Breathing, memastikan ventilasi berjalan dengan baik d. Circulation, jaga sirkulasi darah pasien 2. Terapi Konservatif a. Analgetik, misal dengan pemberian NSAID. b. Terapi diuretik, menggunakan manitol 20% dengan dosis 0,5 1 mg/kgBB setiap pemberian. Pemberian dilakukan setiap 4-6 jam. c. Antikonvulsan, misal dengan pemberian fenitoin (diazepam) d. Antibiotik, digunakan antibiotik yang dapat menembus sawar darah otak, misalnya cephalosporin. e. Kortikosteroid, berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. akan tetapi manfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala (Japardi, 2004). 3. Terapi operatif Terapi operatif dilakukan dengan indikasi sebagai berikut (Japardi, 2004) : a. Massa hematoma kira-kira 40 cc b. Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm c. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang. d. Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm. e. Pasien pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai berkembangnya tanda tanda lokal peningkatan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg. Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk
dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang(Ginsberg, 2007). Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi(Ginsberg, 2007),
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata Adanya tanda herniasi/ lateralisasi Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Japardi, Iskandar. 2004 . Penatalaksanaan Cedera kepala secara operatif . Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Ginsberg, lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi 8. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 113.