Anda di halaman 1dari 25

REFERAT SIFILIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO SEMARANG

Dokter Pembimbing : dr. Agnes Sri Widayati, Sp.KK

Disusun Oleh : Vina Noviyanti H2A009048

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO SEMARANG 2013

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI . BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA . A. DEFINISI B. ETIOLOGI .. C. KLASIFIKASI D. PATOGENESIS .. E. MANIFESTASI KLINIS F. PEMERIKSAAN PENUNJANG G. PENATALAKSANAAN H. TINDAK LANJUT . I. PROGNOSA .. BAB III KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA 1 2 3 5 5 5 6 6 7 17 20 22 22 24 25

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit Menular Seksual (PMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar. Penyakit Sifilis merupakan salah satu penyakit menular Seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema Pallidum yang bersifat akut dan kronis. Jalan utama penularannya melalui kontak seksual. Infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis kongenital. Jika cepat terdeteksi dan diobati, sifilis dapat disembuhkan dengan antibiotika. Tetapi jika tidak diobati, sifilis dapat berkembang ke fase selanjutnya dan meluas ke bagian tubuh lain di luar alat kelamin. Secara Global Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada Tahun 1999 Jumlah kasus baru sifilis di dunia adalah sebesar 12 juta kasus. Di Amerika Latin dan Karibia pertambahan jumlah kasus baru diperkirakan 3 juta jiwa. Pada beberapa studi, kasus Sifilis saat ini mulai banyak ditemukan pada kelompok Transgender. Studi pada kelompok Transgender muda di Chicago menyebutkan terjadi peningkatan 1,3% (2005-2008) menjadi 10,1% pada Tahun 2009.1Kejadian penyakit sifilis di Amerika Serikat terdapat lebih dari 36.000 kasus sifilis pada tahun 2010, termasuk 9.756 kasus sifilis primer dan sekunder. Sebagian besar kasus tersebut terjadi pada pasien berusia 20 sampai 39 tahun. Insiden sifilis pada wanita tertinggi pada usia 20 sampai 24 tahun dan pada laki-laki 35 sampai 39 tahun. Sementara kasus sifilis kongenital pada bayi baru lahir meningkat dari 2009 sampai 2010, dari 339 kasus baru yang dilaporkan pada tahun 2009 menjadi 349 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2010 tercatat 64% dari kasus sifilis dilaporkan terjadi pada pria yang berhubungan seks dengan pria (World Health Organization, 2010). Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012) melalui Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) bahwa pada tahun 2011 mendapatkan angka kejadian sifilis di Indonesia diderita oleh waria sebesar 25%, pekerja seks langsung sebesar 10%, pria yang berhubungan seks sesama pria sebesar 10%, pekerja seks tidak langsung sebesar 3% dan narapidana sebesar 3%.2 Jika tidak diobati, angka mortalitas mencapai 8% hingga 58%, dengan angka kematian lebih tinggi ada laki-laki. Keparahan gejala sifilis berkurang selama abad ke-19 dan
3

20, sebagian karena semakin banyaknya ketersediaan pengobatan efektif dan karena penurunan virulens dari spirochaete. Dengan pengobatan dini, komplikasi lebih sedikit. Sifilis meningkatkan risiko penularan HIV dua hingga lima kali, dan infeksi lainnya juga banyak terjadi. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Jumlah kasus baru IMS lainnya termasuk sifilis di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebanyak 8.671 kasus, lebih sedikit dibanding tahun 2011 (10.752 kasus). Meskipun demikian kemungkinan kasus yang sebenarnya di populasi masih banyak yang belum terdeteksi.3 Meskipun kejadian sifilis sudah menurun, penyakit ini harus mendapat perhatian. Hampir semua system dalam tubuh dapat diserang termasuk system kardiovaskuler dan saraf. Selain itu wanita hamil dapat menularkan pada janinnya sehingga menyebabkan sifilis congenital yang dapat mengakibatkan kelainan bawaan dan kematian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum yang sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir seluruh alat tubuh, dapat mnyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.4 B. Etiologi Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.4,8,9

C. Klasifikasi Sifilis dibagi menjadi: 1.Sifilis kongenital a. Dini : Sebelum 2 tahun b. Lanjut: Sesudah 2 tahun c.Stigmata 2. Sifilis Akuisita (didapat): Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara: a. Secara klinis dibagi menjadi tiga stadium: 1.Stadium I (SI) 2.Stadium II (SII) 3.Stadium III (SIII) b. Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi: 1.Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi) : terdiri atas SI, SII, Stadium rekuren dan stadium laten dini. 2.Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), tediri atas stadium laten lanjut dan SIII.4,11 D. Patogenesis 1. Stadium Dini T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh- pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular disekitarnya. Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar kesemua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.4 Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu
6

dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul berulangulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun.4 2. Stadium Lanjut Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun dan keadaan treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat berubah karena sebabnya belum jelas, kemungkinan trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu munculah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T. pallidum namun reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.4 E. Manifestasi Klinis 1. Sifilis Akuisita a) Sifilis Dini 1) Sifilis Primer (SI) Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna yaitu 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga
7

dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral. Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut. Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.4,5,8

Ulkus Durum 2) Sifilis Sekunder (SII) Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh serta dapat disertai demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papula skuomosa, dan pustule, jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga
8

memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.4,5

Bercak eritem pada SII Bentuk Lesi 1. Roseola Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak, warna merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 0,5-2 cm. Roseola biasanya merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat pada S II dan disebut roseola sifilitika. Karena efloresensi tersebut merupakan kelainan S II dini,maka seperti telah dijelaskan, lokalisasinya generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki ikut dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat dan menyeluruh. Roseola akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu, dapat pula bertahan hingga beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif, jumlahnya menjadi lebih sedikit, lebih lama bertahan, dapat anular, dan bergerombol. Jika menghilang, umumnya tampak bekas, kadang kala dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitikum. Jika roseola terjadi pada kepala yang berambut, dapat menyebabkan rontoknya rambut.4,8

Roseola Sifilitika

2. Papul Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II. Bentuknya bulat, ada kalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul tersebut dapat berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) dan disebut papulo-skuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan papul sehingga mirip psoriasis, oleh karena itu dinamakan psoriasiformis. Jika papul-papul tersebut menghilang dapat meninggalkan bercak

hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitika, yang akan menghilang perlahan-lahan. Pada S II dini, papul generalisata dan simetrik, sedangkan pada yang lanjut bersifat setempat dan tersusun secara teratur, arsinar, sirsinar, polisiklik, dan korimbiformis. Papul-papul tersebut juga dapat dilihat pada sudut mulut, ketiak, di bawah mammae, dan alat genital. 4,8 3. Pustul Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang menjadi vesikel dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping pustul masih pula terlihat papul. Timbulnya banyak pustul ini sering disertai demam yang intermitten dan penderita tampak sakit lamanya dapat berminggu-minggu. Kelaianan kulit demikian disebut sifilis variseliformis karena menyerupai varisela.4 4. Bentuk lain Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul, dan krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu disebut sifilis impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai ulkus yang tertutupi krusta yang disebut ektima sifilitikum. Bila krustanya tebal disebut rupia
10

sifilitika. Disebut sifilis ostrasea jika ulkus meluas ke perifer sehingga berbentuk seperti kulit kerang. Sifilis yang berupa ulkus-ulkus yang terdapat di kulit dan mukosa disertai demam dan keadaan umum buruk disebut sifilis maligna yang dapat menyebabkan kematian. Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi kerontokan setempat setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris. Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak diobati,infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.4

S II pada wajah

S II pada mulut

Alopecia Areolaris Sifilitika 3) Sifilis Laten Dini Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA. Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi
11

pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluhpuluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul.4 4) Stadium Rekuren Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip SII, maupun serologik yang telah negatif menjadi positif terutama pada sifilis yang tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps ialah SII, kadang-kadang SI. Kadang-kadang relaps terjadi pada tempat afek primer dan disebut monorecidive.4 b) Sifilis Lanjut 1) Sifilis Laten Lanjut Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada orititis.4 2) Sifilis Tersier (SIII) Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan tandatanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen. Pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Jika telah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula
12

sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam. Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula-mula dikutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan. Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.4

Guma Pada S III

SIII pada Mukosa Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat
13

merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia SIII pada Tulang Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X SIII pada Alat Dalam Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang.Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum. Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan unilateral. Kadang kadang memecah ke bagian anterior skrotum

2. Sifilis Kardiovaskuler Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali daripada wanita. Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arah katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisma aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama harus diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif.4

14

3. Neurosifilis Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi

parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan.6 4. Sifilis Kongenital Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 %.Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis congenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis congenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang lanjut berbentuk guma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.5 a) Sifilis Kongenital Dini Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini ada kalanya disebut pemfigus sifilitika. Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan
15

anus; bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S II. Hepar dan lien membesar akibat invasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih". Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu. Osteokondritis pada tulang panjang umumnya terjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. 4 b) Sifilis Kongenital Lanjut Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan deformitas. Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral. 4

Sabre Tibia

Sifilis Kongenital

16

5. Stigmata Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis kongenital,akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran tersebut. 1) Stigmata Lesi Dini a. Facies : Gangguan pertumbuhan septum nasi, depresi jembatan hidung (saddlenose), maksila tumbuh abnormal lebih kecil dari mandibula (bulldog jaw) menunjukkan saddlenose. b. Gigi menunjukkan gigi hutchinson, pada gigi insisi permanen lebih kecil dari normal dengan bagian sisi konveks dan daerah untuk menggigit konkav. Moonsmolar atau mulbery molar yaitu permukaan gigi molar berbintil bintil.

c. Kuku : onikia akan merusak dasar kuku. 2) Stigmata Lesi Lanjut a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels b. Lesi tulang: Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai sabre tibia. Frontal bossing, saddle nose dan buldog jaw. c. Trias hutchinson: terdiri dari keratitis intertisialis, gigi hutchinson, tuli nervus VIII4 F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis sifilis ada 3 : 1. Pemeriksaan T.Pallidum Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikopres dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti
17

diagnosisnya bukan sifilis, mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pada pandangan, jika tidak bergerak cepat seperti Borrelia vincentii penyebab stomatitis. Pemeriksaan lain dengan pewarna menurut Buri, tidak dapat dilihat pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja. Sementara itu lesi dikompres dengan larutan garam faal setiap hari. 4,6 2. Tes Serologik Sifilis (TSS) T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis yang penting bagi sifilis. S I pada mulanya memberi hasil T.S.S. negatif (seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II yang masih dinireaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut. PadaS III reaksi menurut lagi menjadi positif lemah atau negatif. T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yaitu : a) Nontreponemal (Tes Reagin) Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol, karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP). Antibodinya disebut reagin, yang terbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum, tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang atau tumbuhan, menggumpal membentuk masa yang dapat dilihat pada tesflokulasi. Massa tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar bagi tes ikatan komplemen.10,11 Contoh tes nontreponemal: 1) Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer. 2) Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST (Reagin Screen Test). b) Tes Treponemal Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau ekstraknyadan dapat digolongkan menjadi empat kelompok : 1) Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
18

2) Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement FixationTest). 3) Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody Absorption Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-Abs DS (FluorescentTreponemal AntibodyAbsorption Double Staining). 4) Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), 19SlgM SPHA (Solid-phase Treponemal Hemabsorption Test for Assay), Syphilis), HATTS MHA-TP

(Hemagglutination

(Microhemagglutination Assay for Antibodies to Treponema pallidum). TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan : biasanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat , baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut. RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-kadang didapatkan reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat dua macam yaitu untuk lgM dan lgG sudah positif pada waktu timbuk kelainan S I. lgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer lgM cepat turun, sedangkan lgG lambat. lgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital. TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia. Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut peru diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis. Kalau perlu di laboratorium lain. Demikian pula jika hasil tes yang satu dengan yang lain tidak sesuai, misalnya titer VDRL rendah (1/4), sedangkan titer TPHA tinggi (1/1024) Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap terhadap lesi kulit, merupakan pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis sifilis. Kuman spirochaeta hidup berbentuk khas seperti sekrup, dapat terlihat pada pemeriksaan slide eksudat secara mikroskopis. Uji absorpsi antibodi treponema menggunakan fluoresensi akan mendeteksi antigen T.pallidum yang terdapat pada jaringan, cairan mata, LCS, secret trakeobronkial dan eksudat pada lesi. Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi sifilis pada berbagai tahap. Sekali reaktif, ia akan tetap reaktif. 4,6,9,12

19

G. Penatalaksanaan Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain. 1. Penisilin Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis. Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat belas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak. Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin: a) Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi bersifat kerja singkat. b) Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang. c) Penisilin G benzatin, dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua sampai tiga minggu, bersifat kerja lama.9,12 Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu. Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat
20

mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan. Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 1824 jutaunit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari. Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,setiap hari selama 10 hari.4 Reaksi Jarish-Herxheimer Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer. Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. Pallidum yang mati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama. Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka. Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua belas jam tanpa merugikan penderita pada S I. Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisma atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat. Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 2040 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.4 2. Antibiotika Lain Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau eritromisin 4 x 500 mg/hri,
21

atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik dari pada tetrasiklin,yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%. Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan. Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mgsehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v.selama 15 hari. Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama di negara yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin. Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari.4,11,12 H. Tindak Lanjut Evaluasi T.S.S. (V.D.R.L) sebagai berikut: 1. 1 bulan sesudh pengobatan selesai T. S. S diulang: a) Titer : tidk diberikan pengobatan lagi. b) Titer : pengobatan ulang c) Titer menetap : tunggu 1 bulan lagi 2. 1 bulan sesudah c: a) Titer : tidak diberikan pengobatan b) Titer atau tetap : pengobatan ulang Kriteria sembuh, jika lesi telah menghilang, kelenjar getah bening tidak teraba lagi dan V.D.R.L negatif. Pada sifillis dini yang diobati T.S.S (VDRL/RPR) akan menjadi negative dalam3-6 bulan. Pada 16% kasus tetap positif dengan titer rendah selama setahun atau lebih, tetapi akan menjadi neatif setelah 2 tahun. Tindak lanjut dilakukan sesudah 3,6 dan 12 bulan sejak selesai pengobatan. Setelah setahun diperiksa liquor serebrospinal. Kasus yang mengalami kambuh serologic atau klinis diberikan terapi ulang dengan dosis dua kali lebih banyak. Terapi ulang juga untuk kasus seroresisten yang tidak terjadi penurunan titer serologic setelah 6-12 bulan setelah terapi. Pada sifilis laten tindak lanjut dilakukan selama 2 tahun. Penderita sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis yang telah diobti hendaknya ditindaklanjuti selama bertahun-tahun.4 I. Prognosa Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik. Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur hidup,
22

tidak menular keorang lain, T.S.S pada darah dan likuor serebrospinalis selalu negative. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh,5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita 5%, 23% akan meninggal. Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi 30 setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan region perianal. Disamping itu dikenal pula kambuh serologic, yang berarti T.S.S yang negative menjadi positif atau yang telah positif menjadi makin positif. Rupanya kambuh serologic ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada wanita juga dapat bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital. Pada sifilis laten lanjut prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang dikenai dan banyaknya kerusakan. Prognosis neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat kerusakan. Sel saraf yang rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis dini baik, angka penyembuhan dapat mencapai 100%, neurosifilis asimptomatik pada stadium lanjut prognosisnya juga baik, kurang dari 1% memerlukan terapi ulang. 4

23

BAB III KESIMPULAN


Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Contohnya Gumma, gigi hutchinson dan snuffle nose merupakan salah satu dari manifestasi kelainan pada gigi dan mulut yangdisebabkan oleh penyakit sifilis. T.pallidum penyebab sifilis dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genito-genital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan. Jika tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I danS II. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan regio perianal. Diagnosis ditegakkan secara sempurna dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti Serologi Tes Sifilis (STS) sehingga dapat diberikan antibiotik yang sesuai dan tepat. Antibiotik yang biasa dipakai dalam penatalaksanaan Sifilis ialah Penisilin.

24

DAFTAR PUSTAKA
1. Hartanti, A. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Sifilis Pada Populasi Transgender Waria Di 5 Kota Besar Di Indonesia. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. 2012 2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Surveilan Terpadu Biologis dan Perilaku. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. 2011 3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengan Tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah. 2012 4. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2010 5. Mitchel, R. N. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. EGC. Jakarta. 2008 6. Rubeinstein, D; dkk. Lecture Notes Kedokteran Klinis. Erlangga. Jakarta. 2007 7. indonesia.digitaljournals.org/index.php/deridn/article/download/30/33 8. Sandoz A, Koenig T, Kusnir D, Tausk F. Psychocutaneous Diseases. In: Wolff K, GoldsmithLA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology InGeneral Medicine. 7 th ed. USA: McGraw-Hill; 2008 9. World Health Organization, The sexually transmitted diseases diagnostics initiative (SDI). The use of rapid syphilis tests. 2007. 10. James WD, Berger TG, Elston DM. Neurocutaneous Dermatoses. In: Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada: Saunders Elsevier, 2006 11. Khana, N. Illustrated Synopsis of Dermatology and Sexually Transmitted Disease. 3th ed. Canada: Saunders Elsevier, 2009 12. Thappa D.M. Woods Light Examination, in Textbook of Dermatology, Leprology& Venereology, 3rd Edition. Elsevier.Haryana. 2009.

25

Anda mungkin juga menyukai