Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum,
ketentuan ini tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang
secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum
(recht staat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diamanatkan kepada Bangsa Indonesia
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.

Hukum yang dibuat oleh manusia mempunyai tujuan menciptakan keadaan yang
teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang merupakan salah satu
hukum yang dibuat oleh manusia mempunyai fungsi sebagaimana yang dijelaskan
oleh A. Ross yang dikutip oleh Soerjono Soekamto, hukum sebagai sarana
pengendalian sosial, yakni mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta
memelihara ikatan sosial.
1


Selanjutnya Soleman B. Taneko mengatakan:

1
Soerjono Soekamto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1981,
hlm. 44.
2

Secara esensial bahwa sistem mengandung peraturan prilaku yang benar, dan
warga masyarakat membatasi beberapa prilaku sebagai penyimpangan dan setiap
masyarakat mempunyai ide-ide tentang prilaku yang baik dan buruk. Semua
masyarakat akan mengambil langkah-langkah untuk mendorong ke-arah prilaku
yang baik, dan memberikan sanksi negatif bagi prilaku yang buruk.
2


Dan salah satu sanksi tersebut adalah penjara. Pidana Penjara adalah suatu
hukuman berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang
dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah tempat yang dinamakan
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dengan mewajibkan orang untuk mentaati
semua peraturan dan tata tertib yang berlaku di dalam Lapas terkait.

Seperti yang telah diketahui bahwa pembangunan nasional di Indonesia
mempunyai tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, dan
merata secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Pembangunan di era reformasi telah dilaksanakan oleh pemerintah
dengan mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat, oleh karena itu agar
pelaksanaan pembangunan di Indonesia dapat berjalan dengan lancar, harus
diselamatkan dari gangguan para penjahat agar masyarakat merasa aman dan
tenteram.

Membicarakan kejahatan dapat dikatakan sebagai gejolak sosial yang tidak berdiri
sendiri, tetapi terkait juga dengan masalah budaya dan politik. Oleh karena itu
kejahatan tidak mungkin dibasmi secara tuntas, akan tetapi dapat dilakukan
pengendalian agar kejahatan tidak merajalela. Kemajuan-kemajuan yang dicapai

2
Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993, hlm. 37-38.
3

pada era reformasi cukup memberikan harapan yang lebih baik, namun di sisi lain
dengan derasnya arus globalisasi yang terjadi saat ini, telah menimbulkan
berbagai masalah pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Seluruh aspek
sosial, budaya, agama, politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
teknologi menjadi daerah rawan karena terjadinya perubahan-perubahan yang
sangat mendasar sehingga memerlukan payung hukum untuk menaunginya.

Dari berbagai aspek tersebut terdapat banyak masalah yang memprihatinkan
khususnya menyangkut perilaku sebagian generasi muda kita yang terperangkap
pada penyalahgunaan narkotika. Mendengar kata Narkotika di ucapkan seringkali
memberi bayangan tentang dampak yang tidak inginkan, hal ini dikarenakan
narkotika identik sekali dengan perbuatan jahat, terlarang dan melanggar
peraturan.

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang sangat
mengkhawatirkan karena posisi Indonesia saat ini tidak hanya sebagai daerah
transit maupun pemasaran narkotika, melainkan sudah menjadi daerah produsen
narkotika. Hal ini dapat dilihat dari terungkapnya beberapa laboratorium Narkoba
di Indonesia.
3


Penyalahgunaan narkotika di kalangan masyarakat luas mengisyaratkan kepada
kita untuk peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulangi,
karena bahaya yang ditimbulkan dapat mengancam keberadaan generasi muda

3
http://ardikurniawan2005.wordpress.com/2011/05/26/penanggulangan-penyalahgunaan
-dan-peredaran-gelap-narkoba-di-indonesia/ ; diakses pada tgl 11 Januari 2014, pukul 17.07 WIB.
4

yang kita harapkan kelak akan menjadi pewaris dan penerus perjuangan bangsa di
masa yang akan datang.

Untuk mengatur permasalahan di atas, keberadaan hukum pidana sangatlah
diperlukan. Hukum pidana sebagai salah satu bagian dari hukum pada umumnya
memang tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan hukum-hukum lainnya,
yaitu bahwa semua hukum tersebut memuat sejumlah ketentuan-ketentuan untuk
menjamin agar norma-norma yang ada di dalam hukum ditaati oleh masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya semua hukum bertujuan untuk
menciptakan suatu keserasian, ketertiban, kepastian hukum dan lain sebagainya
dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

Akan tetapi dalam satu hal hukum pidana menunjukkan adanya suatu perbedaan
dari hukum-hukum yang lain pada umumnya, yaitu bahwa di dalamnya orang
mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan suatu akibat hukum
berupa suatu bijzondere leed atau suatu penderitaaan yang bersifat khusus dalam
bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran
atau larangan-larangan yang telah ditentukan di dalamnya.
4


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberikan
kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan
untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau
perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak

4
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm. 16.
5

pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009
tentang Penempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi Dan Rehabilitasi bahwa
masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkoba
sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana.

Minimnya putusan Hakim yang memerintahkan rehabilitasi bagi pencandu
Narkotika disebabkan oleh berbagai faktor yakni: Pertama, Hakim harus melihat
kasus per kasus jika akan menerapkan Pasal 54 Undang-Undang Narkotika.
Alasannya, konstruksi hukuman untuk kasus narkotika memang diancam pidana
tinggi. Misalnya Undang-Undang Narkotika mengatur setiap orang yang tanpa
hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I diancam pidana penjara
paling lama 20 tahun. Sementara untuk golongan II dan III diancam pidana
penjara paling lama 10 tahun. Kedua, selain Undang-Undang Narkotika,
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pemidanaan agar setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya. Ketiga, persepsi
Hakim dalam memutus perkara Narkotika didasarkan bahwa pemidanaan berupa
penjara lebih efektif bila dibandingkan dengan rehabilitasi, di samping itu
karakteristik pengedar dan pemakai di dalam Undang-Undang Narkotika diancam
sanksi pidana.

Meskipun telah diatur dalam perundang-undangan yang baru, namun sampai saat
ini belum ada wujud yang kongkrit di dalam peraturan tersebut untuk
6

menempatkan pengguna narkotika tidak hanya sebagai pelaku kriminal tetapi juga
menitik beratkan bahwa pengguna adalah korban yang juga harus dipulihkan.

Untuk menanggulangi penyalagunaan Narkotika dan Obat berbahaya tersebut
khusunya di Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan, yaitu dengan di
bentuknya Undang-undang yang baru, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika, yang mengatur bahwa peredaran narkoba dan zat adiktif
lainnya diancam dengan pidana. Sebelumnya Undang-Undang tentang Narkotika
ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009. Mengingat ada beberapa hal yang perlu
disempurnakan dalam pasal-pasal tentang pengaturan narkotika ini, dalam rangka
menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Dalam Pasal 127 Ayat 1 setiap
penyalahguna Narkotika Golongan I, II, III bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara.

Dalam Pasal 127 Undang-Undang Narkotika ini, Ditegaskan bahwa
pemakai/penyalahguna juga dapat dipidana. Namun demikian, pembuat Undang-
Undang juga sudah mengakomodir tindakan terhadap pemakai/pengguna dengan
persyaratan dalam ayat selanjutnya dijelaskan dalam memutus perkara setiap
penyalahgunan narkotika, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 Undang-Undang Narkotika.
Pasal 54 memuat Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 55 memuat Orang tua
atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan
7

kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Selanjutnya dalam Pasal 127 Ayat 3 memuat tentang dalam hal
pemakai/penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.

Dari beberapa Pasal tersebut maka kebutuhan tempat rehabilitasi bagi pengguna
narkotika juga sangat dibutuhkan, asalkan saja bahwa sikorban dapat dibuktikan
hanya sebagai pengguna bukan sebagai pengedar, dimana jika dikatakan pengedar
harus dikenakan sanksi pidana.

Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Polisi Anang
Iskandar, cara paling efektif memberantas narkoba adalah dengan memposisikan
pengguna sebagai korban. "Kalau pengguna kita anggap sebagai korban maka
perlakuannya bukan hukuman tapi rehabilitasi," Oleh karena itu, diharapkan
tingkat partisipasi pengguna untuk menyembuhkan diri semakin tinggi.
5


Saat ini yang terjadi adalah Pengguna Narkoba banyak yang dipidanakan
hukuman penjara dengan tindak pidana penyalahgunaan Narkoba. Sehingga
proses rehabilitasi bagi terpidana penyalahgunaan Narkoba menjadi tanggung
jawab Lapas, namun apakah Lapas saat ini telah mempersiapkan diri untuk

5
http://www.tempo.co/read/news/2013/11/24/063531956/Paradigma-Pemberantasan-
Narkoba-Masih-Salah , diakses pada tanggal 11 Januari 2014, pukul 17.10 WIB.
8

dijadikan tempat rehabilitasi pengguna narkoba yang tidak dapat kita pungkiri lagi
bahwa penggunaan Narkoba itu bersifat ketergantungan. Apakah narapidana
tindak pidana penyalahgunaan Narkoba yang divonis hukuman penjara dapat
mampu menahan ketergantungannya terhadap Narkoba secara spontan di dalam
Lapas

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik melakukan penelitian melalui
Tesis ini dengan judul Analisis Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Oleh
Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kotaagung

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dirumuskan masalah :
a. Apa penyebab terpidana penyalahgunaan Narkoba kembali mengulangi
perbuatannya disaat sedang menjalani masa hukuman?
b. Bagaimana efektifitas penerapan pidana kurungan penjara bagi pelaku
penyalahgunaan Narkoba?

2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang Lingkup penulisan ini adalah Hukum Pidana tentang:
a. Penyebab terpidana penyalahgunaan Narkoba kembali mengulangi
perbuatannya disaat sedang menjalani masa hukuman
b. Efektifitas penerapan pidana kurungan penjara bagi pelaku penyalahgunaan
Narkoba.
9


C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis penyebab terpidana
penyalahgunaan Narkoba kembali mengulangi perbuatannya disaat sedang
menjalani masa hukuman.
b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis Efektifitas penerapan pidana
kurungan penjara bagi pelaku penyalahgunaan Narkoba.

2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai penambah wawasan
keilmuan di bidang Hukum Pidana khususnya tentang Penyalahgunaan
Narkoba.
2. Penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai referensi
keilmuan di bidang Hukum Pidanan.
b. Kegunaan Praktis
1. Untuk memberi masukan atau informasi kepada masyarakat.
2. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada
Program Pascasarjana Universitas Bandar Lampung.




10

D. Kerangka Pemikiran

Sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum sebagaimana yang
tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum, maka penegakan hukum di Indonesia sepenuhnya
menjadi tanggung jawab negara yang dalam hal ini diemban oleh lembaga-
lembaga penegakan hukum di Indonesia, seperti:
1. Kepolisian yang mengurusi proses penyidikan;
2. Kejaksaan yang mengurusi penuntutan;
3. Kehakiman yang mengurusi penjatuhan pidana atau vonis;
4. Lembaga Pemasyarakatan yang mengurusi perihal kehidupan narapidana
selama menjalani masa pidana. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
pidana penjara.

Sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila sebagai dasar negara di
dalam sila ke-2 yang berbunyi Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab menjamin
bahwa manusia Indonesia diperlakukan secara beradab meskipun berstatus
narapidana. Selain itu, pada sila ke-5 mengatakan bahwa Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia berarti bahwa narapidanapun haruslah juga
mendapatkan kesempatan berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain
layaknya kehidupan manusia secara normal.

Dalam hukum pidana dikenal istilah tiga R dan satu D sebagai tujuan pidana,
yaitu:
6


6
http://blogpidana.blogspot.com/ , diakses pada tanggal 12 Januari 2014, pukul 19.05
WIB.
11

1. Retribution (pembalasan) yaitu: membalas kejahatan yang dilakukan oleh
sipenjahat sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan.
2. Restraint (mengasingkan), yaitu: memisahkan si penjahat pada suatu
tempat tertentu sehingga masyarakat menjadi aman dan tidak terganggu
lagi oleh si penjahat
3. Reformasi (memperbaiki), yaitu: memperbaiki orang-orang yang telah
salah jalan, mereka itu di perbaiki, dibimbing, dibina atau diarahkan agar
ia kembali kejalan yang benar. Dengan diperbaiki nya sipenjahat maka
masyarakat memperoleh keuntungan karena telah tercipta keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat.
4. Deterrence (mencegah), yaitu:
a. Detterrence general (umum), yaitu: suatu pencegahan yang ditujukan
kepada masyarakat umum supaya masyarakat tidak mencontoh,
meniru, tingkah laku sipenjahat.
b. Detterrence specialis (khusus), yaitu pencegahan yang dilakukan
terhadap orang-orang tertentu atau mencegah niat jahat sipelaku
supaya tidak mengulangi kejahatan lagi..

Pemidanaan dewasa ini berkembang lebih manusiawi dan lebih rasional dan mulai
meninggalkan pola lama dari pembalasan dan pengasingan menuju pada usaha
perbaikan narapidana agar menjadi orang yang lebih baik atau dapat dikatakan
sebagai pemasyarakatan.

Secara Etimologi penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana.
Untuk pengertian yang sama sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman,
penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan
hukuman pidana

Di Indonesia sendiri upaya untuk mengimplementasikan kebijakan pidana yang
modern telah dimulai dari dulu melalui pembicaraan para pakar, praktisi, dan
pejabat negara terkait, seperti pada tanggal 5 juli 1963 ketika Sahardjo, selaku
Menteri Kehakiman ketika peresmian gelar Doctor Honoriscausanya dalam
12

pidatonya mengatakan beberapa hal yang dapat menjadi dasar kelahiran
pembinaan narapidana dalam pemasyarakatan (juga tersirat upaya asimilasi
narapidana), beberapa diantaranya adalah
7
:
1. Disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilang
kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik
supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang
berguna. Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan.
2. Memperlakukan narapidana ialah harus dari sudut pandangan kepribadian
bangsa Indonesia yang memandang:
a. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagi manusia,
meskipun ia telah tersesat; tidak boleh selalu ditunjukkan pada
narapidana bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia harus selalu merasa
bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.
b. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup
diluar masyarakat, narapidana harus kembali kemasyarakat sebagai
warga yang berguna dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang.
c. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan bergerak.
Jadi perlu diusahakan supaya narapidana mempunyai mata pencaharian
dan mendapatkan upah untuk pekerjaannya. Pandangan inilah yang
melandasi pemikiran mengenai asimilasi, khususnya asimilasi kerja yang
nantinya diharapkan dapat membantu perekonomian narapidana dan
keluarganya dengan upah atau penghasilan yang didapatkannya dari
kerjanya.
3. Perlakuan terhadap narapidana agar dapat dikembalikan kemasyarakat ialah
dengan mendidik narapidana tersebut antara lain dengan cara:
a. Selama ia hilang kemerdekaan bergerak ia harus dikenalkan dengan
masyarakat, dan tidak boleh diasingkan daripadanya.
b. Pekerjaan dan didikan yang diberikan kepadanya tidak boleh bersifat
mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan jawaban
kepenjaraan atau kepentingan negara sewaktu saja. Pekerjaan harus satu
dengan masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional.
c. Bimbingan dan didikannya harus berdasarkan Pancasila.


Pada kenyataannya banyak sekali narapidana yang tidak mengetahui atau
memahami keberadaanya di Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri untuk apa,
apakah menebus kesalahannya ataukah untuk perbaikan dirinya sendiri dan apa

7
Sanusi Has, Penologi (Ilmu Pengetahuan tentang Pemasyarakatan Khusus
Terpidana), Monora, Medan, 1976, hlm 65.
13

sajakah hak-hak yang dapat diterimanya selama menjalani masa pidana
penjaranya, juga prosedur dan prasyarat pemenuhan hak yang dirasakan rumit
sehingga narapidana sendiri merasakan keengganan untuk meminta hak-haknya
dan akhirnya dapat menimbulkan perasaan terkucilkan dan tersingkirkan dari
kehidupan di masyarakat luar secara normal.

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
di sisi laindapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan seksama.

Dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika segala sesuatu yang mengekspor, mengimpor, memproduksi,
menanam, menyimpan, mengedarkan dan atau menggunakan Narkotika beserta
sanksinya telah diatur didalam Undang-Undang Narkotika yang bertujuan untuk
menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

Penggunaan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
seksama sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi
kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan Negara serta ketahanan nasional
Indonesia.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk tindak pidana khusus yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menurut
14

Paul Scholten hukum pidana ada dua yaitu hukum pidana umum dan hukum
pidana khusus, hukum pidana umum yang berlaku secara umum dan hukum
pidana khusus ialah perundang-undangan bukanlah yang bersanksi pidana yang
disebut juga hukum pemerintah.
8


Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan
sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman.

Menurut Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien) bahwa tujuan
pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif
(tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak
ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan
dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah.
Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut
ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
9


Hal ini juga dapat dilihat dalam pernyataan M. Sholehuddin yang mengatakan:
Tujuan pemidanaan harus sesuai dengan politik hukum pidana dimana harus
diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan
dan keselarasan hidup dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/negara,
korban, dan pelaku.
10


8
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta, 1994, hlm 12.
9
http://thezmoonstr.blogspot.com/2013/07/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan.html, di
akses tanggal 12 Januari 2014, pukul 21.35 WIB.
10
Amir Ilyas, dan Yuyun Widaningsih. Hukum Korporasi Rumah Sakit, Rangkang,
Yogyakarta, 2010, hlm 13.
15

Menurut Adami Chazawi, teori gabungan dapat dapat digolongkan dalam dua
golongan besar, yaitu :
11

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.

Dengan demikian secara singkat dapat dilihat teori ini bertujuan untuk:
a. Pembalasan, membuat pelaku menderita
b. Upaya presensi, mencegah terjadinya tindak pidana
c. Merehabilitasi pelaku
d. Melindungi masyarakat

Keadilan bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga
memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir oleh R-
KUHP tahun 2005.

Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005 :
1. Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan terpidana.
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia .

11
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 : Stelsel Pidana Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 162.
16

Berbicara masalah keefektifan suatu pemidanaan tentu tak terbatas hanya pada
berat vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim ataupun lama masa pemidanaan
seorang narapidana, akan tetapi juga sangat bergantung pada sarana maupun
fasilitas-fasilitas penunjang yang ada di dalam suatu lembaga pemasyarakatan.
Dapat diketahui bahwa keberadaan dan esensi dari tujuan suatu lembaga
pemasyarakatan narkotika sudah dipastikan berbeda dari lembaga pemasyarakatan
pada umumnya. Selain untuk mengembalikan keseimbangan dari sikap pelaku
kejahatan agar jera dan tidak mengulang kejahatannya lagi, lembaga
pemasyarakatan narkotika memiliki tugas penting untuk menangani dan berusaha
menghilangkan sifat ketergantungan narkotika dari warga binaannya.

Menurut Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri peringatan hari
antinarkoba internasional yang berlangsung di Istana Negara Jakarta, ,"anak-anak
kita generasi muda yang menjadi korban sudah kehilangan masa lalu dan masa
kini, jangan sampai mereka kehilangan masa depan, konsepnya bukan dihukum,
tapi diselamatkan" Kepala Negara mengatakan solusi bagi para korban adalah
menjalani rehabilitasi dan bukan masuk ke lembaga pemasyarakatan
12


Dengan demikian tidak hanya sebatas memasyarakatkan para narapidana seperti
di lembaga pemasyarakatan tetapi penyalahguna Narkoba sedah seharusnya di
rehabilitasi. Meskipun pada dasarnya Lembaga Pemasyarakatan hanya
memfokuskan pemidanaan narapidana akan tetapi hal yang tidak bisa dilupakan

12
http://www.investor.co.id/home/tangani-pecandu-narkoba-sebagai-korban/63474,
diakses pada tanggal 13 Januari 2014, pukul 17.30 WIB.
17

adalah perlu adanya program serius untuk menekan sifat ketergantungan seorang
pelaku penyalahgunaan narkotika ataupun pengguna narkotika.

Menurut Anang Iskandar selaku Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN)
menyatakan masih banyak hakim di pengadilan tindak pidana belum mengerti
dengan Undang-undang Narkoba untuk pecandu, hakim bisa memutuskan para
terdakwa pengguna narkoba dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 yang dapat menetapkan pengguna bisa direhabilitasi atau disembuhkan dari
ketergantungan. hakim harus bisa meninggalkan paradikma lama dan
menggunakan paradikma baru tentang narkoba, di mana pecandu atau pengguna
bukanlah pelaku kejahatan, melainkan korban yang butuh perhatian pemerintah.
13


Perubahan yang mendasar dari Undang-Undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997
ke Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 adalah cara pandang negara
terhadap pecandu narkotika. Undang-Undang yang lama memandang pecandu
narkotika sebagai pelaku kriminal, namun di Undang-Undang Narkotika yang
baru, pecandu dinyatakan sebagai korban. Berdasarkan paradigma baru ini maka
pecandu narkotika wajib di rehabilitasi.

Pernyataan tegas akan paradigma baru terhadap pecandu tercantum dalam Pasal
54 Undang-Undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 sebagai berikut: Pecandu
Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.

13
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/09/30/1/185068/Banyak-Hakim-
Belum-Mengerti-Undang-Undang-Narkoba-untuk-Pecandu, diakses tanggal 13 Januari 2014,
pukul 21.25 WIB.
18


Secara hukum pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika,
baik secara fisik maupun psikis. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang
ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus
dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan
gejala fisik dan psikis yang khas.

Pada masa lalu para pecandu dipandang sebagai pelaku kriminal, mereka merasa
takut ditangkap aparat hukum. Akibatnya alih alih mereka akan sembuh dalam
arti mendapatkan rehabilitasi, justru anak anak muda pecandu ini semakin
terpuruk. Diharapkan dengan paradigma baru, para pecandu dapat diselamatkan
dari dampak buruk narkoba melalui rehabilitasi.

Kerangka Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Restorative
justice. Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony. F. Marshall dalam
tulisannya bahwa defenisi restorative justice adalah :

Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal eith the
aftermath of the offence and its implications for the future yang artinya kurang
lebih sebagai berikut : restorative justice adalah sebuah proses dimana semua
pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk
19

menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan)
14


Konsep Restorative Justice dalam penyelesaian suatu kasus tindak pidana peran
dan keterlibatan anggota masyarakat sangat penting dalam membantu,
memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi disekitar lingkungan
masyarakat yang bersangkutan.
15


Demikian juga Teori Social Engineering atau rekayasa sosial oleh Roscoe Pound.
Roscoe Pound dalam sebuah pernyataannya menyatakan bahwa fungsi hukum
adalah Social Engineering atau rekayasa sosial. Dalam pemikirannya ia
menyatakan bahwa putusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan
mampu merubah perilaku manusia.
16


E. Metode Penelitian

Dalam Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan
penelitian ini dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara yang
digunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian untuk mendapatkan data yang
objektif dan akurat dalam mengolah dan menyimpulkan serta memecah kan suatu
masalah.


14
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm 29.
15
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm 49.
16
http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/hukum-sbg-rekayasa-sosial/, diakses pada
tanggal 13 Januari 2014, pukul 21.45 WIB.
20

1. Pendekatan Masalah

Dalam membahas permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan melalui
pendekatan empiris.
a. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaedah-
kaedah, norma-norma, aturan-aturan, yang berhubungan dengan masalah
yang akan diteliti.
b. Pendekatan Empiris
Pendekatan empiris dilakukan dengan cara meneliti dan mengumpulkan data
primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di tempat
penelitian.

2. Jenis dan Sumber Data
Dalam melakukan penelitian, diperlukan keterangan-keterangan yang terkait
dengan permasalahan yang berupa data. Adapun data yang diperlukan adalah
sebagai berikut:
a. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang digunakan dalam menjawab permaslahan
pada penelitian ini melalu studi kepustakaan dengan cara membaca,
mempelajari, menelaah dan mengutip literatur-literatur yang ada.
Data sekunder bersumber dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:
1) Bahan Hukum Primer
21

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat. Dalam
penulisan thesis ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah:
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
e) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-
buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permaslahan
penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, kamus Hukum,
Website, dan Media Informasi.

b. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di
lapangan pada objek penelitian yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan
Kotaagung.

22

3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan metode pengumpulan data
sekunder dan pengumpulan data primer.

1) Data Sekunder
Dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan (Library Research).
Pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka yaitu pengumpulan
informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan
telah dipublikasikan secar luas.
17


2) Data Primer
data primer adalah data yang diperoleh daari hasil penelitian lapangan (field
research), yang dilakukan dengan cara:
a) Observasi
Observasi adalah pengumpulan data secara langsung terhadap objek
penelitian, untuk memperoleh data yang benar dan objektif dengan dilakukan
penelitian di wilayah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kotaagung.

b) Wawancara
Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara
langsung (interview) dengan menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat
terbuka, dimana wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik

17
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm 126.
23

purposive sampling, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu responden
yang akan diwawancarai sesuai dengan obyek penelitian terhadap pihak-
pihak yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, antara lain :
- Kepala Lapas 1
- Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas . 1
- Warga Binaan ......................................1
Jumlah .. 3

b. Prosedur Pengolahan Data
Prosedur pengolahan data dilakukan dengan penyirtiran data, penandaaan
data, penyusunan data dan mensistematisasikan data sesuai dengan
sistematika pembahasan permasalahan penelitian.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehensip, dan lengkap. Karena
penelitian ini bersifat normatif maka analisisnya harus dilakukan secara kualitatif.
Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat
yang teratur, runtun logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga
memudahkan interprestasi data dan pemahaman hasil analisis. Data yang
dihimpun disusun dan di analisis serta di interprestasikan selanjutnya di tarik
kesimpulan yang logis.

F. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini di tulis dalam bentuk tesis menurut format yang telah
ditetapkan oleh program studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
24

Bandar Lampung. Agar mudah dipahami hasil penelitian ini, maka penyajian tesis
ini berbagai dalam lima bab secara berurutan secara sistematis, antara satu bab
dengan bab yang lainnya saling keterkaitan satu sama lainnya yang memberikan
gambaran utuh terhadap hasil penelitian ini. Rincian urutan penulisan adalah
sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, Bab ini berisikan tentang latar belakang dari penulisan ini,
permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian,
landasan teori, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Umum Tentang Peradilan Pidana dan Narkotika, bab ini berisikan
tentang sistem peradilan pidana di Indonesia, pengertian Narkotika dan
Psikotropika.

Bab III Sistem Pemidanaan Terhadap Penyalahgunaan Narkoba, bab ini berisikan
tentang gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kotaagung,
penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dan sistem
pemidanaan terhadap pelaku penyalahgunaan Narkoba.

Bab IV Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Oleh Warga Binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Kotaagung, bab ini berisikan tentang pembahasan berdasarkan
hasil penelitian terhadap permasalahan dalam penelitian ini, yaitu penyebab
terpidana penyalahgunaan Narkoba kembali mengulangi perbuatannya disaat
sedang menjalani masa hukuman, dan efektifitas penerapan pidana kurungan
penjara bagi pelaku penyalahgunaan Narkoba.
25


Bab V Penutup, merupakan bab yang berisikan tentang kesimpulan dan saran dari
hasil pembahasan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan berdasarkan
hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai