196004161986011002prinssip Universal
196004161986011002prinssip Universal
pendapat
para
sarjana
(dalam
berbagai
kepustakaan),
yurisdikssi
(yurisdiction) menurut hukum internasional dapat diartikan sebagi wewenang yang diberiakn
oleh hukum internasional kepada suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan ketentuan
hukum nasionalnya. Ada bermacam-macam yurisdiksi, antara lain ialah yurisdiksi
berdasarkan prinsip universal (yurisdiktion according to the universal principle).
Prinsip universal ini, di Indonesia dihadapkan pada asas legalitas yang terdapat dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi :Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Berdasarkan sedikit uraian di muka, timbullah permasalahan bagaimana pelaksanaan
prinsip universal dalam hubungan dengan asas legalitas Hukum Pidana Indonesia.
Permasalahan ini dibatasi pada pelaksanaan prinsip universal, apabila hukum pidana
Indonesia belum mengatur kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam prinsip Universal.
Pembahasan terhadap permasalahan tersebut dilakukan secara hipotetis, karena penulis
belum mendapatkan data mengenai kasusu penerapan prinsip universal di Indonesia,
khususnya dalam kaitannya dengan asas legalitas hukum pidana Indonesia. Oleh karena itu,
permasalahan akan dijawab melalui beberapa su bahasan berikut ini.
prinsip
universal,
setiap
negara
berwenang
untuk
melaksanakan
yurisdiksinya terhadap pelaku tindak pidana tertentu yang dilakukan di luar wilayah
negaranya tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku. Tindak pidana tertentu
tersebut adalah international crime (kejahatan internasional).
M. Cherif Bassioni menyatakan ada 22 jenis kejahatan yang dapat dimasukkan ke
dalam kategori Internasional crime, hal ini dapat dilihat dari pendapatnya:
....there are 22 international crimes. These crimes are : agression; was crimes,
unlawful
use
of
weapons/unlawful
humanity;genocide;racial
emplacement
discrimination
and
of
apartheid;
weapons;
sla
crimes;
very
and
against
related
internationally
protected
hostages;drug
Di Indonesia, prinsip universal ini juga dianut dalam hukum pidana Indonesia (walau
sangat terbatas, yaitu dalam KUHP Indonesia (terjemahan Wetboek van Strafrecht), pasal
438, 444, juga pasal 4 angka 2 dan 4 sepanjang kepentingan-kepentingan negara lain
dilindungi ketentuan-ketentuan pidana tersebut.
Pasal 438 dan 444 KUHP, mengancam siapa saja telah bersalah melakukan pembajakan
di laut dengan segala akibatnya. Sedangkan pasal 4 angka 2 mengancam siapa saja, kapan
saja, dan di mana saj, yang memalsukan mata uang atau uang kertas dengan hukum pidana
yang berlaku di Indonesia.
III. ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA INDONESIA
Asas Legalitas dalam hukum pidana Indonesia terdapat dalam pasal 1ayat (1) KUHP,
yang berbunyi Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaran voorafgegane wettelijk
starfbepaling. Pasal ini oleh Engelbrecht diterjemahkan menjadi Tiada suatu perbuatan yang
boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang
mendahului perbuatan itu. Kemudian oleh Tim penerjemah BPHN diterjemahkan Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada . (BPHN)
Asas legalitas tersebut, dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah nullum delictum
nulla poena sine pravia lege (Bambang Purnomo, 1983:183). Asas nulla poena mula-mula
diperkenalkan oleh Montesquieu, kemudian Rousseau, dan Beccaria. Oleh Paul Johann
Anseln von Feurbach, dirumuskan dalam bahsa latin nullum crimen, nulla poena sine pravia
lege poenali (Baca P. A.F. Lamintang, 1984: 118-128).
Asas tersebut, saat ini sudah diterima oleh sebagian besar negara negara Eropa dengan
mencantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negaranya masing-masing. Di
negara Anglo Saxon, asas Legalitas diterima dalam doktrin :Actus non facit renum nisi means
sit rea (an act does not itself contitute guilt unless the mind is guity), sebagai hukum tidak
tertulis, dan terwujud dalam praktek pengadilan (Bambang Purnomo, 1983:184). Namun
demikian, di negara-negara yang pemerintahnya bersifat totalitery asas legalitas tidak dapat
diterima. Secara internasional, asas legalitas sudah diakuisecara internasional, yaitu dengan
dicantumkannya dalam pasal 7 Perjanjian Roma 1950, Sebagai berikut :
1. No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any fact or
ommission which did not constitute a criminal offence under national or international
law at the time when it was commited nor shall a heavier penalty be imposed than the
one that was applicable at the time the criminal ofence was commited.
2. This article shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act or
omission which at the time when it was commited, was criminal according to the
general principles of law recoonized by civilized nations.
Perkembangan asas legalitas tersebut di muka ternyata memmang tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh faktor-faktor yang ada dalam masyarakat suatu negara.
Asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, mengandung tiga asas yang penting yaitu :
1. Hukum pidana yang berlaku di negarakita merupakan suatu hukum tertulis.
2. Undang-undang pidana uang berlaku di negara kita tidak dapat diperlakukan urut.
3. Penafsiran secara analogis tidak boleh dipergunakan dalam penafsiran undang-undang
pidana.
(Penjelasannya baca P.A.F. Lamintang , 1984 : 135-143).
IV.
PELAKSANAAN
PRINSIP
UNIVERSAL
DALAM
HUKUM
PIDANA
diwujudkan dalam bentuk perjanjian bilateral maupun multilateral. Kerja sama ini tentunya
untuk mensinkronkan hukum pidana antar masing-masing negara, baik berupa substansi
hukum pidana maupun hukum acara pidana, agar dengan demikian prinsip universal bisa
diterapkan di masing-masing negara.
Dalam kaitannya dengan prinsip universal yang sudah diatur dalam KUHPO dan atau
undang-undang pidana Indonesia, walaupun tidak menimbulkan masalah yang serius, namun
pelaksanaannya juga harus hati-hati dengan memperhatikan kepentingan negara lain. Hal ini
tidaklah mengherankan, sebab prinsip universal itu sendiri mempunyai kelemahan, yaitu bisa
menimbulkan konflik antar negara karena perbedaan hukum pidana nasional masing-masing
negara.
Pelaksanaan prinsip universal hukum internasional dalam hukum pidana nasional
suatu negara, berkaitan erat dengan penerapan hukum internasional ke dalam hukum
nasional.Oleh karena iu perlu diperhatikan hubungan hukum internasional dengan hukum
nasional menurut hukum positif di beberapa negara (yang sudah banyak dijelaskan dalam
berbagai literatur hukum internasional). Khusus mengenai penerapan hukum nasional
indonesia (kalau dikaitkan dengan judul paper), maka perlu diperhatikan pendapat Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatadja,SH.LLM, sebagai berikut:
1. UUD 1945 tidak memuat ketentuan yang mengatur hal tersebut, hal ini tidak dapat
dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak menganut supremasi hukum
internasional atas hukum nasional, apalagi menarik kesimpulan
bahwa hukum
negara
sebagai perorangan.
Dengan demikian, bila ternyata ada international crime yang belum diatur oleh hukum
pidana Indonesia, maka ketentuan sebagaimana yang dikemukakan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, SH.LLM tersebut perlu diperhatikan, khususnya dalam mengadakan
kerjasama internasional untuk mengatasi kekosongan yurisdiksi.
Apabila dikaitkan dengan perkembangan hukum pidana internasional, benturan-benturan
antara pelaksanaan prinsip universal dengan hukum pidana nasional amsing-masing negara
(termasuk hukum pidana nasional Indonesia), bukanlah hal yang mengheranka. Hal ini
disebabkan oleh adannya kenyataan, bahwa hukum pidana internasional itu muncul, tumbuh
dan berkembang karena keterpaduan/gabungan (convergence) antara dua aspek disiplin
hukum, yaitu : aspek hukum pidana hukum internasional dan aspek internasional hukumhukum pidana nasional (Lihat M. Cherif Bassioni, 1986:1).
V. KESIMPULAN
1. Pelaksanaan prinsip universal terhadap kejahatan internasional yang sudah diatur oleh
hukum pidana Indonesia/Undang-undang pidana Indonesia tidaklah menimbulkan
persoalan, namun tetap harus diperhatikan kepentingan negara lain.
2. Pelaksanaan prinsip universal terhadap kejahatan internasional yang belum diatur oleh
hukum pidana/undang-undang pidana Indonesia, menimbulkan persoalan yang berupa
kekosongan yurisdiksi.
3. Untuk mengatasi kekosongan yurisdiksi, bisa diadakan kerjasama antara negara (baik
bilateral maupun multilateral), melalui perjanjian internasional (baik multilateral maupun
bilateral, tergantung kebutuhan).
VI. PENUTUP
Penelitian yang lebih detail tentang pelaksanaan prinsip yurisdiksi universal hukum
internasional sangatlah diperlukan untuk memperoleh data yang akurat mengenai hal tersebut,
khususnya pengembangan lebih lanjut hukum pidana internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Purnomo 1993 Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Ind.
Eddy Damian 1991 Kapita Selekta Hukum Internasional. Bandung: Alumni.
Haryo Mataram 1991 Hukum Internasional I. BPK. Surakarta: UNS.
J.L. Brierly 1963 Law of Nations, terjemahan Moh. Radjab. Jakarta: Bharata
M. Cherif Bassioni.Internasional Criminal Law Crimes Volume 1986 I. New York :
Transnational Publisher, Inc.
Mochtar Kusumaatmadja 1981 Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta.
P.A..F. Lamintang 1984 Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru
R. Achmad Soema Di Pradja 1982 Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Alumni
Romli Atmasasmita 1989 Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : Yayasan LBH
Indonesia.
Tim Penerjemah BPHN DEPKEH.11983 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta:
Sinar Harapan.