai sinyal kimia yang diterima. Fenomena ini biasa disebut sebagai kemotaksis. Berbagai agen dapat memberikan sinyal kemotaktik untuk menarik leukosit, meliputi agen-agen infeksius, jaringan rusak, dan zat-zat yang diaktifkan di dalam fraksi plasma yang bocor dari aliran darah (Price & Wilson, 1993). Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing seperti sel-sel yang rusak atau mati dan bakteri di daerah luka, kemudian akan digantikan oleh

sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah sintesa kolagen, pembentukan jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblas, memproduksi growth factor yang berperan pada reepitelisasi, dan pembentukan neovaskularisasi atau angiogenesis (Tawi, 2008). 2. Fase Proliferasi Pada fase ini proses kegiatan seluler yang penting adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka yang ditandai dengan proliferasi sel. Poliferasi sel meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel, dan sel-sel fibroblas. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan (Tawi, 2008). Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan

profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru (Tawi, 2008). Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblas, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks, dan kontraksi luka (Tawi, 2008). Angiogenesis suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka

merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (Tawi, 2008). Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblas yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal (Tawi, 2008). Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008). 3. Fase Maturasi Menurut Tawi (2008) pada fese ini terlihat fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Tujuan dari fase maturasi adalah

menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu.. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya beberapa minggu setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi, kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang

berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Tawi, 2008). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, tapi hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, disertai dengan penyakit sistemik seperti diabetes melitus (Tawi, 2008).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Persembuhan Luka Pada setiap kejadian luka, normalnya mekanisme tubuh akan

mengupayakan mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Namun banyak faktor yang mempengaruhi proses persembuhan luka antara lain ketergantungan terhadap suplai darah lokal dan faktor endogen (seperti: umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, dan kondisi metabolik). Persembuhan luka dapat diganggu oleh adanya benda asing atau jaringan nekrotik di dalam luka, adanya infeksi pada luka, dan perpindahan serta pendekatan tepi luka yang tidak sempurna (Price & Wilson, 1993; Tawi, 2008).

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2007 sampai bulan April 2008. Lokasi penelitian di Bagian Patologi dan Laboratorium Farmasi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Alat dan Bahan Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus). Mencit albino jantan (25-40 g) yang berumur 2-2,5 bulan.

Alat Alat-alat yang digunakan antara lain skapel, peralatan untuk ekstraksi kunyit yaitu maserator, evaporator, corong pisah, gelas erlenmayer 100 ml, dan oven untuk pengering. Peralatan untuk memelihara mencit yaitu kandang mencit dan untuk preparir kulit. Peralatan untuk pembuatan sediaan histopatologi yaitu tissue processor, mikrotom, penangas air, gelas objek dan penutup gelas. Serta mikroskop baik mikroskop cahaya dan mikroskop videometer untuk pengamatan histopatologi.

Bahan Bahan yang digunakan antara lain simplisia rimpang kunyit, salep komersil, eter untuk euthanasi, aquades sebagai pelarut, larutan Netral Buffer Formalin (10%) untuk fiksasi kulit, dan kapas, serta vaselin kuning untuk pembuatan salep. Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan Mayers Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan kosentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%). Larutan Lithium Carbonat, Aquades, Asam 0,75% larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, larutan Phosphotungstic acid 2,5%, Analin Blue, dan parafin.

Metode Fraksi Hexan Rimpang Kunyit Simplisia yang dipergunakan pada penelitian ini adalah rimpang kunyit yang berumur 9 bulan yang diperoleh dari BALITRO dan telah diidentifikasi di Herbarium Bogorrense (LIPI). Metode Fraksi hexan rimpang kunyit dilakukan setelah diperoleh ekstrak etanol semi solid dari hasil ekstraksi rimpang kunyit. Ekstraksi rimpang kunyit dibuat dengan cara maserasi (perendaman) menggunakan etanol 96%. Satu bagian serbuk kering rimpang kunyit (simplisia) dimasukkan ke dalam maserator dengan menambahkan 10 bagian etanol 96%, direndam sambil dilakukan pengadukan secara berkala, kemudian didiamkan selama 24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulang 3 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan penguap vakum (evaporator) sehingga diperoleh ekstrak etanol semi solid. Ekstrak etanol semi solid dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan larutan hexan yang bersifat nonpolar dengan perbandingan 1:1. Kedua larutan dihomegenisasikan selama 15 menit, kemudian didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan dengan hexan pada bagian atas dan etanol pada bagian bawah. Hexan dipisahkan dari etanol dengan cara disedot dengan pipet, kemudian di evaporasi dengan evaporator sehingga diperoleh fraksi hexan semi solid. Fraksi hexan ini selanjutnya dimasukkan ke dalam oven agar diperoleh fraksi hexan yang lebih kental.

Rimpang kunyit

Simplisia kunyit Maserasi dengan ethanol 96% Filtrat Ampas

Evaporasi Ekstrak etanol semi solid Corong pisah Etanol dan Hexan 1:1

Ethanol

Fraksi Hexan

Evaporasi

Fraksi semi solid

Oven

Fraksi kental

Gambar 6: Diagram alur proses fraksinasi kunyit dengan pelarut hexan.

Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia meliputi pemeriksaan terhadap adanya alkaloid, polifenolat, tanin, flavonoid, kuinon, dan saponin. Alkaloid Serbuk simplisia dibasakan dengan amonia, kemudian ditambahkan kloroform, digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring, kemudian kedalamnya ditambahkan asam klorida 2N. Campuran dikocok kuatkuat hingga terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi menjadi 3 bagian: kepada bagian 1 ditambahkan pereaksi Mayer (kalium iodida dan raksa (II) klorida). Diamati jika terjadi endapan atau kekeruhan. Bila terjadi kekeruhan atau endapan berwarna putih berarti dalam simplisia kemungkinan terkandung alkaloid. Bagian ditambahkan pereaksi Dragendorff (bismuth subnitras dan raksa (II) klorida). Diamati jika terjadi endapan atau kekeruhan. Bila terjadi kekeruhan atau endapan berwarna jingga kuning berarti dalam simplisia kemungkinan terkandung alkaloid. Bagian 3 digunakan sebagai blanko. Polifenolat Sejumlah kecil serbuk simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi dan dipanaskan dalam tangas air, kemudian disaring. Kepada filtratnya ditambahkan larutan pereaksi besi (III) klorida. Adanya senyawa fenolat ditandai dengan terjadinya endapan warna hijau-biru hitam hingga hitam. Tanin Sejumlah kecil serbuk simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi dan dipanaskan dalam tangas air, kemudian disaring. Kepada filtratnya ditambahkan larutan pereaksi besi (III) klorida sehingga terjadi warna warna hijau-biru hitam hingga hitam, kemudian ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai dengan terjadinya endapan berwarna putih. Flavonoid Simplisia dipanaskan dan dicampur logam Magnesium dan asam klorida 5N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah yang ditarik oleh amil alkohol (untuk lebih memudahkan pengamatan, sebaiknya dilakukan percobaan blanko).

Kuinon Sejumlah kecil serbuk simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi dan dipanaskan dalam tangas air, kemudian disaring. Kedalam filtratnya ditambahkan larutan KOH 5%. Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah. Saponin Sejumlah kecil serbuk simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi dan dipanaskan dalam tangas air, kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung reaksi dikocok kuat-kuat selama lebih kurang 30 detik. Pembentukan busa sekurang-kurangnya setinggi 1 cm dan persisten selama beberapa menit serta tidak hilang pada penambahan satu tetes asam klorida encer menunjukkan bahwa dalam simplisia terdapat saponin.

Pembuatan Sediaan Salep Pada pembuatan salep, fraksi hexan rimpang dicampur dengan bahan dasar vaselin yang merupakan sistem sederhana. Kedua komponen ini dimasukkan ke dalam mortar kemudian dihomogenisasikan, setelah itu disimpan dalam wadah tertutup.

Mencit Untuk Perlakuan Hewan coba yang digunakan berjumlah 45 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu 15 ekor mencit untuk kelompok kontrol positif (menggunakan sediaan komersial), 15 ekor mencit untuk kelompok kontrol negatif (tanpa perngobatan) dan 15 ekor untuk kelompok mencit dengan meggunakan salep fraksi hexan rimpang kunyit.

Perlukaan Pada Mencit Perlukaan dilakukan setelah sebelumnya rambut di sekitar daerah yang akan dilukai dicukur dan dibersihkan menggunakan kapas beralkohol 70%. Mencit kemudian di anasthesi perinhalasi dengan eter setelah itu dilakukan penyayatan dengan menggunakan benda tajam. Sayatan dilakukan di daerah

punggung dengan panjang sayatan kurang lebih 1,5 cm sejajar dengan os. Vetebrae.

Pemberian Obat Luka Komersil dan Sediaan Salep Hexan Obat luka komersil yang digunakan mengandung ekstrak placenta 0,5%, neomycin sulfate 10% dan jelly base. Obat luka komersil dan sediaan salep fraksi hexan rimpang kunyit diberikan pada mencit dengan cara mengoleskan langsung pada luka dengan menggunakan cotton buds. Pemberian obat dilakukan sekali dalam sehari selama 21 hari pasca perlukaan.

Pengamatan Patologi Anatomi Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari setelah perlukaan sampai hari ke-21. Pengamatan ini dilakukan dengan metode deskriptif yang membandingkan proses persembuhan antara tiga kelompok mencit. Peubah yang diamati adalah panjang luka, kelembaban, warna luka, penyempitan luka dan tumbuhnya rambut.

Pengambilan Sampel Kulit Sampel kulit diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 pasca perlukaan setelah mencit dieuthanasi dengan menggunakan eter dosis berlebih secara perinhalasi. Daerah punggung yang diambil kulitnya dibersihkan dari rambut, jika ada rambut yang mulai tumbuh. Kulit disekitar luka dipotong dengan ukuran kurang lebih 1,5 cm. kulit yang sudah dipotong difiksasi dengan larutan BNF (buffer Neutral Formaline) 10% selama kurang lebih 48 jam.

Pembuatan Sediaan Haematoxilin-Eosin (HE) Potongan sediaan kulit dengan ketebalan kurang lebih 3 mm dimasukkan ke dalam kaset tissue dan didehidrasi dengan merendam sediaan tersebut secara berturut-turut ke dalam alkohol (70%, 80% dan 90%), alkohol absolut (I dan II), xylol (I dan II) dan parafin (I dan II). Masing-masing proses perendaman pada setiap larutan dilakukan selama dua jam.

Jaringan dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair. Letak jaringan diatur sedemikian rupa agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras. Pemotongan jaringan dengan ketebalan 5 mikron dilakukan dengan mokrotom. Hasil pemotongan berbentuk pita (ribbon), yang kemudian diletakkan di atas permukaan air hangat bersuhu 45oC dengan tujuan menghilangkan lipatanlipatan pada ribbon. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diulasi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Setelah itu, preparat dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 60oC. Sediaan dimasukkan ke dalam xylol sebayak dua kali selama dua menit, kemudian sediaan direhidrasi dengan memasukkan ke dalam larutan yang dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80% dengan waktu masing-masing selama dua menit. Selanjutnya sediaan dicuci dalam air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang sudah kering diberi pewarna Mayers Hematoksilin selama delapan menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan litium karbonat selama 15-30 detik, dibilas lagi dengan air, dan diwarnai dengan pewarna Eosin selama dua menit. Untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang telah terwarnai dicelupkan ke dalam alkohol 90% setelah itu alkohol absolut I masing-masing sebanyak sepuluh kali celupan, alkohol absolut II selama dua menit, xylol I selama satu menit dan xylol II selama dua menit setelah itu sediaan dikeringkan. Sediaan yang telah kering ditetesi dengan perekat permount, kemudian ditutup dengan gelas penutup dan disimpan beberapa menit hingga zat perekatnya mengering. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dengan menggunakan mikroskop.

Pembuatan Sediaan Masson Trichrome (MT) Deparafinasi dan rehidrasi hingga pencucian dengan air dan aquades dilakukan terlebih dahulu sebelum sediaan diwarnai. Sediaan kemudian dimasukkan ke dalam larutan mordant selama 30-40 menit lalu dicuci dengan aquades, selanjutnya sediaan dimasukkan ke larutan Carrazis Hematoxylin

selama 40 menit dan dicuci dengan aquades. Setelah itu, sediaan dimasukkan ke dalam larutan Orange G 0,75% selama 1-2 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak dua kali dengan cara menggoyangnya sebentar. Kemudiaan sediaan dimasukkan ke dalam larutan Ponceau Xylidine Fuchsin selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak dua kali. Langkah selanjutnya adalah memasukkan sediaan ke dalam Anilin Blue selama 15 menit yang kemudian dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak dua kali dan terakhir sediaan dimasukkan ke dalam alkohol 95%. Sediaan didehidrasi dan clearing terlebih dahulu sebelum ditetesi perekat permount dan ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan, 21 dengan menghitung jumlah polimorfonuklear (neutrofil), jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, dan persentase luasan kolagen. Pengamatan terhadap jumlah polimorfonuklear menggunakan mikroskop Olympus BX51TF, Japan dan pemotretan dengan video photo dalam 10 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450m2. Pengukuran panjang luka dan reepitelisasi menggunakan video mikrometer FDR-A IV-560 dengan perbesaran empat kali. Untuk melihat ketebalan dan luasan jaringan ikat digunakan preparat yang memakai pewarnaan MT. Presentase reepitelisasi dan luasan kolagen menggunakan video micrometer JVC, Japan dengan perbesaran objektif empat kali. Perhitungan jumlah relatif persentase luasan kolagen dan reepitelisasi ditentukan dengan cara mengkonfersi skala bar yang digunakan pada video mikrometer dengan perbesaran 180x, yaitu 200 m menjadi 3,6 cm. 200m X 180x = 3.6 x 104 m = 3.6 cm Dibuat pola kotak-kotak dengan ukuran 3.6 X 3.6 cm dengan kertas plastik. Kertas plastik yang sudah berpola ditempelkan pada monitor video micrometer. Setelah itu, untuk menyamakan standar perhitungan ditentukan tiga kotak untuk setiap panjang luka yang akan dihitung yang diambil dari tengah

bagian luka. Jaringan ikat yang tampak pada video micrometer ditentukan dengan ketetapan sebagai berikut: Jika luas kolagen memenuhi lebih dari setengah bagian kotak maka dihitung satu luasan, namun jika luasannya kurang dari setengah kotah maka tidak dihitung sebagai luasan

Gambar 7: Metode penentuan luasan kolagen pada pengamatan histopatologis jaringan luka hari ke-14. Kolagen terlihat biru pada sediaan berwarna Masson Trichome. Pada tampilan gambar videomicrometer dibuat pola kotak-kotak yang tiap sisi kotaknya berukuran 200m.

Perhitungan persentase luasan kolagen ditentukan dengan menggunakan rumus: Luas kolagen yang terbentuk X 100% Luas luka

Sedangkan untuk persentase reepitelisasi ditentukan dengan rumus: Luas luka yang ditutupi epitel X 100% Luas luka

Analisis Data Data pengamatan histopatologi yaitu jumlah polimorfonuklear (neutrofil), jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, dan persentase luasan kolagen diuji secara statistik menggunakan uji sidik ragam ANOVA dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Hasil pengamatan patologi anatomi dan histopatologi dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Fitokimia Fraksi Hexan Rimpang Kunyit Hasil analisis fitokimia fraksi hexan rimpang kunyit ditemukan adanya kandungan senyawa yaitu alkaloid, kuinon, dan saponin. Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dengan bahaya yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol jadi digunakan secara luas dalam pengobatan. Alkaloid biasanya tak berwarna, kebanyakan berbentuk kristal pada suhu kamar. Alkaloid secara kimia merupakan golongan heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana seperti koniina yaitu alkaloid utama Conium maculatum, sampai ke struktur pentasiklik seperti strikhnina yaitu racun kulit Strychnos (Harbone, 1987). Alkaloid tertentu mempunyai kemampuan mengurangi rasa nyeri dan bersifat sebagai penenang (Kalsum et al., 2008). Kuinon adalah senyawa berwarna (pigmen) yang terdapat pada tumbuhan. Warnanya sangat beragam mulai dari kuning pucat sampai hampir ke hitam, dan struktur yang telah dikenal jumlahnya lebih dari 450. Walau pigmen kuinon tersebar luas pada tumbuhan namun sumbangannya terhadap warna tumbuhan pada tumbuhan tinggi sangat kecil. Pigmen ini banyak terdapat pada kulit, akar atau jaringan lain pada tumbuhan seperti daun. Kuinon mempunyai struktur yang sangat beragam dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harbone, 1987). Kuinon termasuk dalam kelompok fenolat, berfungsi sebagai kofaktor. Senyawa fenolat pada tumbuhan umumnya dalam bentuk terikat dengan molekul lain, seringkali dengan residu glucosyl, sulphate atau asetil. Dalam keadaan bebas dan terdetoksifikasi secara parsial bersifat toksik. Kuinon memiliki efek menghilangkan rasa sakit (Daris, 2008). Menurut Harbone (1987) saponin merupakan senyawa surfaktan. Saponin adalah suatu glikosida triterpana dan sterol yang mungkin ada pada banyak tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan kosentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu yang dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap

pertumbuhan. Saponin mempunyai sifat antara lain memberikan rasa pahit pada bahan pangan nabati, dalam larutan air membentuk busa yang stabil, menghemolisa eritrosit, merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi, membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya, sulit diidentifikasi, dan mempunyai berat molekul relatif tinggi. Saponin juga bersifat iritan pada mukosa tubuh (Sayekti, 2008; Jenkins et al., 1957). Jika berdasarkan sifat kimiawinya, saponin dibagi dalam dua kelompok steroid dengan 27 C atom dan triterpenoids dengan 30 C atom (Sayekti, 2008; Harbone, 1987). Fungsi saponin dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui secara pasti tapi fungsinya bagi tubuh telah diketahui dari berbagai hasil penelitian. Saponin berfungsi sebagai hipokolesterolemik, imunostimulator, dan anti karsinogenik. Mekanisme anti koarsinigenik saponin meliputi efek anti oksidan dan sitotoksik langsung pada sel kanker. Saponin dari kedelai merupakan sumber makanan yang sudah diteliti dapat menurunkan risiko kanker. Saponin juga berfungsi sebagai anti bakteri (Sayekti, 2008).

Pengamatan Luka Secara Makroskopis Hasil pengamatan secara makroskopis (Patologi Anatomi) terhadap proses persembuhan luka hewan coba mencit tanpa pengobatan (kontrol negatif) dan dengan perlakuan memakai obat komersil (kontrol positif) dan sediaan salep fraksi hexan rimpang kunyit berdasarkan peubah tertentu. Peubah pada pengamatan makroskopis yaitu ukuran luka (panjang luka dan penyempitan luka), kelembaban, warna luka, dan tumbuhnya rambut (Tabel 1). Waktu persembuhan luka antara ke-3 kelompok terlihat berbeda berdasarkan pengamatan patologi anatomi. Persembuhan luka untuk kelompok hexan terjadi lebih awal sedangkan persembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif terjadi paling akhir. Cepatnya waktu persembuhan pada kelompok hexan akibat adanya kandungan saponin dan kurkuminoid yang melindungi daerah luka dari bakteri dan berfungsi sebagai anti inflamasi.

Tabel 1. Patologi anatomi persembuhan luka kulit pada mencit. Hari Kontrol Negatif Kontrol Positif Salep Hexan ke1 Panjang luka 1,5 cm, luka basah, merah dan terbuka Panjang luka 1,36 cm, luka basah, merah dan terbuka Luka mulai mengering dan menutup, kulit berwarna merah agak pucat Panjang luka 1,20 cm, luka kering dan berwarna merah pucat Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil Tepi luka mengeras dan panjang luka agak mengecil Luka semakin menutup, panjang luka 1,07 cm Luka hampir menutup Luka semakin mengecil Luka semakin mengecil Luka hampir menutup sempurna Luka telah tertutup epitel. Terlihat adanya bekas luka Panjang luka 1,5 cm, luka basah, merah dan terbuka Panjang luka 1,30 cm, luka masih terbuka, mulai mengering dan merah pucat Luka mengering dan masih terbuka dan berwarna merah pucat Luka semakin menutup dan kering. Panjang luka 1 cm. Luka hampir menutup dan tepi luka mengeras Panjang luka 1,5 cm, luka basah, merah dan terbuka Panjang luka 1,30 cm, luka masih terbuka, mulai mengering, dan berwarna merah pucat Luka mengering dan masih terbuka

Luka semakin menutup dan kering. Panjang luka 0,5 cm. Luka hampir menutup dan tepi luka mengeras

Luka hampir menutup Luka hampir menutup dan tepi luka mengeras dan tepi luka mengeras Luka semakin mengecil, Luka semakin mengecil, panjang luka 0,27 cm. panjang luka 0,27 cm. Luka semakin mengecil Luka semakin mengecil Luka telah menutup Luka telah menutup sempurna Luka telah tertutup epitel. Terlihat adanya bekas luka Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut Bekas luka hampir tidak terlihat dan ditutupi rambut baru Bekas luka tidak terlihat dan ditutupi rambut baru Luka telah menutup Luka telah menutup sempurna Luka telah tertutup epitel. Terlihat adanya bekas luka Bekas luka hampir tidak terlihat dan mulai ditumbuhi rambut Bekas luka tidak terlihat dan mulai ditumbuhi rambut Luka ditutupi rambut baru Luka ditutupi rambut baru

7 8 9 10 11 12 13

Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut 15 Masih terlihat bekas luka dan mulai ditumbuhi rambut 16-21 Masih terlihat sedikit bekas luka dan mulai tertutupi rambut baru

14

Pada kulit yang tersayat sepanjang 1,5 cm yang disebabkan oleh benda tajam memberikan hasil yang sama untuk ketiga kelompok pada hari pertama yaitu luka terbuka, basah dan merah. Kulit yang tersayat akan kehilangan

kekuatan rektraksinya sehingga membentuk celah, dan akan merusakan pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya trombosit yang berfungsi homeostasis (Tawi, 2008). Trombosit atau keping darah, yang merupakan unsur berukuran paling kecil penyusun sumsum tulang, sangat berperan dalam proses pembekuan darah. Trombosit yang terjerat di tempat terjadinya luka mengeluarkan suatu zat yang dapat mengumpulkan trombosittrombosit lain di tempat tersebut. Sel-sel trombosit ini kemudian menutup luka yang terbuka (Anonim, 2008). Trombin adalah protein lain yang membantu pembekuan darah. Zat ini dihasilkan hanya di tempat yang terluka, dan dalam jumlah yang tidak boleh lebih atau kurang dari keperluan. Pembentukan protein ini akan merangsang pembentukan kumpulan protein yang disebut fibrinogen. Fibrinogen akan membentuk benang-benang yang saling bertautan, saling beranyaman dan membentuk jaring pada tempat keluarnya darah yang mengakibatkan trombosit terperangkap dalam jaring dan mengumpul di tempat yang sama. Berkumpulnya trombosit yang terperangkap ini menyebabkan penyumbatan luka yang sering disebut dengan gumpalan darah. Gumpalan ini akan hilang ketika luka telah sembuh (Anonim, 2008). Trombosit juga mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang

mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung beberapa menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi (Tawi, 2008). Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang segera diikuti oleh melambatnya sirkulasi darah. Kejadian ini menyebabkan daerah luka berwarna merah dan juga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap protein plasma yang terdiri dari albumin, globulin, dan fibrinogen keluar ke jaringan interstitial. Keluarnya protein plasma kejaringan interstitial menyebabkan penurunan tekanan osmotik intravaskuler dan

peningkatan tekanan osmotik interstitial. Akibatnya, cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan terakumulasi di jaringan interstitial. Kondisi ini biasa disebut sebagai edema peradangan dimana luka akan terlihat bengkak dan basah.

Hal lain yang menyebabkan vasodilatasi adalah histamin (Tawi, 2008 ; Vegad, 1995). Pada hari ke-2 terlihat panjang luka mulai mengecil 1,30 cm untuk kelompok perlakuan dan 1,36 cm untuk kelompok tanpa perlakuan. Hal ini karena telah dimulainya proses reepitelisasi. Reepitelisasi dimulai beberapa jam setelah terjadi kerusakan. Sel epidermal dari luka akan berploriferasi (aktif bermitosis) dari tepi luka ke arah belakang dan akhirnya membentuk barier yang menutupi permukaan luka (Singer & Richard, 1999). Pada ke-3 kelompok juga terlihat luka masih basah dan berwarna merah, meskipun untuk kelompok perlakuan lebih baik dibandingkan kelompok tanpa perlakuan. Hal ini sama seperti hari pertama yang menadakan masih terjadi proses peradangan yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan, panas, nyeri dan kerusakan fungsi.

C Gambar 8: Proses persembuhan luka (PA) hari ke-4. (A) Kontrol negatif, (B) Kontrol positif, (C) Hexan. Pada hari ke-4 (Gambar 8) terlihat panjang luka untuk kelompok hexan 0,5 cm, untuk kontrol positif 1 cm, dan untuk kontrol negatif 1,20 cm. Panjangnya ukuran luka pada kontrol negatif disebabkan belum selesainya proses peradangan, terlihat dengan luka yang masih berwarna merah pucat. Sebaliknya kecilnya ukuran luka pada kelompok hexan disebabkan telah selesainya proses peradangan, terlihat dengan telah mengeringnya luka dan tidak ada lagi warna merah sehingga proses persembuhan dapat dilanjutkan.

Pada hari ke-7 panjang luka untuk kelompok perlakuan 0,27 cm dan untuk kelompok tanpa perlakuan 1,07 cm. Pada hari ini juga terlihat luka sudah hampir menutup, semakin menutupnya luka karena adanya unsur pada luka yang mempunyai kemampuan untuk berkontraksi mengurangi ukurannya yaitu fibroblas. Fibroblas adalah sel mesenkim dasar jaringan dewasa yang mempunyai sifat lain, yakni kontraktilitas. Fibroblas akan menarik tepi-tepi luka dengan cara bergerak aktif dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru. Sel-sel ini akan menarik tepi-tepi luka dan dengan demikian mengurangi ukuran daerah luka (Spector & Spector, 1993; Tawi, 2008).

C Gambar 9: Proses persembuhan (PA) luka hari ke-14. (A) Kontrol negatif, (B) Kontrol positif, (C) Hexan. Persembuhan terjadi pada hari ke-14 (Gambar 9) untuk ke-3 kelompok. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya rambut pada daerah luka. Namun, pada kelompok hexan persembuhan yang terjadi lebih baik karena tidak meninggalkan bekas luka. Pada hari ke-21 luka untuk ketiga kelompok telah sembuh sempurna yang ditandai dengan tidak adanya bekas luka.

Pengamatan Luka Secara Mikroskopis Pada penelitian ini peubah yang diamati pada pemeriksaan mikroskopis (pengamatan histopatologi) adalah jumlah neutrofil, jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi dan persentase luasan kolagen (Tabel 2,3,4, dan 5). Secara normal tubuh akan merespon cedera dengan jalan proses peradangan, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function) (Drakbar, 2008). Peradangan akut akan terjadi beberapa menit atau jam setelah kerusakan jaringan dan akan berakhir beberapa jam atau hari tergantung bentuk luka. Peradangan akut adalah sebuah respon vaskuler dan seluler yang biasa terjadi pada kerusakan jaringan lunak akibat trauma mekanik seperti kulit yang tersayat, dan infeksi. Respons vaskular terlihat dengan adanya perubahan pada pembuluh darah, perubahan pada aliran darah, eksudasi plasma darah, emigrasi dari leukosit, dan diapedesis dari eritrosit. Sedangkan respons seluler terlihat berupa adanya peningkatan aktivitas leukosit yang merupakan aktivitas berkelanjutan yang terdiri dari marginasi, adesi, emigrasi, fagositosis, dan pelepasan produk-produk leukosit ke jaringan ekstraseluler. Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Karena proses persembuhan luka bukanlah proses yang sederhana melainkan suatu proses yang kompleks dengan berbagai kegiatan bioseluler, bio-kimia yang terjadi berkisanambungan. (Tawi ,2008; Vegad ,1995).

Neutrofil Sel yang berperan penting dalam proses peradangan salah satunya neutrofil. Pembentukan neutrofil terjadi di dalam sumsum tulang. Neutrofil mempunyai fungsi memfagositosis benda-benda asing seperti bakteri dan sel-sel yang rusak atau mati. Proses neutrofil memfagositosis adalah kemotaksis, perlekatan, penelanan, dan pencernaan. Neutrofil masuk dalam jaringan yang luka dalam waktu yang sangat cepat dengan cara diapedesis dan bergerak melewati jaringan dengan gerakan ameboid dan gerakan neutrofil ke area jaringan yang meradang di bawah pengaruh rangsangan kimiawi. Rangsangan kimiawi ini tidak hanya datang dari growth factors released yang berasal dari degranulasi platelets

tetapi dari rangsangan yang dilepaskan oleh protein bakteri, dan rangsangan produk yang bersala dari proteolysis fibrin dan semua komponen matrix. Pergerakan ini disebut kemotaksis (Martin, 2007; Spector & Spector, 1993). Tujuan yang hendak dicapai dari adanya respons ini adalah membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan (Tawi ,2008; Vegad ,1995). Tabel 2. Rataan jumlah PMN (Neutrofil) pada mecit kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), dan salep hexan Hari KP KN Salep Hexan
2 4 7 14 21 9.014.40a 4.071.09a 14.500.00a 0.831.44ab 0.000.00a 15.715.24a 3.701.29a 10.582.99b 3.002.00a 0.000.00a 8.237.51a 2.501.42a 2.000.29c 0.000.00b 0.330.58a

Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

Gambar 10: Neutrofil kelompok hexan hari ke-2, dengan pewarnaan HE, pembesaran objektif 100x, dan Bar: 20m Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah neutrofil (Gambar 10) pada hari ke-2 dan hari ke-4 antara ketiga kelompok tidak memiliki perbedaan yang nyata. Namun, dari hari ke-2 sampai hari ke-4 terjadi penurunan jumlah neutrofil. Banyaknya jumlah neutrofil pada hari ke-2 dapat disebabkan adanya vasodilatasi pembuluh darah yang juga menyebabkan edema, sedangkan rendahnya jumlah neutrofil pada hari ke-4 dapat disebabkan karena pendeknya umur sel ini dan

kebanyakan dari sel ini mati setelah memfagosit (Tizard, 1988). Pada hari ke-4 juga terlihat edema semakin berkurang dan terdapat sedikit invasi makrofag pada jaringan yang bertugas menggantikan neutrofil. Makrofag mempunyai fungsi yang sama dengan neutrofil yaitu sebagai fagosit. Namun, keduanya mempunyai banyak perbedaan antara lain neutrofil mempunyai sifat bekerja memfagositosis secara cepat dibandingkan makrofag dan umur netrofil lebih pendek daripada umur makrofag (Spector & Spector, 1993; Tizard, 1988). Pada hari ke-7 terdapat perbedaan jumlah neutrofil yang nyata antara ketiga kelompok. Jumlah neutrofil pada kelompok hexan lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan rimpang kunyit memiliki kandungan senyawa saponin dan kurkuminoid yang berfungsi sebagai zat anti bakteri (Sayekti, 2008). Keberadaan kedua senyawa ini mempengaruhi rangsangan migrasi neutrofil ke daerah luka. Pada hari ke-14 tidak terdapat perbedaan nyata antara kelompok perlakuan tapi keduanya berbeda nyata dengan kelompok tanpa pengobatan. Jumlah neutrofil pada kelompok hexan jauh lebih sedikit dibandingkan pada kelompok kontrol negatif. Pada hari ke-21 jumlah neutrofil tidak lagi terlihat berbeda pada ke-3 kelompok. Jumlah neutrofil pada hari ini sangat rendah bahkan tidak ada, hal ini menandakan luka telah sembuh.

Neovaskularisasi Angiogenesis merupakan suatu proses pembentukan neovaskularisai (Gambar 11) didalam luka. Kegagalan vaskularisasi akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses persembuhan (Tawi, 2008). Adanya invasi neovaskular dalam jaringan juga merupakan pengaruh yang dikeluarkan oleh platelet, adanya respon kebutuhan oksigen dan nutrisi yang cukup untuk proses persembuhan karena jaringan yang luka mengalami hipoksia, dan merupakan suatu dasar growth faktor fibroblas (Singer et al.,1999; Tawi, 2008). Kehadiran makrofag pada daerah luka juga berfungsi mengeluarkan faktor angiogenesis (Drakbar, 2008). Pembuluh darah akan membentuk tunas-tunas pembuluh darah baru yang nantinya akan berkembang menjadi percabangan baru pada jaringan luka yang

disebut neovaskular. Tunas-tunas pembuluh ini akan muncul oleh aktivitas mitosis ada sel-sel endotel pembuluh darah tetua yang diikuti oleh migrasinya ke daerah luka. Cabang-cabang pembuluh darah baru ini akan saling beranastomose dan membentuk suatu jaringan sirkulasi darah yang pada di daerah luka (Spector & Spector, 1993; Tawi, 2008). Tabel 3. Rataan jumlah neovaskularisasi pada mencit kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), dan salep hexan Hari KP KN Salep Hexan
2 4 7 14 21 0.000.00a 0.330.58a 8.001.73a 6.332.52a 0.000.00b 0.000.00a 0.000.00a 0.671.15b 5.001.00a 6.001.00a 0.330.58a 0.330.58a 8.335.13a 1.331.15b 0.330.58b

Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

Gambar 11: Neovaskularisasi kelompok hexan hari ke-7, dengan pewarnaan MT, pembesaran objektif 40x, dan Bar: 20m Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah neovaskularisasi pada hari ke-2 dan hari ke-4 antara ketiga kelompok tidak memiliki perbedaan yang nyata. Namun, neovaskularisasi pada kelompok hexan lebih cepat terjadi dibandingkan kelompok kontrol. Neovaskularisasi untuk kelompok hexan terjadi pada hari ke-2, untuk kelompok kontrol positif pada hari ke-4, dan untuk kelompok kontrol negatif terjadi pada hari ke-7. Hal ini dapat menjadi indikator telah dimulainya proses

persembuhan luka dan dapat dikatakan bahwa salep fraksi hexan rimpang kunyit mempercepat proses pertumbuhan neovaskularisasi. Neovaskularisasi pada hari ke-7 menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif tidak berbeda nyata dengan kelompok hexan, tapi keduanya berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti bahwa keberadaan

neovaskularisasi untuk proses persembuhan luka sangat baik jika dilakukan pengobatan dibandingkan tanpa pengobatan. Pada hari ke-14 terlihat bahwa antara kedua kelompok kontrol tidak berbeda nyata tapi keduanya berbeda nyata dengan kelompok hexan. Jumlah neovaskularisasi pada kelompok hexan jauh lebih sedikit dibanding kelompok kontrol, hal ini menjadi indikator luka sembuh pada kelompok hexan sehingga tidak terlalu memerlukan neovaskularisasi. Pada hari ke-21 terlihat bahwa antara kelompok perlakuan tidak berbeda nyata tapi keduanya berbeda nyata dengan kontrol negatif. Tingginya neovaskularisasi pada kelompok kontrol negatif menandakan bahwa proses persembuhan belum selesai sedangkan untuk kelompok perlakuan telah sembuh sempurna.

Reepitelisasi Reepitelisasi (Gambar 12) dimulai beberapa jam setelah terjadi kerusakan. Sel epidermal dari luka akan berploriferasi (aktif bermitosis) dari tepi dalam ke tepi luka dan akhirnya membentuk barier yang menutupi permukaan luka sehingga mencengah masuknya mikroorganisme (Singer et al.,, 1999; Drakbar, 2008). Tabel 4. Persentase reepitelisasi pada mencit kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), dan salep hexan
Hari 2 4 7 14 21 KP 33.3333.35a 33.3333.35a 77.8019.23a 66.6757.74a 100.000.00a KN 44.4319.28a 33.3333.35a 77.8019.23a 88.9019.23a 100.000.00a Salep Hexan 33.3357.74a 55.5750.92a 55.5750.92a 100.000.00a 100.000.00a

Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05).

Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase reepitelisasi pada ketiga kelompok untuk semua hari tidak berbeda nyata. Persentase reepitelisasi pada awal panen tidak terlalu besar karena kulit yang terluka butuh waktu untuk melakukan mitosis epitel, dengan bertambahnya waktu persentase reepitelisasi meningkat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas mitosis epitel didekatnya ke tepi luka, terutama pada lapisan yang lebih dalam. Epitel meluncur ke luar dari tepi luka dengan gerakan amoeboid yang khas. Lembaran epitel dari berbagai sudut luka bertemu ditengah, migrasi dan mitosis berhenti, barangkali sebagai konsekuensi sinyal dari sel ke sel yang dikenal sebagai hambatan kontak (Spector & Spector, 1993). Pada hari ke-14 persentase reepitelisasi untuk kelompok hexan mencapai 100% lebih awal dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menandakan ada senyawa dalam fraksi hexan rimpang kunyit yang mempengaruhi pertumbuhan reepitelisasi.

Gambar 12: Reepitelisasi hari ke-7, dengan pewarnaan MT, pembesaran objektif 4x, dan Bar: 200m. Kolagen Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan mensintesis kolagen (Gambar 13) dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah

kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka (Drakbar, 2008). Tabel 5. Persentase luasan kolagen pada mencit kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), dan salep hexan Hari KP KN Salep Hexan
2 4 7 14 21 00.00a 00.00a 66.6733.35a 100.000.00a 88.9019.23a 00.00a 00.00a 33.300.00a 88.9019.23a 77.8019.23a 00.00a 00.00a 55.5719.28a 100.000.00a 88.9019.23a

Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. (P>0.05).

Gambar 13: jaringan ikat kolagen yang ditandai dengan warna biru pada kelompok hexan pada hari ke-7, dengan pewarnaan MT, pembesaran objektif 4x, dan Bar: 200m. Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase luasan kolagen pada semua hari untuk ketiga kelompok tidak berbeda nyata, tetapi untuk kedua kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa pengobatan pada semua hari. Persentase luasan kolagen juga telah mencapai 100% lebih awal untuk kelompok perlakuan yaitu pada hari ke-14. Hal ini menandakan persembuhan luka untuk kelompok perlakuan jauh lebih cepat daripada kelompok tanpa pengobatan. Pada hari ke-21 persentase kolagen

mengalami penurunan karena jika terdapat kolagen yang berlebihan pada jaringan maka akan terbentuk jaringan parut. Jaringan parut atau keloid memang tidak membahayakan tapi dari segi estetika hal ini sangat mengganggu (Sukasah, 2007).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan 1. Alkaloid, kuinon, dan saponin merupakan senyawa rimpang kunyit yang larut pada pelarut hexan. 2. Sediaan fraksi hexan dapat menekan jumlah sel radang pada daerah luka dan mempercepat proses pertumbuhan neovaskularisasi dan reepitelisasi. 3. Sediaan fraksi hexan rimpang kunyit dapat mempercepat proses persembuhan luka.

Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah salep fraksi hexan rimpang kunyit ini aman bagi kulit. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keefektifan fraksi hexan rimpang kunyit dalam bentuk sediaan lain.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. http://www.rooj.com/Radioprotection_files/image002.jpg. [1 Agustus 2008]

Anonim. 2008. Pembekuan Darah. www.insight-magazine.com. [28 Agustus 2008] Amelia. 2002. Fitokimia Komponen Ajaib Cegah PJK, DM dan Kanker. http://www.kompas.com. [15 Agustus 2008] Arrington, L.R. 1972. Introductory Laboratorium Animal Science. The Interstate Printer and Publiser, Inc. Danville. Illinois. Basri, S. 1996. Kamus Kimia. Rineka Cipt: Jakarta. Chan M.M. 1995. Inhibit of tumor necrosis faktor by curcumin, a phytochemical. Departement of Biological Science, Rutgers, State University of New Jersey, Piscatoway, USA. Biochem Pharmacol. 49 (11): 1551-6. Biswas. 2004. Turmeric and curcumin: Biological actions and medicinal applications. http://www.currentscience.go.id/pdf/buletin/vol 87 no 01. [1 Juli 2008] Brieger, Gottfried. 1969. A Laboratorium Manual for Modern Organic Chemistry. Oakland University: New York. Daris, A. 2008. Fitokimia. http://www.isfinational.or.id. [15 Agustus 2008]. Dellmann HD dan Brown EM. 1992. Buku Text Histology Veterinary. Ed ke-3. Hartono R, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Hlm: 592-598. Dharmojono, H. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner. Edisi 2. Pustaka Populer Obor: Jakarta. Drakbar. 2008. Rawat Luka. http://drakbar.wordpress.com [15 Agustus 2008]. Engelhardt E, Toksoy A, Goebeler M, Debus S, Brocker EB, Gillitzer R. 1998. Chemokines IL-8, GROalfa, MCP-1, IP-10 and Mig Are Sequentiallly and Diferentially Expressed During Phase-Spesific Infiltration of leukocyte Subsets in Human Wound Healing. Am J Pathol. 153: 18491860. Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi ke-3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.

Harborne, JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Edisi ke-2. ITB: Bandung. Jenkins GL, Hartung WH, Hamlin KE. JE., dan Data JB. 1957. The Chemistry of Organic Medicinal Product. Ed. Ke-4. USA: Jhon Wiley and Son Inc. Judoamidjojo, M. 1981. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Angkasa: Bandung. Jones TJ, Hunt RD, King NW. 1996. Veterinary Pathologi. 6th Edition. Wiiliams and Wilkins. Hlm: 461-463. Kalsum U, Nur P, dan Nurdiana. 2008. Peran Alkaloid. http://www.litbang.depkes.go.id/risbenkes.com. [10 juli 2008]

Kristina N.N, Siti F.S, Molide R. 2007. Manfaat Kunyit untuk Kesehatan. http://www.obi.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=5 2 [20 Mei 2008]. Markham KR. 1988. Cara Mengindentifikasi Flavonoid. ITB: Bandung. Malole, MBM dan C.S.U Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Coba di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. Martin, P. 2007. Wound Healing-Aiming for Perfect Skin Regeneration. http://www.sciencemag.org. SCIENCE. VOL.276. [4 Agustus 2008]. Olivia F, Syamsir A, Iwan H. 2004. Seluk Beluk Food Supplement. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Price, S.A, dan L. McCarty W.. XXX. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke 6. Volume 1. dr. Brahm U.P, dr. Huriawati H, dr. Pita Wulansari dan dr. Dewi Asih M, alih bahasa: dr. Huriawati H, dr. Natalia Susi, dr. Pita W, dan dr. Dewi Asih M. Terjemahan dari : Pathofisiology : Clinical Concept of Disease Processes. Hlm : 56-79 Santosa Dj dan D. Gunawan. 2003. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Kulit. Penebar Swadaya: Jakarta. Sayekti. 2008. Sifat Saponin. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/58_10_ZatZatToksikAlamiah.pdf/58_10_Zat-ZatToksikAlamiah.html. [1 Juni 2008]. Singer, M.D., Richard, A.F., & Adam, J. 1999. Cutaneus Wound Healing. http://www.nejm.org. [5 Agustus 2008].

Spector, W.G dan T.D Spector. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi ke 3. Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Hlm : 130-145. Sukasah L. Chaula. 2007. Penggunaan Silicone Gel Sheet pada Keloid dan Jaringan Parut Hipertrofik. http://pusdiknakes.or.id/persinew/?show=detailnews&kode=972&tbl=art ikel. [15 Agustus 2008]. Syukur C dan Hernani. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Komersial. Penebar Swadaya: Jakarta. Taryono. 2001. Budi Daya dan Pengolahan Tanaman Kunyit (Curcuma domestica Val.). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat: Bogor Tawi, M. 2008. Proses Penyembuhan Luka. http://syehaceh.wordpress.com. [23 Mei 2008]. Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press: Surabaya. Yuliani, S & S, Rusli. 2003. Ekstraksi Pestisida Nabati. Balitro: Bogor. Yuniati E, A. Munir, K. Sukenti, A.A. Darmadi, W. Winarti, Yelita dan Priyanti. 2001. Tantangan Pengembangan dan Fakta Jenis Tanaman Rempah. Prosea Indonesia: Bogor. Vegad JL. 1995. Textbook of Veterinary General Pathologi. Vikas Publishing House PVT LTD: New Delhi. Wientarsih, I & B. F. Prasetyo. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Bagian Farmasi PPDH FKH IPB: Bogor. Wijayakusuma, H. 2005. Menumpas Penyakit Kewanitaan dengan Tanaman Obat. Puspa Swara: Jakarta. Wijayakusuma HMH, S Dalimartha, AS Wirian. 1992. Tanaman Berkhasiat Tanaman Obat di Indonesia. Jilid ke-4. Pustaka Kartini: Jakarta. Winarto, WP. 2003. Khasiat dan Tanaman Kunyit. PT Agromedia Pustaka: Jakarta.

LAMPIRAN

Lampiran 1: Hasil Perhitungan Statistik PMN (Neutrofil) Panen 1


Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.277930 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 2.98002577 7.74217963 10.72220541 Coeff Var 35.41033 Root MSE 1.135942 respon Mean 3.207938 Mean Square 1.49001289 1.29036327 F Value 1.15 Pr > F 0.3765

Panen 2
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.304014 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 0.31038448 0.71057068 1.02095516 Coeff Var 17.62821 Root MSE 0.344134 respon Mean 1.952179 Mean Square 0.15519224 0.11842845 F Value 1.31 Pr > F 0.3371

Panen 3
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.953383 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 8.57037741 0.41906521 8.98944262 Coeff Var 9.049350 Root MSE 0.264281 respon Mean 2.920437 Mean Square 4.28518870 0.06984420 F Value 61.35 Pr > F 0.0001

Panen 4
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.590986 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 1.92601553 1.33297257 3.25898810 Coeff Var 39.61450 Root MSE 0.471341 respon Mean 1.189819 Mean Square 0.96300777 0.22216210 F Value 4.33 Pr > F 0.0684

Panen 5
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.250000 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 0.05954424 0.17863273 0.23817698 Coeff Var 22.56617 Root MSE 0.172546 respon Mean 0.764622 Mean Square 0.02977212 0.02977212 F Value 1.00 Pr > F 0.4219

Lampiran 2: Hasil Perhitungan Statistik NEOVASKULARISASI Panen 1


Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.250000 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 0.05954424 0.17863273 0.23817698 Coeff Var 22.56617 Root MSE 0.172546 respon Mean 0.764622 Mean Square 0.02977212 0.02977212 F Value 1.00 Pr > F 0.4219

Panen 2
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.142857 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 0.05954424 0.35726547 0.41680971 Coeff Var 29.68078 Root MSE 0.244017 respon Mean 0.822138 Mean Square 0.02977212 0.05954424 F Value 0.50 Pr > F 0.6297

Panen 3
Class perlk Levels 3 Values Hexan KN KP Sum of Squares 7.21371383 2.13342994 9.34714377 Coeff Var 26.33210 Root MSE 0.596298 respon Mean 2.264530

Source Model Error Corrected Total R-Square 0.771756

DF 2 6 8

Mean Square 3.60685691 0.35557166

F Value 10.14

Pr > F 0.0119

Panen 4
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.727113 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 2.83637172 1.06449743 3.90086915 Coeff Var 20.33898 Root MSE 0.421208 respon Mean 2.070940 Mean Square 1.41818586 0.17741624 F Value 7.99 Pr > F 0.0203

Panen 5
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.960198 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 6.17710611 0.25605498 6.43316109 Coeff Var 15.00153 Root MSE 0.206581 respon Mean 1.377068 Mean Square 3.08855306 0.04267583 F Value 72.37 Pr > F <.0001

Lampiran 3: Hasil Perhitungan Statistik Reepitelisasi (%) Panen 1


Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.115745 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 11.9061633 90.9591333 102.8652966 Coeff Var 76.20705 Root MSE 3.893566 respon Mean 5.109194 Mean Square 5.9530817 15.1598555 F Value 0.39 Pr > F 0.6914

Panen 2
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.035416 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 3.9409214 107.3345691 111.2754905 Coeff Var 78.70309 Root MSE 4.229550 respon Mean 5.374059 Mean Square 1.9704607 17.8890948 F Value 0.11 Pr > F 0.8975

Panen 3
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.189841 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 12.46820025 53.20886343 65.67706368 Coeff Var 37.34367 Root MSE 2.977943 respon Mean 7.974425 Mean Square 6.23410013 8.86814390 F Value 0.70 Pr > F 0.5318

Panen 4
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.212835 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 16.25209952 60.10799636 76.36009588 Coeff Var 36.02212 Root MSE 3.165122 respon Mean 8.786606 Mean Square 8.12604976 10.01799939 F Value 0.81 Pr > F 0.4878

Panen 5
Class perlk Levels Values 3 Hexan KN KP Sum of Squares 0 0 0 Coeff Var 0 Root MSE 0 respon Mean 10.02497

Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000

DF 2 6 8

Mean Square 0 0

F Value .

Pr > F .

Lampiran 4: Hasil Perhitungan Statistik Luasan Kolagen (%) Panen 1


Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Coeff Var 0 Sum of Squares 0 0 0 Root MSE 0 respon Mean 0.707107 Mean Square 0 0 F Value . Pr > F .

Panen 2
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.000000 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Coeff Var 0 Sum of Squares 0 0 0 Root MSE 0 respon Mean 0.707107 Mean Square 0 0 F Value . Pr > F .

Panen 3
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.749032 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 7.72920555 12.70694954 20.43615508 Coeff Var 15.33528 Root MSE 1.219198 respon Mean 7.950283 Mean Square 3.86460277 2.11782492 F Value 1.82 Pr > F 0.2404

Panen 4
Class perlk Source Model Error Corrected Total R-Square 0.250000 Levels 3 Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 0.74209415 2.22628244 2.96837658 Coeff Var 6.201802 Root MSE 0.609136 respon Mean 9.821925 Mean Square 0.37104707 0.37104707 F Value 1.00 Pr > F 0.4219

Panen 5

Class perlk Source Model Error

Levels 3

Values Hexan KN KP DF 2 6 8 Sum of Squares 0.74209415 6.67884731 7.42094145 Coeff Var 11.45207 Root MSE 1.055055 respon Mean 9.212788 Mean Square 0.37104707 1.11314122 F Value 0.33 Pr > F 0.7290

Corrected Total R-Square 0.100000

Anda mungkin juga menyukai