Anda di halaman 1dari 8

ISSN : 0852-0941 YUSTISIA NOMOR 24/1993

PRINSSIP UNIVERSAL DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ASAS


LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
(STUDI PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL)
I. PENDAHULUAN
Dalam masyarakat internasional, negara-negara merdeka dan berdaulat serta berderajat
sama mau tidak mau harus saling mengadakan hubungan satu sama lainnya di segala bidang.
Hubungan anatar negara tersebut diatur oleh hukum Internasional. Untuk mengatur hubungan
antar negara di bidang hukum pidana, bisa dilakukan dengan peraturan perundang-undangan
nasional secara sepihak maupun dengan mengadakan perjanjian internasional (bilateral
maupun multilateral), yang tentu saja harus memperhatikan ketentuan hukum internasional.
Hal ini disebabkan karena hukum internasional juga memberi kewajiban kepada individu
tertentu sedemikian rupa, sehingga pengadilan nasional maupun internasional bisa mengadili
kejahatan yang melangggar hukum internasional. Di samping itu, hukum internasional juga
memberi hak istimewa kepada setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksinya. Dalam hal ini
berkaitan dengan apa yang dinamakan yurisdiksi (yurisdiction) dalam hukum internasional.
Menurut

pendapat

para

sarjana

(dalam

berbagai

kepustakaan),

yurisdikssi

(yurisdiction) menurut hukum internasional dapat diartikan sebagi wewenang yang diberiakn
oleh hukum internasional kepada suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan ketentuan
hukum nasionalnya. Ada bermacam-macam yurisdiksi, antara lain ialah yurisdiksi
berdasarkan prinsip universal (yurisdiktion according to the universal principle).
Prinsip universal ini, di Indonesia dihadapkan pada asas legalitas yang terdapat dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi :Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Berdasarkan sedikit uraian di muka, timbullah permasalahan bagaimana pelaksanaan
prinsip universal dalam hubungan dengan asas legalitas Hukum Pidana Indonesia.
Permasalahan ini dibatasi pada pelaksanaan prinsip universal, apabila hukum pidana
Indonesia belum mengatur kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam prinsip Universal.
Pembahasan terhadap permasalahan tersebut dilakukan secara hipotetis, karena penulis
belum mendapatkan data mengenai kasusu penerapan prinsip universal di Indonesia,
khususnya dalam kaitannya dengan asas legalitas hukum pidana Indonesia. Oleh karena itu,
permasalahan akan dijawab melalui beberapa su bahasan berikut ini.

ISSN : 0852-0941 YUSTISIA NOMOR 24/1993

II PRINSIP UNIVERSAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL


Menurut

prinsip

universal,

setiap

negara

berwenang

untuk

melaksanakan

yurisdiksinya terhadap pelaku tindak pidana tertentu yang dilakukan di luar wilayah
negaranya tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku. Tindak pidana tertentu
tersebut adalah international crime (kejahatan internasional).
M. Cherif Bassioni menyatakan ada 22 jenis kejahatan yang dapat dimasukkan ke
dalam kategori Internasional crime, hal ini dapat dilihat dari pendapatnya:
....there are 22 international crimes. These crimes are : agression; was crimes,
unlawful

use

of

weapons/unlawful

humanity;genocide;racial

emplacement

discrimination

and

of

apartheid;

weapons;
sla

crimes;

very

and

against
related

crimes;torture;unlawful medical experimentation;piracy;aircraft hijacking;threat and use of


force againts

internationally

protected

person; taking of civilian

hostages;drug

offences;international trafict in obscene publications;destruction and/or theft of national


treasures; enviromental protection;theft of nuclear materials; unlawful use of the mails;
interference with submarine cables, falsification and counterfeiting; and bribery of foreign
public officials (M. Cherif Bassioni, 1986: 1)
Berdasarkan sumber hukum internasional, maka internasional Crime tersebut meliputi:
1. existing international conventions wich consider the act in question an international
crime.
2. recoqnition under customary international law that such conduct constitutes of
international crime.
3. recoqnition under general principles of international law that such conduct is or should
be deemed violatve of international law and abaut which there is a pending draft
conventions before the United Nations, and
4. prohibition of such conduct by an international convention though not specially stating
that it contitutes an international crime and which is also recoqnised in the writings
scholars as such.
(M. Cherif Bassioni, 1986 : 2).
Ciri-ciri 22 kategori kejahatan internasional juga bisa dilihat dari unsur internasional,
unsur transnasional, dan unsur kebutuhan (Lihat M. Cherif Basioni, 1986: 2 dan 11-12).
Kemudian untuk menentukan apakah 22 jenis kejahatan internasional atau bukan, maka oleh
Bassioni dikatakan sebagai berikut :

ISSN : 0852-0941 YUSTISIA NOMOR 24/1993

A textual analysis of relevant treaty provisions in the twenty-two categories of


international crimes reveals that these conventions contain the following ten penal
characteristic:
1. Explicit recognition of poscribed conduct as constituting an international crime, or
crime under international law, or a crime;
2. Implicit recoqnition of the penal nature of the act by establising a duty to prohibit,
prevent, prosecute, punish, or the like;
3. Criminalization of the proscribed conduct;
4. Duty or right to prosecute;
5. Duty or right to punish the proscribe conduct;
6. Duty or right to extradite;
7. Duty or right to cooperatein prosecution, punishment, (including judicial assastance
in penal proceedings);
8. Establihment of criminal jurisdictional basis (or theory of criminal jurisdiction or
priority incriminal jurisdiction);
9. Reference the establishment of an international criminal court or international
tribunal with penal characteristics (or) prerogratives);
10. Elimination of the defense of superior orders;
(lihat M. Cherif Bassioni, 1986: 3-4 dan 10)
Berbagai tindak kejahatan international ternyata ada yang sudah diatur dalam konvensi
international ada yang belum. Beberapa konvensi International yang mengatur kejahatan
Internasional antara lain : The Genocide Convention 1948, The Hague Convention 1907 dan
The Jeneva Conention 1949, The Tokyo Convention 1963, The Haque Convention 1970, The
Montreal Convention 1971.
Suatu kenyataan, bahwa hampir semua negara di dunia mempunyai pandangan yang sama
tentang berbagai perbuatan manusia yang dipandang sebagai perbuatan yang harus diberantas
(seperti tindak pidana internasional tersebut). Dengan Prinsip universal itulah, maka setiap
negara berkewajiban untuk memelihara keamanan dan ketertiban dunia bersama negaranegara lain. Dalam hal ini, Prinsip universal akan membantu manusia dalam memberantas hal
tersebut, dengan syarat hal tersebut harus dimasukkan dalam hukum pidana (undang-undang
pidana) di negaranya masing-masing sebagai tindak pidana. Dengan demikian, setiap pelaku
dapat dikenai ketentuan pidana yang berlaku di negara masing-masing tanpa membedakan
kebangsaan si pelaku dan tempat melakukan perbuatan.

ISSN : 0852-0941 YUSTISIA NOMOR 24/1993

Di Indonesia, prinsip universal ini juga dianut dalam hukum pidana Indonesia (walau
sangat terbatas, yaitu dalam KUHP Indonesia (terjemahan Wetboek van Strafrecht), pasal
438, 444, juga pasal 4 angka 2 dan 4 sepanjang kepentingan-kepentingan negara lain
dilindungi ketentuan-ketentuan pidana tersebut.
Pasal 438 dan 444 KUHP, mengancam siapa saja telah bersalah melakukan pembajakan
di laut dengan segala akibatnya. Sedangkan pasal 4 angka 2 mengancam siapa saja, kapan
saja, dan di mana saj, yang memalsukan mata uang atau uang kertas dengan hukum pidana
yang berlaku di Indonesia.
III. ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA INDONESIA
Asas Legalitas dalam hukum pidana Indonesia terdapat dalam pasal 1ayat (1) KUHP,
yang berbunyi Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaran voorafgegane wettelijk
starfbepaling. Pasal ini oleh Engelbrecht diterjemahkan menjadi Tiada suatu perbuatan yang
boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang
mendahului perbuatan itu. Kemudian oleh Tim penerjemah BPHN diterjemahkan Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada . (BPHN)
Asas legalitas tersebut, dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah nullum delictum
nulla poena sine pravia lege (Bambang Purnomo, 1983:183). Asas nulla poena mula-mula
diperkenalkan oleh Montesquieu, kemudian Rousseau, dan Beccaria. Oleh Paul Johann
Anseln von Feurbach, dirumuskan dalam bahsa latin nullum crimen, nulla poena sine pravia
lege poenali (Baca P. A.F. Lamintang, 1984: 118-128).
Asas tersebut, saat ini sudah diterima oleh sebagian besar negara negara Eropa dengan
mencantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negaranya masing-masing. Di
negara Anglo Saxon, asas Legalitas diterima dalam doktrin :Actus non facit renum nisi means
sit rea (an act does not itself contitute guilt unless the mind is guity), sebagai hukum tidak
tertulis, dan terwujud dalam praktek pengadilan (Bambang Purnomo, 1983:184). Namun
demikian, di negara-negara yang pemerintahnya bersifat totalitery asas legalitas tidak dapat
diterima. Secara internasional, asas legalitas sudah diakuisecara internasional, yaitu dengan
dicantumkannya dalam pasal 7 Perjanjian Roma 1950, Sebagai berikut :
1. No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any fact or
ommission which did not constitute a criminal offence under national or international

ISSN : 0852-0941 YUSTISIA NOMOR 24/1993

law at the time when it was commited nor shall a heavier penalty be imposed than the
one that was applicable at the time the criminal ofence was commited.
2. This article shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act or
omission which at the time when it was commited, was criminal according to the
general principles of law recoonized by civilized nations.
Perkembangan asas legalitas tersebut di muka ternyata memmang tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh faktor-faktor yang ada dalam masyarakat suatu negara.
Asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, mengandung tiga asas yang penting yaitu :
1. Hukum pidana yang berlaku di negarakita merupakan suatu hukum tertulis.
2. Undang-undang pidana uang berlaku di negara kita tidak dapat diperlakukan urut.
3. Penafsiran secara analogis tidak boleh dipergunakan dalam penafsiran undang-undang
pidana.
(Penjelasannya baca P.A.F. Lamintang , 1984 : 135-143).
IV.

PELAKSANAAN

PRINSIP

UNIVERSAL

DALAM

HUKUM

PIDANA

INDONESIA (TELAAH HIPOTETIS)


Pelaksanaan prinsip universal di Indonesia dihadapkan pada asas legalitas yang
terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Pelaksanaan prinsip universal terhadap international
crime yang sudah diatur dalam KUHP dan atau undang-undang pidana Indonesia tidaklah
menimbulkan masalah,sebab hal ini tidak bertentangan dengan asas legalitas hukum pidana
Indonesia. Akan tetapi, terhadap internasional crime yang belum diatur oleh KUHP dan atau
undang-undang pidana Indonesia, akan menimbulkan masalah yang serius, karena dengan
demikian akan ada orang yang telah melakukan internasional crime diluar wilayah Indonesia
(dan tidak merugikan Indonesia) dan kemudian berada di wilayah Indonesia tidak akan bisa
dituntut di Indonesia walau dengan prinsip universal. Hal ini tentu akan menimbulkan
kekosongan /kevakuman yurisdiksi, yang dalam hukum pidana (baik nasional maupun
internasional) merupakan hal yang sangat peka/sensitif. Kekosongan yurisdiksi, tentu akan
membahayakan ketertiban/keamanan setiap negara didunia (masyarakat internasional), karena
orang dimanapun, kapanpun akan bertindak semaunya (semau gue) yang merugikan orang
lain atau negara dalam masyarakat internasional, dengan melakukan internasioanl crime
tetapi terlepas dari tuntutan hukum pidana (baik hukum pidana nasional maupun
internasional).
Untuk mengatasi hal tersebut, dapat dilakukan kerja sama antar negara(kerja sama
internasional) dibidang hukum pidana formal maupun material. Kerja sama tersebut bisa

ISSN : 0852-0941 YUSTISIA NOMOR 24/1993

diwujudkan dalam bentuk perjanjian bilateral maupun multilateral. Kerja sama ini tentunya
untuk mensinkronkan hukum pidana antar masing-masing negara, baik berupa substansi
hukum pidana maupun hukum acara pidana, agar dengan demikian prinsip universal bisa
diterapkan di masing-masing negara.
Dalam kaitannya dengan prinsip universal yang sudah diatur dalam KUHPO dan atau
undang-undang pidana Indonesia, walaupun tidak menimbulkan masalah yang serius, namun
pelaksanaannya juga harus hati-hati dengan memperhatikan kepentingan negara lain. Hal ini
tidaklah mengherankan, sebab prinsip universal itu sendiri mempunyai kelemahan, yaitu bisa
menimbulkan konflik antar negara karena perbedaan hukum pidana nasional masing-masing
negara.
Pelaksanaan prinsip universal hukum internasional dalam hukum pidana nasional
suatu negara, berkaitan erat dengan penerapan hukum internasional ke dalam hukum
nasional.Oleh karena iu perlu diperhatikan hubungan hukum internasional dengan hukum
nasional menurut hukum positif di beberapa negara (yang sudah banyak dijelaskan dalam
berbagai literatur hukum internasional). Khusus mengenai penerapan hukum nasional
indonesia (kalau dikaitkan dengan judul paper), maka perlu diperhatikan pendapat Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatadja,SH.LLM, sebagai berikut:
1. UUD 1945 tidak memuat ketentuan yang mengatur hal tersebut, hal ini tidak dapat
dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak menganut supremasi hukum
internasional atas hukum nasional, apalagi menarik kesimpulan

bahwa hukum

nasional mengatasi hukum internasional.


2. Kita tidak menganutteori transformasi (seperti Amerika), tetapi kita lebih condong
pada sistem Eropa Barat, yaitu kita menganggap diri kita langsung terkait dalam
melaksanakan dan mentaati perjanjian dan konvensi yang telah disyahkan tanpa perlu
lagi mengadakan lagi perundang-undangan pelaksana, tapi dalam beberapa hal,
pengundangan dalam undang-undang nasional mutlak perlu, yaitu bila diperlukan
perubahan dalam undang-undang nasional yang mengikat hak-hak warga

negara

sebagai perorangan.
Dengan demikian, bila ternyata ada international crime yang belum diatur oleh hukum
pidana Indonesia, maka ketentuan sebagaimana yang dikemukakan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, SH.LLM tersebut perlu diperhatikan, khususnya dalam mengadakan
kerjasama internasional untuk mengatasi kekosongan yurisdiksi.
Apabila dikaitkan dengan perkembangan hukum pidana internasional, benturan-benturan
antara pelaksanaan prinsip universal dengan hukum pidana nasional amsing-masing negara

ISSN : 0852-0941 YUSTISIA NOMOR 24/1993

(termasuk hukum pidana nasional Indonesia), bukanlah hal yang mengheranka. Hal ini
disebabkan oleh adannya kenyataan, bahwa hukum pidana internasional itu muncul, tumbuh
dan berkembang karena keterpaduan/gabungan (convergence) antara dua aspek disiplin
hukum, yaitu : aspek hukum pidana hukum internasional dan aspek internasional hukumhukum pidana nasional (Lihat M. Cherif Bassioni, 1986:1).
V. KESIMPULAN
1. Pelaksanaan prinsip universal terhadap kejahatan internasional yang sudah diatur oleh
hukum pidana Indonesia/Undang-undang pidana Indonesia tidaklah menimbulkan
persoalan, namun tetap harus diperhatikan kepentingan negara lain.
2. Pelaksanaan prinsip universal terhadap kejahatan internasional yang belum diatur oleh
hukum pidana/undang-undang pidana Indonesia, menimbulkan persoalan yang berupa
kekosongan yurisdiksi.
3. Untuk mengatasi kekosongan yurisdiksi, bisa diadakan kerjasama antara negara (baik
bilateral maupun multilateral), melalui perjanjian internasional (baik multilateral maupun
bilateral, tergantung kebutuhan).
VI. PENUTUP
Penelitian yang lebih detail tentang pelaksanaan prinsip yurisdiksi universal hukum
internasional sangatlah diperlukan untuk memperoleh data yang akurat mengenai hal tersebut,
khususnya pengembangan lebih lanjut hukum pidana internasional.

ISSN : 0852-0941 YUSTISIA NOMOR 24/1993

DAFTAR PUSTAKA
Bambang Purnomo 1993 Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Ind.
Eddy Damian 1991 Kapita Selekta Hukum Internasional. Bandung: Alumni.
Haryo Mataram 1991 Hukum Internasional I. BPK. Surakarta: UNS.
J.L. Brierly 1963 Law of Nations, terjemahan Moh. Radjab. Jakarta: Bharata
M. Cherif Bassioni.Internasional Criminal Law Crimes Volume 1986 I. New York :
Transnational Publisher, Inc.
Mochtar Kusumaatmadja 1981 Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta.
P.A..F. Lamintang 1984 Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru
R. Achmad Soema Di Pradja 1982 Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Alumni
Romli Atmasasmita 1989 Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : Yayasan LBH
Indonesia.
Tim Penerjemah BPHN DEPKEH.11983 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta:
Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai