Kejang terjadi dua jam sebelum masuk rumah sakit, Mola mengalami kejang satu kali selama kurang lebih 15 menit. Kejang muncul tibatiba pada saat Mola sedang tidur. Saat kejang, badan Mola demam, setelah kejang, Mola tidak sadarkan diri dan langsung dibawa ke RS Segar Bugar. Menurut ibunya, sudah 10 hari Mola sakit demam, demam turun setelah minum obat penurun panas yang dibelinya di warung dekat rumah. Semenjak demam, Mola sering mengeluhkan sakit kepala dan badannya terasa pegal-pegal. Sehari sebelum masuk Rumah Sakit, Mola muntah nyemprot sebanyak 2x. Menurut ibunya Mola sering batuk pilek, tidak pernah mengalami kejang sebelumnya dan tidak pernah mengalami trauma kepala
INFO II Pemeriksaan fisik Keadaan umum : Somnolen GCS E2M4V2 = GCS8 Vital Sign TD RR Suhu Kepala Mata : 110/70 mmHg : 104x/menit : 30x/menit : 38,3 o C : Mesosephal, tanda trauma (-) : Sclera ikhterik -/-, Konjunctiva anemis -/Reflek cahaya +/+, pupil isokor dan 2mm/2mm Hidung Leher Thorax Jantung Abdomen : NCH -/: tidak teraba perbesaran kelenjar getah bening : dbn : dbn : dbn
INFO III Status Neurologis Pemeriksaan nervus cranial Leher Ekstremitas Fungsi Motorik Gerak Kekuatan Reflek fisiologis Reflek patologis Tonus Trofi : dbn : kaku kuduk (+), brudzinski I (+) : kernig (+) Superior (D/S) Sdn Sdn N/N -/N/N Eutrofi inferior (D/S) Sdn Sdn N/N -/N/N Eutrofi
INFO IV Pemeriksaan penunjang Darah lengkap (Hb, leukosit, Ht, trombosit) Hb Leukosit Trombosit : 11,8 g/dl : 13.600 : 34,4%
Lumbal pungsi Warna : keruh Tekanan Protein Glukosa Leukosit : 315 mmHg : 116 mg/dl : 104 mg/dl : 68 mg/dl
A. KLARIFIKASI ISTILAH 1. Kejang Manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak (Nia, 2007). 2. Kesadaran Individu yang sadara adalah seseorang yang terbangun serta waspada terhadap diri dan lingkungannya. Untuk menimbulkan kesadaran yang normal, dua bagian utama sistem saraf-formatio retikularis di batang otak dan cortex cerebri-harus berfungsi aktif. Formatio reticularis berperan dalam keadaan bangun; gerakan membuka mata, sedangkan cortex cerebri dibutuhkan untuk keadaan waspada; berbicara (Snell, 2007). Keasadaran adalah keadaan yang mencerminkan pengnintegrasian impuls eferen dan aferen (Sidharta, 1998). 3. Demam Adalah kenaikan suhu tubuh di atas suhu normal yang biasanya merupakan respon terhadap suatu penyakit. Orang dewasa dikatakan demam bila suhu tubuh melebihi 37,2-37,5oC (99-99,5oF). Sedangkan anak-anak dikatakan demam bila suhu rectal >38oC, suhu oral >37,5oC, atau suhu axilla 37,2oC (Marx, 2009). 4. Nyeri kepala Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada seluruh daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala ( daerah oksipital dan sebahagian daerah tengkuk) (Sjahrir, 2008).
B. BATASAN MASALAH: Identitas Nama Jenis Kelamin Usia Keluhan Utama RPS Onset : 1 jam 45 menit sebelum masuk rumah sakit : An.Mola : Laki-laki : 15 tahun : Penurunan Kesadaran
Kronologi
: 2 jam sebelum masuk rumah saki Mola kejang 1x (durasi 15 menit) secara tiba-tiba saat sedang tidur. Saat kejang badannya deman, setelah kejang Mola tidak sadarkan diri.
: memburuk sampai tidak sadarkan diri :::: Demam, sakit kepala, badan pegal-pegal, 1 hari sebelum masuk rumah sakit muntah nyemprot 2x, riwayat pengobatan demam menggunakan obat
penurun panas 10 hari yang lalu. RPD - Riwayat kejang sebelumnya disangkal - Riwayat trauma kepala disangkal - Sering batuk pilek RPK RPSOS ::-
Tambahan DD Meningitis Virus Anamnesis: Anamnesis: kejang, nyeri et causa Encepalitis Meningoencepalitis causa Bacterial Anamnesis: penurunan Demam, kejang, penurunan kepala, kesadaran, nyeri kepala, et
kesadaran, fotophobia, takikardia, nyeri fotophobia, takikardia tenggorokan, malaise, ekstremitas, gelisah nyeri
fotophobia, takikardia
Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan Fisik:
Tidak ada meningeal sign, ada Meningeal sign : Tes Brudzinki 1-4(+), tes kaku kuduk (+), tes Kernig (+) Pemeriksaan Penunjang:
Tes Brudzinki 1-4(+), tes leteralisasi (hemiparesis) kaku kuduk (+), tes
Pemeriksaan
Kultur
bakteri
jika
dominan 2. EEG:
inflamasi yang difuse bilateral aktivitas rendah 3. Pemeriksaan virus Bila etiologinya virus akan ditemukan virus pada CNS, ditemukan kenaikan titer antibody yang spesifik terhadap virus penyebab. dengan
C. ANALISIS MASALAH 1 1. Mekanisme kejang : mba Icha, ica, mas Cahya, Azka 2. Klasifikasi kejang : azka, 3. Mekanisme muntah nyemprot : mba icha 4. Mekanisme demam 5. Mekanisme penurunan kesadaran 6. Mekanisme sadar 7. Penyebab penurunan kesadaran
D. ANALISIS MASALAH 2 1. Anatomi sistem saraf pusat 2. Histologi sistem saraf pusat 3. Fisiologi sistem saraf pusat 4. Mekanisme nyeri kepala : mas cahya mba icha 5. Definisi etiologi epidesmi meningtis & ensefalitis : mas cahya mba icha 6. Tanda gejala, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis 7. Patogenesis meningoencephalitis 8. Patofisiologi meningoencephalitis : azka yanda 9. Klasifikasi, faktor resiko 10. Penatalaksanaan meningoencephalitis
E. PEMBAHASAN ANALISIS MASALAH 1 1. Mekanisme kejang : mba Icha, ica, mas Cahya, Azka Glukosa + oksigen
Infeksi
Demam
Peningkatan metabolisme basal (10-15%) dan kebutuhan oksigen (20%) per peningkatan 10 C
eksitatorik : glutamat
inhibitorik :
Na dan K GABA
Cl dan K
Difusi Na2+-K+ (Na menumpuk di intrasel) Sehingga muatan di intrasel menjadi + Sedangkan neurotransmiter inhibitorik tidak ada potensial aksi (post sinpas)
2. Klasifikasi kejang : yanda, azka, kania 3. Mekanisme muntah nyemprot : mba icha 4. Mekanisme demam Mekanisme Terjadinya Demam (Silbernagl, 2003). Bakteri, virus masuk ke dalam tubuh
Prostaglandin (PGE2)
Demam
Gambar 1.1 Mekanisme penurunan kesadaran Pada dasarnya penurunan kesadaran terjadi akibat kegagalan eksitasi neuronneuron di sistem saraf pusat. Edema serebri menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (TIK), peningkatan ini akan mengakibatkan penyempitan pembuluh darah yang nantinya akan menyebabkan gangguan perfusi. Pasokan O2 dan nutrisi lain yang tidak tersampaikan ke otak menyebabkan tidak adanya energy atau ATP yang terbentuk oleh mitokondria, padahal untuk melakukan polarisasi dan depolarisasi memerlukan sejumlah ATP. Hasil akhir dari tidak adanya energy mengakibatkan hambatan eksitasi neuron-neuron dan terjadilah kehilangan kesadaran (Price, 2006). Iskemik yang terjadi juga dapat mengakibatkan tidak terbukanya pintu kanal ion K+ sehingga, ion kalium tidak bisa keluar ke ekstra sel, namun ion Ca+ tetap
terbuka dan masuk ke intra sel, dan menyebabkan penumpukan ion-ion plus, penumpukan ini juga akan mengakibatkan hambatan eksitasi neuron-neuron dan juga menyebabkan kehilangan kesadaran (Price, 2006).
6. Mekanisme sadar :
Excitatory neurotransmitter
Inhibitory neurotransmitter
Glutamat
Kesadaran
Kesadaran meningkat
Kesadaran menurun
Gambar 2.1. Mekanisme kesadaran (Snell, 2007). 7. Penyebab penurunan kesadaran Beberapa penyebab penurunan kesadaran antara lain (Snell, 2007): a. Kelainan otak 1) Trauma-komosio, kontusio, laserasio,hematoma epidural,
hematoma subdural 2) Gangguan sirkulasi-- perdarahan intraserebral, infark otak oleh trombosis dan emboli. 3) radang-- ensefalitis, meningitis
4) Neoplasma-- primer, metastatik. 5) Epilepsy-- status epilepsi b. Kelainan sistemik 1) Gangguan metabolisme dan elektrolit-- hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, uremia, gangguan hepar, hipokalsemia, hiponatremia 2) Hipoksia-- penyakit paru berat, kegagalan jantung berat, anemia 3) Toksik: CO, obat, alcohol
Gambar 2.2Scalp
Scalp merupakan lapisan terluar dari kepala terdiri dari 5 lapisan yang terdapat tepat diatas meninges (Snell, 2007) : a. Skin, atau kulit kepala. Terdiri dari kulit tebal, rambut, dan mengandung banyak kelenjar sebasea. b. Connective Tissue, atau jaringan ikat. Pada bagian superfisialnya terdapat lapisan fibrofatty (lemak) yang me c. nghubungkan kulit dengan aponeurosis diatas musculus occipitofrontalis, dan terdapat banyak pembuluh darah yang melekat pula pada jaringan ikat lemak ini. Apabila terjadi cedera pada pembuluh darah, lapisan ini akan mencegah terjadinya vasospasme yang dapat menyebabkan perdarahan hebat setelah cedera. d. Epicranial Aponeurosis (galea aponeurotica), merupakan lapisan tendon tipis yang merupakan insersio dari m. occipitofrontalis.
e. Loose areolar tissue, atau jaringan ikat longgar yang mengisi spatium subaponeuroticum. f. Pericranium, merupakan lapisan terdalam, dimana terdapat pericranium dari tulang tengkorak. Terdapat dua pembuluh darah vena yaitu vena emissaria dan vena diploica. Otak dan medulla spinalis dibungkus oleh 3 membran atau meninges yaitu (Snell, 2007) : a. Duramater Terdiri atas 2 lapisan, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal adalah periosteum yang menutupi permukaan tulang tengkorak sedangkan lapisan meningeal adalah lapisan duramater sebenarnya yang akan bersambung dengan duramater medulla spinalis melalui foramen magnum. Lapisan meningeal membentuk septasepta yang membagi rongga cranium menjadi ruang untuk tempat bagian bagian otak. Fungsi septa-septa ini untuk membatasi pergeseran otak akibat akselerasi dan deselerasi saat otak digerakkan (Snell, 2007). Lipatan-lipatan duramater yang terbentuk, yaitu (Snell, 2007) : 1) Falx cerebri : lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit yang terletak di garis tengah di antara kedua hemispherium cerebri. 2) Falx cerebelli : lipatan duramter kecil yang berbentuk bulan sabit, melekat pada crista occipitalis interna dan menonjol ke antara kedua hemispherium cerebelli. 3) Tentorium cerebelli : lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit yang membentuk atap di fossa crania posterior 4) Diaphragma sellae : lipatan duramater kecil dan berbentuk sirkular yang membentuk atas sella turcica. b. Arachnoidea Arachnoidea mater merupakan membran halus dan impermeable. Di antara arachnoidea dan duramater terdapat ruangan yang disebut ruang subdural. Sedangkan yang memisahkan arachnoidea dan piamater adalah ruang subarachnoidea dan disinilah LCS disalurkan. Pada ruang subarachnoid, terdapat struktur vili arachnoidea, yang merupakan struktur yang menonjol ke sinus venosus yang berfungsi sebagai difusi LCS ke dalam aliran darah. Bila vili-vili ini bergabung maka akan membentuk granulationes arachnoidea (Snell, 2007). c. Piamater depan di
Membran vascular yang melekat erat pada otak, menutupi gyrus -gyrus, dan turun hingga mencapai bagian sulcus yang paling dalam (Snell, 2007).
2. Histologi sistem saraf pusat Histologi Sistem Saraf Pusat Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Otak secara umum dibagi menjadi lapisan korteks pada substansia grisea dan substansia alba di bagian lebih dalam. Korteks cerebrii dibagi menjadi enam lapisan, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut : a. Lapisan molekuler b. Lapisan granular luar c. Lapisan piramidal luar d. Lapisan granular dalam e. Lapisan piramidal dalam f. Lapisan multiformis Otak dan medula spinalis mengandung substansia grisea dan substansia alba. Substansia grisea SSP terdiri dari neuron-neuron, dendritdendritnya, dan sel penunjang yang disebut neuroglia. Tidak terdapat sel shwan di SSP. Akson-akson di SSP mengalami mielinasi oleh sel neuroglia yang disebut oligodensrosit. Secara selular, otak terdiri dari sel neuron dan neuroglia ( sel penyokong). Badan sel neuron pada susunan saraf pusat disebut soma. Sedangkan serabut saraf dinamakan axon (Eroschenko V. P. 2010) Terdapat empat jenis neuroglia pada sistem saraf pusat. Sel tersebut berfungsi sebagai penyokong pada jaringan otak. a. Oligodendroglia Terdapat di dekat pembuluh darah, berfungsi sebagai sel satelit. Badan sel besar dan bulat. Inti satu di tengah dan terlihat kosong. b. Mikroglia Sel berukuran kecil dengan inti lonjong. Memiliki cabang sel yang pendek merata. Cabang ini terlihat lebih halus. c. Astrosit protoplasma Mempunyai banyak sitoplasma yang bergranul. Prosessus mempunyai banyak cabang yang lebih pendek dibandingkan astrosit fibrosa. d. Astrosit fibrosa
Mempunyai prosessus yang lebih panjang, tipis, halus dan bercabang banyak. e. Sel ependim Terdapat di ventrikel otak. Memiliki fungsi untuk memproduksi LCS.
3. Fisiologi sistem saraf pusat TRANSMISI SINAPTIK (Baehr & Frotscher, 2012) Impuls eksitatorik (potensial aksi) yang mencapai akson terminal
Depolarisasi
Kanal kalsium terbuka dan ion kalsium masuk ke terminal button (karena Ca tidak bisa ke post sinaps, maka minta bantuan pada neurotransmiter)
Dilepas ke celah sinaps dan berikatan dengan reseptor spesifik pada post sinaps
Depolarisasi-eksitatorik maupun inhibitorik Gambar 2.3 Transmisi Sinaptik 4. Mekanisme nyeri kepala : mas cahya mba icha 5. Definisi etiologi epidemi meningtis & ensefalitis : mas cahya mba icha 6. Tanda gejala, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis a. Tanda dan Gejala Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif) (Price, 2012) : 1) Kejang Absens Pada typical absence biasanya menyerang pada usia 4-20 tahun, gejala muncul dan berhenti tiba-tiba, lama serangan antara 10-20 detik, penderita biasanya diam/bengong,tidak sadar. Keadaan ini dapat terjadi berkali-kali dalam sehari, biasanya disertai gerakan klonik klopak mata (Price, 2012). Sedangkan pada atypical absence gejala umumnya sama seperti typical absence, tetapi serangannya lebih lama, otomatisme lebih menonjol, terjadi pada semua usia biasanya terdapat adanya defisit neurologis (Price, 2012). Gejala lain : a) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
b) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik. c) Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh. d) Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering ]sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun (Price, 2012). b. Kejang Mioklonik Serangan berupa kontraksi otot yang tiba-tiba, involuner, singkat, sekali serangan atau berkali-kali, dapat ringan atau masif umumnya pada anggota atas, dapat juga terjadi pada anggota gerak bawah yang menyababkan penderita terjatuh (drops attacks), kesadaran tidak terganggu, timbul dan berakhir mendadak (Price, 2012). c. Kejang Mioklonik, lanjutan 1) Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki.
2)
3) d.
Kejang Tonik-Klonik Gejala muncul secara tiba-tiba disertai dengan kehilangan kesadaran, biasanya penderita terjatuh. Terjadi kejang tonik/kaku (dapat disertai dengan suara dikarenakan udara yang melalui pita suara yang tertutup, kulit dan mukosa biasanya kebiruan) biasanya berlangsung 1030 detik ( Price, 2012). Kejang klonik biasanya berlangsung 30-60 detik, sering disertai dengan lidah yang tergigit, munculnya gejala otonom (nadi cepat, tensi yang meningkat,pupil yang melebar) kemudian penderita koma, tertidur dan pada saat sadar penderita biasanya bingung (Price, 2012). Gejala lain : 1) Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit. 2) 3) 4) Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus. Tidak adan respirasi dan sianosis Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah. 5) Letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical (Price, 2012).
e.
Kejang Atonik 1) Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ketanah. 2) Singkat, dan terjadi tanpa peringatan (Price, 2012).
f.
Status Epileptikus 1) 2) 3) 4) Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang. Anak tidak sadar kembali diantara kejang. Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia Memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera (Price, 2012).
Penegakan diagnosis 1. Anamnesis Meningitis sering dijumpai bersama dengan encephalitis. Tidak menutup kemungkinan pasien menderita encephalitis yang diakibatkan perluasan infeksi dari meningens. Tanda dan gejala pada meningitis
seperti demam, sakit kepala, kekakuan pada leher, vomiting, diikuti oleh penurunan kesadaran,dan kadang-kadang tanda-tanda neurologik, tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatri tidak jauh beda dengan meningitis. Gejala gejala ensephalitis yang muncul berupa gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala, vertigo, nause, konvulsi dan perubahan mental. Gejala lain yang mungkin timbul termasuk photophobia, perubahan sensorik, dan kekakuan leher. Penegakan diagnosis dilakukan dengan prosedur seperti yang dilakukan pada meningitis dan eksefalitis diantaranya pemeriksaan cairan serebrospinal; pemeriksaan pemeriksaan imaging, darah termasuk CT didalamnya scan, MRI kultur; dan
diantaranya
electroencephalogram (Ginsberg, 2008). 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan Kaku kudu (+), Kernigs sign (+) dan
Brudzinsky 1 (+) menandakan bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah. Pada pemeriksaan Kernig sign terdapat penarikan nervus Ischiadicus yang akan merangsang radix posterior L4 apabila ditemukan ada kelainan di medula spinalis timbul nyeri. Hasil pemeriksaan dan laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis menunjang terjadinya demam pada pasien, hasil pemeriksaan fisik juga menunjukkan adanya infeksi pada meningen yang belum mencapai medulla spinalis, oleh karena itu gejala yang didapat pada pasien ditunjang dengan pemeriksaan fisik dan penunjang maka sesuai dengan diagnosis meningitis. untuk mengetahui penyebab pastinya dibutuhkan adanya kultur (Caroline, 2010). Beberapa cara Pemeriksaan Meningeal sign (Lumantobing, 2008) : a. Kaku kuduk Pastikan bahwa penderita tidak ada cedera servikal, kemudian letakkan tangan kiri dibawah kepala pasien. Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri. Memfleksikan maksimal
kepala ke anterior, sampai dagu menyentuh dada. Hasil positif apabila dagu tidak dapat menyentuh dada. b. Brudzinskis sign 1) Neck sign Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu menyentuh sternum. Hasil positif bila gerakan fleksi pasif tersebut
disusul dengan gerakan fleksi reflektoris di sendi lutut dan panggul kedua tungkai (Lumantobing, 2008). 2) Leg sign Penderita terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada salah satu panggul (salah satu tungkainya dapat diangkat pada sikap lurus di sendi lutut dan ditekukkan di sendi panggul. Hasil positif jika tungkai kontralateral timbul fleksi reflektoris di sendi lutut dan sendi panggul (Lumantobing, 2008). 3) Cheek sign Penekanan pada pipi kedua sisi tepat dibawah os
zigomatikum akan disusul gerakan fleksi reflektoris keatas sejenak dari kedua lengan (Lumantobing, 2008). 4) Symphisis sign Penekanan pada simfisis pubis akan disusul dengan timbulnya gerakan fleksi reflektoris pada kedua tungkai di sendi lutut dan panggul. Syarat dilakukan tes ini adalah
kandung kemih kosong dan tidak ada fraktur pada os.coxae (Lumantobing, 2008). c. Kernig sign Penderita terlentang, pemeriksa menekuk tungkai atas penderita sehingga paha penderita tegak lurus terhadap tubuh kemudian tungkai bawah penderita diluruskan di sendi lutut. Gerakan ini akan mendapat tahanan dan sekaligus
membangkitkan nyeri pada otot biseps femoris. Hasil positif apabila ekstensi lutut tidak mencapai 135 oleh karena nyeri dan spasme otot paha sedangkan tungkai sisi kontralateral fleksi di lutut dan panggul secara reflektoris (Lumantobing, 2008). 3. Pemeriksaan penunjang Pungsi lumbal penting sekali untuk pemeriksaan bakteriologik dan laboratorium lainnya. Likuor serebrospinalis berwarna jernih, opalesen atau kekuning-kuningan (xantokrom) (Caroline, 2010).
7. Patogenesis meningoencephalitis Sebagian besar infeksi SSP terjadi akibat penyebaran mikroorganisme secara hematogen. Saluran nafas merupakan port de entry utama bagi meningitis bacterial, dengan tahapan bakteri akan melekat pada sel epitel mukosa nasofaring kemudian akan membentuk koloni (kolonisasi), epitel akan rusak oleh karena enzim-enzim yang dikeluarkan dari bakteri tergantung dari jenis gramnya (positif/negatif). Epitel yang rusak membuat bakteri mampu menembus lapisan mukosa. Lapisan mukosa salah satu unsurnya adalah lamina propia yang sebagian besar diisi oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah. Daya tahan tubuh yang lemah mengakibatkan jumlah sel-sel imun tidak seimbang dengan jumlah bakteri, saat proses ini sel-sel imun (resident cell) akan mengeluarkan cytokine dan chemokin. Bakteri menuju pembuluh darah dan memperbanyak diri dalam aliran darah sehingga menimbulkan bakteremia. Bakteri masuk cairan serebrospinal kemudian memperbanyak diri juga dalam cairan serebrospinal. Saat di dalam cairan srebrospinal, neutrophil akan ikut masuk sebagai hasil dari sinyal chemokin yang diterima. Cytokine menyebabkan endotel pembuluh darah menjadi melebar, sehingga banyak cairan juga yang masuk ke otak menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.
8. Patofisiologi : azka yanda 9. Klasifikasi, faktor resiko : tri ica 10. Penatalaksanaan (farmako dan non farmako) meningoencephalitis a. Pengobatan simptomatis 1) Menghentikan kejang: a) Diazepam 0,2-0,5 rektal mg/KgBB/dosis suppositoria, IV atau 0,4-0,6
mg/KgBB/dosis dengan:
kemudian
dilanjutkan
b) Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau c) Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis 2) Menurunkan panas: a) Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari b) Kompres air hangat/biasa b. Pengobatan suportif
1) Cairan intravena 2) Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%. c. Perawatan: 1) Pada waktu kejang: a) b) c) d) 2) Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka Hisap lender Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
Bila penderita tidak sadar lama: a) b) Beri makanan melalui sonde Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita kanan setiap 6 jam c) Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke
3) 4) 5)
Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement Pemantauan ketat a) b) c) d) e) Tekanan darah Pernafasan Nadi Produksi air kemih Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
6)
11. Prognosis Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain: a. Umur pasien b. Jenis mikroorganisme c. Berat ringannya infeksi d. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan e. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
12. Komplikasi meningoencephalitis Komplikasi dini : a. b. c. d. e. f. g. Syok septik, termasuk DIC Koma Kejang (30-40% pada anak) Edema serebri Septic arthritis Efusi pericardial Anemia hemolitik
Komplikasi lanjut : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Gangguan pendengaran samapi tuli Disfungsi saraf kranial Kejang multipel Paralisis fokal Efusi subdural Hidrocephalus Defisit intelektual Ataksia Buta Waterhouse-Friderichsen syndrome Gangren periferal
DAFTAR PUSTAKA
Baehr M., Frotscher M. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala ed 4. Jakarta : EGC
Caroline. 2010. Presentasi Kasus Meningo Encefalitis . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Eroschenko V. P. 2010. Atlas Histologi di Fiore. Edisi 9. Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Note: Neurologi. Edisi Delapan. Jakarta: Erlangga Jakarta: EGC Lumbantobing, M.S. 2008. Neurologi klinik : pemeriksaan fisik dan mental . Jakarta : Balai penerbit FKUI. Mardjono M, Sidharta P. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Marx, J. A. 2009. Rosen's Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. Philadelphia : Mosbi Elsevier Price, Sylvia A; Lorainne M. Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC Price, Sylvia Anderson, Wilson LM. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit jilid 2. Jakarta : EGC. Saharso, D; Soetomenggolo T.S; Ismael S. 1999. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : BP IDAI Silbernagl, Stefan., Lang, Florian. 2003. Teks dan Atlas Bewarna Patofisiologi. Jakarta: EGC. Snell, R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. Jakarta: EGC. Snell, R.S. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. Jakarta: EGC. Soetomenggolo. 2000. Kejang Demam dan Penghentian Kejang. FKUI : Jakarta