Anda di halaman 1dari 10

Wheezing, adalah bunyi musical terdengar ngiii.ik atau pendek ngiik.

Yang bisa didapat pada fase inspirasi dan atau ekspirasi, bahkan biasanya lebih jelas pada ekspirasi. Wheezing terjadi karena adanya exsudat lengket tertiup aliran udara dan bergetar nyaring.

5. Sopor adalah keadaan kesadaran pasien yang mirip koma, berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi jika dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Refleks kornea meski lunak masih bisa dibangkitkan, reaksi pupil utuh. Istilah lain stupor. Histamin Histamin adalah senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh, yaitu pada jaringan sel mast dan peredaran basofil, yang berperan terhadap berbagai proses fisiologis yang penting. Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada kompleks heparin-heparin dalam sel mast sebagai hasil reaksi antigen-antibodi bila ada rangsangan senyawa allergen. Senyawa allergen dapat berupa spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun, tripsin, dan enzim proteolitik lain, deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan amina. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin. Pelepasan histamine terjadi akibat :

Rusaknya sel

Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan cepat atau sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka

Senyawa kimia

Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenic,sehingga akan melepaskan histamine dari sel mast dan basofil. Contohnya adalah enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.

Reaksi hipersensitivitas

Pada orang normal, histamine yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan diamin oksidase sehingga histamine tidak mencapai reseptor Histamin. Sedangkan pada penderita yang sensitif terhadap histamine atau mudah terkena alergi jumlah enzim-enzim tersebut lebih rendah daripada keadaan normal.

Sebab lain

Proses fisik seperti mekanik, thermal, atau radiasi cukup untuk merusak sel terutama sel mast yang akan melepaskan histamin. Histamin berinteraksi dengan reseptor yang spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamine dibagi menjadi histamine 1 (H-1) dan histamine 2 (H-2). Pengaruh histamin terhadap sel pada berbagai jaringan tergantung pada fungsi sel dan rasio reseptor H-1 : H-2. stimulasi reseptor H-1 menimbulkan :

Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar Kontraksi oto bronkus, otot usus dan otot uterus Kontraksi sel-sel otot polos Kenaikan aliran limfe

Stimulasi reseptor H-2 menimbulkan : Dilatasi pembuluh paru-paru Meningkatkan frekuensi jantung dan kenaikan kontraktilitas jantung Kenaikan sekresi kelenjar terutama dalam mukosa lambung

ANTIHISTAMIN Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3. Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas. Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme molekuler yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini. Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : v v v Antagonis H-1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi alergi Antagonis H-2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan penderita pada Antagonis H-3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam penelitian lebih

tukak lambung lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler, pengobatan alergi dan kelainan mental Antagonis Reseptos H-1 Antagonis reseptor H-1 adalah senyawa yang secara kompetitif menghambat histamin pada reseptor H-1 dan telah digunakan secara klinis dalam beberapa tahun. Beberapa tersedia untuk dijual bebas, baik sebagai tunggal maupun di dalam formulasi kombinasi seperti pil flu dan pil untuk membantu tidur. Antagonis H-1 sering disebut antihistamin klasik atau antihistamin H-1. antagonis H-1 menghambat efek histamin dengan cara antagonisme kompetitif yang reversibel pada reseptor H-1. Mereka mempunyai kemampuan yang diabaikan pada reseptor H-2 dan kecil pada reseptor H-3, contohnya : induksi kontraksi yang disebabkan histamin pada otot polos bronkioler ataupun saluran cerna dapat dihambat secara lengkap oleh agen-agen tersebut, tetapi efek pada sekresi asam lambung dan jantung tidak termodifikasi. Antagonis H-1 dibagi menjadi agen generasi pertama dan generasi kedua. Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek sedatif yang relatif kuat, karena agen generasi pertama lebih mempunyai sifat menghambat reseptor autonom. Sedangkan antagonis H-1 generasi kedua kurang bersifat sedatif disebabkan distribusinya yang tidak lengkap dalam sistem saraf pusat.

Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai banyak efek yang tidak berhubungan dengan penghambatan terhadap efek histamin. Sejumlah besar efek tersebut diduga dihasilkan dari kesamaan struktur umumnya dengan struktur obat yang mempunyai efek pada kolinoseptor muskarinik, adrenoreseptor-, serotonin dan situs reseptor anestetika lokal. Beberapa dari efek tersebut mempunyai nilai terapeutik dan beberapa lainnya tidak dikehendaki. Efek yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin : 1. Efek sedasi

Efek umum dari antagonis H-1 generasi pertama adalah efek sedasi. Tetapi intensitas efek tersebut bervariasi. Efeknya cukup besar pada beberapa agen membuatnya sebagai bantuan tidur dan tidak cocok digunakan di siang hari. Efek tersebut menyerupai beberapa obat antimuskarinik. 1. Efek antimual dan antimuntah

Beberapa antagonis H-1 generasi pertama mempunyai aktivitas mampu mencegah terjadinya motion sickness. Contoh obatnya : Doxylamine. 1. Kerja antikolinoreseptor

Banyak agen dari generasi pertama mempunyai efek seperti atropin yang bermakna pada muskarinik perifer. 1. Kerja penghambatan adrenoreseptor

Efek penghambatan reseptor alfa dapat dibuktikan pada beberapa antagonis H-1, namun penghambatan terhadap reseptor beta tidak terjadi. Penghambatan terhadap reseptor alfa tersebut dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Contoh obatnya adalah Promethazine. 1. Kerja penghambatan serotonin

Efek penghambatan terhadap reseptor serotonin dapat dibuktikan pada agen antagonis H-1 generasi pertama. Contoh obat : Cyproheptadine. 1. Efek parkinsonisme

Hal ini karena kemampuan agen antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek antikolinergik. Contoh obat antagonis H-1 generasi pertama dan mekanismenya adalah : 1. Doxylamine

Doxylamine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1, mengeblok kemoreseptor, mengurangi stimulasi vestibular dan menekan fungsi labyrinthine melalui aktivitas kolinergik pusatnya. 1. Clemastine

Clemastine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1 pada efektor di saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernapasan. Antagonis histamin 1 generasi 2 Pada reaksi alergi, alergen (semacam antigen) berinteraksi dan membentuk ikatan silang dengan permukaan dari antibodi IgE pada sel mast dan basofil. Ketika terjadi kompleks sel mast antibodi-antigen, akan memacu terjadinya degranulasi dan pelepasan histamin (dan mediator lainnya) dari dalam sel mast maupun basofil. Setelah dilepaskan,histamin dapat bereaksi (menimbulkan efek) pada jaringan yang terdapat reseptor histamin. Proses release histamin tidak terjadi secara langsung, melainkan diawali dengan transduksi signal. Proses transduksi signal adalah proses masuknya signal ke dalam sel sehingga membuat sel bereaksi dan menimbulkan efek. Ketika alergen masuk pertama kali ke dalam tubuh, TH-2 limfosit akan mengeluarkan IL-4, IL-4 menghasilkan signal yang merangsang B-sel (suatu sel limfosit) untuk menghasilkan antibodi IgE. Ketika alergen menyerang untuk yang kedua kalinya, IgE berikatan dengan alergen dan dibawa menuju sel mast. Pada sel mast kompleks IgE-alergen akan terikat pada reseptor Fc (Epsilon-C reseptor). Ikatan ini akan menghasilkan signal ke dalam sel yang akan mengaktifkan enzim fosfolipase. Fosfolipase akan mengubah phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) yang akan memobilisasi Ca2+ dari organel penyimpan dalam sel mast. Ca2+ merupakan second messenger bagi terjadinya kontraksi otot atau sel. Second messenger inilah yang memacu proses degranulasi sel mast sehingga histamin akan terlepas. Histamin bereaksi pada reseptor H-1, dapat menyebabkan pruritus (gatal-gatal), vasodilatasi, hipotensi, wajah memerah, pusing, takikardia, bronkokonstriksi, menaikkan permeabilitas vaskular, rasa sakit dan lainlain. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asan amino histidin. Histamin terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tidak aktif secara biologik dan disimpan terikat dalam heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan pada reaksi hipersensitivitas pada rusaknya sel dan akibat senyawa kimia. Antihistamin adalah obat yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya sehingga mampu meniadakan histamin. Reseptor H-1 disebut juga metabotropik G-protein coupled reseptor. G-protein yang terdapat dalam reseptor H-1 menghasilkan fosfolipase dan fosfatidylinositol. Kedua senyawa inilah yang bertindak sebagai penunjuk jalan histamine sampai ke reseptor H-1. Pelepasan histamin dapat diinduksi oleh produksi enzim prostaglandin sintase. Sebagai akibatnya terjadi pelepasan histamine yang berlebihan sehingga menyebabkan vasodilatasi karena histamine menginduksi endotel vaskuler yang menghasilkan cGMP di otot polos. cGMP inilah yang menyebabkan vasodilatasi. Efek ini dapat dihilangkan dengan adanya antagonis histamin H-1 dimana mekanisme kerjanya bersifat inhibitor kompetitif terhadap reseptor-reseptor histamin.

Antagonis histamin H-1 terdiri dari 3 generasi : generasi 1,generasi 2 dan generasi 3. Perbedaan antara generasi 1 dan generasi 2 terletak pada efek samping yang ditimbulkan, generasi 1 menimbulkan efek sedatif sedangkan generasi 2 pada umumnya non sedatif karena generasi 2 pada umumnya tidak dapat menembus blood brain barrier(bersifat lipofobik dan bulky), sehingga tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain itu, antihistamin H-1 generasi 2 bersifat spesifik karena hanya terikat pada reseptor H-1. Beberapa obat generasi 2 dapat menghambat pelepasan mediator histamin oleh sel mast. Obat antihistamin H-1 generasi 2 tidak bisa digolongkan berdasarkan struktur kimianya karena meskipun memiliki struktur kimia dasar yang sama, obat tersebut masih memiliki gugus fungsional tambahan yang berbeda. Contoh : sterfenadine, aztemizole, nuratadine, ketotifen, levokaloastin, mempunyai cincin piperidin tetapi tidak dapat dimasukkan dalam satu golongan karena mempunyai gugus fungsional tambahan yang berbeda. Efek samping antagonis histamin H-1 G2 : Allergic photosensitivity, anaphylactic shock, drug rash, dermatitis Central nervous system* somnolence / drowsiness, headache fatigue, sedation Respiratory** dry mouth, nose and throat (cetirizine, loratadine) Gastrointestinal** nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine

Obat-obat antagonis histamin H-1 G2 :

Cetirizine (Zyrtex)

Cetirizine HCl merupakan antagonis reseptor H-1. Nama kimianya adalah () [2-[4-[(4chlorophenyl)phenylmethyl]-1-piperazinyl]ethoxy]acetic acid. Rumus empirisnya adalah C12H25C4N2O3.2HCl dan Bmnya 461,82. Cetirizine dapat menurunkan jumlah histamin dengan mengurangi jumlah produksi prostaglandin dan menghambat migrasi basofil yang diinduksi oleh antigen. Indikasi : seasonal allergic rhinitis (karena pollen, rumput). Perennial allergic rhinitis (karena debu, bulu binatang, dan jamur). Chronic urticaria. Efek samping : anoreksia, tachycardia, migraine, konstipasi, dehidrasi.

Fexofenadine

Fexofenadine HCl (paten: Allegra dan Telfast) adalah suatu obat antihistamin yang digunakan untuk pengobatan demam dan gejala alergi yang mirip lainnya. Obat ini merupakan obat alternatif dari terfenadine yang memiliki kontra indikasi yang serius. Fexofenadine seperti antagonis H1 generasi 2 dan 3 lainnya, tidak dapat melewati blood brain barrier dan kurang menyebabkan efek sedative dibandingkan dengan obat generasi 1. kerja dari obat ini adalah sebagai antagonis dari reseptor H1. Indikasi : seasonal allergic rhinitis, chronic idiopathic urticaria. Efek samping : dizziness, back pain, cough, stomach discomfort, pain in extremity. Kontraindikasi : pada pasien dengan hipersensitifitas dengan fexofenadine dan beberapa aksus lainnya yang jarang terjadi menyebabkan angiodema, sesak nafas, kemerahan pada kulit dan anafilaksis.

Terdapat obat-obat generasi dua yang dapat mengakibatkan cardiotoxic seperti astemizole. Obat astemizole dapat berikatan dengan potassium (K) channel, yang merupakan reglator potensial membrane sel. Ikatan ini dapat menyebabkan terganggunya fungsi potassium channel menyebabkan Long QT Syndrome. Long DT Syndrome merupakan perpanjangan dari QT interval. Apabila QT interval panjang, secara otomatis ritme jantung akan menurun, disebut juga dengan bradycardia. Bradycardia akan menyebabkan kurngnya supply oksigen dalam tubuh dan juga penyumbatan aliran darah (heart block).

PENGGUNAAN ADRENALIN DALAM PENGOBATAN ANAFILAKSIS (Anastasia Aprilistyawati 06-026; Maria Laksmi Parahita 06-027) Apa itu anafilaksis? Reaksi anafilaksis adalah suatu sindroma yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan penyempitan bronkus yang mendadak. Reaksi ini dicetuskan oleh beberapa mediator kimiawi endogen seperti : histamin, serotonin atau lainnya yang segera terbentuk. Reaksi anafilaksis atau hipersensitivitas jenis cepat adalah reaksi imonopatologik tipe I, yaitu reaksi jaringan yang terjadi beberapa menit setelah obat manifestasi kontak antigen dan antibodi. Sebagai antigen adalah IgE.yangdisebut homositotropik.. Anafilaksis dapat menyebabkan syok, gagal nafas, henti jantung dan kematian mendadak.. Apa Saja Alergen Penyebab Anafilaksis ? Allergen penyebab Anafilaksis adalah : Krustasea: Lobster, udang dan kepiting Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase Vaksin dan Darah Toxoid : ATS, ADS, SABU Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran Antibiotika: Penicillin, Streptomisin, Cephalosporin, Tetrasiklin, Ciprofloxacin, Amphotericin B, Nitrofurantoin. Agent diagnostik-kontras: Vitamin B1, Asam folat Agent anestesi: Lidocain, Procain, Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp). Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid Apa Saja Gejala-Gejala Reaksi Anafilaksis ? Anafilaksis merupakan reaksi sistemik, gejala yang timbul juga menyeluruh. Gejala-gejala syok anafilaksis sering disertai gejala reaksi hipersensitif lainnya Manifestasinya bergantung cara masuk antigen atau benda asing, jumlah yang diabsorpsi dan tingkat hipersensitifitas. Gejala permulaannya adalah sakit kepala, pusing, gatal dan perasaan panas sistem organ gejala kulit eritema, urticaria, angoedema, conjunctivitis, pallor dan kadang cyanosis respirasi bronkospasme, rhinitis, edema paru dan batuk, nafas cepatdan pendek, terasa tercekik karena edema epiglotis, stridor, serak, suara hilang, wheezing, dan obstruksi komplit. cardiovaskular hipotensi, diaphoresis, kabur pandangan, sincope, aritmia dan hipoksia gastrintestinal mual, muntah, cramp perut, diare, disfagia, inkontinensia urin SSP, Parestesia, konvulsi dan kom Sendi Arthralgia Haematologi darah, trombositopenia, DIC Bagaimana Mekanisme Anafilaksis? Mekanisme anafilaksis terdiri dari dua fase, yaitu : 1. Fase Sensitisasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana

ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. 2. Fase Aktivasi Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang . Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators. Bagaimana Pengobatan Anafilaksis ? Pertimbangan penggunaan obat-obatan untuk mengatasi syok anafilaksis adalah adrenalin, aminofuin, antihistamin, kortikosteroid. Adrenalin Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Betabloker akan selalu juga menghambat frekuensi dan konduksi jantung pada dosis terapi dan morfin juga selalu akan mengurangi rasa sakit dan menghambat pernapasan dalam dosis lebih besar. Semua reaksi ini merupakan dose-dependent reactions yang nyata. Dengan demikian banyak obat lain bisa kita golongkan kedalamnya seperti kontaseptif oral, insulin, dsb. Obat sejenis ini termasuk daftar Obat Esensial. Bagaimana Cara Pemberian Adrenalin ? 1. Adrenalin Intramuskular Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari cara pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler dan pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebihg cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan untuk pemberian sendiri injeksi intramuskuler adrenalin. Volume injeksi adrenalin 1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok anafilaksis. Umur Volume adrenalim 1:1000 Dibawah 1 tahun 0,05 ml 1 tahun 0,1 ml 2 tahun 0,2 ml 3-4 tahun 0,3 ml 5 tahun 0,4 ml 6-12 tahun 0,5 ml Dewasa 0,5 1 ml Dosis diatas dapat diulang tiap 10 menit, menurut tekanan darah dan nadi sampai perbaikan terjadi (mungkin diulangi beberapa kali) 2. Adrenalin Intravena Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan

dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. 3. Pemberian Sendiri Adrenalin Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan bagaimana menyuntikkannya. Pada kemasan perlu diberi label pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. Penting untuk memastikan bahwa suplay yang memadai telah terbukti mengatasi gejala anafilaksis sampai pertolongan medis tersedia. Daftar Pustaka Alirifan,2007,Penatalaksanaan Syok Anafilaksis, http://alirifan.blogspot.com/2007/11, diakses tanggal 10 Maret 2009 Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia,91, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2008, Syok Anafilaktik, http://fkunair99.blog.friendster.com/2008/11/syok-anafilaktik/, diakses tanggal 10 Maret 2009 Matsum,2001,Reaksi Atropin dan Adrenalin, http://matsum.blogspot.com/2008/05/reaksi-atropin-danadrenalin.html, diakses tanggal 10 Maret 2009 Supri, 2009, Syok Anafilaksis, http://supri89.blogspot.com/2009/01/syok-anafilaksis.html, diakses tanggal 10 Maret 2009

Pemberian obat subkutan adalah pemberian obat melalui suntikan ke area bawah kulit yaitu pada jaringan konektif atau lemak di bawah dermis (Aziz,2006).

Manifestasi Klinis Alergi Obat Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV) (Djauzi et al., 2007): 1. Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat) Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk, yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatnya permeabilitas kapiler, serta hipersekresi kelenjar mukus. 1) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang disertai juga kejang laring. Bila disertai edema laring menjadi keadaan gawat karena pasien tidak dapat atau sulit bernapas, 2) Urtikaria, 3) Angiodema, 4) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin (Djauzi et al., 2007).

Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Reaksi mengenai beberapa organ dan bersifat membahayakan, dengan penyebab yang tersering adalah penisilin (Djauzi et al., 2007). Pada tipe I ini terjadi beberapa fase, yaitu: a) Fase sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE. b) Fase aktivasi, yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi. c) Fase efektor, yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat penglepasan mediator (Djauzi et al., 2007). 2. Tipe II Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi akibat pembentukan IgM/IgG oleh pajanan antigen, yang kemudian dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktivasi komplemen melalui reseptor komplemen (Djauzi et al., 2007). Manifestasi klinis reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini (Djauzi et al., 2007). 3. Tipe III Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bilaa kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan adalah IgM dan IgG. Kompleks ini mengaktifkan pertahanan tubuh dengan penglepasan komplemen (Djauzi et al., 2007). Manifestasi klinis reaksi tipe III dapat berupa: 1) Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai dengan pruritus. 2) Demam, 3) Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi, 4) Limfadenopati, 5) Lain-lain (Djauzi et al., 2007): Kejang perut, mual Neuritis optik Glomerulonefritis Sindrom lupus eritematosus sistemik Gejala vaskulitis lain Gejala timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam 1-5 hari (Djauzi et al., 2007). 4. Tipe IV Reaksi tipe IV atau disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi, yang berperan adalah respon sel T yang telah disensitisasi oleh antigen tertentu (Djauzi et al., 2007). Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity): 1) Cutaneous Basophil Hypersensitivity, 2) Hipersensitivitas kontak, 3) Reaksi tuberculin, 4) Reaksi granuloma (Djauzi et al., 2007).

Manifestasi klinis reaksi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrate paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomyelitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal. Bila pasien telah sensitif, gejala dapat timbul 18-24 jam setelah obat dioleskan (Djauzi et al., 2007). Diagnosis Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang timbul, dapat ringan seperti pruritus, urtikaria, sampai gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Terkadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal (Rengganis et al., 2007). Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran dikelompokkan sebagai berikut (Rengganis et al., 2007): Sistem Umum Prodromal Pernapasan Hidung Laring Lidah Bronkus Kardiovaskuler Hidung gatal, bersin, dan tersumbat. Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme. Edema Batuk, sesak, mengi, spasme Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG: gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard. Gastrointestinal Kulit Mata Susunan saraf pusat Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi. Urtika, angiodema, di bibir, muka, atau ekstremitas. Gatal, lakrimasi Gelisah, kejang Gejala dan Tanda Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.

Anda mungkin juga menyukai