Anda di halaman 1dari 31

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit neuromuscular junction yang disebabkan oleh penyakit autoimun yang didapat dengan karekteristik berupa fluktuasi kelemahan patologis dengan remisi dan eksaserbasi berkait dengan satu atau beberapa kelompok otot, terutamanya yang disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) pada post sinaps neuromuscular junction.1,2,3

Klasifikasi myasthenia gravis Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Klas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. b. Klas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otototot lain selain otot okular. c. Klas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. d. Klas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

e. Klas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan tingkat sedang. f. Klas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. g. Klas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan.Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan. h. Klas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. i. Klas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan. j. Klas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya denganderajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi. k. Klas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini : a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopia, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuh pun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu. c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

2.2 Epidemiologi Prevelansi adalah 14 per 100000 populasi ( kira-kira 17,000 kasus) di Amerika. Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini adalah 3 kali lipat lebih banyak di wanita dibandingkan pria, namun pada usia lebih tua kedua-dua jenis kelamin bisa terkena MG.7,8,13

2.3 Etiologi Terdapat predisposisi genetik untuk MG. Namun, MG tidak hanya diwarisi karena genetik, 30% pasien MG mempunyai satu saudara kandung dengan diagnosa MG juga atau gangguan autoimun yang lain, dan kejadian penyakit autoimun yang lain di MG pasien sangat tinggi. Predisposisi genetik untuk pasien MG termasuk region MHC kelas I dan II, subunit- AChR, rantai IgG yang berat dan ringan dan gen TCR. Infeksi juga dapat memicu terjadinya kebanyakan penyakit autoimun dengan mengakibatkan kerusakan jaringan, paparan antigen tubuh sendiri, dan aktivasi sel T yang mengenali urutan homologous microorganism melalui mimicry molecule. Contohnya pada reaksi silang antibodi dengan bakteri dan virus herpes simplex yang dapat menginduksi penyakit MG. Pada kasus MG yang diassosiasi dengan timoma, terdapat neurofilament (NF-M) yang bersaiz sederhana. NF-M tersebut mempunyai AChR-like epitope yang kemungkinan merupakan etiologi terjadinya MG. Ditemukan terdapat peningkatan jumlah reseptor NF-M pada sel T di pasien MG dengan timoma.

2.4 Anatomi Neuromuscular Junction Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujungujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction 2.5 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik. Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggapberlangsung dalam 6 tahap, yaitu: 1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA 2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini. 3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membrane presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitif terhadap voltage listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asetilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps. 4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end

plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot. 5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps. 6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot. Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai berikut: Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor) Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa. Mengandung lima subunit, terdiri dari 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+. Autoantibodi terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia gravis.

2.6 Patogenesis Patogenesis MG berkaitan dengan efek destruksi dari autoantibodi terhadap AChR. Respon autoimun seluler adalah tahap awal terjadinya MG. AChR merupakan target utama untuk reaksi autoimun di MG. Respon autoimun seluler yang terjadi yaitu respon autoimun humoral yang melibatkan antibodi AChR dan antibodi non-AChR. Miopati inflammatory dapat terjadi pada pasien MG dan diassumsi disebabkan oleh polimiositis. Antibodi poliklonal IgG terhadap AChR diproduksi oleh sel plasma di organ limfoid perifer, sum-sum tulang dan timus. Sel ini berasal dari sel B yang telah diaktivasi oleh sel T yang bersifat antigen spesifik. Sel T yang telah diaktivasikan, pada kasus ini berikatan dengan urutan peptide antigen AChR (epitop) yang terdapat di dalam histocompatibility antigen pada permukaan antigen presenting cell. AChR merupakan glikoprotein transmembran yang lokasinya pada postsinaps neuromuscular junction, yang melibatkan 5 subunit (-). Region imunogenik yang utama adalah antibodi AChR yang dilokasi pada subunit . Antibodi AChR menggangu transmisi neuromuscular dengan kerusakan membrane otot fokal yang disebabkan oleh komplemen,

sehingga terjadi peningkatan akselerasi degradasi AChR, dan terjadi blockade ikatan ligand AChR secara langsung. Konsentrasi serum komponen komplemen C3 dan C4 adalah rendah pada pasien MG tetapi ditemukan konsentrasi antibody AChR tinggi. Antibodi AChR terdapat lebih dari 85% pasien MG dengan kelainan umum seluruh badan dan 70% pada pasien MG hanya bersifat okular. Antibodi AChR adalah suatu antibody yang bersifat poliklonal, namun yang paling banyak terdiri daripada antibody IgG dengan subkelas IgG1 dan IgG3. Konsentrasi antibodi AChR tidak berkolerasi terhadap tingkat keparahan MG. Titin merupakan protein yang sangat besar (3000kDa) dan merupakan protein paling banyak terdapat di otot skeletal dan sacromere jantung. Region imunogenik yang utama pada MG adalah myasthenia gravis titin-30 (MGT-30) dan protein ini terletak dekat A/I band junction. Manakala, RyR adalah kanal yang membebaskan kalsium yang terletak di sarcoplasmic reticulum. Terdapat dua jenis RyR,yaitu skeletal (RyR1) dan jantung (RyR2). Antibodi RyR dari pasien MG bereaksi terhadap kedua-dua jenis protein RyR ini. Antibodi Titin dan RyR lebih sering pada MG berat dan dapat mengaktivasi komplemen in vitro. Antibodi kinase spesifik otot diekspresi pada neuromuscular junction. Kira-kira 41% antibodi AChR negatif pada MG dengan kelainan umum yang mempunyai antibodi serum terhadap kinase spesifik otot (Muscle specific tyrosin kinase antibody) dan adanya antibodi kinase spesifik otot dapat berkolerasi terhadap tingkat keparahanMG. Antibodi AChR bereaksi dengan determinan yang multipel, dan antibodi yang cukup banyak bersirkulasi sehingga mencapai saturasi hingga 80 % dari semuaAChR pada otot. Persentase yang kecil dari molekul anti AChR mengganggu ikatan dengan Ach secara langsung, namun kerusakkan yang lebih berat adalah yang terjadi pada end plates motor yang menyebabkan reseptor berkurang pada neuromuscular junction di otot. Lisis komplemen mediasi membran dan proses degradasi yang cepat (internalisasi, endositosis, hidrolisis lisosom) dengan penggantiaan sintesa baru yang tidak adekuat mengakibatkan pengurangan AChR sehingga, pasien biasanya menjadi tidak sensitif lagi terhadap curare antagonist yang kompetitif.

Selain itu, terjadi juga penurunan respon stimulasi berulang-ulang saraf motorik karena kegagalan potensial end plate untuk mencapai ambang sehingga secara progressif lebih sedikit serat otot yang respon terhadap impuls saraf. Bagaimana penyakit autoimun terjadi masih belum diketahui namun mengikut penelitian yang terbaru, autoimun terjadi diawali dari infeksi. MG adalah penyakit heterogeneous, yang diklasifikasi pada beberapa tipe subgroup. Subgroup okular MG termasuk antibodi AChR positif,dan pada subgroup ini tidak

terdapat timoma dengan gejala hanya terbatas pada ocular. MG okular bisa terjadi pada setiap umur namun lebih sering pada anak dan pria dengan onset lambat. Subgroup MG onset awal termasuk antibodi AChR positif, dan subgroup tanpa timoma serta MG yang bersifat umum dengan onset MG sebelum umur 50 tahun. Hiperplasia timus sering ditemukan pada subgroup ini dan merupakan subgroup terbesar yang terdiri dari 65% semua pasien MG. Subgroup MG ini ditemukan lebih banyak pada wanita dengan rasio wanita ke pria 4:1 dan biasanya usia 20 tahun hingga 30 tahun. Konsentrasi serum antibodi AChR biasanya tinggi. Subgroup MG dengan onset lambat termasuk antibodi AChR positif, juga tanpa ditemukan timoma serta pada subgroup ini adalah MG yang bersifat umum dengan onset pada umur 50 tahun atau lebih. Atrofi timus lebih sering ditemukan pada subgroup ini. Kejadian MG onset lambat adalah sama di wanita dan pria dan biasanya terjadi pada usia 70 tahun hingga 80 tahun. Konsentrasi antibodi AChR biasanya rendah pada subgroup ini. Sebanyak 75% pasien MG subgroup ini mempunyai antibodi titin dan RyR. Subgroup MG dengan timoma biasanya mempunyai antibodi AChR dan biasanya subgroup ini banyak pada tipe kortikal. MG timoma terjadi pada setiap umur dan paling sering onset pada usia 50 tahun. Pada subgroup ini ditemukan sama banyak penderita wanita dan pria selain ditemukan juga antibodi titin dan RyR pada pasien MG dengan timoma. Adanya timoma tidak memperburukan kondisi MG.Menurut penelitian Romi F (2005), pasien MG dengan timoma dan tanpa timoma dibandingkan prognosis jangka panjang dan didapati prognosisnya adalah hampir sama. Mengikut laporan terdapat perbedaan patogenesis diantara antibodi AChR positif dan negatif tanpa bukti timoma, yang sering ditemukan antibodi kinase spesifik otot pada 10-40%

pasien MG dengan antibodi AChR negatif. Pasien seronegatif yaitu pasien antibodi AChR negatif tanpa bukti adanya timoma dan juga pada yang tidak mempunyai antibodi kinase spesifik otot, mempunyai gejala klinis MG yang lebih ringan dibandingkan pasien MG seropositif. Pasien MG seronegatif yang tidak mempunyai antibodi kinase spesifik otot namun mempunyai antibodi patogenik terhadap otot dan antibody ini bersirkulasi dalam badan namum masih belum diidentifikasi.

2.7 Patofisiologi Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau neuromuscular junction. Neuromuskular junction merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yangberisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membrane postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot. Pada membrane postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang

terdapat antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat gelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi. Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada MG, konduksi neuromuscular menjadi terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan reaksi autoimun. Pada klien dengan MG, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.

2.8 Gambaran klinis Gambaran klinis MG mempunyai 3 karekteristik utama yang dapat menegakkan diagnosa. Diagnosis yang dilakukan untuk pasien MG bergantung terhadap respon terhadap obat kolinergik, penemuan bukti kelainan trasmisi neuromuscular elektrofisiologi dan ditemukan antibodi AChR yang terdapat pada sirkulasi. Kelemahan pada myasthenia yang bersifat fluktuatif adalah ciri khas pada penyakit ini karena penyakit lain tidak mempunyai kelemahan bersifat fluktuatif. Kelemahan ini bervariasi dalam seharian,dan ditemukan kelemahan terjadi dalam beberapa menit dan bervariasi dari hari ke hari atau berlanjut lebih lama. Variasi yang berpanjangan dikenali sebagai suatu remisi atau eksaserbasi; eksaserbasi yang melibatkan otot pernafasan sangat membahayakan sehingga dapat menyebabkan ventilasi yang tidak adekuat yang merupakan krisis miastenik. Variasi terkadang dikaitkan dengan olahraga, dan kelainan fisiologi ini disebutkan sebagai kelelahan yang berlebihan, excessive fatigability. Simptom MG adalah bersifat suatu kelemahan namun tidak menyebabkan kelelahan yang sangat cepat. Karekteristik kedua daripada MG adalah distribusi kelemahan. Otot okular biasanya yang paling pertama terkena dan menyebabkan gejala ptosis dan diplopia. Simptom lain yang sering juga melibatkan otot wajah dan orofaring sehingga menyebabkan disartia, disgfagia, dan limitasi pergerakan otot wajah.Kelemahan leher dan ekstremitas adalah sering dan biasanya disertai kelemahan nervus kranial. Hampir tidak pernah ada kasus MG dengan kelemahan tungkai sahaja. Krisis MG sering terjadi pada pasien pasien dengan kelemahan orofaringeal atau otot pernafasan. Stress emosional dan penyakit sistemik diduga dapat memperberatkan kelemahan pada myasthenia untuk sebab yang tidak jelas; pada pasien dengan kelemahan orofaringeal, aspirasi sekresi dapat menyumbat saluran paru sehingga menyebabkan kesulitan bernapas. Kelemahan otot respiratori dapat terjadi setelah operasi yang mayor tanpa aspirasi. Krisis yang terjadi secara spontan adalah jarang terjadi pada waktu sekarang dibandingkan dulu. Karekteristik ketiga kelemahan myasthenia adalah respon klinis terhadap obatan kolinergik. Progresifitas penyakit MG biasanya terjadi setelah beberapa minggu atau beberapa bulan dari gejala pertama. Jika gejala myasthenia terbatas terjadi pada otot okular untuk 2 tahun, maka gejalanya angat jarang menjadi umum sehingga kelemahan berluasan hingga otot lain. MG

okular mempunyai antibodi AChR yang lebih rendah. MG bersifat umum dikatakan dapat dicegah dengan pemberian immunosuppresi awal namun belum ada laporan menyatakan adanya remisi komplit. Remisi spontan terjadi kira-kira pada 25% pasien MG dan sering remisi spontan ini terjadi pada 2 tahun pertama setelah muncul gejala MG yang pertama. Tanda vital dan pemeriksaan fisik biasanya dalam kondisi normal, kecuali pasien adalah dalam kondisi krisis.28 Pada pemeriksaan neurologis tergantung pada distribusi kelemahan yang disebabkan oleh MG. Kelemahan pada otot wajah dan otot levator palpebrae menyebabkan muka tanpa mimik dan palpebra yang jatuh, ptosis. Kelemahan pada otot okular dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan otot yang diisolasi, ophtalmoplegia pada satu atau dua mata yang menyerupai ophtalmoplegia internuclear.Kelemahan orofaring atau otot tungkai dapat dideteksi dengan beberapa tes. Kelemahan otot respiratori dapat dideteksi dengan pemeriksaan faal paru yaitu kapasitas vital, tekanan inspirasi dan tekanan ekspirasi sehingga dapat dideteksi kelainan sebelum timbul gejala. Atrofi otot dijumpai pada 10% pasien MG dengan malnutrisi akibat disfagia berat. Fasikulasi lidah tidak pernah terjadi kecuali dosis obat kolinergik berlebihan.Sensasi dan refleks adalah normal pada pasien MG walaupun dengan kondisi ototnya yang lemah.Terdapat klasifikasi baru untuk tingkat keparahan dan respon terhadap terapi mengikut Medical Advisory Board of Myasthenia Gravis Foundation.

2.9 Diagnosa Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher. Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otototot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otototot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki. Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbon dioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kalimempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: 1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. 2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain: 1. Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. 2. Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 3. Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini,sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti Pemeriksaan Laboratorium Anti-asetilkolin reseptor antibody Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravisdalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini

menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negative

(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody

yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

Pemeriksaan imaging Chest x-ray (foto roentgen thorak) Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. MRI MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

Gambar di atas menunjukan hasil CT scan thoraks yang terlihat suatu massa mediastinum (timoma) yang terletak pada bagian anterior.

Pendekatan Elektrodiagnostik Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik : Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

Pada graf di atas menunjukan contoh hasil dari rekaman dari action potential dari suatu serabut otot yang distimulasi secara berulang pada frekuensi yang rendah. Gambaran khas yang terlihat adalah penurunan dari amplitud secara berturut-turut sebelum mengalami perbaikan pada gelombang yang ke-5 dan ke-6.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

2.10 Diagnosa banding Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain: Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain : Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika) Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii Paralisis pasca difteri Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome) Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otototot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detikdetik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan

sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membrane postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

2.11 Penatalaksanaan Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu 1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler: a. Istirahat Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi. b. Memblokir pemecahan Ach Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.

2. Mempengaruhi proses imunologik a. Timektomi Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan 40-50% mengalami perbaikan. b. Kortikosteroid Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler. c. Imunosupresif Yaitu dengan menggunakan azathioprine, cyclosporine, cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat. d. Plasma exchange Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.

3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan: a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis. b. Alat bantuan non medikamentosa dan edukasi Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivate kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan dpenisilamin.

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut Plasma Exchange Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10minggu.

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.

Intravenous Immunoglobulin (IVIG) Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untukpasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.

Intravenous Methylprednisolone (IVMp) IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang Kortikosteroid Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

Azathioprine Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kombinasi dengan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

Cyclosporine Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

Cyclophosphamide (CPM) CPM adalah suatu alkylating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.

Thymectomy (Surgical Care) Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan.

2.12 Komplikasi Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasi makanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi, pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stress emosional.

2.13 Pencegahan Primer, Sekunder, Dan Tersier 1. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan dengan cara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan; a) Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol, khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot. b) Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisiyang lelah dan tegang.

2. Pencegahan Sekunder Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan; timektomi, kortikosteroid, imunosupresif yang biasanya digunakan adalah azathioprine.

3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan; a) Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang dideritaoleh individu. b) Istirahat yang cukup c) Pada miastenia gravis dengan ptosis, dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata. d) Mengontrol pasien miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat

antikolinesterase secara berlebihan.

2.14 Prognosis Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% miastenia gravis.

BAB 3 KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran presinaptik (membran saraf), membrane post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction. Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,

thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.

Anda mungkin juga menyukai