PENINGKATAN PEMUKIMAN KUMUH SEBAGAI DAMPAK PEMBANGUNAN
DI PPERKOTAAN PROPOSAL UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Teori-Teori Pembangunan yang dibina oleh Abdullah Said Oleh Waming Okinawa : 115030107111076
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK OKTOBER 2012
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke khadirat Allah SWT, Alhamdulillah penyusun telah diberi kesempatan untuk memberikan argumentasinya yang dituangkan dalam makalah ini, tujuan penulis dalam menyusun makalah ini, penulis berasumsi bahwa pembaca harus tahu dan mengerti apa yang dimaksud PENINGKATAN PEMUKIMAN KUMUH SEBAGAI DAMPAK PEMBANGUNAN DI PPERKOTAAN dan mengapa perlu sekali untuk dipelajari dan dipahami. Mengingat banyaknya topik yang harus dibahas dan disesuaikan dengan silabus Mata Kuliah TEORI-TEORI PEMBANGUNAN diperguruan tinggi, maka penulis memberikan pengertian secara terperinci agar pembaca bisa cepat paham dengan maksud penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih mengandung banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis sangat berterimakasih apabila pembaca bersedia memberikan kritik dan saran,sehingga dapat digunakan untuk penyempurnaan makalah berikutnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih banyak kepada Dosen Teori-teori pembangunan yang telah memberikan tugas makalah ini,karena dengan adanya makalah ini penulis bias lebih paham arti dan makna Peningkatan Pemukiman Kumuh Sebagai Dampak Pembangunan Di Perkotaan. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Amiin
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... 1 KATA PENGANTAR .................................................................................... 2 DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 4 A. Latar Belakang ...................................................................... B. Rumusan Masalah ................................................................. 6 C. Tujuan ................................................................................... BAB II KAJIAN TEORI .......................................................................... 7 BAB III PEMBAHASAN .......................................................................... 12 A. Permasalahan Pemukiman Kumuh ....................................... B. Pemukiman Kumuh di Perkotaan ........................................... 14 C. Dampak Pembangunan Di Perkotaan Dan Implikasinya ....... 16 BAB III PENUTUP .................................................................................... 20 A. Peranan PLS ........................................................................... B. Kesimpulan ........................................................................... 21 C. Saran ...................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23
4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. 1 Tujuan pembangunan adalah untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi setiap individu. Dalam melakukan proses pembangunan terdapat berbagai kendala untuk bisa tercapai. Pembangunan yang dilakukan hanya dirasakan oleh sebagian kecil orang saja. Ini berarti bahwa pembangunan yang dilakukan oleh bangsa ini hasilnya harus dirasakan dan dinikmati oleh rakyat indonesia tanpa terkecuali sehingga kesejahteraan rakyat indonesia baik fisik maupun psikis dapat terwujud. Pembangunan yang dilakukan saat ini, hanya dirasakan oleh sebagian kecil orang saja, mereka yang memiliki modal banyak akan terus bertengger dalam strata atas. Sedangkan mereka yang tidak memiliki modal menjadi semakin terpuruk dalam jurang yang dalam yakni lembah kemiskinan. Demikianlah ketimpangan dalam pembangunan yang selama ini terjadi. Sebagai contoh pembangunan jalan lingkar luar Jakarta, dimana pada saat ini sebagian sudah dibuka untuk lalu lintas Dapat dilihat bahwa pada awalnya pembangunannya proporsi terbesar penggunaan lahan pada suatu koridor 3 km dapat dikategorikan sebagai kampung atau permukiman kumuh yaitu sekitar 132 km2. atau sekitar 70 %. Daerah industri dan komersil masih sangat rendah yaitu dibawah 5 %.
1 Zulkarimen Nasution., Komunikasi Pembangunan : Pengenalan dan Pengharapannya, Jakarta, Rajawali Pers, 1992, hal. 35 5
Tabel. Tata guna tanah pada Awal Pembangunan jalan Lingkar Luas Jakarta (3 km koridor)Tata guna lahan Luas (km) Proporsi (%) Tata guna lahan Luas (km) Proporsi (% ) Komersil Industri Perumahan Fasilitas pemerintah & Umum Rekreasi Kawasan kumuh Lainya 0.29 7.06 11.50 2.36 1.50 132.00 23.29 0.1 4.0 6.5 1.5 0.8 74.1 13.0 Sumber : www.google.co.id/imglanding?q=grafik+pertumbuhan+pemukiman+kumuh Sekitar 80% dari perumahan penduduk asli atau para migran tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan dan tidak mengikuti pola tata kota yang dikaitkan dengan daerah asal- usul warga kota.Fenomena ini menjadikan pemukiman kumuh di perkotaan. Pemukiman kumuh (slums area) adalah daerah-daerah yang padat dengan penduduk berpenghasilan rendah. Kebanyakan yang menjadi daerah kumuh adalah wilayah perkotaan yang menerima migrasi penduduk dari desa.Sedangkan menurut Edwin Eames. dan David Goode, mengatakan bahwa : lingkungan kumuh yaitu daerah pemukiman yang sangat padat penduduknya dan rumah-rumah didalamnya dibangun dengan tehnik konstruksi yang buruk dan menggunakan bahan-bahan yang bermutu rendah. Pola pemukiman tidak berstruktur dan tidak dilengkapi dengan sarana-sarana umum seperti fasilitas air bersih, pembuangan sampah, saluran pembuangan air dan kotoran serta jalan-jalan yang bersih, dan sering kali kondisi ini dihubungkan dengan ongkos sewa yang relatif mahal dan bahaya penggusuran. Perkembangan kota yang lebih cepat menimbulkan berbagai masalah terhadap penyediaan prasarana, sarana dan lingkungan perumahan kota, karena tidak diimbangi dengan pengadaan lapangan kerja yang memadai. Akibatnya penduduk yang berpenghasilan rendah akan menempati lingkungan pemukiman yang sesuai dengan penghasilannya. Disamping penghasilan yang rendah, ketidak pastian tanah yang mereka tempati, menjadikan 6
mereka ragu untuk memperbaiki rumah yang dihuninya. Hal ini menjadikan lingkungan pemukiman kumuh tersebut semakin memburuk. Selain itu keberadaan pemukiman kumuh seringkali dianggap sebagai sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya. Karenapemukiman yang padat dan banyaknya pendatang disana telah membuat daerah tersebut menjadi tidak ada aman untuk di tinggali. Ditambah dengan tingginya jumlah pengangguran di pemukiman kumuh sehingga memudahkan terjadinya aktivitas kejahatan. Karena itulah saya tertarik untuk membahas tentang pemukiman kumuh dan upaya untuk mengatasinya di perkotaan. B. Rumusan Masalah 1. Apa saja permasalahan di pemukiman kumuh? 2. Bagaimana pemukiman kumuh di perkotaan? 3. Bagaimana dampak pembangunan di perkotaan dan implikasinya? C. Tujuan 1. Mendiskripsikan tentang permasalahan di pemukiman kumuh 2. Akibat mendiskripsikan pemukiman kumuh di perkotaan 3. Mendiskripsikan dampak pembangunan di perkotaan dan implikasiny
7
BAB II KAJIAN TEORI
Analisa dilakukan dengan menggunakan dasar 2 (dua) kelompok teori, yaitu teori perencanaan kota dan teori pengembangan perumahan dan permukiman.Pengertian kota sebagaimana dikemukakan oleh Amos Rapoportter dapat 10 kriteria yaitu : 1) ukuran dan jumlah penduduk, 2) bersifat permanen, 3) kepadatan, 4) sruktur dan tata ruang , 5) sebagai tempat tinggal dan berkerja, 6) fungsi perkotaan 7) heter oginitas dan pembedaan masyarakat, 8) hubungan pusat ekonomi perkotaan dan pertanian di tepi kota serta proses pemasaran, 9) pusat pelayanan dan 10) pusat penyebaran. Selanjutnya Northam (1979) berpendapat, bahwa terdapat perbedaan antara batas fisik kota dan batas administrasi kota, dimana hubungan keduanya dapat dibedakan dalam tiga kondisi, yaitu : under bounded city, over bounded city dan true bouded city. Bila ditinjau dari pengertian kota sebagaimana dikemukakan oleh Rapoport di atas, dapat di pastikan dari waktu ke waktu suatu kota akan selalu berkembang atau dengan kata l ain kota mempunyai sifat dinamis. Kekuatan-kekuatan dinamis kota ini dapat bergerak dari bagian dalam kota menuju ke luar (centrifugal forces) atau sebaliknya dari bagian luar kota ke bagian dalam (centripetal force) sebagaimana pendapat Charles Colby (1959). Dinamika kota di atas akan mengaitkan antara bagian kota yang satu dengan yang lain dan bahkan dapat mengaitkan antara wilayah per kotaan dan perdesaan dalam berbagai aspek diantara keduanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Douglass (1991) dan Rondinelli (1985),bahwa kawasan perdesaan dan perkotaan pada dasarnya merupakan lansekap wilayah yang saling berhubungan melalui keterkaitan kekuatan ekonomi, sosial, politik dan lingkungan yang sangat kompleks, oleh karenanya ketimbang menganggap desa dan kota sebagai suatu dikotomi, akan lebih sesuai untuk menjelaskan desa - kota sebagai suatu fenomena yang bertautan (continuum), dimana masyarakat di dalamnya secara bersama memecahkan masalah kemiskinan, perkembangan ekonomi, lingkungan yg berkelanjutan, dan dalam perkembangan kerangka kelembagaan, Dalam keterkaitan kota dan desa (urban- rurallinkage) ini, keduanya mempunyai peran dan kedudukan sebagai berikut : a. kota, merupakan lokasi kegiatan non pertanian mempunyai peranan sebagai : 1) tempat pemasaran produksi pertanian, 2) pusat pengolahan produk pertanian dan perkebunan serta 8
ekspor, 3) pusat jasa pelayanan bagi produksi pertanian, 4) pusat perdagangan barang kebutuhan rumah tangga dan lainnya, serta fasilitas sosial dan hiburan, 5) investasi lokal bagi sektor pengolahan dan jasa pendukung kegiatan pertanian, 6) Sektor tenaga kerja non pertanian. b. desa, merupakan lokasi kegiatan pertanian dan sumber daya alam yang lain mempunyai peranan sebagai : 1) tempat produksi makanan, 2) produksi tanaman pertanian dan perkebunan dan sumber daya alam lainnya, 3) permintaan input kegiatan pertanian dan jasa pelayanan pertanian, 4) permintaan barang dan jasa, pelayanan kesehatan, pendidikan, perdagangan, hiburan, keuangan, 5) transfer surplus ke sektor non pertanian, 6) sektor tenaga kerja on farm dan off farm Perkembangan urban-rural linkage selanjutnya akan membawa perubahan karakter daerah-daerah pinggiran kota, yang tadinya mempunyai karaktersitik perdesaan sedikit demi sedikit akan berubah menjadi karakteristik perkotaan yang biasanya diawali dengan tumbuhnya permukiman di daerah pinggiran yang diikuti pengadaan prasarana dan sarana pendukungnya, dan seiring dengan berjalannya waktu permukiman pinggiran kota ini akan menyatu (terintegrasi) dengan wilayah kota yang menjadi induknya, Tumbuhnya perumahan di daerah pinggiran kota sering menimbulkan berbagai masalah, terutama terbentuknya permukiman kumuh (slum) dan permukiman liar (squatter), mengingat fungsi, dimensi, kualitas dan karakter istik rumah yang dibangun oleh penghuninya di lapangan cukup bervariasi. Sehingga beberapa ahli dan pemerintah mendefinisikan rumah dalam berbagai dimensi. Menurut pandangan John F.C. Turner (1972), pengertian tentang perumahan ada dua, yaitu sebagai kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda perumahan dapat diartikan sebagai sebuah komoditi atau produk, sedangkan sebagai kata kerja perumahan berarti sebagai suatu proses atau aktivitas. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Johan Silas (1993), rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman dan bukan semata-mata hasil fisik yang sekali jadi. Perumahan bukan (kata) benda melainkan merupakan suatu (kata) kerja yang berupa proses berlanjut dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya. Perumahan lebih dari hanya sebagai hunian (atau omah), terutama berkaitan dengan para penghuninya. Konsep perumahan seharusnya selalu satu, utuh dan imbang antara manusia, rumah, dengan alam sekitarnya. Perumahan bukan rumah karena tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling membutuhkan serta ada prasarana dan saranya. 9
Sedang menurut Amos Rapoport (1969), rumah diartikan sebagai suatu lembaga dan bukannya hanya sebagai struktur, yang dibuat untuk berbagai tujuan yang kompleks dan karena membangun suatu rumah merupakan gejala budaya maka bentuk dan pengaturannya sangat dipengaruhi budaya lingkungan di mana bangunan itu berada. Dalam hal bentuk, rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor fisik dan faktor tunggal lainnya, tetapi merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat dalam pengertian yang luas. Bentuk rumah dapat berubah menurut kondisi iklim, metode konstruksi, material yang tersedia dan teknologi. Yang utama adalah faktor sosial budaya sedangkan lainnya merupakan faktor kedua atau melengkapi/memodifikasi. Hubungan antara bentuk rumah dan permukiman, yaitu bahwa bentuk rumah dalam suatu permukiman merupakan gambaran fisik dari budaya, agama, material, dan aspek sosial serta merupakan alam simbolik dari permukiman tersebut. Dalam suatu permukiman rumah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fisik semata atau dipengaruhi oleh faktor yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan akibat dari keseluruhan faktor sosio kultural yang dapat dilihat dari pola-polanya secara luas. Lingkungan yang terbentuk akan mencoba mencerminkan kekuatan-kekuatan sosio kultural termasuk kepercayaan, hubungan kekerabatan, organisasi sosial, cara hidup dan hubungan sosial antar individu.
Sesuai dengan Undang-Undang nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan Dan Permukiman, yang dimaksud dengan : a) rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga, b) perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, dan c) permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dilandasi oleh pendapat tiga ahli di atas dan kriteria yang ditetapakan oleh Pemerintah diatas, dapat dikatakan bahwa permukiman kumuh (slum) dan permukiman liar (squatter) seharusnya tidak hanya ditinjau dari sisi aspek fisik lingkungan permukiman saja, namun harus ditinjau pula dari aspek non-fisik lingkungan permukiman. Dari aspek fisik lingkungan permukiman, kondisi perumahan dan permukiman yang kumuh cenderung dikaitkan dengan kelayakan kualitasnya, penanganan terkait dengan hal ini 10
akan didasarkan pada konsep yang telah ditetapakan oleh beberapa lembaga internasional dan pendapat ahli terkait diantaranya : a. Konsep rumah layak menurut ECOSOC PBB pada keputusan Sidang Umum PBB no. 4 tahun 1991, adalah : 1) Jaminan kepemilikan yang dilindungi hukum, 2) Ketersediaan service, bahan, fasilitas dan prasarana, 3) Kemampuan beli dari masyarakat, 4) Layak huni atau habitable, 5) Dapat dicapai oleh siapa saja, 6) Lokasinya yang mendukung bagi kehidupan dan 7) Kelayakan budaya, termasuk menjalankan keyakinan yang luas b. The Habitat Agenda yang dihasilkan pada KTT Habitat II di Istanbul mendifinisikan bahwa Rumah Layak terkait dengan : 1) kelayakan privacy, 2) ruang, 3) pencapaian atau akses fisik, 4) keamanan, 5) kepemilikan, 6) kestabilan dan ketahanan struktur bangunan, 7) kecukupan penerangan, 8) pemanasan (pendinginan bagi kita), 9) ventilasi, dan 10) PSD seperti ketersediaan air minum, sanitasi dan pengelolaan air buangan. c. Definisi rumah layak layak sebagaimana ketetapan PBB : 12/1988 pada forum Global Strategy for Shelter to the year 2000 (GSS 2000), yaitu : 1) Kelayakan privacy, 2) Kelayakan ruang, 3) Kelayakan sekuriti, 4) Kelayakan penerangan dan ventilasi, 5) Kelayakan PSD, 6) Kedekatannya terhadap berbagai sarana dasar, dan 7) Semua dalam batas keterjangauan mencapainya. Ditinjau dari aspek non-fisik lingkungan permukiman, kenyataan di lapangan rumah tidak hanya berfungsi sebagai hunian semata, potensi rumah dapat dikembangkan oleh penguninya dalam berbagai fungsi. Sebagaimana dikemukakan oleh Johan Silas (1996), fungsi pokok rumah menurut orang Indonesia ada tiga, yaitu sebagai tempat berlindung, membina keluarga, dan mengusahakan kesejahteraan penghuninya. Masih menurut Johan Silas (1993), pada umumnya konsep rumah dan kerja termasuk dimensi sosial dan budaya. Terkait dengan konsep rumah dan kerja ini, Keith Hart (1973) pada sebuah seminar menyatakan bahwa Konsep HBEs merupakan bagian dari sektor informal dan bagian dari kegiatan ekonomi (Kellet, 1996 : 1) Secara umum Home Based Enterprises ( HBEs) atau Usaha yang Bertumpu pada Rumah Tangga (UBR) adalah kegiatan usaha rumah tangga yang pada dasarnya merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang dijalankan oleh keluarga. Dimana kegiatannya bersifat fleksible dan tidak terlalu terikat oleh aturan-aturan yang berlaku umum. Termasuk jam kerja yang dapat diatur sendiri serta hubungan yang longgar antara modal dengan tempat usaha. 11
Salah satu pola penataan perumahan dan permukiman dengan menggabungkan aspek fisik dan non-fisik lingkungan permukiman yang per nah diterapkan di Indonesia dan layak untuk diadopsi adalah konsep KIP Komprehensip yang berazaskan pada tribina, yang meliputi bina manusia, bina lingkungan dan bina usaha.
12
BAB III PEMBAHASAN
A. Permasalahan Pemukiman Kumuh Salah satu problem sosial yang sering melanda masyarakat lapisan menengah ke bawahadalah ancaman penggusuran tempat tinggal mereka. Pesatnya pertumbuhan sektor ekonomi dengan berbagai dampak lainnya telah menciptakan kesempatan berkembang sektor industri, khususnya industri properti. Fenomena penggusuran pemukiman kumuh untuk berbagai kepentingan telah menjadi kisah klasik yang memiliki kadar risiko sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tinggi di ibu kota,. Alasan klasik yang sering dikemukakan yaitu karena lingkungan pemukiman yang demikian rentan terhadap kriminalitas dan mengganggu keindahan tata kota yang tengah berkembang menuju metropolis. Keberadaan pemukiman kumuh tidak pantas dipandang semata-mata sebagai physicalfabric, melainkan juga sebagai social fabric. Artinya dari generasi ke generasi penghuni pemukiman kumuh telah memiliki bentuk kohesi sosial yang khas. Dari sudut struktur aglomerasi ekonomi perkotaan maupun sosial, mereka adalah sebuah self contained neigborhoodyang utuh. Upaya transformasi fisik lingkungan dan perumahan seharusnya tetap mampu mendukung karakteristik sosial ekonomi penghuninya. Dua faktor kunci yang bisa menjadi determinan untuk mengatasi problem sosialpemukiman kumuh di perkotaan penyediaan ruang publik (public space) dan pengaturan teritorialitas para penghuni area itu. Representasi paling riil dari rakyat berada di dalam public space. Public space memberikan kesempatan ketika manusia tidak dibedakan status sosial ekonominya sekaligus dalam hal itu melekat konsep freedom dan equality. Sedangkan, teritorialitas memungkinkan penghuni slums mendisain struktur lingkungan permukiman tanpa harus mengeluarkan ongkos mahal. Teritori dimaksud adalah upaya menuntun banyak orang agar memikirkan perilaku teritori sebagai sesuatu yang bisa menyebabkan timbulnya konflik dan agresi. Pada satu sisi intervensi pemerintah tetap dibutuhkan untuk memberikan good willkepada masyarakat agar punya kesempatan menata lingkungan mereka sendiri. Di sisi 13
lain membuat masyarakat tersebut merasa terintimidasi oleh berbagai kebijakan penataan wilayah yang terkesan represif. Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya bisa mengarah kepada tindakan kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut: 1. Masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang. 2. Masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota. 3. Masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. 4. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan pemukiman- pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti. Masalah yang terjadi akibat permukiman kumuh terutama di kota-kota besar diantara lainwajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Disisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan (Sri Soewasti Susanto, 1974)Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah : 1. Ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni 14
2. Rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya kebakaran 3. Jaringan listrik yang semrawut sehingga rawan akan konsleting 4. Sarana jalan yang sempit dan tidak memadai 5. Tidak tersedianya jaringan drainase 6. Kurangnya suplai air bersih 7. Fasilitas MCK yang tidak memadai 8. Banyak timbul berbagai penyakit 9. Pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya B. Pemukiman Kumuh di Perkotaan Kehidupan di perkotaan memiliki persaingan ketat. Tanpa memiliki keahlian khusus maka akan sulit untuk dapat bersaing. Hal demikian mengakibatkan mereka yang beruntung memiliki modal sendiri (pas-pasan) atau memiliki koneksi terpaksa bekerja di sektor-sektor informal seperti menjual bakso, tukang becak, dan lain-lain. Sedangkan yang tidak memiliki modal atau tidak memiliki keahlian sama sekali akhirnya terpaksa menjadi pengangguran atau bila sudah kepepet terpaksa melakukan tindak kriminal . Pesatnya pertumbuhan daerah perkotaan telah menyebabkan terjadinya kompetisi dalam penggunaan lahan yang pada gilirannya akan menimbulkan permasalahan dalam perencanaan penggunaan lahan misalnya antara penggunaan lahan untuk perumahan dengan penggunaan lahan untuk industri atau penggunaan l ahan untuk ruang terbuka hijau dan pemukiman atau perkantoran. Sementara itu, secara bersamaan terjadi penciutan luas lahan pertanian akibat dari perluasan lahan untuk perkantoran, pusat perbelanjaan, pertokoan dan lainnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penggunaan lahan di wilayah perkotaan menunjukan adanya perubahan lahan yang cukup besar dari penggunaan untuk pertanian menjadi untuk bangunan dan jenis-jenis penggunaan lainnya. Kegiatan ekonomi sebagian besar dari luas wilayah perkotaan dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk. Bahkan masih terdapatnya lingkungan pemukiman kumuh, diantaranya berkategori kumuh berat yang lokasinya tersebar hampir diseluruh wilayah. 15
Berikut ini adalah data table lingkungan pemukiman kumuh yang berada pada seluruh provinsi di Indonesia:
No Provinsi Pemukiman Kumuh (Slum Area) Jumlah Keluarga Jumlah Desa Jumlah Lokasi Jumlah Banguna n Jumlah Keluarg a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 ACEH SUM.UTARA SUM.BARAT RIAU JAMBI SUM.SELATAN BENGKULU LAMPUNG BANGKA BELITUNG RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH D.I. YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NTB NTT KAL.BARAT KAL.TENGAH KAL.SELATAN KAL.TIMUR SUL.UTARA 299 898 79 143 128 619 123 155 16 118 580 2848 1048 37 496 596 65 166 109 345 111 8 312 159 4959 46570 2575 7543 3600 21958 3837 8809 563 7741 86417 88879 31076 398 15867 19748 1357 9083 3403 10432 6195 157 12041 4951 5857 51287 2972 8438 3771 31523 4233 11986 590 8981 121884 109716 38553 565 19414 21220 2248 10527 4447 12241 9380 246 15622 5533 1126488 2989384 1154180 1230336 763386 1826918 458092 1909355 300526 388183 203586 10955436 9117179 928230 10600718 2384253 878917 1314372 1049723 1081171 545425 926738 879471 614928 6424 5767 924 1604 1303 3079 1351 2339 344 326 267 5871 8574 438 8505 1504 712 913 2803 1791 1448 1974 1417 1494 16
25 26 27 28 29 30 31 32 33 SUL.TENGAH SUL.SELATAN SUL.TENGGARA GORONTALO SUL.BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA 24 797 0 0 60 92 26 21 100 614 27287 0 0 1316 1382 574 673 3801 860 35726 0 0 1574 1842 651 944 5708 625107 1918726 526287 265513 276228 325472 237183 261833 671101 1686 2946 2028 584 536 906 1036 1205 3311 10578 433806 548539 60566705 75410 Sumber : Potensi Desa 2008 BPS (Special tabulation by Swastika Andi) andi.stk31.com Kawasan kumuh terbanyak di propinsi Jawa Barat yaitu lebih dari dua ribu lokasi pemukiman kumuh sedangkan yang paling sedikit pada provinsi Tenggara dan Gorontalo yaitu masih bersih dari pemukiman kumuh. Umumnya kawasan kumuh serta gubuk liar berada Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.comdisekitar perumahan penduduk golongan menengah ke atas dan juga sekitar gedung-gedung perkantoran maupun lokasi perdagangan, sehingga semakin memperlihatkan adanya perbedaan sosial-ekonomi dan turut pula memperburuk kualitas lingkungan visual kota. Sementara di kota mengalami ledakan penduduk, boom konstruksi gedung-gedung serta pergejolakan politik dikotomi antara Jakarta dengan bagian-bagian lain Indonesia terus bergejolak. Kontradiksi antara realitas kehidupan kampung dengan ideologi tentang kota metropolitan yang glamor mengundang mereka untuk mengadu nasib ke ibu kota. C. Dampak Pembangunan Di Perkotaan Dan Implikasinya Pembangunan sering salah satunya dikaitkan dengan modernisasi. Menurut Tehranian (1979) mengartikan kemajuan (progress), pembangunan (development), dan modernisasi, sebagai suatu fenomena historis yang sama, yaitu suatu transisi dari suatu masyarakat agraris ke masyarakat industrial. 2 Konsep tersebut diadopsi dari teori modernisasi yang menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi.
2 Zulkarimen, go.Cit, hal. 35 17
Proses pembangunan yang dilakukan telah mendorong terjadinya arus urbanisasi pada masyarakat di pedesaan dengan harapan perbaikan ekonomi. Hal ini menunjukkan suatu kecenderungan yang selalu melekat (inheren) dalam latar (setting) historis yang berbeda, ke arah alinasi tenaga kerja, atomisasi masyarakat, birokratisasi penguasa, dan hegemonisasi kebudayaan. Modernisasi merupakan suatu hasil interaksi akibat adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.Hal ini berkaitan karena pembangunan terjadi sebagai hasil dari interaksi dengan mengadopsi teknologi dari negara maju / Barat. Hal ini selanjutnya bisa mempengaruhi kondisi dari negara yang bersangkutan dalam menerima perubahan yang terjadi yakni perubahan pada faktor eksternal maupun faktor internal dari negara yang bersangkutan. Perubahan eksternal yang terjadi adalah perubahan dengan adanya pengadopsian teknologi canggih dari negara barat guna meningkatkan produktivitas sumber daya yang ada di negara yang bersangkutan. Sedangkan perubahan pada faktor internal adalah peningkatan kualitas sumber daya pada negara yang bersangkutan untuk melakukan persaingan dengan negara lain. Tetapi tidak semua perubahan yang dilakukan sesuai dengan keinginan. Terdapat ketimpangan yang terjadi sebagai ekses dari proses pembangunan yang dilakukan. Salah satunya adalah timbulnya pemukiman kumuh yang disebabkan karena kurangnya lahan yang ada di perkotaan dan banyaknya mereka yang tidak mampu untuk berkompetisi dalam persaingan untuk hidup di kota besar tanpa mempunyai keterampilan. Seiring dengan adanya pemukiman kumuh tersebut, maka dipercaya terdapat korelasi antara lingkungan kumuh dengan kriminalitas ataupun perilaku menyimpang, ini menurut Mardjono Reksodiputro 3 adalah : Daerah kumuh sering dikategorikan sebagai daerah rawan. Kerawanannya terletak pada potensi tinggi yang dipunyai daerah-daerah ini meningkatkan perilaku menyimpang dan meninggikan angka kriminalitas kota yang bersangkutan Meskipun hal ini mempunyai kebenarannya, namun kenyataannya adalah bahwa tidak semua penduduk daerah-daerah kumuh terlibat dalam perilaku menyimpang atau perilaku
3 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan-Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1994. hal. 43 18
yang melanggar hukum pidana. Kemungkinan besar hanya sebagian kecil saja yang hidup dari kejahatan. Yang mungkin benar adalah bahwa sering ada rasa apathy dan fatalism untuk merubah kehidupan sendiri ataupun lingkungannya. Juga umumnya mereka cenderung mempunyai toleransi yang lebih besar terhadap perilaku menyimpang pada umumnya, khususnya apabila dilakukan terhadap dunia luar mereka Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan (kota) yang kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan yang serba marjinal ini ternyata mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Hal ini dapat diketahui dari tatacara kehidupan sehari -hari, seperti mengemis, berjudi, mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang ini karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dan ternyata tidak dapat memperbaiki kehidupan mereka. Mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tingga l yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Menurut Sudjono D. 4 Menjelaskan bahwa ada beberapa faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya kejahatan, yaitu : 1. Lingkungan yang memberi kesempatan akan timbulnya kejahatan; 2. Lingkungan pergaulan yang memberi contoh/tauladan; 3. Lingkungan ekonomi (kemiskinan/kemelaratan); 4. Lingkungan pergaulan yang berbeda-beda
4 Sudjono D, Konsepsi Kriminologi dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan, Bandung, alumni, 1978, Hal. 22 19
Kemudian W.A Bonger 5 menyatakan bahwa ada 7 (tujuh) faktor lingkungan sebagai penyebab terjadinya kejahatan, yaitu : 1. Terlantarnya anak-anak 2. Kesengsaraan 3. Nafsu ingin memilki 4. Demoralisasi sexuil 5. Alkoholisme 6. Kurangnya peradaban 7. Perang Dan tiap kejahatan tersebut adalah hasil unsur-unsur yang terdapat didalam individu masyarakat dan keadaan fisik. Terbentuknya Segregasi dan Spesialisasi di Pemukiman Kumuh Sebagai Akibat dari Urbanisasi bila kita menghubungkan antara pemukiman kumuh seiring dengan adanya arus urbanisasi, maka berdasarkan teori Sosial Disorganization yang mengatakan bahwa : Teori disorganisasi memandang dari aturan atas keragaman masyarakat dalam sumber daya ekonomi dan sosial, dan kemampuan hubungan dari masyarakat untuk menghasilkan dan mempertahankan bagian/peranan aturan melalui tingkah laku kontrol sosial informal dan sosialisasi. Sosial disorganisasi pada dasarnya memandang keragaman dalam aturan dan sumber daya sebagai akibat dari proses dan pola urbanisasi dan segregasi / pemisahan daerah pemukiman. Secara sosial maupun spasial terbagi secara jelas, dengan kawasan kampung kelas bawah dicirikan oleh kepadatan penduduk yang luar biasa dan kegiatan-kegiatan sektor informal. Itulah sebabnya mengapa di perkotaan banyak terdapat nama-nama daerah pemukiman asal pendatang (segregasi pemukiman). Selain itu pula segregasi pemukiman membuat spesialisasi dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu khususnya dalam bidang informal seperti tukang kredit biasanya dilakukan oleh orang Sunda, Pedagang kaki lima oleh orang Padang, Tukang sate pada orang Madura dan lain-lain.
A. Peranan PLS Penduduk desa bermigrasi ke kota untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka tetapi dengan tidak disertai keahlian dan kemampuan sehingga menjadi pengangguran dan gelandangan kemudian terbentuk suatu komunitas atau pemukiman yang kumuh. Oleh karena itu diperlukan teori -teori PLS untuk memberdayakan masyarakat pada pemukiman kumuh tersebut agarterbentuk pemukiman yang bersih dan tidak menjadi masalah social di perkotaan.Program PLS 1. Informasional yaitu menyebarluaskan informasi baru baik peraturan, temuan-temuan baru dan etika, bahaya baru bagi khalayak ramai. Informasi yang disebarkan bukan sekedar informasi tetapi mampu mengubah pengetahuan, motivasi, sikap dan mungkin keterampilan sederhana yang dilakukan terus menerus karena informasi selalu bertambah. Kegitan berupa penyuluhan kepeda masyarakat kumuh akan dampak negative bertempat tinggal di pemukiman dan memberikan solusi untuk berpindah dan mengarah agar mngikuti program pemerintah yaitu program perbaikan kampung dan peremajaan lingkungan kumuh. a.Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi kesehatanlingkungan dan sarana lingkungan yang ada. b.Program peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat. Bentuk Bentuk Peremajaan Kota Di Indonesia : 1.Perbaikan lingkungan permukimanDisini kekuatan pemerintah/public investment sangat dominan, atau sebagai faktor tunggal pembangunan kota. 2.Pembangunan rumah susun sebagai pemecahan lingkungan kumuh. 3.Peremajaan yang bersifat progresif oleh kekuatan sektor swasta seperti munculnya super blok (merupakan fenomena yang menimbulkan banyak kritik dalam aspek 21
sosial yaitu penggusuran, kurang adanya integrasi jaringan dan aktifitas trafik yang sering menciptakan problem diluar super blok). Faktor tunggalnya adalah pihak swasta besar. 2. Pelatihan yaitu usaha memperbaiki kecakapan, keterampilan, dan kinerja individu agar kehidupan lebih berkualitas. Program ini diberikan kepada masyarakat yang berusia kerja tapi belum bekerja karena tidak mampu bersaing. Dengan memberikan pelatihan-pelatihan pada masyarakat di pemukiman kumuh akan memberi kesempatan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan pada persaingan yang sangat ketat sehingga bisa mengurangi pengangguran dan tindak kriminalitas di perkotaan. Dengan pendapatan yang cukup semua pendapatan mereka bisa tercukupi sehingga kehidupan mereka bisa sejahtera. B. Kesimpulan Pembangunan yang telah dilakukan selama ini ternyata tidak menjangkau seluruh lapisan dari masyarakat. Tetapi pembangunan hanya dinikmati oleh beberapa orang saja. Kondisi semacam ini sangat memprihatinkan bila tidak segera cepat di atasi Salah satu sebab berkembangnya pemukiman kumuh adalah adanya arus urbanisasi ke ibu kota. Daya tarik dari metropolitan yang memikat mengundang setiap orang untuk mengadu nasib disana. Mereka yang kebanyakan datang ke ibu kota tidak memiliki keahlian yang memadai, akhirnya mereka terpaksa beralih pada pekerjaan disektor informal, sedangkan mereka yang tidak memiliki kealian apa-apa serta tidak memiliki modal akhirnya terpaksa melakukan tindakan penyimpangan seperti pencurian, perjudian bahkan prostitusi. Faktor lain dari pemukiman kumuh juga terjadi karena keterbatasan lahan yang dipergunakan untuk aktivitas ekonomi seperti untuk industri dan perkantoran, pusat perbelanjaan, pertokoan sehingga lahan yang ada semakin sempit. Walaupun demikian keberadaan pemukiman kumuh tidak dapat dipandang sebelah mata, karena biar bagaimanapun mereka merupakan bagian dari masyarakat kota. Dimana mereka yang tinggal disana telah cukup lama bisa beberapa generasi. Untuk itulah, diperlukan suatu penanganan yang bijak dari pihak pemerintah dalam penanganannya agar tidak menggunakan cara yang represif. Hal ini mengingat bahwa pemukiman kumuh terjadi 22
akibat ekses dari proses pembangunan dan juga pemukiman kumuh merupakan korban dari pembangunan yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. C. Saran Upaya mengatasi permukiman kumuh : 1. Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi kesehatanlingkungan dan sarana lingkungan yang ada. 2. Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat. Hal penting yang perlu diusahakan pemerintah adalah perkembangan ekonomi makro, pembangunan ekonomi, pembangunan prasarana, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan regional dan sumber daya alam, pembangunan hukum, penerangan, politik, hankam dan administrasi negara, kerja sama luar negeri, pembiayaan dalam bidang pembangunan, pusat data dan informasi perencanaan pembangunan, pusat pembinaan pendidikan dan pelatihan perencanaan pembangunan program pembangunan nasional, badan koordinasi tata ruang nasional, landasan/acuan/dokumen pembangunan nasional, hubungan eksternal. Dengan demikian ketimpangan social tidak akan bisa teratasi karena pembangunan yang merata akan menciptakan suatu tatanan kota yang baru. Hal tesebut akan menciptakan lapangan pekerjaan yang luas dan bisa meminimalkan jumlah pengangguran serta tidak akan membuat penumpukan orang untuk mencari pekerjaan ke kota yang menyebabkan kawasan pemukiman kumuh di perkotaan.
23
Daftar Pustaka
D. Sudjono. 1978. Konsepsi Kriminologi dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan. Bandung : alumni Marbun. B. N.1990. Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek. Jakarta : Erlangga Nasution, Zulkarimen. 1992. Komunikasi Pembangunan, Pengenalan dan Pengharapanny.Jakarta : Rajawali Pers Shadily, Hassan. 1984. Ensiklopedia Indonesia, Ikhtiar Baru-Hoove. Jakarta Soekanto, Soerjono. 1970. Doktrin-doktrin Krimonologi. Bandung : Alumni Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbit Lembaga Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Susanto, Sri Soewasti. 1974. Sanitasi Lingkungan di Kota-kota Besar, Prisma 5. Jakarta : LP3ES Potensi Desa 2008 BPS (Special tabulation by Swastika Andi) andi.stk31.com Diakses Oktober 2012
Dokumen Serupa dengan PENINGKATAN PEMUKIMAN KUMUH SEBAGAI DAMPAK PEMBANGUNAN
DI PPERKOTAAN