Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN
.
Setiap individu menghabiskan 30% dari hidupnya dengan tidur. Tidak jarang seseorang
mengalami gangguan tidur, dari gangguan ringan sampai berat seperti sulit tidur,
mendengkur (snoring) sampai yang sangat kompleks seperti sleep apnea syndrome.Sejak
tahun 1970, para ahli telah meneliti konsekuensi gangguan tidur yang disebabkan pola
pernafasan abnormal yang didefinisikan sebagai gangguan pernafasan saat tidur. Gangguan
pernafasan saat tidur merupakan gangguan pernafasan abnormal secara luas yang memiliki
karakteristik berupa berhentinya nafas secara berulang selama tidur. Obstructive sleep
apnea (OSA) merupakan gangguan respirasi saat tidur yang paling banyak insidensinya yang
ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan
berkurangnya asupan oksigen secara periodik. Walaupun gangguan ini sering terjadi pada
populasi masyarakat, namun kebanyakan tidak terdiagnosa.
Obstructive Sleep Apnea merupakan bagian dari sindrom henti nafas. Sindromhenti
napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe sentral, tipe obstruksi dan tipe campuran.
Pada tipe sentral terjadi aliran udara ini disebabkan berhentinya upaya bernapas selama
beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan otot dada untuk
mempertahankan siklus pernapasan. Sedangkan pada tipe obstruksi terjadi hambatan
aliran udara ke paru-paru







2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Apnea didefinisikan sebagai henti nafas selama 10 detik atau lebih yang dapat
mengakibatkan penurunan aliran udara 25% dibawah normal.
1

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah sebuah gangguan tidur yang berarti henti nafas
saat tidur dengan gejala utama mendengkur.
1,2

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah OSA dengan kejadian sumbatan jalan
nafas (AHI, Apnea Hypopnea Index) lebih dari 5 kali per jam dan ditambah gejala klinis
penyerta antara lain: Nokturia, palpitasi noktural, sulit berkonsentrasi, dsb.
1
Mendengkur adalah tanda pernapasan abnormal yang terjadi akibat obstruksi sebagian
sehingga aliran udara yang masuk akan menggetarkan palatum mol l e dan j ari ngan
l unak seki tarnya. Keadaan i ni di permudah dengan rel aksasi lidah, uvula dan
otot di saluran napas bagian atas.
2,3


2.2 EPIDEMIOLOGI
OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50
tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA di
negara-negara maju diperkirakan mencapai 2-4% pada pria dan 1-2% pada wanita.
Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita
.4

Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid,
tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre
Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan
menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara
progresif sesuai dengan penambahan usia.
5

3

OSA terdapat pada lebih dari 40% individu dengan IMT 30 kg/ m2 atau indi vi du
dengan si ndrom metabol i k. Pasi en dengan penyaki t kardi ovaskul ar
memiliki prevalens OSA yang tinggi, 50% pasien dengan hipertensi, 50% pasien
dengan fi bri l asi atri um yang membutuhkan ti ndakan kardi oversi , 33%
pasi en dengan fibrilasi atrium saja, 33% pasien dengan penyakit jantung koroner ,
50% pasien dengan stroke akut dan 30-40% pasien dengan gagal jantung dan disfungsi
sistolik.
2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Etiologi terjadinya OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi
berupa neural ,hormonal, muskular dan struktur anatomi, contohnya:kegemukan
terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan sebagai resiko utama terjadinya
OSA.Angka prevalensi OSA pada orang yang sangat gemuk adalah 42-48% pada laki-laki
dan 8-38% pada perempuan. Penambahan berat badan akan meningkatkan gejala OSA.

Faktor risiko untuk terjadinya OSA :
A. Terdapat tiga faktor risiko yang diketahui :
1,3

1. Umur : prevalensi dan derajat OSA meningkat sesuai dengan bertambahnya
umur.
2. Jenis kelamin : Resiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan sampai menopause.
3. Ukuran dan bentuk jalan napas :
a) Struktur kraniofasial (palatum yang bercelah, retroposisi mandibular).
b) Micrognathia (rahang yang kecil).
c) Macroglossia (lidah yang besar), pembesaran adenotonsillar
d) Trakea yang kecil (jalan napas yang sempit).
B. Faktor risiko penyakit : Kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan dengan :
a) Emfisema dan asma.
b) Penyakit neuromuscular (polio, myasthenia gravis, dll)
c) Obstruksi nasal.
d) Hypothyroid, akromegali, amyloidosis, paralisis pita suara, sindroma post-
polio, kelainan neuromuskular, Marfan's syndrome dan Down syndrome .
4

C. Risiko gaya hidup
a) Merokok
b) Obesiti : 30-60% pasien OSA adalah orang yang berbadan gemuk.
- Penurunan berat badan akan menurunkan gejala-gejala OSA.
- Penurunan berat badan akan mempermudah pasien diobati dengan
menggunakan nasal CPA

Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain sebagai akibat hipertrofi
adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, obesitas.
6
Hipertrofi adenoid dan tonsil
merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Ukuran adenoid
dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat ringannya OSAS. Terdapat anak dengan
hipertrofi adenoid yang cukup besar, namun OSAS yang terjadi masih ringan, anak lain
dengan pembesaran adenoid ringan menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat.
Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan penyulit pada anak dengan
kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak OSAS membaik setelah
dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil akan menetap setelah dioperasi.
Pada suatu penelitian sebagian kecil anak dengan OSAS yang telah berhasil diatasi
dengan operasi adenotonsilektomi kemudian mengalami rekurensi gejalanya selama
masa remaja.
Anak dengan anomali kraniofasial yang mengalami penyempitan struktur
saluran nafas yang nyata (mikrognasi dan midface hypoplasia) akan mengalami OSAS.
Pada anak dengan disproporsi kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas
meskipun tanpa disertai hipertrofi adenoid.
Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa obesitas
merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai
penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas karena terdapat
penyempitan saluran nafas bagian atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam
otot dan jaringan lunak di sekitar saluran nafas, maupun kompresi eksternal leher dan
rahang. Penentuan obesitas dapat dilakukan dengan cara menghitung body mass index
(BMI) dan pengukuran lingkar leher. Untuk penentuan OSAS, yang lebih berperan
adalah lingkar leher dibandingkan dengan BMI. Telah diketahui bahwa lingkar leher
yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan peningkatan penyakit
5

kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan dengan mendengkur dan OSAS.
Diduga bahwa penumpukan lemak pada daerah leher dapat membuat saluran nafas
atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher
yang besar mempunyai velofarings yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat
mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada waktu tidur.
1


2.4 PATOFISIOLOGI
Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara yang disebabkan oleh
dinding faring yang collapse sewaktu tidur. Etiologi dan mekanisme collapse
multifaktorial tetapi dikaitkan dengan interaksi saluran nafas atas yang sangat mudah
collapse dengan relaksasi otot dilator faring yang terjadi sewaktu tidur. Obesitas,
hipertrofi jaringan lunak, kelainan kraniofasial seperti retrognathia menambah
kecenderungan keruntuhan dengan peningkatan tekanan intraluminal pada jaringan
disekeliling saluran napas atas. Tetapi gangguan structural saja pada saluran napastidak
cukup memadai untuk menyebabkan OSA. Pasien tanpa kelainan anatomi bisa
menghidap OSA, ini karena kompleks jalan reflek dari saraf pusat ke faring yang
mengawal tindakan otot dilator faring bisa gagal untuk mempertahankan patensi
faring.
2,3,7

Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot dilator faring
berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen faring
tidak kolaps akibat tekanan intrafaring yang negative oleh karena kontraksi otot dinding
dada dan diafragma. Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan
(relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi.
Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan
ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga
menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Selain itu obstruksi
nasal menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan memperburukkan OSA.
Obstrusi nasal yang mengakibatkan usaha pernafasan melalui mulut semasa tidur
sehingga terjadi relaksasi otot genioglosus akibatnya lidah tergeser ke belakang.
2

6


Gambar 1. Pernapasan normal dan mendengkur.
Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas
akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum.
Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan
jalan nafas pada waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum
jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi
.2


Gambar 2 .Obstruksi saluran napas
Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur
mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer.
Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan
meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang
diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur dapat
berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu tertentu.

7

Obstructive Sleep Apnea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas
atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan
berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen
(hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita
benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih sering
penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang berulang, berakibat
pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat. Keadaan ini
menyebabkan penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan
ingatan terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang disertai dengan
peningkatan aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi dan hipertensi sistemik.
Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang
ke dokter hanya karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase
preobstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea
obstruktif).
3

Tidur terdiri dari 2 fase yaitu rapid eye movement (REM) atau tidur aktif dan non
rapid eye movement (NREM) atau tidur tenang. Pada individu normal siklus
tidur NREM dan REM akan terjadi secara bergantian dengan interval tidur REM 10-
20 menitsetiap 90-120 menit. REM meliputi 25% dari waktu tidur ditandai oleh
pergerakan bola mata yang cepat terutama pada elektrookulogram, hilangnya tonus
otot tubuh danmeningkatnya aktivitas simpatis(meningkatnya denyut jantung dan
tekanan darah).Selama tidur REM kontrol pernapasan sering irregular, episode apnea
singkat selama 10-20 detik relatif umum terjadi Pada tahap NREM aktivitas mental
minimal atau tidak ada, sistem kardiovaskular-respirasi sebagian besar diatur oleh
faktor metabolik. Tidur NREM mempengaruhi aktivitas simpatis, penurunan denyut
jantung, tekanan darahsecara bertahap dari tingkat I hingga aktivitas simpatis terendah
yaitu pada tingkat IV.
3

Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakanghingga
menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring danorofaring.
Tidur berbaring (supine) dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas
akibat pergerakan mandibula, palatum mole dan lidah ke arah belakang. Faktor struktur
al dan fungsional berperan penting dalam menentukan tekanan kritis kolaps saluran
napas.Penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertrofi tonsil,
8

makroglosia dan akromegali juga dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA. Sistem
saraf pusat berperan penting dalam OSA kombinasi aktivitas otot saluran napas
atasyang menurun pada saat tidur disertai struktur faring kecil membentuk tekanan
kritiskolaps saluran napas atas. Aktivasi kemoreseptor oleh hipoksemia dan hiperkapnia
selama apnea mengakibatkan hiperventilasi disertai proses terbangun mendadak yang
tidak disadari.

2.5 GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dominan
neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi klinis
tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa mengantuk
berat di siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara dengkuran keras yang
disebabkan jalan napas yang sempit. Akhir tiap episode apnea biasanya ditandai dengan
hembusan napas dengkuran keras yang diikuti gerakan tubuh, penderita tidak
menyadari tetapi dikeluhkan oleh teman tidurnya. Kadang penderita terbangun dan
tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak nyenyak, disorientasi dan sakit kepala di
pagi hari.
1,2

Gejala klinis yang umum yang terjadi pada OSA tampak pada table berikut :
8

Tabel 1. Gejala klinis OSA
Gejala Klinis Insiden (%)
Suara dengkur
Mengantuk
Restless sleep
Mental abnormal
Perubahan personaliti
Impotensi
Sakit kepala siang hari
Nokturia
Enuresis
Nocturnal choking
95
75
99
58
48
40
35
30
Tidak diketahui
Tidak diketahui
9


Akibat gangguan pola tidur normal, penderita dengan apnea tidur sering merasa
mengantuk, gangguan konsentrasi dan aktivitas di siang hari. Termasuk didalamnya
depresi, iritabiliti, sulit belajar, gangguan seksual dan tertidur saat bekerja atau saat
menyetir kendaraan. Diperkirakan sampai 50% penderita apnea tidur mempunyai
tekanan darah tinggi meskipun tidak diketahui dengan jelas apakah merupakan penyebab
atau efek apnea tidur. Risiko serangan jantung dan stroke meningkat pada penderita
apnea tidur.

Gambar 3. Gejala dan tanda OSA

10

2.6 KLASIFIKASI OSA
Berdasarkan daerah kolaps pharynx, OSA terbagi kedalam tiga tipe yaitu:
1. Tipe I : Penyempitan atau kolaps hanya pada region retropalatal.
2. Tipe II : Penyempitan atau kolaps pada region retropalatal dan retroglassal.
3. Tipe III :Penyempitan atau kolaps hanya pada region retroglossal

Klasifikasi OSA berdasarkan American Academy Of Sleep Medicine yaitu :
1,2,8

a. OSA ringan : AHI 5-15
b. OSA sedang :AHI 15-30
c. OSA berat : AHI >30

Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI) dan
beratnya hipoksemia seperti berikut:
Tabel 2. RDI dan hipoksemia




2.7 DIAGNOSA OSA
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa yaitu riwayat medis
pasien,pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiografi, fiberoptic nasopharyngoscopy dan
polisomnografi. Informasi tambahan didapat dari tes darah di laboratorium. Alat
diagnostik tambahan untuk mendiagnostik pasien sleep apnea mencakup pemeriksaan
darah rutin, serum elektrolit dan tes fungsi tiroid.
a. Riwayat Medis
Pasien ditanya mengenai kebiasaan tidur, rasa kantuk yang berlebihan di siang
hari dan fatique. Penting untuk membedakan antara rasa kantuk, fatique atau rasa
lelah, yang mana dapat mengacu pada masalah medis lainnya seperti depresi,
anemia maupun gagal jantung. Suara dengkuran yang keras dan lama, khususnya jika
RDI Saturasi O2 (%)
Mild 5-20 >85
Moderate 21-40 65-84
Severe >40 <65
11

disertai dengan terbangunnya pasien pada malam hari serta termegap-megap
menunjukkan sleep apnea. Informasi tambahan berupa faktor resiko seperti
kenaikan berat badan, konsumsi alkohol, merokok, penggunaan obat tidur dan
sedasi. Kondisi medis predisposisi dan riwayat keluarga juga harus diperoleh dari
pasien.
Riwayat medis dapat diperoleh dari pasangan tidur pasien karena pasien
cenderung tidak menyadari apa yang terjadi di saat tidur. Pasangan tidur mungkin
melaporkan adanya dengkuran apnea dan tidur yang tidak lelap. Lebih lanjut,
anggota keluarga dapat memberikan informasi yang berharga mengenai rasa kantuk
di siang hari.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan umum dan
pemeriksaan spesifik terhadap saluran nafas bagian atas
. 1,2

Pemeriksaan umum bertujuan untuk mendeteksi faktor predisposisi terhadap
penyakit obstruktif sleep apnea seperti obesitas, hipertensi, abnormal endokrin,
dan kelainan sistemik. Obesitas, terutama penumpukan lemak pada tubuh
bagian atas sering diasosiasikan dengan keberadaan dan keparahan penyakit
obstruktif sleep apnea. Berat badan, tinggi badan dan lingkar leher dicatat dan
Body Mass Index dikalkulasi.
Pemeriksaan saluran nafas bagian atas bertujuan untuk menentukan penyebab
dan lokasi penyempitan saluran nafas serta mendeteksi abnormalitas anatomi.
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring, laring, leher
untuk menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut :
i. Hidung :deviasi septum, hypertrofi adenoid, tumor atau polip nasal,
hipertrofi konka.
ii. Orofaring : palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatine,makroglosia,
penebalan ( banding ) dinding posterior faring
iii. Hipofaring : Collapse dinding faring lateral, tumor hipofaring, hipertrofitonsil
lingual, retrognathia dan micrognathia
iv. Laring : paralisis pita suara, tumor laring

12

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiografi
Peranan radiografi dalam menegakkan diagnosa masih kontroversial. Tujuan
utama pemeriksaan radiografi adalah untuk mengidentifikasi lokasi dan
keparahan kolapsnya saluran nafas bagian atas khususnya hipofaring.
Radiografi saluran nafas bagian atas meliputi radiografi sefalometri lateral,
komputer tomografi dan magnetic resonance imaging.
Fiberoptic nasopharygoscopy
Fiberoptic nasopharyngoscopy adalah teknik yang digunakan untuk evaluasi
jalan napas.Alat ini penting untuk identifikasi tempat dan lokasi obstruksi nasal
, retropalatal atau retrolingual. Pemeriksaan fiberoptic nasopharyngoscopy
dilakukan dengan memasukkan alat tersebut melewati hidung dan diposisikan
tepat di atas segmen. Pasien disuruh menarik nafas kuat-kuat pada akhir
ekspirasi. Lokasi dan derajat kolapsnya saluran nafas diperiksa. Pemeriksaan ini
dilakukan saat pasien dalam posisi duduk maupun terlentang. Penampilan saluran
nafas faring dan derajat kolapsnya dinding faring dinilai dengan Mller Manuver..
Teknik ini mencoba menghasilkan kolapsnya saluran nafas atas pada level
retroglosal dan retropalatal, yang mirip dengan kolaps yang terjadi sewaktu tidur.
Manuver ini dilakukan dengan meminta pasien menghasilkan inspirasi yang kuat
dengan mulut dan hidung tertutup.
7


Gambar 4 Muellers Maneuver
13

Polisomnografi
Polisomnografi merupakan alat diagnosa yang penting untuk mendiagnosa
sleep apnea, melihat keparahan sleep apnea dan menentukan kesuksesan
perawatan. Polisomnografi dilakukan di laboratorium tidur dengan memonitor
tidur pasien sepanjang malam. Total waktu tidur yang dicatat paling sedikit 4
jam.
Beberapa variabel yang direkam selama penelitian tidur pada tabel
Tabel 2. Variabel yang direkam pada polisomnografi
Stadium tidur
Upaya pernafasan
Aliran udara
Saturasi oksihemoglobin arteri
Posisi tubuh
Gerakan anggota badan
Irama dan denyut jantung

Komponen polisomnogram adalah electroencephalogram (EEG),
electrooculogram (EOG), electromyogram (EMG) dan electrocardiogram (ECG).
Tahapan dan pola tidur ditentukan oleh gambaran EEG, EOG, dan EMG. Kardiak
disritmia yang berpotensi mematikan dapat dideteksi dengan ECG. Penurunan
5% atau lebih saturasi oksigen arteri dari nilai normal adalah signifikan selama
episode apnea ataupun hipopnea. Usaha respirasi dan pola pernafasan diukur
dengan respiratory inductive plethysmography ataupun dengan pengukuran
perubahan tekanan intrathoraks dengan balon kateter esofagus.
Perbedaan antara sentral sleep apnea dan obstruktif sleep apnea adalah
hubungan antara aliran udara hidung dan mulut dengan pergerakan otot
respirasi abdomen dan toraks. Sentral sleep apnea terjadi jika aliran udara dan
pergerakan otot respiratori berhenti secara simultan, sedangkan obstruktif
sleep apnea terjadi jika aliran udara pada mulut dan hidung terhambat namun
otot respiratori pada toraks dan abdomen tetap bergerak tanpa berfungsi.
14

Gambaran polisomnogram yang berbeda pada obstructive apnea dan central
apnea terlihat pada gambar dibawah.

Gambar 5 . Gambaran polisomnogram
Alat ini menyediakan ukuran beratnya obstruksi saluran napas saat tidur.
Apnea-hypopnea index (AHI) dihitung berdasarkan data PSG sebagai jumlah
apnea dan hipopnea per jam tidur. Gambaran abnormal bila AHI >1 atau
saturasi oksigen<92%.

Gambar 6 Polisomnografi
15

2.8 PENATALAKSANAAN
A. Terapi non bedah
Pada pertengahan abad yang lalu, terapi OSA hanya trakeostomi. Trakeostomi
secara komplet dapat mem-bypass bagian saluran nafas yang mengalami penyempitan
atau sumbatan pada waktu tidur. Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner
ketika Sullivan et al. memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure
(nCPAP). Prinsip nCPAP sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif
melalui hidung maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk menyempit dan menutup
dapat diatasi dan dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga menekan suara
dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari.
Efektifitas pengobatan dengan cara ini mencapai 90-95%.
4


Gambar 7 . Nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP)
Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan.
Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga, dan medikamentosa.
Walaupun berat badan dapat dikurangi, tetapi seringkali tidak dapat bertahan lama.
Dapat dipertimbangkan tindakan yang lebih radikal seperti operasi bypass lambung
pada penderita obesitas berat.
Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan mengurangi
berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien
mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup (pronasi). Salah
satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular advancement
dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan mandibula dan
lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat memaksimalkan
diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya
16

digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA
yang ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang
intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan
sendi temporomandibula.

Gambar 8 . Mandibular splint
B. Terapi Bedah
Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena
beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena
timbulnya efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut
yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak
nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan
obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa
prosedur operasi dapat dilakukan:
1,2,4,6

1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,
tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan
terapi CPAP.
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak sebaik
CPAP pada penderita OSA yang berat. Angka keberhasilan dengan teknik ini
mencapai 10-15%.Morbiditas yang tinggi akibat operasi uvulopalatofaringoplasti
konvensional dapat dihindari dengan menggunakan laser atau dengan
menggunakan radiofrekuensi coblation. Hasilnya dalam jangka pendek cukup
baik, walaupun dapat terjadi rekurensi dalam jangka panjang.
17

3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik
fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi
di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala
hidung pada pengobatan dengan CPAP.
4. Tindakan bedah pada mandibula atau maksila (maxillomandibular osteotomy
dan advancement).
5. Lidah: lingual tonsillectomy, laser midline glossectomy, lingualplasti dan ablasi
massa lidah dengan teknik radiofrekuensi.
6. Kadang-kadang perlu dilakukan hyoid myotomy and suspension.
7. Teknik terbaru menggunakan alat somnoplasty dengan radiofrekuensi Celon
atau Coblation, dan pemasangan implan Pillar pada palatum. Teknik
radiofrekuensi menghasilkan perubahan ionik pada jaringan, menginduksi
nekrosis jaringan sehingga menyebabkan reduksi volume palatum tanpa
kerusakan pada mukosa dan menghilangkan vibrasi (kaku).
Implan Pillar atau implan palatal merupakan teknik yang relative
baru,merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita
dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan
untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil
diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran
yang menyebabkan snoring

Gambar 9. Implant Pillar

18

2.9 KOMPLIKASI
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di
antaranya:
1,4

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya
ingat, sakit kepala. Rasa kantuk yang berlebihan dikeluhkan pada pasien OSA
karena tidur yang tidak adekuat pada malam hari akibat sering terbangun pada
malam hari karena apnea.
2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit
jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke.
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan
hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular
pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang
yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi
pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada
terjadinya aterosklerosis.
Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui
dua komponen:1
a. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.
b. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis
yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.1
OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit
aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan
beberapa kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:1
o Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan
stres oksidatif.
o Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I
dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons
peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan
interleukin-6.
19


Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan ekspresi
molekul-molekul adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada selsel endotel
diduga berperan pada terjadinya disfungsi sel endotel, pembentukan
aterosklerosis dan bekuan darah.1
Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara
OSA dan infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung
dari hipertensi, aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf
simpatis, peningkatan koagulopati dan respons inflamasi. Aritmia dapat terjadi
pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan blokade
jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya
OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui
peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan
hipoksemia Sebagai kesimpulan, terdapat hubungan yang kompleks antara OSA
dan penyakit kardiovaskuler. Terapi terhadap OSA memperbaiki efek negatif
OSA pada sistem kardiovaskuler.
3. Respirasi: hipertensi pulmonum.
Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA
dikenal sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA
menyebabkan peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada
kemungkinan peranan hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah
pada penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah
pada penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar
angiotensin II dan aldosteron, disfungsi sel-sel endotel, dan gangguan fungsi
barorefleks.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat (The Sleep Heart Study) yang dilakukan
pada 6000 individu memperlihatkan asosiasi independen yang jelas antara OSA dan
hipertensi, dan prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan beratnya OSA.
4. Metabolik : Diabetes,obesitas
5. Genito-urinaria: Nokturia,enuresis,impotensi
6. Hematologis : Polisitemia.
20

2.10 PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat membantu mencegah OSA adalah:
a. Berhenti merokok
Nikotin dalam tembakau melemaskan otot-otot yang menjaga saluran udara
terbuka. Jika merokok,otot-otot cenderung tidak jatuh pada malam hari dan
mempersempit saluran udara.
b. Posisi kepala
Angkat kepala 4-6 inci dengan meletakkan bantal di bawah tempat tidur. Selain itu
dapat juga digunakan bantal khusus ketika tidur yang membantu kepala tetap dalam
posisi yang mengurangi sleep apnea. Segera mengobati masalah pernapasan, seperti
hidung tersumbat disebabkan oleh alergi dingin atau hal ini dapat meningkatkan
mendengkur. Hindari konsumsi antihistamin, karena mereka dapat membuat
mengantuk dan membuat episode apnea parah . Sebaliknya pengunaan dekongestan
menyebabkan drainase akan menurun.
c. Makan sehat
Cara terbaik untuk mencegah apnea adalah tetap sehat. Seperti telah dibahas, orang
gemuk lebih mungkin untuk menderita OSA. Oleh karena itu jaringan yang
berlebihan yang terbentuk di tenggorokan. Solusinya adalah makan sehat dan
berolahraga rutin untuk menjaga berat badan terkendali.
d. Monitor tekanan darah
Individu dengan tekanan darah tinggi lebih mungkin untuk menderita sleep apnea
dan sekitar 30% dari individu dengan tekanan darah tinggi juga memiliki apnea.
Individu yang sudah memiliki sleep apnea lebih cenderung mengalami tekanan darah
tinggi. Menjaga tekanan darah dan tetap sehat tidak hanya membantu mencegah
apnea, malah mencegah penyakit lain.
e. Menghindari alkohol dan narkoba
Konsumsi alkohol dan pil tidur dapat membuat jalan napas lebih cenderung runtuh
saat tidur. Akibatnya, periode apnea ditingkatkan. Alkohol adalah depresan dan
sementara mengkonsumsi alkohol dapat membantu tertidur, penarikan mendatang,
sementara tidur dapat menambah masalah dan mengakibatkan OSA.

21

f. Mengubah posisi tidur anda
Untuk seseorang yang cenderung OSA, tidur terlentang harus dihindari. Hal ini
menyebabkan jaringan longgar untuk memblokir jalan napas. Posisi tidur terbaik
untuk mencegah OSA adalah posisi samping. Bantal dan perangkat khusus dapat
digunakan untuk membantu menjaga seseorang dari berguling ke posisi telentang
dan mencegah OSA terjadi.
2.11 PROGNOSIS
Tanpa terapi OSA dapat menyebabkan ancaman nyawa. Mengantuk yang
berlebihan pada siang hari dapat menyebabkan orang dengan OSA untuk tertidur
pada waktu yang tidak sepatutnya seperti sewaktu mengandarai . Selain itu OSA juga
menempatkan idividu risiko stroke dan transient ischemic attacks (TIA) dan sering
dihubungkan dengan penyakit jantung koroner,gagal jantung ,denyut jantung
iireguler, serangan jantung dan hipertensi.


















22

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Obstructive sleep apnea(OSA) adalah sebuah gangguan tidur yang berarti henti nafas
saat tidur dengan gejala utama mendengkur .OSA terjadi karena lidah dan palatum
jatuh ke belakang sehingga terjadiobstruksi.Gejala dari OSA adalah mendengkur,
mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea,
nokturia, sakit kepala pada pagi hari.Diagnosis OSA paling banyak diklasifikasikan
menurut American Academy of Sleep Medicine.Sleep apnea membutuhkan
penanganan dan penatalaksanaan yang adekuat antara lain mengatasi penyakit primer
yang menyebabkan sleep apnea,Continous Positive Airway Pressure(CPAP),
Bileve Positive Airway Pressure(BPAP), Adaptive Servo-Ventilation(ASV), dan terapi
bedah. Diharapkan dengan penanganan yang tepat dan cepat dapat menurunkan
angka mortalitas.















23

DAFTAR PUSTAKA

1. Lalwani K. A.Current diagnosis and treatment of otolaryngology head
and neck surgery. Edisi ke dua. McGrawl-Hill : 2007.h. 533-42.
2. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep Apnea.
Otolaryngology chapter 6, 2006; h. 71-82.
3. Febriani, Debidkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular .Jurnal
Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52
4. Gibson GJ.Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and undertreated
Brit Med Bulletin 2005; 72: 49-64
5. Young T, Peppard PE, Gottlieb DJ. Epidemiology of obstructive sleepapnoe:
a population health perspective. Am J Respir Crit Care Med 2002;165: 1217-39
6. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood obstructive
sleep apnea syndrome.Pediatrics 2002; 109:1-20.
7. Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark A.Richardson,
K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, Cummings Otolaryngology Headand Neck
Surgery 5thEdition, Chapter 18: Sleep Apnea and Sleep Disorders ; 250-261.
8. Omidvari K. Sleep disorders. In: Ali juzar, Summer Warren, Levitzky Michael, editors.
Pulmonary pathophysiology. New york: McGraw-Hill; 2000. p.283-90.

Anda mungkin juga menyukai