Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Konflik telah menjadi subjek studi sejak peradaban kuno, dan beberapa pendapat selalu mempertentangkan apakah konflik itu sebagai suatu proses social yang konstruktif ataukah destruktif. 1 Manajemen konflik mengga mbarkan sebuah perubahan paradigma dari pendekatan tradisional yang didasarkan bahwa konflik harus dihindari, dan ketika konflik muncul maka lebih baik di pecahkan ataupun dihilangkan. Bahkan Porter-O Grady berpendapat bahwa konflik sebaiknya dihadapi2 dari pada ditakuti. Manajeman konflik yang baik adalah cara efektif untuk membuat sebuah keputusan. Manajemen konflik tidak hanya menyelesaikan masalah, namun ia harus lebih proaktif.3 Konflik adalah satu phenomena yang akan selalu mewarnai interaksi sosial sehari hari dan menyertai kehidupan organisasi. Situasi dan kondisi tertentu dapat menjadi pemicu konflik, mulai dari ketidak cocokan pribadi, perbedaan sistem nilai, persaingan, ketidak jelasan batas-batas wewenang dan tanggung jawab, perbedaan fungsi, komunikas i yang tidak nya mbung, pertentangan kepentingan dan lain-lain. Semakin bertambah besar sebuah organisasi, semakin banyak dan kompleks konflik yang akan dihadapi. Terjadi evolusi pandangan manajemen terhadap masalahan konflik.. Ahli-ahli scientific management berpendapat bahwa semua jenis konflik adalah anca man terhadap kekuasaan manajemen sehingga harus dihindarkan, atau secepatnya diatasi. Belakangan para ahli menyadari bahwa konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan, sehingga menyarankan agar para manajer belajar hidup bersa ma konflik, memaha minya, mengendalikannya dan memanfaatkannya untuk kepentingan organisasi. Pandangan yang muncul sejak tahun 1970-an mena mpilkan gaga san revolusioner tentang konflik yang menyatakan : Tidak ada organisasi tanpa konflik ; bukan hanya konflik itu tidak abnormal, tetapi ketiadaan konflik dala m organisasi adalah abnormal. Konflik adalah suatu keniscayaan dala m organisasi. Kejarangan terjadi konflik dala m sebuah organisasi justru perlu diwaspadai kerena dapat berarti la mpu kuning bagi organisasi tersebut. Perta ma, pertanda para anggota organisasi kehilangan motivasi, berkembangnya apatisme, turunnya
1

kreativitas dan

Hill L. Eighteenth century anticipations of the sociology of conflict: The case of Adam Ferguson. Journal of the History of Ideas, 2001 April, Hal. 281-99. 2 Porter-OGrad y T, Embracing conflict: building a healthy community. Health Care Manage, 2004, Hal. 181-7

turunnya komitmen terhadap organisasi. Kedua, manajemen organisasi kehilangan kesempatan berlatih hidup bersa ma konflik dan mengelola konflik secara benar dan tepat sasaran. Ketiga, dari banyak konflik yang bersifat destruktif, ada pula jenis-jenis konflik yang justru menunjang akselerasi pencapaian tujuan organisasi dan meningkatkan kinerja individu maupun kelompok dala m organisasi tersebut. Jenis-jenis konflik yang bersifat destruktif perlu ditangani secara bijak, antara lain dengan cara negosiasi maupun mediasi, sementara konflik konstruktif perlu dikembangkan sehingga memberikan manfaat optimum bagi organisasi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada pendahuluan di atas, maka penulis memfokuskan pembahasan dala m makalah ini sebagai berikut : 1. Pengertian konflik 2. Tipe-tipe konflik 3. Jenis konflik 4. Studi kasus

PEMBAHASAN A. Pengertian Konflik Konflik merupakan aspek yang tak terhindarkan dala m kehidupan organisas i moder n. Perubahan yang berkelanjutan, karyawan yang makin beraga m, semakin banyaknya group/tea m, kurangnya komunikasi langsung/tatap muka dan ekonomi global yang meningkatkan hubungan antar budaya merupakan penyebab-penyebab uta ma konflik dala m organsiasi. Konflik pada dasarnya adalah segala macam interaksi pertentangan atau antagonistis antara dua atau lebih pihak. Robert C. North menyatakan A conflict emerges when two or more persons or group seek to possess the same object, occupy the same space or the same exclusive position 4 Menurut Kreitner, R & Kinicki, A: Conflict is a process in which one party perceives that its interests are being opposed or negatively affected by another party 5.

Jandt, FE & Gillete, Win win negotiation; turning conflict into agreement. USA : Jhon Wiley & Sons, Inc., 1985, Hal.25 5 Kreitner, R & Kinicki, A , Organization Behavior. New York : The Mc Graw Hill Companies, Inc., 2001, Hal. 447

Situasi-situasi pemicu konflik antara lain : perbedaan kepribadian atau sistem nilai, tumpang tindih atau rancunya batas-batas tugas dan tanggung jawab, perebutan sumber daya yang terbatas, komunikasi yang tidak nya mbung, saling ketergantungan antar tugas, organisasi yang kompleks, penga mbilan keputusan bersa ma dan lain-lain. B. Tipe Konflik Kreitner dan Kinicki6 membedakan empat tipe konflik : a) Personality conflict yaitu konflik antar personal yang didorong oleh ketidak senangan atau ketidak cocokan pribadi. b) Value conflict adalah konflik karena perbedaan pandangan atas tata nilai tertentu. c) Intergroup conflict merupakan pertentangan antar kelompok kerja, tea m dan departemen. d) Cross-Cultural conflict merupakan pertentangan yang terjadi antar budaya yang berbeda. C. Jenis-Jenis Konflik Terdapat dua jenis konflik, yaitu : a) Functional atau Constructive Conflict Jenis konflik yang dapat mendorong dan menunjang tercapainya tujuan organisasi dan meningkatkan kinerja individu maupun organisasi. Functional conflict dapat distimulus, dikembangkan dan dimanfaatkan oleh manajemen untuk mempercepat proses pencapaian sasaran organisasi. Kreitner dan Kinicki7 mengemukakan bahwa menstimulasi functional conflict dapat dilakukan dengan menggunakan Programmed Conflict, yaitu proses penyelesaian konflik dengan cara mengangkat perbedaan-perbedaan pendapat ata u pandangan dengan mengabaikan perasaan pribadi, melalui keikut sertaan dan masukan masukan baik dari pihak yang mempertahankan gagasan maupun yang mengkritik gagasan berdasarkan fakta-fakta yang relevan dan mengesa mpingkan pandangan pribadi atau kepentingan politis. Dua teknik Programmed Conflict yang banyak dimanfaatkan adalah : 1. Devils Advocacy, di mana seseorang ditunjuk untuk menelanjangi kelemahan kelemahan dari sebuah gagasan tertentu sehingga dapat disempurnakan bersa ma.

6 7

Ibid Op.Cit

Devils Advocacy yang dilakukan secara periodik merupakan latihan yang bagus untuk mengembangkan kema mpuan analitis dan komunikasi. 2. Dialectic method dilaksanakan dengan cara membuka forum perdebatan di antara pandangan-pandangan yang berbeda untuk memaha mi issue tertentu secara lebih baik. Manajemen dapat membentuk dua atau tiga tim untuk

mendiskusikan/memperdebatkan rencana kebijakan tertentu. Satu tim sebagai pencetus rencana bertindak untuk mempertahankan rencana dan tim lain bertugas untuk mengcounter/menyerang rencana tersebut dala m satu forum adu argumentasi. b) Dysfunctional atau Destructive Conflict Dysfunctional atau Destructive Conflict merupakan Jenis konflik yang dapat menganca m kepentingan organisasi dan menurunkan kinerja organisasi. Berbeda dengan jenis konflik yang perta ma, bahwa konflik jenis ini perlu dikendalikan untuk meminimumkan da mpak negatifnya, kalau perlu melalui proses negosiasi atau bahkan mediasi. 1. Negosiasi Kreitner dan Kinicki mendefinisikan negosiasi sebagai Give-and-take process between conflicting interdependent parties 8, sedangkan definisi negosiasi menurut Cohen H adalah negotiation is a field of knowledge and endeavor that focus on gaining the favor of people from whom we want things 9. Dapat dibedakan dua tipe negosiasi, yaitu : distributive negotiation dan integrative negotiation10. Distributive negotiation biasanya menyangkut kepentingan yang sama dari pihak yang bernegosiasi, di mana keuntungan satu pihak adalah kerugian pihak lain. Dasar negosiasi adalah Win-lose thinking: what is good for the other side must be bad for us. Integrative atau valueadded negotiation lebih mengarah kepada progressive win-win strategy. Dala m tipe negosiasi ini tea m-team negosiasi yang terlatih baik dapat mencapai hasil yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Keberhasilan negosiasi integrasi sangat tergantung kepada kualitas dari informasi yang dipertukarkan. Kebohongan, menyembunyikan data-data kunci dan taktik-taktik negosiasi yang tidak

Kreitner & Kinicki, Lop.Cit, Hal. 446 Cohen, H, You can negotiate anything. New York; Bantam Book, 1980, Hal. 15 10 Op.Cit, Hal. 446

etis dapat merongrong kepercayaan dan niat baik yang sangat penting dala m win-win negotiation, yang dapat berakibat gagalnya penyelesaian masalah melalui negosiasi. 2. Mediasi Untuk menghindarkan penanganan dysfunctional conflict berkepanjangan dan biaya tinggi (misalnya melalui pengadilan) dapat dimanfaatkan model Alternative Dispute Resolution (ADR) dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui cara-cara informal. Peranan Mediator dapat berbentuk : a. Facilitation, di mana pihak ketiga mendesak dan membujuk pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding secara langsung dala m suasana yang positif dan konstruktif. b. Conciliation, di mana pihak ketiga yang netral bertindak sebagai komunikator di antara pihak-pihak yang berselisih. Ini dilakukan bila pihak yang berselisih menolak untuk bertemu muka dala m perundingan langsung. c. Peer review, yaitu sekelompok wakil-wakil karyawan (panel) yang bisa dipercaya karena kema mpuannya untuk tidak berpihak, mendengarkan pandangan, pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang berselisih di dala m pertemuan informal dan konfidensial. Keputusan-keputusan dari panel dapat menjadi acuan untuk penyelesaian konflik. d. Ombudsman : seseorang karyawan sebuah organisasi/perusahaan yang secara luas dihormati dan dipercaya oleh rekan-rekan sekerjanya, mendengarkan keluhan mereka secara konfidensial, dan berusaha mencari jalan keluar dengan pihak manajemen. e. Mediation : pihak ketiga yang netral dan terlatih secara aktif menuntun pihak-pihak yang berselisih untuk menggali solusi-solusi inovatif untuk menyelesaikan konflik. f. Arbitration : pihak-pihak yang berselisih bersepakat menerima keputusan dari arbitrator yang netral melalui proses seperti di pengadilan, seringkali lengkap dengan bukti-bukti dan saksi-saksi. D. Studi Kas us Sebuah pondok pesantren (dala m contoh kasus ini disebut pondok pesantren X) dala m jangka waktu sepuluh tahun telah berkembang dengan pesat; sekitar tiga ratus santriwan dan santriwati aktif, lebih dari sepuluh ustadz lulusan timur tengah dan.

Didorong oleh ketidakpuasan terhadap beberapa kebijakan kepesantrenan, khususnya dala m hal keberadaan bangunan yang berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah santriwan dan santriwati, ketidaktegasan kebijakan yang dia mbil dala m mengatas i kehilangan barang-barang berharga santri dan didukung oleh sistem pengajaran kuno yang kurang dapat memaha mkan bagi para santrinya. Maka sekelompok santriwan dan santriwati muda membentuk sebuah Serikat Santri (dala m tulisan ini disebut SS-A) di dala m pondok pesantren tersebut. Sepak terjang SS-A menjurus kontroversial, provokatif terhadap sesa ma santriwan dan santriwati lain dan konfrontatif terhadap pondok pesantren X, yang berda mpak negatif terhadap suasana ngaji (istilah belajar bagi para santri), antara lain dalam bentuk kegelisahan, was-was, saling curiga, tidak puas dan mengarah kepada perpecahan antar santri, yang secara drastis menurunkan pruduktivitas santri dan pondok pesantren. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran sebagian besar para santri maupun para ustadz di pondok pesantren tersebut. Apabila dibiarkan berlarut-larut dapat berakibat fatal terhada p eksistensi pondok pesantren dan seluruh santriwan dan santriwati yang bernaung di dala mnya. Mengantisipasi kemungkinan tersebut kemudian sekelompok santriwan dan santriwati senior yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pondok pesantren membentuk sebuah Serikat Santri baru (dala m tulisan ini disebut SS-B). Sasaran jangka pendek SS-B adalah : memulihkan kembali iklim ngaji yang kondusif, meningkatkan kembali produktivitas, dan mengusahakan sistem ngaji yang komunikatif. Langkah-langkahnya cenderung rasional, persuasif dan kooperatif baik kepada pondok pesantren X, SS-A maupun sesa ma santri. Uraian tersebut di atas secara jelas memperliha tkan situasi konflik yang dapat diga mbarkan sebagai berikut :

Negosiasi dan Mediasi Telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian konflik di antara ketiga pihak yang terlibat melalui negosiasi-negosiasi langsung, namun tidak membawa hasil, sehingga kemudian SSA membawa permasalahannya kepada pihak ketiga (yaitu Pekapontren Propinsi Jawa Tengah) untuk bertindak sebagai mediator. Ga mbaran proses mediasi antara mediator dengan pihak-pihak yang terlibat konflik adalah sebagai berikut : MEDIATOR

4.

1. SS A

2.

3. SS B

PONDOK PESANTREN X

Ga mbar 2 Keterangan : 1. Mediasi langsung antara Mediator dengan SSA, tanpa melibatkan Pondok pesantren X dan SSB. 2. Mediasi langsung antara Mediator dengan Pondok pesantren X, tanpa melibatkan SS A dan SSB. 3. Mediasi langsung antara Mediator dengan SSB, tanpa melibatkan SSA dan Pondok pesantren X.

4. Mediasi langsung antara Mediator dengan ketiga pihak yang terlibat konflik secara bersa ma-sa ma. Melalui pendekatan-pendekatan intensif, oleh mediator kepada SSA dan Pondok pesantren X melalui pertemuan-pertemuan formal dan informal, diperoleh hasil sebagai berikut :  Pengurus dan anggota SSA yang tetap bersikap keras satu persatu mengundurkan diri, sedangkan anggota -anggota yang masih ingin belajar di Pondok pesantren X sebagian bergabung dengan SSB dan sebagian kecil tetap di SSA.  SSB menjadi semakin eksis karena misinya yang searah dengan misi Pondok pesantren X : bekerja sa ma dengan Pondok pesantren X untuk mensejahterakan santiwan dan santriwati melalui peningkatan produktivitas, serta strateginya yang tepat : rasional, persuasif dan koordinatif kepada SSA, Pondok pesantren X maupun Mediator.      Terjangkaunya pengawasan oleh pengurus terhada p pada santri. Suasana belajar mengajar berangsur-angsur pulih dan lebih kondusif Motivasi ngaji kembali meningkat Produktivitas santriwan, santriwati meningkat Peraturan kepesantrenan dibakukan dala m bentuk Perjanjian Ngaji Bersa ma (PNB) sesuai dengan arahan dari Departemen Aga ma, sehingga ada kejelasan sasaran sistem belajar mengajar yang dapat di pegang oleh Pondok pesantren X maupun santriwan dan santriwati SS-A dan SS-B.

Ketika dikaitkan dengan dasar teori di atas maka keadaan dan penyelesaiannya dapat diga mbarkan seperti di bawah ini. Pondok pesantren X Sela ma sekitar sepuluh tahun sejak berdirinya pondok pesantren X jarang mengala mi konflik internal. Secara teoritis ini pertanda apatisme dan kurangnya kreativitas personil di dala m pondok pesantren ini. Fenomena yang muncul sebagai akibat dari kondisi ini antara lain :  Kurangnya dorongan untuk merubah model manajemen kebijakan dan sistem belajar mengajar tradisional dengan pola yang kurang atau bahkan tidak komunikatif, ke model manajemen moder n yang berorientasi kepada desentralisasi dan berfokus kepada strategi.

Santriwan dan santriwati kurang diajak terlibat dala m proses penetapan kebijakan Pondok pesantren; tidak ada rangsangan kreativitas santriwan dan santriwati, bahkan mengarah kepada apatisme.

Banyak kelemahan dari peraturan-peraturan Pondok pesantren, teruta ma yang menyangkut kebijakan yang dia mbil : kuantitas santriwan dan santriwati tidak sebanding dengan keberadaan bangunan pondok pesantren (sebagian santriwan dan santriwati ditempatkan di sebuah kontrakan masyarakat sekitar pondok, sehingga jangkauan pengurus dala m pengawasan menjadi berkurang), kurang tegasnya kebijakan yang dia mbil (sehingga sering terjadi pencurian barang-barang yang berharga, seperti laptop, HP dan uang), kurang berkembangnya kema mpuan santriwan dan santriwati dala m membaca kitab kuning.

Manajemen Pondok pesantren kurang terlatih mengatasi konflik internal, yang jelas telihat saat muncul konflik dengan SSA. Saat-saat awal menghadapi konflik dengan SSA yang kontroversial, provokatif

dan konfrontatif, manajemen Pondok pesantren sempat mengala mi kesulitan. Negosiasinegosiasi langsung dengan SSA yang dilandasi oleh win lose thinking (distributive negotiation) mengala mi jalan buntu. Oleh sebab itu Pondok pesantren X kemudian tidak lagi bersedia bernegosiasi langsung dengan SSA, na mun pendekatan-pendekatan informal kepada individu-individu pengurus dan anggota SSA diintensifkan dengan tujuan mencapai kesadaran untuk merubah sistem aturan kepesantrenan yang lebih

menguta makan kenya manan para santrinya dan merubah sistem belajar-mengajar yang lebih komunikatif, sedangkan sebagian anggota SSA memilih pindah pondok dan yang masih ingin belajar di Pondok pesantren X dipersilahkan tetap tinggal, tetapi tidak melakukan kegiatan-kegiatan negatif. Pendekatan ini cukup berhasil; semua santri mendapat pengawasan yang cukup dari pengurusnya karena pengerucutan pondok pesantren dan sistem belajar mengajar menjadi lebih komunikatif. Serikat Pekerja A SSA lahir karena beberapa sebab yag merupakan pemicu konflik :  Adanya perbedaan pandangan tentang Pondok pesantren X atas tata nilai tertentu, misalnya tentang masalah tempat tinggal yang disediakan untuk bermukim, ketegasan dala m penaganan kehilangan barang berharga dan kesenjangan social (value conflict).

Adanya dorongan dari pihak luar (teman seuniversitas dari pondok yang berbeda) yang berbagi cerita tentang kenya manan sistem pondok pesantren yang ditempati (intra group conflict). Sepak terjang SSA cenderung konroversial, provokatif dan konfrontatif baik

kepada Organsiasi X maupun SSB (yang lahir sebagai ekses dari SSA). Langkahlangkah ini menimbulkan da mpak negatif atas suasana mengaji, hubungan antar santriwan dan santriwati dengan pondok pesantren, dengan akibat turunnya produktivitas individu dan Pondok pesantren (disebut dysfunctional atau destructive conflict ). SSB yang didirikan belakangan oleh beberapa santriwan dan santriwati senior untuk memulihkan kembali suasana mengaji yang kondusif dan produktivitas mendapat sa mbutan negatif dari SSA, dinilai sebagai alat dari manajemen Pondok pesantren untuk menghadapi SSA. Serikat Pekerja B Serikat Pekerja B (SSB) lahir sebagai ekses dari dysfunctional atau destructive conflict antara SSA dengan pihak Pondok pesantren (perpecahan antar santriwan dan santriwati, was-was, curiga,ketidakpastian masa depan dan turunnya produktivitas). Beberapa santriwan dan santriwati senior yang prihatin atas ekses dari destructive conflict tersebut mendirikan SSB dengan tujuan : memulihkan suasana ngaji yang kondusif untuk meningkatkan produktivitas dan memperjuangkan peningkatan kesejahteraan santriwan dan santriwati. Strategi yang diterapkan dalam langkah-langkahnya adalah : merangkul SSA dan berjalan seiring dengan Pondok pesantren X dengan prinsip rasional, persuasif dan kooperatif. Intergrative negotiation (win-win strategy) dari SSB ditanggapi dengan distributive negotiation (win-lose thinking) oleh SSA. Secara institusional SSB tidak berhasil merangkul SSA untuk bekerja sa ma, namun secara individual banyak anggota SSA yang kemudian bergabung ke SSB. Tujuan yang pararel dengan tujuan Pondok pesantren X dan strategi pencapaian tujuan yang konstruktif, sementara Pondok pesantren X sudah belajar dari pengala man dysfunctional conflict dengan SSA, menyebabkan Pondok pesantren X menya mbut positif kehadiran SSB dan menganggap konflik Pondok pesantren X SSB adalah functional conflict dan bersedia melaksanakan integrative negotiation dengan dasar win-win solution.

10

Kematangan berpikir dari pengurus SSB yang terdiri dari santriwan dan santriwati- senior, menyebabkan hubungan negosiasi dengan pihak Mediator (dala m hal ini Pekapontren Propinsi Jawa Tengah) berjalan lancar dan kondusif. Mediator Kehadiran mediator (Pekapontren Propinsi Jawa Tengah) untuk mengatasi konflik segitiga antara Pondok pesantren XSS-ASS-B adalah atas permintaan dari SS-A yang mengala mi kegagalan dala m beberapa kali negosiasi langsung dengan Pondok pesantren X dan SS-B, disamping memang tanggung jawabnya untuk membantu penyelesaian permasalahan kepondokpesantrenan yang terjadi di Indonesia. Dala m perannya sebagai mediator untuk memperoleh Alternative Dispute Resolution/ADR (yaitu upaya menyelesaikan konflik secara informal tanpa melalui proses hukum yang panjang dan mahal atau melalui mediasi atau arbitrasi), mula-mula Depnaker melakukan tehnik Facilitation dengan membujuk secara informal pihak-pihak yang bertikai untuk bernegosiasi langsung dala m suasana positif dan konstruktif. Na mu n karena penolakan dari Pondok pesantren X untuk bertemu muka langsung dengan SS-A (sementara SS-B bersedia bernegosiasi langsung), maka Pekapontren Propinsi Jawa Tengah merubah tehnik ke arah Conciliation yaitu secara informal menjadi jembatan komunikasi antara pihak-pihak yang bertikai (Pondok pesantren X, SS-A dan SS-B). Setelah tehnik conciliation mulai berhasil di mana para pihak, setelah masingmasing mendapatkan informasi yang cukup lengkap, siap untuk negosiasi langsung, tehnik dita mbah lagi kearah mediation di mana Pekapontren Propinsi Jawa Tengah secara aktif menuntun/mengarahkan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk bersa ma-sama mencar i innovasi-innvovasi penyelesaian konflik. Hasil uta ma dari seluruh proses mediasi Pekapontren Propinsi Jawa Tengah untuk menyelesaikan konflik segitiga tersebut di atas adalah ditandatanganinya Perjanjian Ngaji Bersa ma (PNB) antara Pondok pesantren X dengan SSA dan SSB . PNB ini akan menjadi acuan dasar untuk penyelesaian konflik dari ke tiga pihak tersebut di atas dala m mengatasi masalah-masalah kepegawaian di masa-masa mendatang.

11

KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga hal penting dala m menangani konflik organisasi : a. Berbagai jenis konflik tidak mungkin dihindarkan karena dipicu oleh berbagai varias i penyebab. b. c. Terlalu sedikit konflik pertanda besarnya kondisi kontra -produktif dala m organisasi. Tidak ada satu jalan terbaik untuk mengatasi konflik. Dengan dasar itu para ahli penanganan konflik merekomendasikan pendekatan kontingensi (contingency approach) untuk mengelola konflik. Penyebab konflik dan konflik yang terjadi harus dimonitor. Kalau muncul pertanda terlalu sedikit konflik karena apatisme atau kurangnya kreativitas, maka functional conflict perlu distimulasi melalui Programmed Conflict, baik menggunakan devils advocacy ataupun dialectic method. Kalau konflik menjurus menjadi dysfunctional , cara penanganan konflik yang tepat perlu dilakukan adalah para manajer dapat dilatih melalui pengala man penanganan konflik. Intervensi pihak ketiga dibutuhkan apabila pihak-pihak yang berselisih tidak mau ata u tidak ma mpu mengatasi konflik. Integrative atau value-added negotiation paling tepat untuk mengatasi konflik antar group atau antar organisasi.

12

DAFTAR PUSTAKA Cohen, H, You can negotiate anything. 1980, New York; Banta m Book Stephen Jandt, FE & Gillete, Win win negotiation; turning conflict into agreement, 1985, USA : Jhon Wiley & Sons Kreitner, R & Kinicki, A, Organization Behavior, 2001, New York : The Mc Graw Hill Companies L, Hill, Eighteenth century anticipations of the sociology of conflict: The case of Adam Ferguson. Journal of the History of Ideas, 2001 April P. Robbins, Teori Organisasi; Struktur, Desain dan Aplikasi, terj. Jusuf Uda ya, Lic., Ec., 1994, Jakarta: Penerbit Arcan T, Porter-OGrady, Embracing conflict: building a healthy community. Health Care Manage, 2004

13

Anda mungkin juga menyukai