Anda di halaman 1dari 41

http://cpddokter.com/home/index.php?

option=com_content&task=view&id=151&Itemid=38
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok
ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali
juga melibatkan organ tubuh lainnya
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan
menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitas
bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam
menentukan pola morbiditas penyakit ini
.
hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan
pasti.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang
disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris.
Pada kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit,
seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang timbul kesulitan dalam menegakkan
diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak
perlu terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Adalah lebih baik untuk menunda diagnosis AR selama
beberapa bulan dari pada gagal mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang seringkali memberi-kan gejala yang
serupa
5
. Pada penderita harus diberi tahukan bahwa semakin lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan dengan pasti
oleh seorang dokter yang berpengalaman, umumnya akan semakin baik pula prognosis AR yang dideritanya.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari American Rheumatism Association
(ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam
klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi AR tersebut pada tahun 1958.
Dengan kriteria tahun 1958 ini ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang
ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya memenuhi 2
kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya
perkembangan pengetahuan yang pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut
banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat me-masukkan jenis artritis lain seperti spondyloarthro-pathy
seronegatif, penyakit pseudorheumatoid akibat deposit calcium pyrophosphate dihydrate, lupus erite-matosus
sistemik, polymyalgia rheumatica, penyakit Lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.
Pembagian AR sebagai classic, definite, probable dan possible, secara klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini
disebabkan karena dalam praktek sehari hari, tidak perlu dibedakan penata-laksanaan AR yang classic dari AR definite.
Selain itu seringkali penderita yang terdiagnosis sebagai menderita AR probable ternyata menderita jenis artritis yang
lain.
Walaupun peranan faktor reumatoid dalam pato-genesis AR belum dapat diketahui dengan jelas, da-hulu dianggap
penting untuk memisahkan kelompok penderitaseropositif dari seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, faktor
reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit atau pembentukan nya dapat ditekan olehdisease
modifying anti-rheumatic drugs (DMARD). Selain itu spesifisitas faktor reumatoid ternyata tidak dapat diandalkan
karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua kriteria tahun 1958 yang lain seperti analisis bekuan
musin dan biopsi membran sinovial memerlukan prosedur invasif sehingga tidak praktis untuk digunakan dalam
diagnosis rutin.
Dengan menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262 penderita AR dan 262 penderita kontrol,
pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan kriteria klasifikasi reumatoid artritis dalam format tradisional yang
baru. Susunan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1987 Revised A.R.A. Criteria for Rheumatoid Arthritis
1. Kaku pagi hari
2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
3. Artritis pada persendian tangan
4. Artritis simetris
5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang
kurangnya 6 minggu.
Konsep Pengobatan AR
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini
pengobatan pada penderita AR ditujukan untuk:
1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan
3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi
normal kembali.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan multidisipliner. Suatuteam yang idealnya terdiri dari
dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi,
semuanya memiliki peranan masing masing dalam pengelolaan penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun
penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara penderita dan keluarganya
dengan team pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan penderita menjadi lebih baik dan juga
akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk
membina hubungan yang baik antara penderita dan keluarganya dengan dokter atau team pengobatan yang
merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan penderita untuk
tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.
Peranan Pendidikan dalam Pengobatan AR
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat alamiah penyakit dan penatalaksanaan AR
kepada penderita merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai
penyakitnya, penderita AR diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang
terganggu akibat penyakit ini.
Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada penderita AR. Salah satu yang banyak
dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah adalah The Arthritis Self Management Program, yang diperkenalkan
oleh Lorig dkk. dari Stanford University. Peningkatan pengetahuan penderita tentang penyakitnya telah terbukti akan
meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang
dialaminya.
Trend Pengobatan AR Saat Ini
Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara para ahli penyakit reumatik yang telah
meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan 'piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan
menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis
DMARD yang dimulai pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat
terkontrol.
Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif hanya dapat dicapai bila pengobatan dapat
diberikan pada masa dini penyakit.
Penggunaan OAINS dalam Pengobatan AR
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR sejak masa dini penyakit yang
dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi
sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih
belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS
berkerja dengan cara:
o Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
o Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim
lainnya).
o Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
o Menghambat proliferasi seluler
o Menetralisasi radikal oksigen
o Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah
merupakan satu satunya obat yang dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan OAINS tidak
memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasi
proses destruksi tersebut masih diperlukan obat obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD.
Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR
Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS yang umum dijumpai adalah efek
sampingnya pada traktus gastrointestinalis terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan lain, alkohol,
kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek
samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa
suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS
yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2
umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain adalah reaksi hiper-sensitivitas,
gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan sistem hematopoetik.
Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai golongan dan cara penggunaan telah
dapat diperoleh di pasaran. Dalam memilih suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR, seorang dokter
umumnya harus mempertimbangkan beberapa hal seperti:
o Khasiat anti inflamasi
o Efek samping obat
o Kenyamanan / kepatuhan penderita
o Biaya.
Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS
saat ini umumnya masih tidak jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung
pada faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam menggunakan OAINS.
Penggunaan DMARD pada Penderita AR
Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara
pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya
menemukan bahwa 90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pada dua tahun pertama
setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian sangat
mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui.
Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti
penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. Kecenderungan untuk menggunakan
kombinasi DMARD dalam pengobatan AR ini timbul sejak dekade yang silam karena banyak diantara para ahli
reumatologi beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang tidak berhasil mencegah
terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita harus mulai menggunakan DMARD. Hal ini
disebabkan karena hingga kini belum terdapat suatu cara yang tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau
destruksi tulang rawan pada penderita AR. Dengan demikian, keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang
penderita AR akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya. Umumnya pada penderita
yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, OAINS harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang
tersangka menderita AR yang tidak menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu,
DMARD dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena klorokuin sangat
mudah didapat dengan biaya yang amat terjangkau sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal
eradikasi penyakit malaria.
Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara para ahli yang ber-pendapat bahwa
khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya
juga lebih rendah dibandingkan dari DMARD lainnya. Dari pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia diketahui
bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini
kurang bermanfaat bagi penyakitnya.
Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat digunakan dengan aman jika
dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata,
sebenarnya hanya terjadi pada sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and Scherbel, pada penelitiannya telah dapat
menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis
kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah klorokuin fosfat 250 mg/hari atau
hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek
samping lain yang mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular, nausea, diare dan
anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa
penderita.
Sulfazalazine
Sulfasalazine (SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Nana Svartz di Swedia pada
sekitar tahun 1930. Pada mulanya obat ini digunakan untuk mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan
karena infeksi, akan tetapi setelah digunakan beberapa waktu, perhatian terhadap obat ini menurun akibat
dipublikasikannya laporan Sinclair dan Duthie mengenai pengaruh yang kurang baik pada penggunaan obat ini di
Inggris. Obat ini kemudian kembali menjadi populer setelah di publikasikannya laporan McConkey, Bird dan kawan
kawan yang meneliti kembali khasiat SASP pada penderita AR dengan metodologi penelitian yang lebih baik.
Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari,
untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai
dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang
sampai remisi sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang di kehendaki dalam 3 bulan, obat
ini dapat dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD
lainnya.
Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena mengalami nausea, mun-tah atau dispepsia.
Gangguan susunan syaraf pusat seperti pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan
pansitopenia yang reversibel telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi
kurang lebih pada 1% sampai 5% dari penderita yang menggunakan SASP. Penurunan jumlah sel spermatozoa yang
reversibel juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah dilaporkan adanya pening-katan abnormalitas foetus.
D-penicillamine
D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuhpuluhan. Walaupun demikian, karena obat ini
bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan
waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekwat, dan rentang waktu ini
dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita AR
Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300
mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai
dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus.
DP juga dapat menyebabkan trombositopenia, lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan
timbulnya proteinuria ringan yang reversible sampai pada suatu sindroma nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat
timbul adalah lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nausea, muntah,
kolestasis intrahepatik dan alopesia.
Garam emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu gold standard bagi DMARD sejak 20 tahun
terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi, walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek samping
dari yang ringan sampai yang cukup berat.
AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama
sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu,
dosis penuh diberikan sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu. Jika respons penderita belum memuaskan setelah
20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg setiap 2 minggu sampai 3
bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai
keadaan remisi yang memuaskan dapat tercapai.
Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum tulang. Efek
samping AST agaknya terjadi lebih sering pada pengemban HLA- DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan, dosis
AST dapat dikurangi atau dihentikan untuk sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian
dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.
Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak awal dekade yang lalu dan
dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan
AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang
berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST.
Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin diberikan dalam
dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari
penggunaan AST. Pada awal penggunaan auranofin, banyak penderita yang mengalami diare, yang dapat diatasi dengan
menurun- kan dosis pemeliharaan yang digunakan.
Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang banyak digunakan sejak 15 tahun
yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif lebih
pendek (3 - 4 bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja
dengan menghambat sintesis thymidine sehingga menyebab-kan hambatan pada sintesis DNA dan proliferasi selular.
Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum diketahui dengan pasti.
Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap minggu. Walaupun dosis efektif
MTX sangat bervariasi, sebagian besar penderita sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah
pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis MTX harus segera ditingkatkan.
Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang dijumpai akan
tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi
gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi
dengan mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah dengan tidak menggunakan
MTX pada penderita AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau penderita yang sebelumnya telah memiliki kelainan
hati.
Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat
mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Leucovorin diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m
2
luas permukaan
badan setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek samping MTX yang dapat membahayakan penderita.
Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya
penggunaan sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR yang progresif dan gagal di kontrol
dengan DMARD standard lainnya.
Cyclosporin - A
Cyclosporin - A (CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi dari jamur Tolypocladium inflatum Gams
pada tahun 1972. Dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR.
Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan kerusakan sendi. Kendala utama
penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi
ginjal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A
adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingiva, hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.
Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5 mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2
dosis setiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan sebesar 25% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4
mg/KgBB/hari sehingga sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74 - 150 ng/ml atau jika kadar kreatinin serum
meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal. Dosis peme-liharaan rata rata berkisar antara 4 mg/KgBB/hari. Dalam
dosis tersebut ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam beberapa outcome yang diukur.
Bridging Therapy dalam Pengobatan AR
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari)
sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan
yang bermakna kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan
sangat berguna untuk mengurangi keluhan penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.
Pengobatan AR Eksperimental
Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cara lain yang dapat dipakai untuk mengobati penderita AR,
akan tetapi karena belum dilakukan uji klinik mengenai khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut, cara
pengobatan tersebut masih bersifat eksperimental dan belum digunakan secara luas dalam pengobatan AR. Pengobatan
eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan plasmaferesis, thalidomide, J-interferon, inhibitor IL-1 dan
antibodi monoclonal.
Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR
AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolik. Walaupun
beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang terakhir berupa suplementasi asam lemak omega 3
seperti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata hasilnya tidak begitu
meyakinkan. Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar para ahli berpendapat bahwa selain untuk
mencapai berat badan ideal, agaknya modifikasi dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam
merubah riwayat alamiah penyakit ini

http://medlinux.blogspot.com/2009/02/artritis-reumatoid.html
Artritis Reumatoid
Istilah rheumatism berasal dari bahasa Yunani, rheumatismos, yang berarti mukus;
suatu cairan yang dianggap jahat, mengalir dari otak ke sendi dan struktur lain tubuh
sehingga menimbulkan rasa nyeri. Beberapa penelitian menunjukkan memang ada
perubahan struktur mucine sendi (mukopolisakarida, asam hialuronat) pada beberapa
jenis penyakit reumatik, sehingga istilah yang telah agak lama dipakai itu agaknya
masih sesuai sampai saat ini.
Setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal
disebut reumatik, termasuk penyakit jaringan ikat (penyakit kolagen). Sedangkan
istilah artritis, umumnya dipakai bila sendi merupakan tempat utama penyakit reumatik.
Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit artritis,
fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainnya yang menimbulkan nyeri somatik dan
kekakuan.
Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali memberikan
gejala yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan
agar didapatkan diagnosis yang tepat, sehingga pasien akhirnya memperolah
penatalaksanaan yang adekuat. Perlu diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat
merupakan manifestasi artikular berbagai penyakit dan sebaliknya beberapa penyakit
reumatik mempunyai manifestasi ekstra-artikular pada berbagai organ.
(1)

2.1. Definisi
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang
walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan tetapi penyakit
ini juga melibatkan seluruh organ tubuh.
7
Terlibatnya sendi pada pasien artritis
reumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat
progesifitasnya.
3
Pada umumnya selain gejala artikular, AR dapat pula menunjukkan
gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non
artikular lainnya.
7

Artritis Reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi
(sinovium) yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah.
Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel
penyebab radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago.
Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang
menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak.
2

Artritis adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan
kemerahan pada sendi. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai
artritis reumatoid yang merupakan penyakit autoimun.
14

Manifestasi tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi yang umumnya menetap
dan progresif. Mula-mula yang terserang adalah sendi kecil tangan dan kaki. Seringkali
keadaan ini mengakibatkan deformitas sendi dan gangguan fungsi disertai rasa nyeri.
16

2.2. Epidemiologi
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas
di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3
sampai 2,1 persen).
15
Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1.
7
Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita
dalam usia subur.
8

Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita.
Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang
lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan
600.000 pria.
2

2.3. Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa
faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini
terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama
kelas II, khususnya HLA-DR
4
dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR
4
memiliki
resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.
8

Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada wanita
yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal
sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian
karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan
sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor
hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.
8

Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor infeksi
sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara
mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.
Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari
jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu
komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan
terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah
bakteri, mikoplasma atau virus.
8,10

Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60 sampai 90
kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress.
Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien AR,
mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.
10

2.4. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa
imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses
oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel
sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan
HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat
oleh sel CD
4
+ bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan
membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks
trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau
makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD
4
+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi
reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD
4
+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD
4
+
akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan
menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD
4
+ ini
akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain
IL-2, CD
4
+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-
interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-
4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa
mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas
fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan
membebaskan komponen-komplemen C
5a
. Komponen-komplemen C
5a
merupakan
faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik
lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut.
Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini
dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial,
infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease
neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan
tulang.
8,10
Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi
hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi.
Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E
2
(PGE
2
) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang
terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen
antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi
sendi akan berlangsung terus.
10
Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR
kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid
adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 %
pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami
agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan
kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan
terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur
asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif
dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara
histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel
mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan
proteoglikan.
7

2.5. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid.
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena
penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan
demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan,
namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi
diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada
osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu
kurang dari 1 jam.


Gambar 1. Rheumatoid Arthritis Versus Osteoarthritis.
4

4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat
pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang
sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal
yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat
terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari
deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan
ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada
tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk
suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain
di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah
dapat rusak.
13

Tabel 2. Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid,
Revisi 1987.
5

Kriteria Definisi
1. Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan
disekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum
perbaikan maksimal
2. Artritis pada 3
daerah
Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih
efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-
kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi
oleh seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14
persendian yang memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP,
pergelangan tangan, siku pergelangan kaki dan MTP kiri
dan kanan.
3. Artritis
pada persendian
tangan
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu
persendian tangan seperti yang tertera diatas.
4. Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada
kriteria 2 pada kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP
atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak
bersifat simetris.
5. Nodul rheumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta-artrikular yang diobservasi
oleh seorang dokter.
6. Faktor rheumatoid
serum
Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang
diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif
kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.
7. Perubahan
gambaran
Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas
bagi arthritis reumotoid pada periksaan sinar X tangan
posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus
menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan
dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan).

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika
ia sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus
terdapat minimal selama 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis tidak
dieksklusikan. Pembagian diagnosis sebagai artritis reumatoid klasik, definit,
probable atau possible tidak perlu dibuat.

* PIP : Proximal Interphalangeal, MCP : Metacarpophalangeal,
MTP:Metatarsophalangeal
2.1. Manivestasi Klinis Artritis Reumatoid
Walaupun gejala AR dapat timbul berupa serangan poliartritis akut yang berkembang
cepat dalam beberapa hari, pada umumnya gejala penyakit berkembang secara
perlahan dalam masa beberapa minggu. Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi
sebagai palindromic rheumatism, yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul
yang berlangsung antara 3 sampai 5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna
sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas. Dalam keadaan ini AR juga dapat
bermanifestasi sebagai paurciarticular rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang
melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran klinis seperti ini seringkali
menyebabkan kesukaran dalam menegakkan diagnosis AR dalam masa dini.
1

2.2. Manivestasi Neurologis
Manivestasi neurologis sering terjadi pada penderita artritis reumatoid kronis dengan
faktor reumatoid positif. Sering terjadi neuropati. Neuropati kompresi atau jepitan terjadi
akibat pembengkakan jaringan ikat yang menekan saraf tepi. Paling sering terjadi
kompresi saraf medianus pada pergelangan tangan yang dikenal sebagai sindroma
terowongan karpal (CTS); carpal tunnel syndrome). Neuropati sensoris bagian distal
dengan disestesia atau rasa terbakar pada tangan atau kaki yang terjadi kadang sukar
dibedakan dengan gejala artritisnya. Jarang terjadi neuropati sensorimotor, tetapi bila
terjadi bersifat progresif dan dapat menyebabkan suatu penurunan kemampuan
penderita dalam melakukan aktivitas. Mielopati dapat terjadi pada penderita AR karena
sering terlibatnya vertebra servikalis dan menimbulkan penyempitan kanalis spinalis
pada fleksi leher setelah terjadi subluksasi atlantoaksial. Gejala akibat gangguan
sirkulasi posterior berupa vertigo dan kelemahan akibat kompresi atau trombosis arteria
vertebralis. Penderita artritis reumatoid lanjut harus mengenakan bidai leher bila
mengendarai mobil atau motor dan harus dilakukan foto leher posisi fleksi sebelum
menjalani anestesi umum. Artritis reumatoid juga dapat mengakibatkan miopati.
11

2.3. Manivestasi Artikular
Manifestasi artikular ini dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1. Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel.
2. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel.
Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena penatalaksanaan
kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya
bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau
pengobatan non-surgikal lainnya. Pada fihak lain kerusakan struktur persendian akibat
kerusakan rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak
dapat diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan
rekonstruktif.
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pagi hari.
Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada AR aktif.
Berbeda dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartritis atau kadang-
kadang oleh orang normal, kaku pagi hari pada AR berlangsung lebih lama, yang pada
umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya kaku pagi hari pada AR agaknya berhubungan
dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur serta beratnya inflamasi.
Gejala kaku pagi hari akan menghilang jika remisi dapat tercapai. Faktor lain penyebab
kaku pagi hari adalah inflamasi akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan terjadinya
imobilisasi persendian yang jika berlangsung lama akan mengurang pergerakan sendi
baik secara aktif maupun secara pasif.
1

Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan
cenderung untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomen ini terutama jelas
terlihat pada otot intrinsik tangan yang berjalan sepanjang persendian
metacarpophalangeal, (MCP) dan otot peroneus anterior yang berjalan sepanjang
persendian talonavikularis pada arkus pedis.
Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang
berhubungan dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan
menyebabkan kerusakan rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga
menyebabkan terbentuknya permukaan sendi yang tidak rata. Jika kerusakan rawan
sendi terjadi pada daerah yang luas dan imobilisasi berlangsung lama, akan terjadi fusi
tulang-tulang yang membentuk persendian. Lebih jauh pannus yang menginvasi
jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat menghancurkan
struktur persendian sehingga terjadi ankilosis.
Ligamen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan
persendian yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau
pembentukan pannus yang memiliki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligamen
atau rawan sendi. Gangguan stabilitas dapat jelas terlihat pada subluksasio persendian
MCP akibat terjadinya perubahan arah gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi
sehingga menyebabkan terbentuknya deviasi ulnar yang khas dan AR.
1

Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas persendian berlaku bagi
semua persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang berhubungan dengan sendi
tertentu.
Vertebra Servikalis
Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis
merupakan segmen yang sering terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan
persendian diartrodial yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala dini AR
pada Vertebra servikalis umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh
segmen leher disertai dengan berkurangnya lingkup gerak sendi secara
menyeluruh.
1
Tenosinovitis ligamen transversum C
1
yang mempertahankan kedudukan
prosesus odontoid C
2
dapat menyebabkan timbulnya gangguan stabilitas C
1
-
C
2.
Mielopati dapat timbul akibat terjadinya erosi prosesus odontoin yang menyebabkan
pengenduran dan ruptura ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada medulla
spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan pada permukaan
sendi apofiseal dan pengenduran ligamen juga dapat menyebabkan terjadinya
subluksasio yang sering dijumpai pada C
4
-C
5
atau C
5
-C
6.

Gelang Bahu
Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu.
Karena dalam aktivitas sehari-hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang
luas, umumnya pada keadaan dini pasien tidak merasa terganggu dengan keterbatasan
tersebu. Walaupun demikian, tanpa latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan
gelang bahu yang berat yang disebut sebagai frozen shoulder syndrome.
Siku
Karena terletak superfisial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh
pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris sehingga
menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia jari
4 dan 5 akan kelemahan otot fleksor jari 5

Gambar 2. Arthritis, Rheumatoid. Rheumatoid nodules at the elbow.
Photograph by David Effron MD, FACEP.
17

Tangan
Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang dijumpai,
keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir selalu dijumpai pada
AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP, heperekstensi PIP
dan fleksi DIP serta boutonniere akibat fleksi PIP dan hiperekstensi DIP dapat terjadi
akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan interoseus merupakan deformitas
patognomonik yang banyak dijumpai pada AR
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri
atau disfungsi persendian akibat penekana nervus medianus yang terperangkap dalam
rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel
syndrome. Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam kanal Guyon dapat
pula mengalami penekanan dengan mekanisme yang sama.
AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis akibat pembentukan nodul
reumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat menghambat gerakan tendon dalam
sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan terjadinya erosi tendon dan
mengakibatkan terjadinya ruptur tendon yang terlibat.

Gambar 3. Arthritis, Rheumatoid. Rheumatoid changes in the hand.
Photograph by David Effron MD, FACEP.
17

Panggul
Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat AR
umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi
panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau
gangguan ringan pada kegiatan tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun
demikian, jika destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan
berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.
Lutut
Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan.
Herniasi kapsul sendi kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.
Kaki dan Pergelangan Kaki
Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan
gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan
struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan disfungsi dan
rasa nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan keterlibatan ekstremitas atas.
Peradangan pada sendi talonavikularis akan menyebabkan spasme otot yang
berdekatan sehingga menimbulkan deformitas berupa pronasio dan eversio kaki yang
khas pada AR. Walaupun jarang, nervue tibialis posterior dapat pula mengalami
penekanan akibat sinovitis pada rongga tarsalis (tarsal tunnel) yang dapat menimbulkan
gejala parestesia pada telapak kaki.
2.4. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs,
DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis
reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar
dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan
dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat
vaskulitis.
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong
bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan
laboraturium terdapat:
1. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru,
sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan
sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada
awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular.
Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
2.6. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan
adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan
keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan
yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap
berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.
6

1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan
dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap
berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan
0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30
mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi
akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian.
Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan
berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat
oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan,
atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin
fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis
harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea,
diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500
mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah
remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka
panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat
khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek
sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300
mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam
kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular,
dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul
dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu
selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2
minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu
sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering
ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4
bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20
mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis
reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi
berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping
yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari)
sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum
DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan
suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya,
infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.
3

4. Riwayat Penyakit alamiah
Riwayat penyakit alamiah AR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan
mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu
episode AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain
sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya
diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil
lainnya akan menderita AR yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas
fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.
12

Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang digunakan
saat ini, sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan dapat
mempertahankannya dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun
waktu tersebut, umumnya pasien akan mulai merasakan bahwa remisi mulai sukar
dipertahankan dengan pengobatan yang biasa digunakan selama itu. Hal ini mungkin
disebabkan karena pasien sukar mempertahankan ketaatannya untuk terus berobat
dalam jangka waktu yang lama, timbulnya efek samping jangka panjang kortikosteroid.
Khasiat DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena timbulnya
penyakit lain yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini masih
merupakan persoalan yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini belum berhasil
dijumpai obat yang bersifat sebagaidisease controlling antirheumatic therapy (DC-
ART).
9

5. Rehabilitasi pasien AR
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR
dengan cara:
1

Mengurangi rasa nyeri
Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
Mencegah terjadinya deformitas
Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan
sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti
pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat
terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah
satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.
7

6. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan
yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada
pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip
replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
2.7. Artritis Reumatoid Juvenilis
Anak-anak dapat terkena AR seperti orang dewasa. Di Amerika Serikat 13,9/ 100.000.
Terdapat tiga subtipe AR juvenilis bila dipandang dari awitan gejalanya.
Awitan sistemik (penyakit still) mengenai sekitar 20% dari semua kasus. Anak laki-laki
dan perempuan terserang dalam jumlah yang sebanding. Bentuk ini dapat terjadi pada
setiap usia. Sesuai dengan namanya penyakit ini melibatkan berbagai sistem organ,
namun disamping itu juga mengakibatklan poliartritis klinik. Subtipe ini memiliki
prognosis terburuk dari antara ketiga tipe dan dapat menyebabkan keterlambatan
dalam pertumbuhan.
Awitan poliartikular bertanggung jawab atas sekitar 40% dari semua kasus. Anak
perempuan diserang dengan rasio 2:1 bila dibandingkan dengan anak laki-laki, dan
bentuk ini juga dapat terjadi pada semua umur. Lima atau lebih sendi terserang pada
saat yang bersamaan tetapi biasanya hanya mengkibatkan kelainan ekstra artikular
yang tidak berat. Bentuk ini memiliki prognosis yang lebih baik daripada awitan
sistemik, tetapi dapat juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.
Awitan pausiartikular bertanggung jawab atas kira-kira 40 dari semua kasus. Anak
perempuan yang diserang dengan rasio 6:1 bila dibandingkan dengan laki-laki. Bentuk
ini biasanya terjadi sebelum usia 6 tahun. Tidak lebih dari 4 sendi akan diserang, dan
biasanya tidak ada atau jarang terjadi kelainan ekstra-artikular. Bentuk ini memiliki
prognosis yang paling baik dari ketiga bentuk.
Penatalaksanaan artritis reumatoid juvenilis serupa dengan penatalaksanaan penyakit
ini pada orang dewasa, tetapi ada beberapa perbedaan penting. Beberapa obat yang
dipakai untuk orang dewasa tidak boleh diberikan pada anak-anak. Kortikosteroid
sistemik dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan, osteoporosis dan katarik.
Beberapa obat imunosupresif dapat menekan fungsi sumsum tulang, sterilitas, dan
keganasan pada anak-anak.
13

http://www.g-excess.com/id/definisi-artritis-reumatoid.html
Definisi Artritis Reumatoid
Penyakit artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit sistemik yang bersifat progresif, yang
mengenai jaringan lunak dan cenderung untuk menjadi kronis. Jadi, sebenarnya terlibatnya sendi
pada penderita-penderita penyakit AR ini pada tahap berikutnya setelah penyakit ini berkembang
lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya. Penyakit ini disebabkan karena adanya
inflamasi dari membran sinovial dari sendi diartroidial.Artritis rematoid adalah suatu penyakit
autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan
kerusakan bagian dalam sendi. Artritis reumatoid juga bisa menyebabkan sejumlah gejala di
seluruh tubuh. Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari jumlah penduduk, dan wanita 2-3 kali
lebih sering dibandingkan pria. Biasanya pertama kali muncul pada usia 25-50 tahun, tetapi bisa
terjadi pada usia berapapun.
Etiologi
Artritis reumatoid ini merupakan bentuk artritis yang serius, disebabkan oleh peradangan kronis
yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian. Ditandai dengan sakit dan bengkak pada
sendi-sendi terutama pada jari-jari tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut.
Penyebab artritis reumatoidmasih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai
patogenesisnya telah terungkap. Penyakit ini tidak dapat ditunjukkan memiliki hubungan pasti
dengan genetik. Terdapat kaitan dengan penanda genetik seperti HLA-DW4 (Human
Leukocyte Antigens) dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia. Namun pada orang Amerika, Afrika,
Jepang, dan Indian Chippewa hanya ditentukan kaitan dengan HLA-DW4. Destruksi jaringan
sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi, protease,
kolagenase, dan enzim hidrolitik lainnya. Enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon, dan
tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama sama dengan radikal O2 dan metabolit asam
arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian
dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal Destruksi jaringan juga
terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi atau vaskuler yang
terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Di sepanjang pinggir
panus terjadi destruksi, kolagen, dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam
panus tersebut
http://nursingbegin.com/askep-artritis-reumatoid/
Pengertian Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid (Rheumatoid arthritis) is a chronic inflammatory disease with primary manifestation
poliartritis progressive and involve all the organs, jadi merupakan suatu penyakit inflamasi kronik dengan
manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. (Arif Mansjour. 2001)
Artritis reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi
sistemik kronik yang tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membran
sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas. (Doenges, E Marilynn, 2000
: hal 859)
Artritis reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis
progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.(Kapita Selekta Kedokteran, 2001 : hal 536)
Artritis Reumatoid adalah gangguan autoimun kronik yang menyebabkan proses inflamasi pada sendi (Lemone &
Burke, 2001 : 1248).
Penyakit reumatik adalah penyakit inflamasi non- bakterial yang bersifat sistemik, progesif, cenderung kronik
dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris. ( Rasjad Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah
Orthopedi, hal. 165 )
Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarekteristikan
dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas
lebih lanjut.(Susan Martin Tucker.1998)
Penyebab / Etiologi Artritis Reumatoid

Penyebab utama penyakit reumatik masih belum diketahui secara pasti. Biasanya merupakan kombinasi dari
faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah
faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma dan virus (Lemone & Burke, 2001).
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu:
1. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
2. Endokrin
3. Autoimmun
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi
terhadap kolagen tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme mikroplasma atau
grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
Epidemiologi Artritis Reumatoid

Penyakit artritis rematoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar diseluruh dunia serta
melibatkan semua ras dan kelompok etnik. Artritis rheumatoid sering dijumpai pada wanita, dengan
perbandingan wanita denga pria sebesar 3: 1. kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan
sering dijumpai remisi pada wanita yang sedang hamil, hal ini menimbulkan dugaan terdapatnya faktor
keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini.
Manifestasi Klinik Artritis Reumatoid

Ada beberapa gambaran / manifestasi klinik yang ditemukan pada penderita reumatik. Gambaran klinik ini
tidak harus muncul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinik yang
sangat bervariasi.
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, kurang nafsu makan, berat badan menurun dan demam.
b. Poliartritis simetris (peradangan sendi pada sisi kiri dan kanan) terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-
sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi antara jari-jari tangan dan kaki. Hampir semua
sendi diartrodial (sendi yang dapat digerakan dengan bebas) dapat terserang.
c. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam, dapat bersifat umum tetapi terutama menyerang sendi-sendi.
Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis (peradangan tulang dan sendi), yang biasanya
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selama kurang dari 1 jam.
d. Artritis erosif merupakan merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang
kronik mengakibatkan pengikisan ditepi tulang .
e. Deformitas : kerusakan dari struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau
deviasi jari, pergeseran sendi pada tulang telapak tangan dan jari, deformitas boutonniere dan leher angsa
adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. . Pada kaki terdapat tonjolan kaput
metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
f. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa
penderita rematik. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian tonjolan) ini dapat juga timbul pada tempat-
tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih
berat.
g. Manifestasi ekstra-artikular (diluar sendi): reumatik juga dapat menyerang organ-organ lain diluar sendi.
Seperti mata: Kerato konjungtivitis, sistem cardiovaskuler dapat menyerupai perikarditis konstriktif yang berat,
lesi inflamatif yang menyerupai nodul rheumatoid dapat dijumpai pada myocardium dan katup jantung, lesi ini
dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomena embolissasi, gangguan konduksi dan kardiomiopati.
Patofisiologi Artritis Reumatoid
Membran syinovial pada pasien reumatoid artritis mengalami hiperplasia, peningkatan vaskulariasi, dan ilfiltrasi
sel-sel pencetus inflamasi, terutama sel T CD4+. Sel T CD4+ ini sangat berperan dalam respon immun. Pada
penelitian terbaru di bidang genetik, reumatoid artritis sangat berhubungan dengan major-histocompatibility-
complex class II antigen HLA-DRB1*0404 dan DRB1*0401. Fungsi utama dari molekul HLA class II adalah untuk
mempresentasikan antigenic peptide kepada CD4+ sel T yang menujukkan bahwa reumatoid artritis disebabkan
oleh arthritogenic yang belim teridentifikasi. Antigen ini bisa berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau
protein antigen endogen. Baru-baru ini sejumlah antigen endogen telah teridentifikasi, seperti citrullinated
protein dan human cartilage glycoprotein 39.

Patofisiologi Artritis Reumatoid
Antigen mengaktivasi CD4+ sel T yang menstimulasi monosit, makrofag dan syinovial fibroblas untuk
memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF- untuk mensekresikan matrik metaloproteinase melalui
hubungan antar sel dengan bantuan CD69 dan CD11 melalui pelepasan mediator-mediator pelarut seperti
interferon- dan interleukin-17. Interleukin-1, interlukin-6 dan TNF- merupakan kunci terjadinya inflamasi
pada rheumatoid arthritis.
Arktifasi CD4+ sel T juga menstimulasi sel B melalui kontak sel secara langsung dan ikatan dengan
12 integrin, CD40 ligan dan CD28 untuk memproduksi immunoglobulin meliputi rheumatoid faktor.
Sebenarnya fungsi dari rhumetoid faktor ini dalam proses patogenesis reumatoid artritis tidaklah diketahui
secara pasti, tapi kemungkinan besar reumatoid faktor mengaktiflkan berbagai komplemen melalui
pembentukan immun kompleks.aktifasi CD4+ sel T juga mengekspresikan osteoclastogenesis yang secara
keseluruhan ini menyebabkan gangguan sendi. Aktifasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga menstimulasi
angiogenesis sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada synovial penderita reumatoid
artritis.
Komplikasi Artritis Reumatoid
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi
utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit ( disease
modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada
arthritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler
dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan
neuropati iskemik akibat vaskulitis.
Diagnostik Artritis Reumatoid

Kriteria diagnostik artritis reumatoid adalah terdapat poli- arthritis yang simetris yang mengenai sendi-sendi
proksimal jari tangan dan kaki serta menetap sekurang-kurangnya 6 minggu atau lebih bila ditemukan nodul
subkutan atau gambaran erosi peri-artikuler pada foto rontgen.
Kriteria artritis rematoid menurut American reumatism Association ( ARA ) adalah:
1. Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari ( Morning Stiffness ).
2. Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi.
3. Pembengkakan ( oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan ) pada salah satu sendi secara terus-
menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
4. Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain.
5. Pembengkakan sendi yanmg bersifat simetris.
6. Nodul subcutan pada daerah tonjolan tulang didaerah ekstensor.
7. Gambaran foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid
8. Uji aglutinnasi faktor rheumatoid
9. Pengendapan cairan musin yang jelek
10. Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovia
11. Gambaran histologik yang khas pada nodul.
Berdasarkan kriteria ini maka disebut :
Klasik : bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu
Definitif : bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
Kemungkinan rheumatoid : bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 4 minggu.
Penatalaksanaan / Perawatan Artritis Reumatoid

Oleh karena kausa pasti arthritis reumatoid tidak diketahui maka tidak ada pengobatan kausatif yang dapat
menyembuhkan penyakit ini. Hal ini harus benar-benar dijelaskan kepada penderita sehingga tahu bahwa
pengobatan yang diberikan bertujuan mengurangi keluhan/ gejala memperlambat progresifvtas penyakit.
Tujuan utama dari program penatalaksanaan/ perawatan adalah sebagai berikut :
Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan
Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita
Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi
Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.
Ada sejumlah cara penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas,
yaitu :
a. Pendidikan
Langkah pertama dari program penatalaksanaan ini adalah memberikan pendidikan yang cukup tentang
penyakit kepada penderita, keluarganya dan siapa saja yang berhubungan dengan penderita. Pendidikan yang
diberikan meliputi pengertian, patofisiologi (perjalanan penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan
(prognosis) penyakit ini, semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks,
sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif tentang penatalaksanaan yang
diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus.
b. Istirahat
Merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa lelah yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut
dapat saja timbul setiap hari, tetapi ada masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita
harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat.
c. Latihan Fisik dan Termoterapi
Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan
pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk menghilangkan nyeri perlu diberikan
sebelum memulai latihan. Kompres hangatpada sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri.
Mandi parafin dengan suhu yang bisa diatur serta mandi dengan suhu panas dan dingin dapat dilakukan di
rumah. Latihan dan termoterapi ini paling baik diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan
khusus, seperti ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang berlebihan dapat merusak struktur penunjang
sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
d. Diet/ Gizi
Penderita Reumatik tidak memerlukan diet khusus. Ada sejumlah cara pemberian diet dengan variasi yang
bermacam-macam, tetapi kesemuanya belum terbukti kebenarannya. Prinsip umum untuk memperoleh diet
seimbang adalah penting.
e. Obat-obatan
Pemberian obat adalah bagian yang penting dari seluruh program penatalaksanaan penyakit reumatik. Obat-
obatan yang dipakai untuk mengurangi nyeri, meredakan peradangan dan untuk mencoba mengubah perjalanan
penyakit.
Konsep Keperawatan Artritis Reumatoid

Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung padwa keparahan dan keterlibatan organ-organ lainnya ( misalnya
mata, jantung, paru-paru, ginjal ), tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama
bentuk-bentuk arthritis lainnya.
1. Aktivitas/ istirahat
Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres pada sendi; kekakuan pada pagi hari,
biasanya terjadi bilateral dan simetris.
Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan, keletihan.
Tanda : Malaise
Keterbatasan rentang gerak; atrofi otot, kulit, kontraktur/ kelaianan pada sendi.
2. Kardiovaskuler
Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( pucat intermitten, sianosis, kemudian kemerahan pada jari
sebelum warna kembali normal).
3. Integritas ego
Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial, pekerjaan, ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan.
Keputusan dan ketidakberdayaan ( situasi ketidakmampuan )
Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya ketergantungan pada orang lain).
4. Makanan/ cairan
Gejala ; Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat: mual, anoreksia
Kesulitan untuk mengunyah ( keterlibatan TMJ )
Tanda : Penurunan berat badan
Kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi. Ketergantungan
6. Neurosensori
Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
Gejala : Pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan lunak pada sendi ).
8. Keamanan
Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus.
Lesi kulit, ulkus kaki.
Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga.
Demam ringan menetap
Kekeringan pada meta dan membran mukosa.
9. Interaksi sosial
Gejala : Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain; perubahan peran; isolasi.
10. Penyuluhan/ pembelajaran
Gajala : Riwayat AR pada keluarga ( pada awitan remaja )
Penggunaan makanan kesehatan, vitamin, penyembuhan arthritis tanpa pengujian.
Riwayat perikarditis, lesi katup, fibrosis pulmonal, pleuritis.
Pertimbangan : DRG Menunjukkan rerata lama dirawat : 4,8 hari.
Rencana Pemulanagan: Mungkin membutuhkan bantuan pada transportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas/
pemeliharaan rumah tangga.
Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid

Faktor Reumatoid : positif pada 80-95% kasus.
Fiksasi lateks: Positif pada 75 % dari kasus-kasus khas.
Reaksi-reaksi aglutinasi : Positif pada lebih dari 50% kasus-kasus khas.
LED : Umumnya meningkat pesat ( 80-100 mm/h) mungkin kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat
Protein C-reaktif: positif selama masa eksaserbasi.
SDP: Meningkat pada waktu timbul proses inflamasi.
JDL : umumnya menunjukkan anemia sedang.
Ig ( Ig M dan Ig G); peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebagai penyebab AR.
Sinar x dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis
dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak
sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
Scan radionuklida : identifikasi peradangan sinovium
Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi tulang pada sendi
Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal: buram, berkabut,
munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit,
penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).
Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
Prioritas Keperawatan
1. Menghilangkan nyeri
2. Meningkatkan mobilitas.
3. Meningkatkan monsep diri yang positif
4. mendukung kemandirian
5. Memberikan informasi mengenai proses penyakit/ prognosis dan keperluan pengobatan.

Tujuan Pemulangan
1. Nyeri hilang/ terkontrol
2. Pasien menghadapi saat ini dengan realistis
3. Pasien dapat menangani AKS sendiri/ dengan bantuan sesuai kebutuhan.
4. Proses/ prognosis penyakit dan aturan terapeutik dipahami.
Pohon Masalah

Diagnosa Keperawatan Artritis Reumatoid

1. Nyeri Akut/ Kronis
Dapat dihubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi,
destruksi sendi.
Dapat dibuktikan oleh : Keluhan nyeri,ketidaknyamanan, kelelahan.
Berfokus pada diri sendiri/ penyempitan fokus
Perilaku distraksi/ respons autonomic
Perilaku yang bersifart ahti-hati/ melindungi
Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi pasien akan:
Menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol
Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan.
Mengikuti program farmakologis yang diresepkan
Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam program kontrol nyeri.

Intervensi dan Rasional:
a. Selidiki keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0-10). Catat faktor-faktor yang mempercepat dan
tanda-tanda rasa sakit non verbal (R/ Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan
keefektifan program)
b. Berikan matras/ kasur keras, bantal kecil,. Tinggikan linen tempat tidur sesuai kebutuhan (R/Matras yang
lembut/ empuk, bantal yang besar akan mencegah pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan
stress pada sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang
terinflamasi/nyeri)
c. Tempatkan/ pantau penggunaan bantl, karung pasir, gulungan trokhanter, bebat, brace. (R/ Mengistirahatkan
sendi-sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral. Penggunaan brace dapat menurunkan nyeri dan
dapat mengurangi kerusakan pada sendi)
d. Dorong untuk sering mengubah posisi,. Bantu untuk bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas
dan bawah, hindari gerakan yang menyentak. (R/ Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi.
Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/ rasa sakit pada sendi)
e. Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada waktu bangun dan/atau pada waktu tidur.
Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air
kompres, air mandi, dan sebagainya. (R/ Panas meningkatkan relaksasi otot, dan mobilitas, menurunkan rasa
sakit dan melepaskan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat
disembuhkan)
f. Berikan masase yang lembut (R/meningkatkan relaksasi/ mengurangi nyeri)
g. Dorong penggunaan teknik manajemen stres, misalnya relaksasi progresif,sentuhan terapeutik, biofeed back,
visualisasi, pedoman imajinasi, hypnosis diri, dan pengendalian napas. (R/ Meningkatkan relaksasi, memberikan
rasa kontrol dan mungkin meningkatkan kemampuan koping)Libatkan dalam aktivitas hiburan yang sesuai untuk
situasi individu. (R/ Memfokuskan kembali perhatian, memberikan stimulasi, dan meningkatkan rasa percaya diri
dan perasaan sehat)
h. Beri obat sebelum aktivitas/ latihan yang direncanakan sesuai petunjuk. (R/ Meningkatkan realaksasi,
mengurangi tegangan otot/ spasme, memudahkan untuk ikut serta dalam terapi)
i. Kolaborasi: Berikan obat-obatan sesuai petunjuk (mis:asetil salisilat) (R/ sebagai anti inflamasi dan efek
analgesik ringan dalam mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas.)
j. Berikan es kompres dingin jika dibutuhkan (R/ Rasa dingin dapat menghilangkan nyeri dan bengkak selama
periode akut)
2. Mobilitas Fisik,M Kerusakan
Dapat dihubungkan dengan : Deformitas skeletal
Nyeri, ketidaknyamanan
Intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.
Dapat dibuktikan oleh : Keengganan untuk mencoba bergerak/ ketidakmampuan untuk dengan sendiri bergerak
dalam lingkungan fisik.
Membatasi rentang gerak, ketidakseimbangan koordinasi, penurunan kekuatan otot/ kontrol dan massa ( tahap
lanjut ).
Hasil yangdihapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/ pembatasan kontraktur.
Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/ atau konpensasi bagian tubuh.
Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas
Intervensi dan Rasional:
a. Evaluasi/ lanjutkan pemantauan tingkat inflamasi/ rasa sakit pada sendi (R/ Tingkat aktivitas/ latihan
tergantung dari perkembangan/ resolusi dari peoses inflamasi)
b. Pertahankan istirahat tirah baring/ duduk jika diperlukan jadwal aktivitas untuk memberikan periode istirahat
yang terus menerus dan tidur malam hari yang tidak terganmggu.(R/ Istirahat sistemik dianjurkan selama
eksaserbasi akut dan seluruh fase penyakit yang penting untuk mencegah kelelahan mempertahankan kekuatan)
c. Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif, demikiqan juga latihan resistif dan isometris jika memungkinkan (R/
Mempertahankan/ meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina umum. Catatan : latihan tidak adekuat
menimbulkan kekakuan sendi, karenanya aktivitas yang berlebihan dapat merusak sendi)
d. Ubah posisi dengan sering dengan jumlah personel cukup. Demonstrasikan/ bantu tehnik pemindahan dan
penggunaan bantuan mobilitas, mis, trapeze (R/ Menghilangkan tekanan pada jaringan dan meningkatkan
sirkulasi. Memepermudah perawatan diri dan kemandirian pasien. Tehnik pemindahan yang tepat dapat
mencegah robekan abrasi kulit)
e. Posisikan dengan bantal, kantung pasir, gulungan trokanter, bebat, brace (R/ Meningkatkan stabilitas (
mengurangi resiko cidera ) dan memerptahankan posisi sendi yang diperlukan dan kesejajaran tubuh,
mengurangi kontraktor)
f. Gunakan bantal kecil/tipis di bawah leher. (R/ Mencegah fleksi leher)
g. Dorong pasien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri, dan berjalan (R/ Memaksimalkan
fungsi sendi dan mempertahankan mobilitas)
h. Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikkan kursi, menggunakan pegangan tangga pada toilet,
penggunaan kursi roda. (R/ Menghindari cidera akibat kecelakaan/ jatuh)
i. Kolaborasi: konsul dengan fisoterapi. (R/ Berguna dalam memformulasikan program latihan/ aktivitas yang
berdasarkan pada kebutuhan individual dan dalam mengidentifikasikan alat)
j. Kolaborasi: Berikan matras busa/ pengubah tekanan. (R/ Menurunkan tekanan pada jaringan yang mudah
pecah untuk mengurangi risiko imobilitas)
k. Kolaborasi: berikan obat-obatan sesuai indikasi (steroid). (R/ Mungkin dibutuhkan untuk menekan sistem
inflamasi akut)
3. Gangguan Citra Tubuh/ Perubahan Penampilan Peran
Dapat dihubungkan dengan : Perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas umum, peningkatan
penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas.
Dapat dibuktikan oleh : Perubahan fungsi dari bagian-bagian yang sakit.
Bicara negatif tentang diri sendiri, fokus pada kekuatan masa lalu, dan penampilan.
Perubahan pada gaya hidup/ kemapuan fisik untuk melanjutkan peran, kehilangan pekerjaan, ketergantungan
p[ada orang terdekat.
Perubahan pada keterlibatan sosial; rasa terisolasi.
Perasaan tidak berdaya, putus asa.
Hasil yangdihapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan pada
gaya hidup, dan kemungkinan keterbatasan.
Menyusun rencana realistis untuk masa depan.
Intervensi dan Rasional:
a. Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit, harapan masa depan. (R/Berikan
kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut/ kesalahan konsep dan menghadapinya secara langsung)
b. Diskeusikan arti dari kehilangan/ perubahan pada pasien/orang terdekat. Memastikan bagaimana
pandangaqn pribadi pasien dalam memfungsikan gaya hidup sehari-hari, termasuk aspek-aspek seksual.
(R/Mengidentifikasi bagaimana penyakit mempengaruhi persepsi diri dan interaksi dengan orang lain akan
menentukan kebutuhan terhadap intervensi/ konseling lebih lanjut)
c. Diskusikan persepsi pasienmengenai bagaimana orang terdekat menerima keterbatasan. (R/ Isyarat
verbal/non verbal orang terdekat dapat mempunyai pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang
dirinya sendiri)
d. Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan, ketergantungan. (R/ Nyeri konstan akan melelahkan, dan
perasaan marah dan bermusuhan umum terjadi)
e. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau terlalu memperhatikan perubahan. (R/ Dapat
menunjukkan emosional ataupun metode koping maladaptive, membutuhkan intervensi lebih lanjut)
f. Susun batasan pada perilaku mal adaptif. Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positif yang dapat
membantu koping. (R/ Membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri, yang dapat meningkatkan
perasaan harga diri)
g. Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perawatan dan membuat jadwal aktivitas. (Meningkatkan perasaan
harga diri, mendorong kemandirian, dan mendorong berpartisipasi dalam terapi)
h. Bantu dalam kebutuhan perawatan yang diperlukan.(R/ Mempertahankan penampilan yang dapat
meningkatkan citra diri)
i. Berikan bantuan positif bila perlu. (R/ Memungkinkan pasien untuk merasa senang terhadap dirinya sendiri.
Menguatkan perilaku positif. Meningkatkan rasa percaya diri)
j. Kolaborasi: Rujuk pada konseling psikiatri, mis: perawat spesialis psikiatri, psikolog. (R/ Pasien/orang terdekat
mungkin membutuhkan dukungan selama berhadapan dengan proses jangka panjang/ ketidakmampuan)
k. Kolaborasi: Berikan obat-obatan sesuai petunjuk, mis; anti ansietas dan obat-obatan peningkat alam
perasaan. (R/ Mungkin dibutuhkan pada sat munculnya depresi hebat sampai pasien mengembangkan
kemapuan koping yang lebih efektif)
4. Kurang Perawatan Diri
Dapat dihubungkan dengan : Kerusakan muskuloskeletal; penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu
bergerak, depresi.
Dapat dibuktikan oleh : Ketidakmampuan untuk mengatur kegiatan sehari-hari.

Hasil yangdihapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan kemampuan individual.
Mendemonstrasikan perubahan teknik/ gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/ komunitas yang dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri.

Intervensi dan Rasional:
a. Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) sebelum timbul awitan/ eksaserbasi penyakit dan potensial perubahan
yang sekarang diantisipasi. (R/ Mungkin dapat melanjutkan aktivitas umum dengan melakukan adaptasi yang
diperlukan pada keterbatasan saat ini).
b. Pertakhankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan. (R/ Mendukung kemandirian
fisik/emosional)
c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi /rencana untuk modifikasi lingkungan.
(R/ Menyiapkan untuk meningkatkan kemandirian, yang akan meningkatkan harga diri)
d. Kolaborasi: Konsul dengan ahli terapi okupasi. (R/ Berguna untuk menentukan alat bantu untuk memenuhi
kebutuhan individual. Mis; memasang kancing, menggunakan alat bantu memakai sepatu, menggantungkan
pegangan untuk mandi pancuran)
e. Kolaborasi: Atur evaluasi kesehatan di rumah sebelum pemulangan dengan evaluasi setelahnya. (R/
Mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi karena tingkat kemampuan aktual)
f. Kolaborasi : atur konsul dengan lembaga lainnya, mis: pelayanan perawatan rumah, ahli nutrisi. (R/ Mungkin
membutuhkan berbagai bantuan tambahan untuk persiapan situasi di rumah)
5. Penatalaksanaan Pemeliharaan Rumah, Keruasakan, Resiko Tinggi Terhadap
Faktor risiko meliputi : Proses penyakit degeneratif jangka panjang, sistem pendukung tidak adekuat.
Dapat dibuktikan oleh : (Tidak dapat diterapkan; adanya tanda dan gejala membuat diagnosa menjadi aktual)
Hasil yang dihapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
Mempertahankan keamanan, lingkungan yang meningkatkan pertumbuhan.
Mendemonstrasikan penggunaan sumber-sumber yang efektif dan tepat.
Intervensi dan Rasional:
a. Kaji tingkat fungsi fisik (R/ Mengidentifikasi bantuan/ dukungan yang diperlukan)
b. Evaluasi lingkungan untuk mengkaji kemampuan dalam perawatan untuk diri sendiri. (R/ Menentukan
kemungkinan susunan yang ada/ perubahan susunan rumah untuk memenuhi kebutuhan individu)
c. Tentukan sumber-sumber finansial untuk memenuhi kebutuhan situasi individual. Identifikasi sistem
pendukung yang tersedia untuk pasien, mis: membagi tugas-tugas rumah tangga antara anggota keluarga. (R/
Menjamin bahwa kebutuhan akan dipenuhi secara terus-menerus)
d. Identifikasi untuk peralatan yang diperlukan, mis: lift, peninggian dudukan toilet. (R/ Memberikan
kesempatan untuk mendapatkan peralatan sebelum pulang)
e. Kolaborasi: Koordinasikan evaluasi di rumah dengan ahli terapi okupasi. (R/ Bermanfaat untuk
mengidentifikasi peralatan, cara-cara untuk mengubah tugas-tugas untuk mengubah tugas-tugas untuk
mempertahankan kemandirian)
f. Kolaborasi: Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis: pelayanan pembantu rumah tangga bila ada. (R/
Memberikan kemudahan berpindah pada/mendukung kontinuitas dalam situasi rumah).
6. Kurang Pengetahuan ( Kebutuhan Belajar ), Mengenai Penyakit, Prognosis, Dan Kebutuhan Pengobatan.
Dapat dihubungkan dengan : Kurangnya pemajanan/ mengingat.
Kesalahan interpretasi informasi.
Dapat dibuktikan oleh : Pertanyaan/ permintaan informasi, pernyataan kesalahan konsep.
Tidak tepat mengikuti instruksi/ terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
Hasil yangdihapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
Menunjukkan pemahaman tentang kondisi/ prognosis, perawatan.
Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi gaya hidup yang konsisten dengan
mobilitas dan atau pembatasan aktivitas.

Intervensi dan Rasional:
a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan. (R/ Memberikan pengetahuan dimana pasien
dapat membuat pilihan berdasarkan informasi)
b. Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit melalui diet,obat-obatan, dan program diet
seimbang, l;atihan dan istirahat.(R/ Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi sendiri/ jaringan
lain untuk mempertahankan fungsi sendi dan mencegah deformitas)
c. Bantu dalam merencanakan jadwal aktivitas terintegrasi yang realistis,istirahat, perawatan pribadi, pemberian
obat-obatan, terapi fisik, dan manajemen stres. (R/ Memberikan struktur dan mengurangi ansietas pada waktu
menangani proses penyakit kronis kompleks)
d. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakoterapeutik. (R/ Keuntungan dari terapi obat-obatan
tergantung pada ketepatan dosis)
e. Anjurkan mencerna obat-obatan dengan makanan, susu, atau antasida pada waktu tidur. (R/ Membatasi
irigasi gaster, pengurangan nyeri pada HS akan meningkatkan tidur dan m,engurangi kekakuan di pagi hari)
f. Identifikasi efek samping obat-obatan yang merugikan, mis: tinitus, perdarahan gastrointestinal, dan ruam
purpuruik. (R/ Memperpanjang dan memaksimalkan dosis aspirin dapat mengakibatkan takar lajak. Tinitus
umumnya mengindikasikan kadar terapeutik darah yang tinggi)
g. Tekankan pentingnya membaca label produk dan mengurangi penggunaan obat-obat yang dijual bebas tanpa
persetujuan dokter. (R/ Banyak produk mengandung salisilat tersembunyi yang dapat meningkatkan risiko takar
layak obat/ efek samping yang berbahaya)
h. Tinjau pentingnya diet yang seimbang dengan makanan yang banyak mengandung vitamin, protein dan zat
besi. (R/ Meningkatkan perasaan sehat umum dan perbaikan jaringan)
i. Dorong pasien obesitas untuk menurunkan berat badan dan berikan informasi penurunan berat badan sesuai
kebutuhan. (R/ Pengurangan berat badan akan mengurangi tekanan pada sendi, terutama pinggul, lutut,
pergelangan kaki, telapak kaki)
j. Berikan informasi mengenai alat bantu (R/ Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan
memungkinkan individu untuk ikut serta secara lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan)
k. Diskusikan tekinik menghemat energi, mis: duduk daripada berdiri untuk mempersiapkan makanan dan
mandi (R/ Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan diri, dan kemandirian)
l. Dorong mempertahankan posisi tubuh yang benar baik pada sat istirahat maupun pada waktu melakukan
aktivitas, misalnya menjaga agar sendi tetap meregang , tidak fleksi, menggunakan bebat untuk periode yang
ditentukan, menempatkan tangan dekat pada pusat tubuh selama menggunakan, dan bergeser daripada
mengangkat benda jika memungkinkan. ( R: mekanika tubuh yang baik harus menjadi bagian dari gaya hidup
pasien untuk mengurangi tekanan sendi dan nyeri ).
m. Tinjau perlunya inspeksi sering pada kulit dan perawatan kulit lainnya dibawah bebat, gips, alat penyokong.
Tunjukkan pemberian bantalan yang tepat. ( R: mengurangi resiko iritasi/ kerusakan kulit )
n. Diskusikan pentingnya obat obatan lanjutan/ pemeriksaan laboratorium, mis: LED, Kadar salisilat, PT. ( R;
Terapi obat obatan membutuhkan pengkajian/ perbaikan yang terus menerus untuk menjamin efek optimal dan
mencegah takar lajak, efek samping yang berbahaya.
o. Berikan konseling seksual sesuai kebutuhan ( R: Informasi mengenai posisi-posisi yang berbeda dan tehnik
atau pilihan lain untuk pemenuhan seksual mungkin dapat meningkatkan hubungan pribadi dan perasaan harga
diri/ percaya diri.).
p. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis: yayasan arthritis ( bila ada). (R: bantuan/ dukungan dari oranmg
lain untuk meningkatkan pemulihan maksimal).
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06KriteriaDiagnostikRematik078.pdf/06KriteriaDiagnostikRematik
078.html
PENDAHULUAN
Dalam menegakkan diagnosis penyakit Reumatik sering di- temui kesulitan karena tidak adanya panduan
yang jclas. Untuk itu para pakar mencoba menyusun bcbcrapa kriteria untuk menyeragamkan diagnosis
penyakit Reumatik dari berbagai pusat. Pengertian kriteria sangat bervariasi. Beberapa istilah yang
digunakan adalah diagnostic criteria, criteria for guidance in the diagnosis, dan preliminary criteria for
the classification. Sesungguhnya kriteria dibuat agar dapat digunakan sebagai penuntun dalam
mengklasifikasi gejala penyakit untuk me- mastikan diagnosis dan juga berperan dalam penemuan klinik
tidak hanya untuk mendiagnosis penyakit secara individu. Yang hams diperhatikan adalah ketentuan-
ketentuan dari berbagai kriteria berdasarkan teknik analisis yang memerlukan sejumlah variabel untuk
mendapatkan suatu perbe0daan kelompok yang baik. Jadi tidak hanya untuk menegakkan diagnosis
penderita tanpa memperhatikan jumlah informasi yang diperlukan. Kriteria yang tercantum di bawah ini
telah dikembangkan sesuai dengan beberapa tujuan. Satu kelainan/pcnyakit mem- punyai kriteria untuk
: 1. Klasifikasi sekelompok penderita (misalnya dari survai populasi, seleksi untuk studi pengobatan, atau
analisis hasil perbandingan penderita antar institusi). 2. Diagnosis penderita secara individu. 3. Perkiraan
frekuensi penyakit dan/atau beratnya penyakit (survai epidemiologi) termasuk remisi. 4. Alat bantu
dalam menentukan prognosis. Kriteria yang dibuat bersifat empirik dan tidak bertujuan untuk
memasukkan atau menyingkirkan suatu diagnosis yang sesuai pada penderita tertentu. Kriteria ini
sangat berarti untuk menentukan standard dalam membandingkan kelompok pen- derita dari pusat
yang berbeda termasuk penemuan klinik dan percobaan pengobatan. Kriteria yang ideal mutlak sensitif
dan mutlak spesifik. Mutlak sensitif yaitu : semua penderita yang mempunyai ke- lainan ditemukan
pemeriksaan fisik dan test laboratorium yang sama. Mutlak spesifik yaitu : kelainan yang ditemukan dan
test yang positif tidak pernah ditemukan pada penyakit lain. Biasa- nya, makin sensitif suatu pcnemuan,
makin kurang spesifisi- tasnya dan sebaliknya. Pada kritcria yang tclah ditcgakkan, dilakukan seleksi atas
kemungkinan kombinasi antara sensitivi- tas dan spesifisitas. Diharapkan kriteria dapat dipakai untuk
menambah ilmu pengetahuan dan berguna untuk klasifikasi penyakit serta sebagai konsep pada
perubahan patofisiologi. Di bawah ini dikemukakan beberapa kriteria diagnostik yang disusun olch
American Rheumatism Association (ARA) yang telah direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu
kedokter- an.
KRITERIA DIAGNOSTIK DAN KLASIFIKASI ARTRITIS REUMATOID
A. Kriteria Diagnostik (1958)
1) Kaku pagi hari 2) Nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada satu sendi yang diamati
oleh pemeriksa. 3) Pembengkakan yang disebabkan karena penebalan jaringan lunak atau cairan (bukan
pembesaran tulang) paling sedikit pada satu sendi yang diamati oleh pemeriksa. 4) Pembengkakan pada
paling sedikit satu sendi lain yang diamati oleh pemeriksa dan masa bebas gejala dari kedua sendi yang
terkena tidak lebih dari tiga bulan. 5) Pembcngkakan sendi yang simetris (diamati oleh peme- riksa) dan
terkenanya sendi yang sama pada kedua sisi yang timbulnya bersamaan. Bila yang terkena sendi
proximal inter falangeal bilateral, metakarpofalangeal metatarsofalangeal bi- lateral, simetris mutlak
tidak diperlukan. Sendi distal inter- falangeal tidak termasuk dalam kriteria. 6) Nodul subkutan (diamati
oleh pemeriksa) pada tonjolan- tonjolan tulang, permukaan extensor atau pada daerah juxta- artikuler.
7) Pemeriksaan radiologi menunjukkan perubahan khas dari artritis reumatoid. Harus didapati
dekalsifikasi pada atau dekat dengan sendi yang terkena, tidak hanya perubahan degenerasi.
Perubahan-perubahan degenerasi tidak menyingkirkan adanya artritis reumatoid. 8) Test aglutinasi
faktor reumatoid positif. 9) Bekuan mucin yang buruk pada cairan sinovia (dengan gumpalan seperti
awan). Adanya inflamasi cairan sinovia di- sertai dengan 2000 sel darah putih/mm3 atau lebih tanpa
kristal, dapat dimasukkan dalam kriteria ini. 10) Perubahan histologi yang khas pada sinovia dengan tiga
atau lebih tanda berikut ini: sedikit hipertrofi villus, proliferasi sel permukaan sinovial, sering disertai
palisading, sedikit infiltrasi sel inflamasi kronik (limfosit atau sel plasma) dengan kecenderungan
terbentuknya lymphoid nodules; terlepasnya fibrin pada permukaan atau interstitial; nekrosis sentral.
11) Perubahan histologi yang khas pada nodul menunjukkan fokus granulomatous dengan nekrosis
scntral, dikelilingi olch suatu palisade yang terdiri dari proliferasi mononuklear, fibrosis perifer dan
infiltrasi sel inflamasi kronis.

B. Klasifikasi Artritis Reumatoid
1) Reumatoid Klasik Harus terdapat 7 dari kriteria tersebut di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala
sendi harus ber- langsung terus menerus paling sedikit selama 6 minggu. Jika ditemukan salah satu
tanda dari daftar yang tidak termasuk artritis reumatoid, maka penderita tidak dapat digolongkan dalam
kelompok ini. 2) Reumatoid Definit Harus terdapat 5 dari kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda (Jan
gejala sendi harus ber- langsung terus menerus paling sedikit 6 minggu. 3) Probable Rheumatoid
Arthritis Kemungkinan artritis reumatoid Hams terdapat 3 dari kriteria di atas. Paling sedikit satu dari
kriteria 1 sampai 5 tanda atau gejala sendi harus bcrlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu. 4)
Possible Rheumatoid Arthritis Diduga artritis reumatoid Harus terdapat 2 dari kriteria berikut ini, dan
lamanya gejala sendi paling sedikit 3 bulan. 1. Kaku pagi hari 2. Nyeri tekan atau nyeri gerak (diamati
oleh pcmeriksa) dengan riwayat rekurensi atau menetap selama 3 minggu. 3. Riwayat atau didapati
adanya pembengkakan sendi. 4. Nodul subkutan (diamati oleh pcmeriksa). 5. Peningkatan Laju Endap
Darah atau C-Reaktif Protein. 6. Iritis (diragukan sebagai kriteria l.oxuali pada Juvenile Arthritis) 5) Yang
tidak termasuk RA 1. Butterfly rash yang khas pada Lupus Eritematosus Sistemik. 2. Konsentrasi LE sel
tinggi atau jelas mendcrita SLE. 3. Periartritis Nodosa yang jclas pada pemcriksaan terdapat nekrosis
arterial. 4. Kelemahan atau bengkak yang menetap pada leher, tubuh, dan otot-otot faring (polimiositis
atau dermatomiositis). 5. Skleroderma yang jelas (sklerosis sistemik) tidak hanya terbatas pada jari jari.
6. Gambaran klinis khas dcmam reumatik disertai arlritis migrasi dan adanya endokarditis. 7. Gambaran
klinis khas artritis gout, bersifat akut, nycri dan bengkak pada satu sendi atau lebih tcrutama bila
membaik dengan kolkhisin. 8. Toil gout. 9. Gambaran klinis khas artritis infektif yang disebabkan olch
bakteri atau virus disertai dcmam, menggigil dan artritis akut yang biasanya berpindah-pindah (pada
stadium awal). 10. Pemeriksaan baktcriologik dan histologik ditemukan tu- berkulosis pada satu sendi.
11. Gambaran klinis khas Sindrom Reiter discrtai dengan uretritis, konjungtivitis, dan artritis akut yang
pada mulanya berpindah-pindah. 12. Gambaran klinis khas shoulder hand syndrome (reflex sympathetic
dystrophy syndrome). Bahu dan tangan yang ter- kena unilateral, disertai pembengkakan difus pada
tangan yang diikuti dengan atrofi dan kontraktur. 13. Gambaran klinik khas hypertrophir,
ostcoarthropathy di- sertai clubbing jari atau hipertrofi periostitis sepanjang tulang- tulang panjang,
terutama jika terdapat lesi intrapulmonal atau gangguan lain yang berhubungan. 14. Gambaran klinik
khas neuroarthropati (misal: Charcot joint) discrtai kondensasi dan destruksi tulang termasuk sendi dan
didapati gangguan neurologik yang sesuai. 15. Asam homogentisik dalam urine (alkaptonuria),
terdeteksi jelas dengan alkalinisasi. 16. Gambaran histologik sarkoid atau test Kveim positif. 17. Mieloma
multipel, dibuktikan dengan peningkatan plasma sel dalam sumsum tulang atau dengan protein Bence
Jones dalam urine. 18. Gambaran kulit khas eritema nodosum. 19. Leukemia atau limfoma dengan sel
yang khas dalam darah, sumsum tulang, atau jaringan. 20. Agammaglobulinemia.
KRITERIA DIAGNOSTIK ARTRITIS REUMATOID MENURUT "AMERICAN RHEUMATISM ASSOCIA- TION"
(REVISED, 1987)
Untuk mcnegakkan diagnosis Artritis Reumatoid harus didapati 4 atau lebih kriteria berikut ini : 1) Kaku
pagi hari selama paling sedikit I jam dan sudah bcrlangsung paling sedikit 6 minggu. 2) Pembengkakan
pada 3 sendi atau lebih selama paling sedikit 6 minggu. 3) Pembengkakan pergelangan tangan, sendi
metakarpofa- lang, atau interfalang proksimal selama 6 minggu atau lebih. 4) Pembengkakan sendi yang
simetris. 5) Pemeriksaan radiologi tangan menunjukkan perubahan khas artritis reumatoid; harus
didapati erosi atau dekalsifikasi tulang yang nyata. 6) Nodul reumatoid. 7) Serum faktor Reumatoid
positif.
KRITERIA REMISI PADA ARTRITIS REUMATOID
Lima atau lebih dari syarat di bawah ini hams dipenuhi dan hams berlangsung paling sedikit 2 bulan. 1)
Lamanya kaku pagi hari tidak lebih dari 15 menit. 2) Tidak ada kelelahan. 3) Menumt riwayat tidak ada
nyeri sendi. 4) Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak. 5) Tidal( ada pembengkakan jaringan lunak pada
sendi atau sarung tendon. 6) Laju Endap Darah (Westergreen) kurang dari 30 mm/jam untuk wanita atau
20 mm/jam untuk pria. Kriteria ini dapat digunakan baik untuk remisi spontan atau remisi karena obat.
Kriteria ini digunakan pada penderita yang telah memenuhi kriteria ARA dan termasuk dalam Artritis
Reumatoid definit atau klasik.
KRITERIA DIAGNOSTIK "JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS" (JRA)
Pandangan Umum Team pcnyusun kriteria JRA pada tahun 1982 memper- baharui (revisi) kriteria tahun
1977 dan menetapkan bahwa Juvelile Rheumatoid Arthritis adalah nama yang digunakan untuk bentuk
utama dari artritis kronis pada anak-anak dan dibagi atas 3 onset subtipe yaitu: sistemik, poliartikuler,
dan pausiartikuler. Onset subtipe dibagi lagi menjadi beberapa ke- lompok. Kriteria Umum untuk
Diagnosis JRA A. Artritis pada satu sendi atau lebih yang menetap paling sedikit 6 mineeu. B. Tidal(
ditemukan pcnyebab artritis lain. Onset subtipe JRA Onset subtipe ditentukan oleh manifestasi penyakit
selama 6 bulan dan tetap merupakan klasifikasi utama walaupun manifestasi-manifestasi yang mirip
dengan subtipe lain dapat timbul kemudian. A. JRA onset sistemik : subtipe ini adalah JRA yang disertai
dengan demam intermiten yang menetap (suhu intermiten sepanjang hari dapat mcncapai 103F atnu
lebih), disertai atau tidak disertai adanya ruam reumatoid atau gangguan organ lain. Jika ditemukan
adanya demam dan ruam yang khas tanpa artritis dapat dipikirkan kemungkinan JRA onset sistemik
(probable systemic onset JRA). Sebclum diagnosis pasti ditegakkan, harus ditemukan adanya artritis. B.
JRA onset pausiartikuler : Subtipe ini adalah JRA dengan artritis pada 4 sendi atau kurang selama 6
bulan pertama sakit. Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini. C.
Poliartikuler JRA : Subtipe ini adalah JRA disertai artritis pada 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama
sakit. Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini. D. Yang termasuk dalam
onset subtipe : 1) Systemic onset (SO) a. poliartritis b. oligoartritis 2) Oligoartritis (00) (pausiartikuler
onset) a. anti.-nuklear antibodi (ANA) positif, uveitis kronik. b. faktor reumatoid positif. c. HLA B-27
positif. d. tidak termasuk klasifikasi lain. 3) Poliartritis (PO) a. faktor reumatoid positif. b. tidak termasuk
klasifikasi lain.
Tidak termasuk (Exclusion) A. Penyakit rematik lain
1. Demam Rematik 2. Lupus Eritematosus Sistemik 3. Spondilitis Ankilosis 4. Polimiositis dan
dermatomiositis 5. Sindrom Vaskulitik 6. Sklerodcrma 7. Artritis Psoriatik 8. Sindrom Reiter 9.
Sindrom Sjogren 10. Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD) 11. Sindrom Behcet B. Artritis Infeksi
C. Inflamasi gastrointestinal (inflammatory bowel disease) D. Penyakit neoplasma termasuk
leukemik E. Kelainan non-rematik pada tulang dan sendi F. Penyakit hematologi G. Artralgia
psikogenik H. Lain-lain : 1. Sarkoidosis 2. Hypertrophic osteoarthropathy 3. Sinovitis Vilonodulcr 4.
Hepatitis kronik aktif 5. Familial Mediterranean Fever
Terminologi lain Arthritis Kronik Juvenil (JCA) dan Artritis Juvenil (JA) adalah istilah diagnosis baru yang
digunakan untuk artritis pada masa kanak-kanak. Diagnosis JCA dan JA tidak sama satu dengan yang
lain, demikian juga dengan JRA lama atau penyakit
KRITERIA JONES SEBAGAI PENUNTUN DIAGNOSIS DEMAM REUMATIK (REVISED)
KRITERIA MAJOR KRITERIA MINOR
1. Karditis 1. Demam
2. 2. Poliartritis 2. Artralgia
3. 3. Chorea 3. Pernah menderita demam rematik atau penyakit jan- tung rematik
4. 4. Eritema marginatum 4. LED meningkat atau CRP positif
5. 5. Nodul subkutan 5. PR interval memanjang
Dalam menegakkan diagnosis demam rematik harus ditemukan 2 kriteria major atau 1 kriteria major
ditambah 2 kriteria minor, yang masing-masing disokong oleh meningkat- nya kadar ASTO. Pada
anamnesis biasanya ada riwayat sakit tenggorokan berulang.
KRITERIA UNTUK KLASIFIKASI SLE (REVISED)
1.Malar rash, berupa eritema yang jelas, datar atau menonjol, pada eminentia malar, cenderung
menyebar ke lipatan nasolabial. 2) Discoid rash, bercak-bercak eritema yang menonjol dengan sisik
keratotik yang berlapis, dan sumbatan folikel. Parut atrofi dapat terjadi pada lesi lama. 3)
Fotosensitivitas, adanya ruam kulit akibat reaksi terhadap sinar matahari yang dilihat oleh pemeriksa
atau berdasarkan anamnesa. 4) Ulkus Oral, ulkus yang terdapat di oral atau nasofaring, biasanya tidak
terlalu sakit dan terlihat oleh pemeriksa. 5) Artritis, artritis tanpa erosi mengenai 2 atau lebih sendi
perifer, ditandai dengan adanya nyeri tekan, bengkak atau ada- nya cairan dalam sendi. 6) Serositis a)
Pleuritis; jelas dalam anamnesis adanya riwayat nyeri pleuritik atau ronkhi yang terdengar oleh
pemeriksa atau adanya efusi pleura atau b) Perikarditis berdasarkan pemeriksaan EKG atau rub atau
adanya pericardial effusion. 7) Gangguan ginjal a) Proteinuria yang menetap lebih dari 0,5 gram/hari
atau lebih dari 3+ pada pemeriksaan kwalitatif atau b) Sedimen, dapat bcrupa sel darah merah,
hemoglobin, granuler, tubuler atau campuran. 8) Gangguan Neurologis a) Kejang yang tidak disebabkan
oleh obat-obatan atau ke- lainan metabolik seperti : uremia, ketoasidosis, gangguan elektrolit atau b)
Psikosis, yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau kelainan metabolik. 9) Gangguan Hematologis a)
Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau b) Leukopenia kurang dari 4000/mm3 total pada 2 atau
lebih pemeriksaan atau c) Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2 atau lebih pemeriksaan atau d)
Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3 pada 2 atau lebih pemeriksaan. 10) Gangguan Imunologis
a) LE sel positif atau b) Anti-DNA: abnormal atau c) Anti-Sm: terdapat antibodi terhadap Sm nuklear
antigen atau d) false positive terhadap test scrologi syphilis selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan
Triponema pallidum Immobilization atau Fluorescent treponemal antibody absorption test. 11) Antibodi
Anti Nuklear Titer abnormal pada pemeriksaan sewaktu dengan immu- nofluoresens atau metode yang
secara dan pada saat pemeriksaan tidak mendapat pengobatan dengan ohat yang menginduksi
terjadinya sindrom lupus. Klasifikasi berdasarkan 11 kriteria. Dalam studi klinik, untuk menegakkan
diagnosis SLE harus didapati 4 atau lebih dari 11 kriteria di atas yang timbulnya berurutan atau serentak
selama periode observasi.
http://www.irwanashari.com/diagnosis-arthritis-reumatoid/
The American College of Rheumatology mengembangkan kriteria berikut untuk klasifikasi arthritis
reumatoid (AR), meliputi:
1. Kekakuan di pagi hari terjadi di dalam dan sekitar sendi dan berlangsung setidaknya 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
2. Artritis pada tiga atau lebih sendi : Sedikitnya 3 sendi secara simultan mempunyai
pembengkakan jaringan lunak yang diobservasi oleh seorang dokter. Terdapat 14 sendi pada
interphalangeal kanan dan kiri, metakarpofalangealis (MCP), pergelangan tangan, siku, lutut,
pergelangan kaki, dan sendi metatarsophalangeal (MTP).
3. Artritis pada sendi tangan: setidaknya satu sendi yang membengkak di pergelangan tangan,
MCP, atau sendi PIP.
4. Artritis simetris (keterlibatan sendi pada kedua sisi tubuh): bilateral keterlibatan PIPs, MCPs, dan
MTPs dapat diterima tanpa simetri yang mutlak.
5. Nodul reumatoid: nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau di
daerah juksta artikular.
6. Faktor rheumatoid serum positif: abnormal jumlah serum RF ditunjukkan dengan hasil positif
kurang dari 5% dari subyek kontrol sehat.

7. Perubahan radiografi khas RA pada foto tangan posisi posteroanterior dan radiografi
pergelangan tangan, terdapat erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang
berdekatan dengan sendi.
Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1-4 selama minimal 6
minggu, dan dokter harus memperhatikan kriteria 2-5. Kriteria ini dimaksudkan sebagai pedoman untuk
klasifikasi pasien, dan sering digunakan untuk tujuan penelitian. Pasien dengan AR sering ditemukan
dengan gejala konstitusional, seperti malaise, demam, kelelahan, penurunan berat badan, dan mialgia.
Pasien AR sering melaporkan kesulitan melakukan aktivitas hidup sehari-hari (misalnya, rias, berdiri,
berjalan, kebersihan pribadi, dengan menggunakan tangan mereka). Sebagian kecil pasien dengan AR
(sekitar 10%) memiliki onset mendadak dengan perkembangan akut sinovitis dan manifestasi ekstra-
artikular. Remisi spontan jarang terjadi, terutama setelah 3-6 bulan pertama.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanda peradangan, seperti LED dan CRP, berhubungan dengan aktivitas penyakit, selain itu, nilai
CRP dari waktu ke waktu berkorelasi dengan kemajuan radiografi.3,10
Parameter hematologi termasuk jumlah CBC dan analisis cairan sinovial.
Jumlah sel darah lengkap
o Anemia penyakit kronis adalah umum dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit, tetapi
membaik dengan terapi yang berhasil.
o Anemia hipokrom menandakan terjadinya kehilangan darah, biasanya dari saluran GI (terkait
dengan NSAID).
o Anemia juga mungkin berhubungan dengan obat DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic
Drugs).
o Trombositosis dapat terjadi serta terkait dengan aktivitas penyakit.
o Leukositosis mungkin terjadi tetapi biasanya ringan.
Analisis cairan sinovial
o Pada AR cairan synovial kehilangan viskositasnya dan hitung sel leukosit meningkat mencapai
15.000 20.000/ mm3.
o Biasanya, dominasi neutrofil (60-80%) yang diamati dalam cairan sinovial (kontras dengan
dominasi sel mononuklear di sinovium).
o Kadar glukosa cairan pleura, perikardial, dan sinovial pada pasien dengan AR sering rendah
dibandingkan dengan kadar glukosa serum.
Parameter imunologi meliputi autoantibodies (misalnya RF, anti-RA33, anti-PKC, antibodi antinuclear).
Faktor reumatoid ada sekitar 60-80% pada pasien dengan AR, tetapi kurang dari 40% pada
pasien dengan AR dini. Nilai RF agak berfluktuasi dengan aktivitas penyakit.
Antibodi Antinuclear ada sekitar 40% pada pasien dengan AR.
Antibodi yang baru ditemukan dalam penelitian antara lain: anti-RA33 dan anti-PKC. Antibodi
anti-PKC menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas sedikit lebih baik daripada RF, pada frekuensi hasil
positif di awal AR. Kehadiran kedua antibodi anti-PKC dan RF sangat spesifik untuk AR. Selain itu,
antibodi anti-PKC, seperti halnya RF, menunjukkan prognosis yang buruk.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
1. Foto Polos
Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan radiologi kecuali
pembengkakan jaringan lunak. Perubahan radiologis baru terlihat lama setelah terjadi gejala klinis.
Pemeriksaan radiologi konvensional merupakan hal penting dalam menegakkan diagnosa AR dan
kelainan sendi lainnya, walaupun terkadang pencitraan lain seperti CT Scan, ultrasound, dan MRI
dibutuhkan untuk mendeteksi komplikasinya.

AR cenderung memiliki distribusi yang simetris, paling sering mengenai tangan dan kaki. Setiap sendi
synovial dapat terlibat, tanda tanda yang paling signifikan pada AR adalah pembengkakan jaringan lunak
periarticular, osteoporosis periartikular, penyempitan celah sendi yang simetris, erosi marginal, kista
subkondral dan erosi tulang adalah manifestasi dari kerusakan lebih lanjut oleh pannus, kesejajaran
sendi yang tidak baik dan deformitas disebabkan oleh kelemahan terhadap kapsular, ligament, dan
tendon. Kesejajaran sendi yang tidak baik dapat dibagi menjadi 5 kategori dasar, yaitu: fleksi, ekstensi,
deviasi, subluksasi, dan dislokasi. Pada stadium lanjut hilangnya kartilago dan tulang serta fraktur dapat
menimbulkan deformitas. Keterlibatan tulang vertebrae pada AR biasanya terbatas pada vertebrae
cervical dan paling sering pada sendi atlantoaksial.

2. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) telah digunakan untuk memperlihatkan kelainan inflamasi sendi dini pada AR. USG
dapat memperlihatkan sinovitis dan lebih sensitif dalam mendeteksi erosi pada AR dibandingkan dengan
foto polos. USG dapat menunjukkan kartilago articular pada pasien AR yang tidak bisa melakukan
pemeriksaan MRI. Selain itu, USG juga dapat digunakan sebagai petunjuk diagnostic dan prosedur
terapeutik.

3. CT Scan
CT Scan sangat baik digunakan untuk menunjukkan osteofit (bone spur) dan jaringan lunak di sekitarnya.
CT Scan dapat memperlihatkan sinovitis, tenosinovitis, dan mendeteksi erosi tulang pada pasien AR. CT
Scan berguna untuk prosedur diagnostic dan terapeutik.

4. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah digunakan untuk memperlihatkan kelainan inflamasi sendi dini
pada AR. MRI dapat digunakan sebagai modalitas dalam mendiagnosis dan memantau penyakit AR
karena kemampuan MRI yang sensitif dalam memperlihatkan erosi, kalsifikasi, sinovitis, tenosinovitis,
dan tanda-tanda AR dini.

Anda mungkin juga menyukai