Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat penurunan/peningkatan ekspresi Interferon-gamma
pada ginjal tikus pasca induksi Streptokinase?
2. Apakah terdapat kerusakan pada ginjal tikus pasca induksi
Streptokinase?

1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini dibatasi
pada :
1. Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) jantan
strain wistar yang diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan
Percobaan (UPHP) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Penggunaan
hewan coba dalam penelitian ini telah mendapat persetujuan laik etik
oleh Komisi Etik Penelitian Universitas Brawijaya No. 132-KEP-UB
(Lampiran 5).
2. Streptokinase yang digunakan diinduksikan secara intravena pada vena
coccygea dengan dosis 1x 6000 IU/ekor, 2x 6000 IU/ekor dan 3x 6000
IU/ekor dengan interval pemberian 5 hari.
3. Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah ekspresi Interferon-
gamma dengan teknik Imunohistokimia dan gambaran histopatologi
ginjal tikus dengan teknik pewarnaan Hemaktosilin-Eosin.

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah :
1 Mengetahui adanya penurunan/peningkatan ekspresi Interferon gamma pada
ginjal tikus pasca induksi Streptokinase.
2 Mengetahui kerusakan ginjal tikus pasca induksi Streptokinase.

1.5 Manfaat Penelitian
1 Sebagai informasi penyiapan hewan model tikus (Rattus norvegicus) fibrosis
ginjal melalui induksi Streptokinase.
2 Sebagai bahan informasi dalam mempelajari patomekanisme fibrosis ginjal
sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar pengembangan terapi penyakit ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Organ Ginjal
Ginjal merupakan organ berjumlah sepasang, berbentuk seperti kacang
merah yang terletak retroperitoneal pada dinding posterior tubuh. Organ ginjal
berwarna merah kecoklatan dan beratnya kurang dari 1% berat tubuh.Unit
fungsional ginjal adalah nefron yang terdiri dari glomerulus, kapsula bowman,
tubulus proksimal, ansa henle dan tubulus ginjal. Fungsi utama ginjal ialah
mempertahankan komposisi dari cairan di dalam tubuh. Ginjal bekerja melalui
filtrasi glomerulus dan reabsorpsi dan sekresi tubulus ginjal.
Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler yang kompleks
yang merupakan cabang dari arteriol aferen. Pada permukaan luar kapiler
glomerulus menempel sel berbentuk spesifik dan memiliki penjuluran-penjuluran
yang disebut podosit. Antara sel-sel endotel kapiler dan podosit membentuk
struktur yang berlubang-lubang yang memisahkan darah yang terdapat dalam
kapiler dengan ruang kapsuler. Podosit berfungsi membantu filtrasi cairan
menjadi cairan ultra filtrat (urin primer). Cairan ultra filtrat ditampung di dalam
ruang urin yaitu ruang antara kapiler dengan dinding kapsula bowman dan
selanjutnya mengalir menuju tubulus kontortus proksimal.
Lapisan parietal kapsula bowman terdiri atas epitel selapis pipih. Ruang
kapiler kapsula bowman berfungsi menampung urine primer. Sel podosit, sel
epitel kapsula bowman memiliki spesialisasi untuk melakukan filtrasi cairan
darah. Pada sel-sel endotel dan lamina kapiler glomerulus terdapat sel mesangial
yang berperan sebagai makrofag.
Tubulus renalis dibagi menjadi tiga bagian yaitu tubulus proksimal,
lengkung henle dan tubulus distalis. Sel tubulus proksimal memiliki brush border
yang ridak terdapat pada tubulus distal. Tubulus proksimal memiliki lumen yang
kecil daripada tubulus distal.
Lengkungan henle merupakan saluran dengan struktur berbentuk huruf U
yang terdiri atas dua bagian yaitu ruas tebal desenden yang strukturnya mirip
tubulus kontortus proksimal dan ruas tebal asenden yang strukturnya mirip
tubulus kontortus distal (Kuntantri, 2009). Cairan urin ketika berada dalam
lengkung henle bersifat hipotonik, tetapi setelah melewati lengkung henle menjadi
bersifat hipertonik. Hal ini dikarenakan bagian desenden sangat permeabel
terhadap pergerakan air, natrium dan klorida sedangkan bagian asenden tidak
permeabel terhadap air dan sangat aktif untuk transpor klorida.

2.2 Fibrosis Ginjal
Fibrosis ginjal terjadi akibat respon tubuh berupa perbaikan jaringan ginjal
setelah terjadi kerusakan atau trauma (Pinzani, 2008). Kondisi fibrosis ginjal
disebut kegagalan dari respon perbaikan karena trauma yang berkepanjangan.
Fibrosis ginjal merupakan manifestasi awal dari penyakit ginjal kronik.
Fibrosis ginjal akan ditemukan glomerusklerosis dan terdapat fibrosis pada
daerah interstisial tubulus, dimana kondisi tersebut akibat akibat penumpukan dari
ekstra seluler matriks yang berlebihan (Vergoulas, 2009)
Studi mengenai histopatologi fibrosis ginjal pada hewan model memiliki
kesamaan yang terjadi pada manusia yaitu terdapat infiltrasi sel inflamasi,
proliferasi tubulus, EMT, akumulasi fibroblas, peningkatan ekstra seluler matriks
dan atropi tubulus (Bascand and Schanstra, 2005).
Epithelial to Mesenchymal Transition adalah proses diferensiasi sel epitel
normal menjadi sel fibroblas. Sel fibroblas merupakan komponen jaringan ikat
yang menghasilkan kolagen yang dapat menyebabkan terjadinya fibrosis pada
ginjal (Wati et al., 2013).
Kondisi makroskopik ginjal yang mengalami fibrosi adalah ukuran ginjal
menjadi lebih kecil dan lebih kasar jika dibandingkan dengan ginjal normal.
Secara mikroskopis yang tampak ialah penebalan glomerulus atau
glomerulosklerosis. Glomerulosklerosis ini terjadi akibat penumpukan ECM pada
jaringan glomerulus. Selain itu juga tampak fibrosis tubulointerstisial yang
ditandai dengan adanya jaringan fibrosis serta atropi tubulus ginjal. Efek dari
fibrosis ginjal adalah gangguan pada fungsi penyaringan karena rusaknya
glomerulus. Reabsorpsi urin melalui tubulus juga akan terganggu akibat kondisi
tubulus yang mengalami atropi (Schnapper, 2005).

2.3 Streptokinase
Streptokinase adalah produk protein ekstraseluler yang terdiri dari 414 asam
amino dengan berat molekul 46 kDa yang diproduksi oleh semua strain
Streptococcus b haemolytic (Pardede, 2009). Streptokinnase memiliki mekanisme
kerja sebagai aktivator plasminogen dan menginisiasi terjadinya fibrinolisis. Oleh
karena itu Streptokinase digunakan sebagai agen fibrinolisis untuk mengatasi
penyakit sistem sirkulasi yang berkaitan dengan penyumbatan pembuluh darah
(Sacher, 2004 Keni). Namun aktivasi plasminogen yang berlebihan ternyata
memiliki sifat nefrotoksik pada ginjal dan menyebabkan akumulasi dan deposisi
dari matriks ekstra seluler. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan sel
fibroblas pada sel-sel ginjal sehingga terbentuk fibrosis ginjal (Hu, 2008).
Streptokinase berpotensi menyebabkan nefritis interstisial dimana terjadi
kondisi patologi pada ginjal dan ditemukannya leukosit dan eritrosit pada urin
(Guo and Nzerue, 2002). Kondisi ini menunjukkan potensi Streptokinase dalam
merusak jaringan ginjal. Mekanisme aktviasi plasminogen menjadi plasmin
berperan penting dalam patogenesis fibrosis ginjal karena plasmin mampu
mengaktivasi TGF-beta yang menyebabkan apoptosis dan EMT (Hu et al., 2008).
Plasmin juga mengaktivasi bradikinin (Inomata, 2012) melalui pelepasan sitokin
proinflamasi (Bockman and Pagelow, 2000).

2.4 Hewan coba tikus fibrosis ginjal
Hewan coba tikus adalah tikus yang dipelihara sedemikian rupa untuk
digunakan sebagai hewan model dalam mengembangkan dan mempelajari
berbagai macam penelitian. Keunggulan tikus adalah memiliki sistem
metabolisme, organ yang hampir serupa dengan manusia memudahkan penelitian.
Karakteristik tikus adalah rambut berwarna putih, mata berwarna merah, panjang
tubuh dewasa 440mm, panjang ekor 200 mm dan berat badan dewasa 100-150g.
Tikus yang digunakan sebagai hewan coba adalah Rattus norvegicus strain wistar
yang memiliki klasifikasi sebagai berikut
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Klass : Mammalia
Ordo : Rodentia
Sub Ordo : Sciurognathi
Familia : Muridae
Sub Familia : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus strain Wistar
Tikus merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi dan memiliki fisiologis
yang mirip dengan manusia (Kusumawati, 2004, Rizka). Hewan model fibrosis
ginjal telah dilakuakn melalui induksi Cyclosporine-A. Cyclosporine-A
merupakan obat yang mampu menginduksi fibrosis ginjal karena memiliki sifat
nefrotoksik. Pembuatan hewan model fibrosis ginjal dengan Cyclosporine
memerlukan waktu yang lama, menurut penelitian Bobadilla and Gerrando, 2007,
Rizka memerlukan waktu 28 hari untuk menginduksi hewan model fibrosis ginjal.

2.5. Interferon

Interferon-gamma (IFN-g) adalah sitokin yang disekresi oleh limfosit Th1, sel NK
dan limfosit Tc. Interferon- g akan disekresi setelah terjadi rangsangan oleh
antigen spesifik. Mekanisme perlindungan terhadap tubuh yang dilakukan IFN-g
terjadi melalui reseptor di membran sel dan dengan mengaktifkan gen yang
memacu sel untuk memproduksi protein antivirus. Interferon-g merupakan
aktivator utama makrofag untuk memacu fagositosis, oxydative burst dan reactive
nitrogen intermediate (RNI) untuk intracellular killing.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian






















STREPTOKINASE
TIKUS
AKTIVASI PLASMINOGEN
PLASMIN
AKTIVASI TGF B
BRADIKININ
TGF B
MAKROFAG
EMT
SITOKIN PRO INF
IFN GAMMA
AKTIVASI SEL INF
FIBROBLAS
ECM
INFLAMASI
RENAL FIBROSIS
Streptokinase yang beredar sistemik akan berikatan dan mengubah
plasminogen dalam darah menjadi plasmin. Kemudian plasmin akan menginisiasi
pelepasan bradikinin yang selanjutnya akan mengakibatkan makrofag
mensekresikan sitokin proinflamasi seperti IFN-gamma. Kemunculan IFN-gamma
juga akan mengakibatkan terjadinya inflamasi yang berujung pada kerusakan
ginjal yaitu renal fibrosis.
Keberadaan plasmin dalam darah akan meningkat sitokin TGF-beta yang
merupaka sitokin proinflamatori dan profibrosis. Hal ini menyebabkan terjadinya
apoptosis dan EMT di jaringa ginjal. Apoptosis menyebabkan kerusakan jaringan
ginjal dan EMT menyebabkan menuculan sel fibroblas. Jumlah fibroblas yang
berlebih akan mengakibatkan menumpukan ECM. Kondisi inilah yang
menyebabkan terjadinya renal fibrosis. ECM yang terus meluas akan menumpuk
pada jaringan interstisial dan menekan seluruh tubulus ginjal dan glomerulus
ginjal

3.2 Hipotesis
1. Tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi Streptokinase mengalami
peningkatan ekspresi IFN-gamma pada jaringan ginjal.
2. Tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi Streptokinase mengalami
kerusakan jaringan ginjal dan fibrosi yang bisa

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2013 di Laboratorium
Biokimia, Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang.
4.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak pemeliharaan hewan
coba, pinset, scalpel handle, blade, gunting, pipet tetes, cawan petri, labu takar,
gelas ukur, mikro pipet, rak tabung reaksi, penangas air, eppendorf, lemari
pendingin, pH meter, penjepit, mikrotom, neraca analitik, oven, seperangkat alat
sentrifugasi, inkubator, vortex, mikroskop dan autoclave.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan tikus (Rattus
norvegicus), Streptokinase (Streptase), akuades, NaCl-fisiologis 0,9%, Xylol,
etanol 70%, etanol 80%, etanol 90%, etanol 95%, etanol absolut, 3% H
2
O
2
,
antibodi primer E-cadherin rabbit polyclonal IgG, antibodi sekunder berlabel
biotin antirabbit IgG biotin labeled, DAB, SA-HRP, larutan PBS pH 7,4, larutan
PBS-azida, PFA 4%, Mayer Hematoxylen- Eosin, entellan dan parafin.
4.3 Tahapan Penelitian
4.4 Prosedur Kerja
4.4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap.
Hewan coba dibagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok A adalah kelompok
tikus kontrol, kelompok B adalah kelompok tikus yang diinduksi Streptokinase 1x
6000 IU, kelompok C adalah kelompok tikus yang diinduksi Streptokinase 2x
6000 IU, dan kelompok D adalah kelompok tikus yang diinduksi Streptokinase 3x
6000 IU. Interval pemberian Streptokinase yang diulang adalah 5 hari. Adapun
variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
Variabel bebas : Pemberian Streptokinase dengan dosis berulang.
Variabel tergantung : Ekspresi IFN dan histopatologi ginjal.
Variabel kendali : Tikus (Rattus norvegicus) jantan.
Sampel penelitian menggunakan hewan coba tikus (Rattus norvegicus) jantan
strain wistar berumur 10 minggu. Berat badan tikus antara 150-200 g. Hewan
coba diaklimatisasi selama 7 hari untuk menyesuaikan dengan kondisi
laboratorium. Estimasi besar sampel dihitung berdasarkan rumus (Kusriningrum,
2008) :

P(n-1) 15
4(n-1) 15
4n-4 15
4n 19
n 5
Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk 4 kelompok diperlukan jumlah
ulangan paling sedikit 5 kali dalam setiap kelompok, sehingga diperlukan 20 ekor
hewan coba.
4.4.2 Preparasi Streptokinase
Streptokinase 1.500.000 IU dilarutkan dengan ringer laktat sebanyak 2 ml
kemudian dihomogenkan (stok 1). Diambil 1ml dari stok 1 dan dilarutkan dengan
Keterangan :
p = jumlah kelompok( terdiri dari empat
macam perlakuan)
n = jumlah ulangan yang diperlukan

ringer laktat sampai 5 ml (stok 2). Selanjutnya diambil 1ml dari larutan dari stok 2
akhir diambil sejumlah 40 l (stok 3). Stok 3 mengandung 6000 IU Streptokinase.
Kemudian ditambahkan ringer laktat sampai 100l.

4.4.3 Induksi Streptokinase
Induksi dilakukan secara intravena pada vena coccygea. Induksi pertama
dilakukan pada hari pertama pada tikus kelompok B, C, dan D. Induksi kedua
dilakukan 5 hari berikutnya atau pada hari ke 6 pada tikus kelompok C dan D.
Induksi ketiga dilakukan 5 hari berikutnya atau pada hari ke 11 pada tikus
kelompok D (lampiran2).

4.4.4 Pembedahan dan Pengambilan Organ Ginjal
Pengambilan organ ginjal pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus)
dilakukan 5 hari setelah induksi ketiga dilakukan. Langkah awal dilakukan
dislokasi leher tikus. Berikutnya tikus diletakkan posisi terlentang dan dilakukan
insisi pada bagian abdomen, kemudian diambil organ ginjalnya. Organ ginjal
mula-mula dibilas dengan NaCl-fisiologis 0,9% dan selanjutnya organ ginjal
dimasukkan ke dalam larutan PFA 4%.

4.4.5 Pembuatan Preparat Histopatologi
Langkah pertama dalam pembuatan preparat histologi adalah embedding
ginjal yaitu perendaman ginjal dalam larutan PFA 4% (1-7 hari). Kemudian
direndam dalam etanol 70% minimal 24 jam, dan dilanjutkan dengan etanol 80%
selama 2 jam. Direndam dalam etanol 90% dan 95% secara berurutan selama
masing-masing 30 menit. Dilanjutkan perendaman sebanyak 3 kali dalam etanol
absolut selama 30 menit. Masing-masing dalam botol yang berbeda. Direndam
dalam xylol sebanyak 2 kali masing-masing 30 menit. Proses selanjutnya
dikerjakan dalam inkubator suhu 56-58
0
C. Direndam dalam xylol sebanyak 3
kali, parafin sebanyak 3 kali, kemudian dilanjutkan dengan embedding dengan
mencelupkan ginjal dalam parafin cair yang telah dituang dalam wadah. Setelah
beberapa saat parafin akan memadat dan ginjal berada dalam blok parafin.
Tahap berikutnya ialah pembuatan preparat ginjal, langkah awal yang
dilakukan adalah ginjal pada blok parafin hasil embedding dimasukkan pada
penjepit mikrotom dan diatur kesejajaran permukaan potong dengan mata pisau
mikrotom. Ginjal diiris dengan ukuran 5 m. Hasil irisan dipindahkan dengan
kuas ke dalam air hangat 38-40
o
C untuk meluruskan kerutan halus yang ada.
Irisan yang terentang sempurna diambil dengan gelas obyek. Potongan terpilih
dikeringkan di atas hot plate 38-40
o
C sampai kering selanjutnya preparat
disimpan dalam inkubator suhu 38-40
o
C selama 24 jam.
Pewarnaan Hematoxylin-Eosin diawali dengan tahap deparafinisasi yakni
preparat dimasukkan dalam xylol bertingkat 1-3 masing-masing selama 5 menit.
Selanjutnya pada tahap rehidrasi preparat dimasukkan dalam etanol bertingkat
mulai dari etanol absolut, etanol 95%, 90% , 80% dan 70% masing-masing selama
5 menit. Selanjutnya direndam dalam aquades selama 5 menit. Tahapan
selanjutnya adalah pewarnaan. Preparat dimasukkan dalam zat pewarna
hematoxylen kurang lebih 10 menit. Selanjutnya dicuci dengan air mengalir,
kemudian dibilas dengan aquades. Setelah dibilas preparat dimasukkan pada
pewarna eosin alkohol selama 5 menit. Tahap berikutnya adalah dehidrasi dengan
memasukkan preparat pada seri etanol bertingkat mulai dari 70%, 80%, 90%,
95% dan etanol absolut. Selanjutnya clearing dilakukan dengan memasukkan
preparat pada xylol dan dikeringanginkan. Selanjutnya dilakukan mounting
dengan entellan dan ditutup dengan cover glass.

4.4.6 Pengamatan Preparat Histopatologi
4.4.7 Menentukan IFN dengan Imunohistokimia
4.4.8 Analisis Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisa kuantitatif untuk
perubahan IFN. Data kuantitatif yang diperoleh akan dianalisis menggunakan
SPSS 16 for Windows dengan analisis ragam ANOVA. Apabila terdapat
perbedaan antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji BNJ = 0.05.


BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai