Anda di halaman 1dari 4

Herpes zoster

A. Defensi Herpes zoster (shingles) disebabkan oleh reaktivasi virus varicella-zoster (VZV) dari keadaan laten setelah infeksi dengan chickenfox. Setelah infeksi akut, virus dorman, biasanya selama beberapa dekade, di ganglion saraf dorsalis atau ganglion trigeminal/kranial.1,2 B. Epidemiologi Penyebabnya sama seperti varisela. Penyakit ini, seperti yang diterapkan dalam definisi, merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah penderita ini mendapat varisela.5 Insiden kumulatif herpes zoster diperkirakan 10-20% dari populasi. Sebagian besar kasus terjadi pada orang tua, dengan kedua jenis kelamin terpengaruh sama. Sebagian besar kasus herpes zoster terjadi pada orang dewasa imunokompeten berusia> 50 tahun.1,3 C. Patogenesis Selama episode infeksi primer varicella (cacar air), VZV sangat menular dan menyebar baik melalui droplet pernafasan (bersin dan batuk) dan kontak langsung. Infeksi VZV terjadi ketika virus kontak dengan mukosa dari saluran pernapasan atas atau konjungtiva mata. Virus beredar dalam aliran darah melalui sel-sel mononuklear pada kulit, sehingga menimbulkan ruam pada cacar air/ chikenfox. Virus ini juga menginfeksi sel manusia di ganglion akar dorsal dari tulang belakang dan ganglion saraf kranial, di mana ia menjadi laten. Pada dasarnya keadaan dorman tersebut terlindungi oleh sistem kekebalan tubuh manusia, VZV biasanya tetap aktif dalam ganglia selama beberapa dekade.3

Sehingga pada saat imunitas seluler tubuh menurun. Herpes zoster teraktivasi kembali, virus bermultiplikasi kembali sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris.
Sri Wahyuni Sahir_FK UNISMUH 2014

Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang belakang serta otak dan melalui saraf sensoris akan sampai ke kulit dan kemudian menimbulkan gejala klinis.4 Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik.7 Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga menimbulkan gejala-gejala gangguan motorik.5 D. Gejala klinis Daerah yang paling sering terkena adalab daerah toraks (55%). walaupun daerah-daerah lain juga sering terjadi, seperti kranial & saraf trigeminal (20%), pinggang (15%), sakral (5%), dan biasanya bersifat unilateral.5,6 Frekuensi penyakit ini ada pria dan wanita sama, sedangkan mengenai umur Iebih sering pada orang dewasa.5 Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik (demam, pusing, malese), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustul dan krusta.5 Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Disamping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering terjadi. Hipertensi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum).5

E. Komplikasi Neuralgia pascaherpetik dapat timbul pada umur di atas 40 tahun, presentasenya 10-15%. Makin tua penderita makin tinggi presentasenya. Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V, keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
Sri Wahyuni Sahir_FK UNISMUH 2014

Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran virus secara perkontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya di muka diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria, dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.5 F. Pembantu Diagnosis Pada pemeriksaan percobaan Tzanck dapat ditemukan sel datia berinti banyak.

G. Pengobatan Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika disertai infeksi sekunder diberikan antibiotik. Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir. Sebaiknya diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir yang di anjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari, sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Jika lesi baru masih tetap timbul obat tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan setelah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi. Indikasi pemberian kortikosteroid ialah untuk sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini-dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa kami berikan ialah prednison dengan dosis 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik. H. Prognosis Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan perawatan secara dini.

Sri Wahyuni Sahir_FK UNISMUH 2014

REFERENSI

1. ACP Observer extra. 2007. An internists guide to preventing, diagnosing Ana treating herpes zoster. The American College of Physicians, 190 N. Independence Mall West, Philadelphia, PA 19106-1572. http://www.acpinternist.org/archives/2007/03/herpes.pdf 2. NCIRS Factsheet. Zoster vaccine for Australian adults: Information for Immunisation Providers. NCIRS Fact sheet: November 2009. http://www.ncirs.edu.au/immunisation/fact-sheets/herpes-zoster-vaccine-factsheet.pdf 3. McCary, Jessie. Herpes Zoster (Shingles). The Health Care of Homeless Persons Part I, hal. 47-51. http://www.bhchp.org/BHCHP%20Manual/pdf_files/Part1_PDF/HerpesZoster.pdf 4. Dumasari L., Ramona. 2008. Varicella dan Herpes Zoster. USU e-Respository: 2009. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3425/1/08E00895.pdf 5. DjuandaA,Djuanda S, Hamzah M.,Aisah S.,editor. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia. 6. James WD, Berger T, Elston D. Andrews diseases of the skrin: Clinical Dermatology. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. 7. Wicaksono D., Regar E., Rahmani H. 2013. Presentasi Kasus-Herpes Zoster. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo: Jakarta. http://xa.yimg.com/kq/groups/86529852/1660844164/name/Preskas_HerpesZoster_D wi_Evan_Hanifah.pdf

Sri Wahyuni Sahir_FK UNISMUH 2014

Anda mungkin juga menyukai