Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH PERTANIAN BERKELANJUTAN PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA LOW EKSTERNAL INPUT SUSTAINABLE AGRICULTURE

(LEISA)

Oleh: Neneng Reta Rantika Lilis Ermawati Indah Lestari Sarah Khalifah (A1C011041) (A1C011043) (A1C011045) (A1C011053)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2013

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar belakang

Isu kerusakan lingkungan saat menjadi semakin santer di berbagai media massa. Kerusakan lahan akibat praktek usaha yang dilakukan manusia telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap perubahan kesimbangan lingkungan yang berakibat pada terjadinya perubahan iklim yang drastis serta terjadinya berbagai bencana (Resosoedarmo, R.S, 1989). Usaha pertanian disebutkan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam kerusakan lingkungan pada beberapa dekade terakhir. Peningkatan penduduk yang begitu besar harus dimbangi dengan pemenuhan kebutuhan pangan secara cepat pula. Berbagai usaha pertanian terus dikembangkan seiring permintaan produk yang begitu tinggi. Berbagai masukan teknologi diberikan dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara memuaskan (Soemarwoto, O. 2001). Seiring dengan seruan revolusi hijau dan gerakan swasembada pangan, usaha pertanian dilakukan dengan sangat intensif, untuk mengejar produksi yang tinggi. Namun demikian, hal tersebut ternyata tidak dibarengi dengan profesionalisme dan perencanaan yang matang sehingga tidak mengedepankan konsep keberlanjutan. Pengusahaan lahan pertanian yang begitu intensif mengambil hara dalam bentuk hasil panenan tidak diimbangi dengan pengembalian input yang sesuai, sehingga menyebabkan degradasi lahan dan kerusakan lingkungan yang efeknya berkepanjangan bahkan tidak hanya terjadi di wilayah pengusahaan pertanian namun berimbas ke daerah lain yang memiliki hubungan perairan terutama daerah sedimentasi maupun muara sungai (Sunaryo, L dan Joshi. 2003). Dalam mengembangangkan suatu sistem pertanian, kita harus

mengedepankan konsep keberlanjutan. Pemanfaatan teknologi pengelolaan lahan serta konservasi sumberdaya air sangat penting untuk diterapkan dalam suatu sistem pertanian yang berkelanjutan. Karena konsep sistem pertanian yang berkelanjutan tergantung pada seluruh kemajuan dari sisi kesehatan manusia serta kesehatan lahan.

Saat ini kita juga mengenal sebuah konsep Low Eksternal Input Sustainable Agriculture (LEISA) yang merupakan penyangga dari konsep pertanian terpadu dan pertanian yang berkelanjutan. Konsep ini mengedepankan pemanfaatan sumber daya lokal sebagai bahan baku pola pertanian terpadu, sehingga nantinya akan menjaga kelestarian usaha pertanian agar tetap eksis dan memiliki nilai efektifitas, efisiensi serta produktifitas yang tinggi. Dalam konsep ini

dikedepankan dua hal: yang pertama adalah memanfaatkan limbah pertanian terutama sisa budidaya menjadi pakan ternak dan yang kedua adalah mengubah limbah peternakan menjadi pupuk organik yang dapat dimanfaatkan kembali dalam proses budidaya tanaman. Konsep LEISA merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agro-ekologi serta pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisional. Agroekologi merupakan studi holistik tentang ekosistem pertanian termasuk semua unsur lingkungan dan manusia. Dengan pemahaman akan hubungan dan proses ekologi, agroekosistem dapat dimanipulasi guna peningkatan produksi agar dapat menghasilkan secara berkelanjutan, dengan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan maupun sosial serta meminimalkan input eksternal. Konsep ini menjadi salah satu dasar bagi pengembangan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan menurut definisi dari Gips, 1986 cit. Reijntjes, (1999) adalah : Mantap secara Ekologis Yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan, dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumber daya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa, dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumber daya yang bisa diperbarui. Bisa berlanjut secara ekonomis

Yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa diukur bukan hanya dalam hal produk usaha tani yang langusng namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumber daya alam dan meminimalkan resiko. Adil Yang berarti bahwa sumber daya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan baik di lapangan maupun di dalam masyarakat. Kerusuhan sosial bisa mengancam sistem sosial secara keseluruhan, termasuk sistem pertaniannya. Manusiawi Yang berarti bahwa, semua bentuk kehidupan tanaman, hewan, dan manusia dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati, dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spiritual masyarakat dijaga dan dipelihara. Luwes Yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan teknologi yang sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya. Apabila kita telah dapat menghayati dan meresapi konsep pertanian berkelanjutan maka kedepan tentunya kita akan dapat meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan sekaligus memelihara tatanan sosial yang sehat di masyarakat kita, karena bagaimanapun kelestarian lingkungan (agrekosistem) yang merupakan sumber kehidupan masyarakat kita di masa lalu, kini dan masa mendatang.

Saat terjadi krisis moneter di Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan kesenjangan penghasilan yang semakin besar. Petani termasuk dalam rakyat berdaya beli rendah yang sangat merasakan dampak masalah perekonomian ini. Karena umumnya petani menggunakan teknologi pertanian yang bergantung pada penggunaan bahan kimia yang tinggi atau pertanian kovensional. Padahal hampir setiap bahan kimia yang digunakan tersebut didatangkan dari luar negeri. Sehingga ketika daya beli rakyat rendah maka input yang dibutuhkan menjadi langka dan jumlah output menjadi turun. Padahal yang dibutuhkan petani adalah suatu sistem pertanian yang mampu meningkatkan pendapatan dan berkelanjutan. Sistem pertanian telah berkembang mulai dari ramah lingkungan sampai konvensional atau modern. Pertanian dengan sistem konvensional kemudian dikenal dengan sebutan HEIA (High External Input Agriculture). HEIA menggunakan beragam atau banyak input external diluar sistem untuk menunjang pertumbuhan produk pertanian. Namun sistem konvensional merupakan teknologi yang sarat dengan agrokimia terutama bagi pupuk dan insektisida. Walaupun sistem konvensional menyebabkan hasil produk pertanian meningkat namun dampak yang dirasakan dalam jangka panjang adalah produktivitas lahan menurun serta kandungan kimia berbahaya dari pupuk maupun insektisida terserap oleh hasil produk pertanian tersebut. Sehingga timbul beragam penyakit bagi manusia yang mengkonsumsinya. Disamping itu terdapat LEIA (Low External Input Agriculture) yaitu penggunaan sedikit atau tidak sama sekali input external dari luar sistem. Namun karena LEIA banyak dipraktekkan di kawasan rawan erosi yaitu lahan-lahan marjinal di lereng perbukitan, degradasi tanah akibat keluarnya hara terangkut hasil panen tidak terganti oleh masukan external. Tidak adanya lahan alternatif bagi petani untuk menanam tanaman pertanian menyebabkan lahan marjinal terus di eksploitasi oleh petani. Sehingga baik HEIA dan LEIA menyebabkan pertanian tak berkelanjutan. Adanya kelemahan-kelemahan dari sistem LEIA dan HEIA menyebabkan petani butuh suatu sistem lain yang dapat membuat pertanian dapat berkelanjutan. LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) merupakan sistem pertanian yang memanfaatkan penggunaan sumber daya yang tersedia secara local

serta mengkombinaikan berbagai komponen seperti hewan, tumbuhan dan manusia. Sehingga berbagai komponen tersebut saling melengkapi satu sama lain. Dalam LEISA masukan external yang tinggi dihindari terutama bahan-bahan kimia berbahaya. Sebaliknya pemasukan input didapatkan dari dalam sistem yang dibuat sendiri. Hal ini diharapkan mampu memaksimalkan ekosistem menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.

B.

Tujuan

1.

Mahasiswa

dapat

mengetahui

dan

memahami

penerapan

pertanian

berkelanjutan di Indonesia 2. Mahasiswa lebih mengetahui secara detail konsep penerapan LEISA (Low External Input Agriculture) 3. Mahasiswa dapat menganalisa sistem LEISA dari berbagai aspek

II. PEMBAHASAN

Tidak ada satu metode pertanian yang secara tunggal

memiliki kunci

keberlanjutan. Sistem pertanian apa pun, apakah itu padat bahan kimia atau alamiah di lihat dari berbagai sudut pandang bersifat melestarikan sumber daya, sedangkan dari sudut lain bersifat boros, tidak berwawasan lingkungan atau mencemarkan. Sudah sering dipertanyakan berapa lama energi dari luar dan suplai unsur hara, bahan bakar minyak, petrokimia dan pupuk mineral dari luar dapat dipertahankan. Namun dengan langsung mengganti anternatif nonkimia belum tentu akan membuat pertanian lebih berkelanjutan. Misalnya penggunaan pupuk kandang secara tidak bijaksana dapat mencemarkan tanah dan permukaan seburuk pencemaran yang ditimbulkan oleh penggunaan pupuk kimia secara

berlebihan. Begitu pula pemakaian pestisida yang dibuat dari tumbuhan bisa sama bahayanya dengan pestisida kimia. LEISA adalah Pertanian dengan masukan rendah tetapi mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam (tanah, air, tumbuhan dan hewan), manusia (tenaga, pengetahuan dan keterampilan) yang tersedia ditempat dan layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, adil secara sosial dan sesuai dengan budaya lokal. Ciri-ciri sitem ini antara lain: (a) berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang luar biasa, (b) berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang luar biasa. Prinsip dasar LEISA adalah menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme di dalam tanah (soil regenerator), mengoptimalkan ketersediaan dan menyeimbangkan aliran unsur hara, khususnya melalui penambatan Nitrogen, pendaur ulangan unsur hara dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap,, meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi

matahari, udara dan air dengan pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi, saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumberdaya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungisonal tinggi. Sistem LEISA telah diterapkan di beberapa desa di Indonesia, salah satunya di Desa Sindangasih, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Cianjur. Sistem LEISA yang diterapkan di desa tersebut adalah sistem LEISA pada lahan basah yang terdiri dari 1,25 hektar sawah dan 0,05 hektar kolam. Kepemilikan kedua lahan tersebut berbeda sehingga manajemen usaha taninya pun berbeda dan terpisah. Sebelum diubah menjadi sistem LEISA, biasanya lahan sawah dimanfaatkan untuk usaha tani dengan teknologi yang masih konvensional. Komoditas yang biasa dibudidayakan adalah padi dan ubi jalar dengan pola tanam per tahunnya padi-padi-bera atau padi-ubi jalar-bera. Sedangkan kolamnya biasa dimanfaatkan untuk budidaya ikan seperti nila, bawal dan patin serta beternak itik dengan teknologi yang dikembangkan oleh petani sendiri. Kedua lahan tersebut kemudian diintegrasikan menjadi satu kesatuan manajemen bersistem LEISA. Lahan sawah dan kolam yang dipilih tersebut atas dasar pertimbangan dari segi aspek ekonomis dan sosial. Dalam mengaplikasikan praktik pertanian bersistem LEISA perlu

diperhatikan juga kelayakan penerapan usaha yang terdiri dari satu kesatuan pengelolaan usaha tani tanaman, ternak itik dan perikanan air tawar. Pemilihan komoditi yang akan diusahakan juga perlu mempertimbangkan penghasilan yang akan diterima oleh petani baik dari usaha tani tanaman, ternak maupun perikanan. Untuk pertanaman dapat memberikan penghasilan 3-5 bulan, ternak itik memberikan penghasilan setiap hari dan perikanan memberikan penghasilan setiap 40 hari. Jenis usaha yang dilakukan tersebut mempertimbangkan prinsip intensitas penggunaaan lahan yang tinggi, baik dari aspek ekonomi maupun dari aspek ekologi (pendaur-ulangan hara). Usaha tani tanaman, peternakan maupun perikanan menghasilkan produk utama berupa bahan pangan dan penghasilan bagi pengelolanya serta produk ikutan berupa sumber masukan internal (input) untuk kebutuhan proses produksi

tanaman dan hewan. Produk ikutan dari produksi tanaman dan hewan ini merupakan hasil dari pendaurulangan hara di dalam sistem sehingga mengurangi penggunaan masukan usahatani dari luar sistem yang pada akhirnya dapat menekan biaya usaha tani. Komoditas tanaman yang diusahakan yaitu padi sawah, cabai dan jagung manis. Masing-masing komoditas ditanam menempati kurang lebih sepertiga luas sawah kemudian dirotasikan satu sama lain. Pertanaman ganda dilakukan untuk mengurangi resiko ekonomi jika terjadi kegagalan pertanaman atau harga produk suatu jenis tanaman rendah. Rotasi tanaman semusim dilakukan dengan mempertimbangkan perlunya inkorporasi kompos biomas hasil sampingan ke dalam tanah. Komoditas tersebut menghasilkan bahan pangan, limbah bahan kompos (jerami, sekam) dan limbah pakan ikan (dedak, menir, split). Frekuensi pengusahaannya pun disesuaikan dengan potensi lahan yang digunakan, terutama ketersediaan air atau curah hujan setempat. Selain itu terdapat keong mas yang biasanya menjadi hama untuk tanaman padi dapat dimanfaatkan sebagai pakan itik. Dari budidaya ikan dapat dihasilkan benih ikan. Kolam seluas 0,5 ha dibagi menjadi 0,2 ha untuk memelihara ikan patin dengan skala usaha 75.000 ekor, 0,1 ha untuk memelihara ikan bawal dengan skala usaha 100.000 ekor dan 0,2 ha untuk memelihara ikan nila sebanyak 4 liter. Itik yang dipelihara ditempatkan di pematang kolam sebanyak 1000 ekor. Dari ternak itik dihasilkan telur, daging, dan pupuk kandang untuk pertanaman serta kotorannya dimanfaatkan untuk ikan. Sarana produksi dan produk di dalam lahan usaha ditangani sedemikian rupa sehingga daur ulang produk ikutan atau limbah yang telah diolah dapat berlangsung. Sistem pengelolaan tanaman dan ternak memanfaatkan masukan internal semaksimal mungkin. Penggunaan masukan eksternal seperti pupuk anorganik dan pestisida buatan akan sangat dibatasi. Bahan organik untuk pakan ternak dan ikan yang didatangkan dari luar lahan pun akan diutamakan dengan menggunakan limbah pasar terdekat. Demikian pula, pemasaran produk diupayakan ke pasar terdekat secara langsung tanpa perantara atau mengundang pembeli langsung datang ke lahan usaha tani.

Kegiatan usahatani dirancang sedimikian rupa, serinci mungkin berdasarkan jadwal yang telah disusun. Peruntukkan lahan ditetapkan dengan prinsip bahwa arus energi dan pemanfaatan limbah di kebun dilakukan semaksimal mungkin. Tata cara pendaur ulangan unsur-unsur hara yang efisien dapat dilakukan dengan mengatur tata letak komoditi dan proses produksi yang tepat di lapang. Pengadaan berbagai alat dan bahan produksi dilakukan berdasarkan kepentingan utama yang diperlukan dalam pembangunan prasarana usahatani. Sebelum kegiatan di lapang dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pertemuan antar anggota pengelola dan pengelola dengan karyawan untuk kepentingan pengarahan. Proses produksi pertanian dilakukan dengan berpegang teguh pada prinsipprinsip LEISA. Pemenuhan sarana produksi pertanian termasuk bahan dan alat pertanian dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan di lapang. Selama proses produksi berlangsung, hal-hal ataupun kejadian penting harus dicatat dengan teliti, seperti pelaksanaan jadwal penanaman dan pemeliharaan tanaman, jadwal pemberian pakan ternak da ikan, hasil panen komoditi yang diusahakan, pengomposan, volume hasil dan nilai jual hasil panen hingga segala kebutuhan yang dikonsumsi oleh keluarga petani. Perlu adanya dukungan dari pemerintah maupun masyarakat setempat agar kegiatan kebun berkembang melalui sosialisasi kegiatan kebun. Selain itu, perlu dibina pula relasi dengan universitas pertanian demi tercapainya tujuan tersebut. Ketahanan usaha dapat ditingkatkan dengan cara mempertahankan pasar atau konsumen yang ada serta mengupayakan pasar-pasar alternatif. Perlu dijaga kepercayaan dari bank dengan upaya pengembalian pinjaman bunga secara tepat waktu. Demikian pula, pelaksanaan daur produksi komoditi yang diusahakan secara berkala agar sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Tahapan persiapan kegiatan dilaksanakan pada bulan pertama, kegiatan yang dilakukan mulai dari perancangan secara rinci mengenai kegiatan di lapang, pengadaan prasarana dan sarana produksi pertanian, selanjutnya diadakan pertemuan pengelola dan dengan calon tenaga kerja sebelum terjun langsung ke lapangan. Tahapan selanjutnya yaitu tahap pelaksanaan kegiatan dilakukan pada bulan kedua. Kegiatan yang dilakukan setelah pengadaan prasarana dan sarana

produksi pertanian adalah proses produksi pertanian, pemasaran dan penguatan pasar hasil pertanian, pertemuan berkala pengelola dengan para karyawan. Demi kelancaran kegiatan dilakukan pemantauan dan perbaikan kegiatan oleh spesialis LEISA. Spesialis LEISA juga berperan sebagai pendamping petani di lapang dan memantau kegiatan serta penilai ketagguhan usaha tani. Selanjutnya semua pinjaman beserta bunganya dikembalikan. Hal yang terpenting adalah sosialisasi kepada lembaga pemerintah maupun lembaga swasta terkait dan masyarakat setempat. Tahap pemantapan kegiatan dilakukan sejak bulan ke 24. Beberapa kegiatan pada tahap ini adalah pengembalian pinjaman dan bunganya hingga bulan ke-36, penguatan pasar produk dan hubungan kelembagaan usahatani, promosi kegiatan kepada masyarakat tani setempat. Analisis keuangan dari kelayakan agribisnis LEISA menurut jenis komponen usahataninya yakni produksi tanaman, produksi telur itik, dan produksi benih ikan, memperlihatkan bahwa pertanaman ganda dan diversifikasi pengusahaan ikan lebih menguntungkan dibanding monokulturnya masingmasing, padahal besar biaya yang dikeluarkan sama. Hal ini karena terdapat tambahan keuntungan dari pemanfaatan pematang kolam untuk beternak itik petelur. Apabila menggunakan sistem pertanian non LEISA, input yang ada tidak dapat dilaksakan secara optimal. Kelayakan usaha dalam sistem ini dinilai dengan criteria net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR). Nilai NPV sebesar Rp.38.556.960,- menunjukkan bahwa usaha tersebut layak atau feasible untuk dilaksanakan karena besarnya lebih dari nol. Nilai Net B/C sebesar 1,43 artinya bahwa pendapatan bersih yang diperoleh dalam usaha tersebut adalah 1,43 di atas total biaya. Nilai IRR 39,42 lebih besar dari nilai DF (Diskon Faktor) 18 % menunjukkan bahwa nilai investasi tersebut layak untuk dilakukan. Sistem LEISA dari sisi teknis mudah dilakukan karena input yang dibutuhkan dapat diperoleh dari dalam sistem tersebut. Misalnya sisa tanaman digunakan sebagai pakan ternak dan limbah kotoran ternak tersebut dapat digunakan sebagai pupuk organic bagi tanaman. Namun, tidak semua petani dapat melakukan dua kegiatan usaha tani yang berbeda dalam satu tempat yang sama

seperti bertani dan beternak. Dalam LEISA ini juga harus diperhitungkan jumlah antara tanaman dan hewan ternak yang dibudidayakan. Kebutuhan masing-masing kegiatan dalam sistem ini harus dapat dipenuhi dari dalam sistem itu sendiri. Sistem LEISA dari sisi ekonomi lebih menguntungkan dibanding dengan sistem pertanian monokultur sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Karena, dengan biaya yang sama petani dapat menghasilkan output lebih dari satu macam. Keuntungan disini tidak hanya diukur dari hasil usaha taninya saja, tetapi juga berdasarkan fungsi kelestarian sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi terhadap lingkungan. Sistem LEISA dari sisi lingkungan lebih ramah lingkungan diantaranya sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis, pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Dari sisi sosial masyarakat sistem LEISA mudah diadopsi masyarakat pedesaan atau petani. Mereka mampu menyesuaikan dengan perubahan kondisi usahatani. Namun, sistem ini belum banyak dikenal oleh masyarakt dan masih banyak dipertanyakan karena dalam beberapa tahun terakhir ini, pertanian organic modern masuk ke dalam sistem pertanian Indonesia secara kecil-kecilan dan tidak merata disetiap daerah.

III. KESIMPULAN

LEISA atau Low External Input and Sustainable Agriculture (pemberian input rendah dari luar untuk pertanian berkelanjutan). Secara singkat LEISA dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya local, 2) Maksimalisasi daur ulang (zero waste), 3) Minimalisasi kerusakan lingkungan atau ramah lingkungan, 4) Diversifikasi usaha, 5) Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai, 6) Menciptakan kemandirian petani. LEISA tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. Disamping itu, LEISA merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agroekologi serta pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat atau kearifan local. LEISA (Low external input sustainable agriculture) tidak bisa

dipresentasikan sebagai solusi mutlak terhadap masalah-masalah pertanian dan lingkungan yang mendadak di dunia ini, tetapi LEISA bisa memberikan kontribusi yang berharga untuk memecahkan beberapa permasalahan tersebut: LEISA terutama merupakan suatu pendekatan pada pembangunan pertanian yang ditujukan pada situasi di daerah-daerah pertanian tadah hujan yang terabaikan oleh pendekatan-pendekatan konvensional. LEISA (Low external input sustainable agriculture) merupakan suatu pilihan yang layak bagi petani dan bisa melengkapi bentuk-bentuk lain produksi pertanian. Karena sebagian besar petani tidak mampu untuk memanfaatkan input buatan itu atau hanya dalam jumlah yang sangat sedikit, maka perhatian perlu dipusatkan pada teknologi yang bisa memanfaatkan sumber daya lokal secara efisien. Petani yang kini menerapkan HEIA, bisa saja mengurangi pencemaran dan biaya serta meningkatkan efisiensi input luar dengan menerapkan beberapa teknik LEISA.

DAFTAR PUSTAKA

Reijntjes, C., Haverkort, B., dan Ann Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (eds. Terjemahan). Kanisius: Yogyakarta. Resosoedarmo, R.S., Kartawinata, K., dan Soegiarto, A. 1989. Pengantar Ekologi. Remadja: Bandung. Soemarwoto, O. 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan

Pembangunan. Djambatan: Jakarta. Sunaryo, L dan Joshi. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri. World Agroforestry Centre: Bogor. Wahju Q. Mugnisjah, Suwarto, Dan Ahmad S. Solihin. 2000. Agribisnis Terpadu Bersistem Leisa Di Lahan Basah : Model Hipotetik. Institut Pertanian Bogor: Bogor

Anda mungkin juga menyukai