Anda di halaman 1dari 23

Dengue Haemorrhagic Fever

Definisi
Demam dengue (DF) adalah penyakit demam akut yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan seringkali disertai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam
dan leukopenia sebagai gejalanya. Demam berdarah dengue (DHF) ditandai oleh empat
manifestasi klinis utama: demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan,
pada kasus berat, tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok hipovolemik
yang diakibatkan oleh kebocoran plasma. Syok ini disebut sindrom syok dengue (DSS) dan dapat
menjadi fatal.

Epidemiologi
Pada sejarahnya, Asia merupakan daerah yang paling tinggi endemitasnya dengan 4
macam serotipe virus dengue yang beredar di kota-kota besar di banyak negara. Berdasarkan
jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Data terakhir tahun
1998, memperlihatkan ada 72.133 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 nyawa.
Saat itu ada 27 propinsi di Indonesia yang terjangkit wabah ini.
Pola berjangkit infeksi dengue dipengaruhi oleh keadaan iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-32 C) dengan kelembaban tinggi, nyamuk aedes akan tetap bertahan
hidup dalam jangka waktu lama. Di Indonesia, oleh karena suhu udara dan kelembaban tidak
selalu sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda. Di Pulau Jawa
pada umumnya infeksi dengue terjadi pada awal Januari, meningkat terus sehingga kasus
terbanyak pada bulan April-Mei setiap tahun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD ini sangat
kompleks, yaitu:
1. pertumbuhan penduduk
2. urbanisasi yang tak terencana
3. tidak adanya kontrol terhadap nyamuk, yang efektif di daerah endemik
4. peningkatan sarana transportasi

Morbiditas dan mortalitas infeksi dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
status imunologis pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan
virus, dan kondisi geografis setempat.

Etiologi
DHF disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus
(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili flaviviridae. Terdapat 4
jenis serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan, tetapi hanya menjadi
perlindungan sementara dan parsial terhadap serotipe yang lain. Keempat serotipe virus dengue
ini dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe
yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti, Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis, dan beberapa spesies nyamuk yang lain dapat juga menularkan virus ini tetapi
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk aedes tersebut dapat menularkan virus dengue
kepada manusia baik secara langsung yaitu setelah menggigit orang yang sedang mengalami
viremia, maupun secara tidak langsung setelah melalui masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-
10 hari (extrinsic incubation period). Pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk,
sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya
dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 3-5 hari.

Patogenesis
Sampai saat ini belum ada teori yang dapat menjelaskan secara tuntas patogenesis DBD
karena masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada
DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (Secondary Heterologous Infection) dan
Hypothesis Immune Enhancement.
Hipotesis secondary heterologous infection ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD. Antibodi heterolog
yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian
membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari
membran sei leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam se! makrofag.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis secondary heterologous infection
sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti
dengue. Di samping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia yang dapat berakhir fatal.
Hipotesis kedua yaitu hypothesis immune enhancement menyatakan bahwa virus dengue
seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipe dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan viremia. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan
wabah yang besar.

Patofisiologi
Ada dua perubahan patofisiologis utama terjadi pada DHF/ DSS. Pertama adalah
peningkatan permeabilitas vaskular yang meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen
vaskular. Keadaan ini mengakibatkan hemokonsentrasi, tekanan nadi rendah, dan tanda syok
lain, bila kehilangan plasma sangat membahayakan. Perubahan kedua adalah gangguan pada
hemostasis yang mencakup perubahan vaskular, trombositopenia, dan koagulopati.
Infeksi sekunder virus dengue menyebabkan terjadinya perubahan yang kompleks
dan unik pada berbagai mekanisme homeostasis. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk
dapat mengaktifkan faktor XII (Hageman) menjadi bentuk aktif (Xlla). Faktor ini berperan
dalam menginisiasi kaskade kinin, sistem pembekuan dan komplemen. Faktor Hageman,
faktor XII dari kaskade koagulasi intrinsik, adalah protein yang disintesis oleh hepar dan
beredar dalam sirkulasi dalam bentuk tidak aktif. Faktor ini dapat diaktifkan bila bertemu
dengan kolagen, membran basalis, atau platelet yang teraktivasi (pada kerusakan endotel),
dan kompleks antigen virus dengue-antibogi. Dengan dibantu oleh kofaktor kininogen berberat
molekul tinggi (high-molecular-weight kininogen/HMWK), faktor XII akan menjalani
perubahan konformasi menjadi Xlla yang aktif.
Pengaktifan sistem kinin menyebabkan prekursor bradikinin (HMWK) membentuk
bradikinin. Seperti histamin, bradikinin dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, dilatasi arteriol, dan kontraksi otot polos bronkus. Zat

ini juga dapat
menyebabkan rasa sakit bila disuntikkan ke kulit. Kerja bradikinin hanya bersifat sementara
karena bradikinin dengan cepat akan diinaktivasi oleh kininase degradatif yang terdapat
dalam plasma dan jaringan. Perlu diperhatikan, bahwa kalikrein, produk antara pada
kaskade kinin yang memiliki aktivitas kemotaksis, merupakan aktivator yang poten bagi
faktor XII sehingga dapat menyebabkan amplifikasi dari keseluruhan jalur.
Pada sistem pembekuan, faktor Xlla akan mengaktifkan kaskade koagulasi intrinsik
yang pada akhimya menyebabkan pengaktifan trombin, dan pembentukkan bekuan fibrin.
Faktor Xa, faktor antara pada kaskade pembekuan dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskuler dan emigrasi leukosit. Trombin juga berperan dalam proses inflamasi
dengan meningkatkan perlekatan leukosit dengan endotel, peningkatan permeabilitas
vaskuler, dan kemotaksis untuk leukosit.
Selain menginduksi sistem koagulasi, secara bersamaan faktor Hageman juga
mengaktifkan sistem fibrinolitik. Mekanisme yang terjadi adalah berkebalikan dengan proses
pembekuan, yaitu dengan memecahkan fibrin, sehingga bekuan fibrin menjadi larut.
Aktivator plasminogen (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan
kalikrein akan memecah plasminogen menghasilkan plasmin. Plasmin adalah protease
multifungsi yang dapat memecahkan fibrin dan penting dalam pelarutan bekuan. Proses
fibrinolisis ini juga berperan dalam proses inflamasi, sebagai contoh (1) produk degradasi
fibrin dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, (2) plasmin dapat mengaktifkan
komplemen C3 meniadi C3a sehingga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabihtas vaskuler, dan (3) plasmin juga dapat mengaktifkan faktor Hageman sehingga
mengamplifikasi keseluruhan jalur.




















Sistem komplemen terdiri dari kaskade protein plasma yang memiliki peranan penting
dalam imunitas dan inflamasi. Fungsinya dalam sistem imun terutama pada pembentukan
membrane attack complex (MAC) yang secara efektif akan menimbulkan lubang pada
membran mikroba yang masuk. Dalam proses pembentukkan MAC, beberapa komplemen
dibentuk, termasuk fragmen yang berperan dalam infiamasi dengan meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan kemotaksis leukosit.
Komponen dari komplemen (dari Cl sampai C9) terdapat di plasma dalam bentuk
tidak aktif. Tahapan yang paling penting dalam mengaktifkan fungsi biologis komplemen
adalah dengan mengaktifkan C3. Pengaktifan koplemen C3 dapat melalui dua cara, yaitu
(1) melalui jalur klasik, ditriger oleh ikatan antara Cl dengan kompleks antigen-antibodi,
atau (2) melalui jalur altematif yang ditriger oleh polisakarida bakteri (contohnya
endotoksin), kompleks polisakarida, atau agregasi IgA. properdin dan faktor D dan B.
Kemudian C3 konvertase akan memecah C3 menjadi C3a dan C3b. C3b akan berikatan
dengan C3 konvertase untuk membentuk C5 konvertase. C5 konvertase akan memecahkan
C5 menjadi C5a dan memulai tahapan akhir untuk membentuk C5-C6-C7-C8-C9 MAC.
Berbagai derivat komplemen yang dibentuk selama kaskade ini memiliki efek yang berperan
dalam infiamasi akut, yaitu:
1. Efek vaskuler. C3a dan C5a (anafilatoksin) meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan menyebabkan vasodilatasi dengan menginduksi sel mast untuk
melepaskan histamin. C5a juga mengaktifkan jalur lipoksigenase yang
menyebabkan pelepasan lebih lanjut mediator-mediator inflamasi.
2. Aktivasi leukosit, adesi dan kemotaksis. C5a mengaktifkan leukosit dan
meningkatkan afinitas integrin sehingga terjadi peningkatan adesi pada
endotel. Zat ini juga merupakan agen kemotaksis yang poten untuk neutrofil,
monosit, eusinofil, dan basofil.
3. Fagositosis. Bila terikat pada permukaan mikroba, C3b dan C3bi bertindak
sebagai opsonin, memperbanyak fagosit oleh sel yang memiliki reseptor C3b
(netrofil dan makrofag).
Lebih lanjut, C3 dan C5 dapat mengaktifkan enzim proteolitik yang muncul pada
eksudat inflamasi, antara lain lisosomal hidrogenase yang dihasilkan oleh neutrofil, dan
plasmin. Jadi, efek kemotaksis yang dimiliki komplemen dan efek pengaktifan komplemen
yang dimiliki oleh netrofil dapat mempotensiasi sendiri siklus emigrasi netrofil.
Nilai hematokrit biasanya meningkat pada hari ketiga dari perjalanan penyakit dan
semakin meningkat sesuai dengan proses perjalanan penyakit. Peningkatan ini disebabkan
karena terjadinya hemokonsentrasi akibat adanya kebocoran plasma ke ruang ekstraselular
melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran kapiler ini dapat menyebabkan syok
hiovolemik dan kegagalan sirkulasi. Pada kasus berat yang disertai perdarahan, nilai
hematokrit akan menurun.
Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun,
kemudian kadarnya akan meningkat mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan
merupakan kelainan hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada DBD.
Leukopenia ringan sampai sedang dapat terjadi pada penderita DBD. Keadaan ini
ditemukan pada hari pertama dan ketiga dengan hitung jenis yang masih dalam batas
normal. Jumlah granulosit menurun pada hari ketiga sampai kedelapan. Pada syok berat,
ditemukan leukositosis dan neutropenia absolut. Dua puluh sampai 50% limfosit akan
bertransformasi atau atipik dalam sedian apus darah tepi penderita DBD. Limfosit ini dikenal
sebagai limfosit plasma biru (LPB) karena memiliki sitoplasma yang relatif lebar dan
berwarna biru tua, berinti satu, struktur kromatin inti halus dan agak padat. LPB ditemukan
sejak hari ketiga terjadinya panas, dan merupakan penunjang diagnosa DBD.
Jumlah trombosit umumnya masih normal selama 3 hari pertama.
Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas dan mencapai nilai terendah pada
fase syok. Penyebab hal ini masih kontroversial. Sebagian peneliti mengatakan kemungkinan
penyebabnya adalah trombopoiesis yang menurun dan destruksi trombosit dalam darah
meningkat. Peneliti lain mengemukakan adanya gangguan fungsi trombasit. Mekanisme
yang menyebabkan peningkatan destruksi dan gangguan fungsi trombosit belum diketahui
dengan jelas. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai
penyebab agregasi trombosit yang kemudian dimusnahkan oleh RES di lien dan hepar.











Beberapa peneliti mengatakan bahwa pada pemeriksaan sumsum tulang penderita
DBD pada masa awal demam, terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan hambatan
pematangan dari semua sistem hemopoiesis, terutama megakariosit. Kemudian pada hari
kelima sampai delapan perjalanan penyakit terjadi peningkatan cepat eritropoiesis dan
megakariosit muda. Pada masa pemulihan, sumsum tulang menjadi hiperselular yang
terutama diisi oleh eritropoiesis dengan pembentukkan trombosit yang sangat aktif.

Demam Dengue (DD)
Setelah masa inkubasi 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodromal yang tidak
khas seperti nyeri kepala, sakit tulang belakang, dan perasaan lelah. Tanda khas dari DD
adalah peningkatan suhu mendadak, kadang-kadang disertai menggigil, sakit kepala, dan
flushed face (muka kemerahan). Dalam 24 jam, terasa nyeri pada belakang mata terutama pada
pergerakan mata atau bila bola mata ditekan, foto fobia, dan nyeri otot serta sendi. Gejala lain
yang dapat dijumpai adalah anoreksia, konstipasi, nyeri perut/kolik, nyeri tenggorok, dan
depresi. Gejala tersebut biasanya menetap untuk beberapa hari.
Demam, suhu pada umumnya antara 39-4O
o
C, dapat bersifat bifasik, menetap antara
5-6 hari. Pada awal fase demam timbul ruam menyerupai urtikaria di muka, leher, dada dan
pada akhir fase demam (hari sakit ketiga atau keempat), ruam akan menjadi makulopapular.
Selanjutnya pada akhir fase demam atau awal suhu turun timbul petekie yang menyeluruh
biasanya pada kaki dan tangan, diantara petekie dapat dijumpai area kulit normal berupa
bercak keputihan, kadang-kadang dirasakan gatal. Perdarahan kulit pada DD terbanyak
adalah uji tourniquet positif dengan atau tanpa petekie.
Derajat penyakit sangat bervariasi, berbeda untuk tiap individu dan pada daerah
epidemi. Perjalanan penyakit biasanya pendek, tetapi dapat memanjang terutama pada
dewasa sampai beberapa minggu. Pada dewasa seringkali disertai lemah, depresi dan
bradikardia. Perdarahan seperti mimisan, perdarahan gusi, hematuria dan menorhagia, sering
terjadi pada saat epidemi DD. Walaupun jarang, kadang-kadang terjadi perdarahan hebat
sehingga menyebabkan kematian. Demam dengue yang disertai dengan manifestasi
perdarahan harus dibedakan dengan DBD. Pada awal fase demam akan dijumpai jumlah
leukosit normal, kemudian menjadi leukopenia selama fase demam. Jumlah trombosit
pada umumnya normal, demikian pula semua faktor pembekuan; tetapi pada saat
epidemi, dapat dijumpai trombositopenia. Serum biokimia dan enzim pada umumnya
normal, tetapi enzim hati dapat meningkat.
Manifestasi klinis DD menyerupai berbagai penyakit virus (termasuk demam
chikungunya), bakteria, riketsia, dan infeksi parasit. Untuk membedakan secara klinis antara
satu dengan yang lain pada awal penyakit hampir tidak mungkin, oleh karena itu diperlukan
pemantauan selama perjalanan penyakit. Diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan isolasi
virus atau serologi.


Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologi infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara
DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan hemostasis dan perembesan
plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan
peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopenia (sedang sampai berat) dan
hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalu dijumpai.

Demam berdarah dengue dapat menyerang semua golongan umur, walaupun sampai saat
ini DBD lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat
kecenderungan kenaikan proporsi pasien DBD dewasa.
Terdapat 4 gejala utama DBD, yaitu demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali
dan kegagalan sirkulasi. Gejala klinis DBD diawali dengan demam mendadak, disertai dengan
muka kemerahan (facial flush) dan gejala klinis lain yang tidak khas, menyerupai gejala demam
dengue, seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, dan nyeri pada otot dan sendi. Pada beberapa
pasien mengeluh nyeri tenggorok dan pada pemeriksaan ditemukan faring hiperemis. Gejala lain
yaitu perasaan tidak enak di daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkung iga kanan, kadang-
kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut.
Fase kritis penyakit ini terjadi pada akhir fase demam. Setelah 2-7 hari demam, terjadi
penurunan tiba-tiba dari temperatur yang disertai dengan gangguan sirkulasi. Penderita dapat
berkeringat, tampak lemah, ekstremitas dingin, perubahan frekuensi nadi, dan tekanan darah.
Pada kasus yang lebih ringan, perubahan ini terjadi secara minimal dan sementara, disebabkan
kebocoran plasma yang ringan. Banyak pasien dapat sembuh spontan atau setelah terapi cairan
dan elektrolit. Pada kasus yang lebih berat, bila terjadi kehilangan plasma yang besar, terjadi
syok yang menjadi parah dalam waktu yang singkat dan dapat menyebabkan kematian bila tidak
segera ditangani.

Dengue Shock Syndrome (DSS)
Kondisi pasien yang mengalami syok akan memburuk setelah demam selama 2-7 hari.
Perburukan kondisi ini terjadi saat atau sesaat setelah penurunan suhu tubuh, yaitu antara 3-7
hari setelah onset. Terdapat tanda-tanda kegagalan sirkulasi, seperti kulit menjadi dingin, blotchy
dan kongesti, perioral sianosis, dan nadi yang meningkat. Penderita awalnya tampak mengantuk,
kemudian menjadi gelisah dan dengan cepat memasuki tahp krisis dari syok. Nyeri abdomen
akut sering dikeluhkan sebelum syok terjadi.
DSS biasanya ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah, penyempitan tekanan nadi
(<20 mmHg), baik pada tensi normal maupun hipotensi, kulit dingin dan lembab, serta gelisah.
Pasien yang mengalami DSS terancam kematian bila terapi yang tepat tidak diberikan segera.
Pasien dapat jatuh pada kondisi syok berat dimana tekanan darah dan nadi sudah tidak dapat
diukur. Durasi syok sangat singkat, umumnya pasien meninggal dalam 12 sampai 24 jam, atau
pulih kembali dengan terapi pengganti volume yang sesuai. Efusi pleura dan asites dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi. Syok yang tidak dikoreksi dapat
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik, perdarahan gastrointestinal dan organ lain yang
parah. Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan kejang dan koma. Ensefalopati dapat terjadi
karena gangguan metabolik, elektrolit atau karena perdarahan intrakranial.
Pemulihan pasien DSS dapat terjadi dalam waktu singkat, bahkan pada kasus syok berat.
Pasien yang selamat akan pulih dalam waktu 2-3 hari, walaupun efusi pleura dan asites bisa tetap
ada. Prognosa baik apabila pengeluaran urin adekuat dan nafsu makan kembali normal.



Definisi Kasus DD
Tersangka (probable): bila ada episode demam akut dengan sekurang-kurangnya 2
gejala berikut ini:
Sakit kepala
nyeri retro-orbital
mialgia
arthralgia
rash
manifestasi perdarahan
leukopeni
ditunjang laboratorium serologis IgM-IgG
adanya kasus lain yang terbukti demam dengue di sekitarnya
Confirmed kasus dikonfirmasi dengan kriteria laboratorik.
Reportable setiap kasus harus dilaporkan.
Definisi Kasus DBD
Semua gejala berikut harus ada :
Demam, riwayat demam 2-7 hari biasanya bifasik
Kecenderungan perdarahan, sekurang-kurangnya salah satu dari:
uji tourniquet positif
petekie, ekimosis atau purpura
perdarahan mukosa, saluran cerna, lokasi bekas
tusukan jarum
hematemesis/melena
Trombositopenia (100.000/mm
3
atau kurang)
Bukti adanya kebocoran plasma, sekurang-kurangnya salah satu dari:
nilai Ht meningkat (>20% di atas rata-rata untuk semua umur dan populasi)
efusi pleura, asites dan hipoproteinemia
Definisi Kasus DSS
Keempat kriteria untuk untuk DBD harus ada, disertai adanya manifestasi kegagalan
sirkulasi :
nadi cepat dan lemah
penyempitan tekanan nadi (<20 mmHg), atau
hipotensi sesuai usia
kulit dingin dan lembab, pasien tampak gelisah.

Derajat Penyakit
DHF/DH Grade Symptom Lab
DF Fever with two or more of the following
signs: headache, retro orbital pain, myalgia,
arthralgia
Leukopenia
occasionally.
Thrombocytopenia,
may be present, no
evidence of plasma loss
DHF I Above signs plus positive tourniquet test Thrombocytopenia
<100,000, Hct rise >20%
DHF II Above signs plus spontaneous bleeding Thrombocytopenia
<100,000, Hct rise
>20%
DHF III Above signs plus circulatory failure
(weak pulse, hypotension, restlessness)
Thrombocytopenia
<100,000, Hct rise >20%
DHF IV Profound shock with undetectable blood
pressure and pulse
Thrombocytopenia
<100,000, Hct rise
>20%
Tatalaksana Kasus Tersangka DBD
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu
masyarakat/orang tua diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/gejala yang mungkin
merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, badan lemah, dan anak tampak
lesu.
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu:
(1) Adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah, nafas
cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab),
muntah terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah
darah, berak hitam, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana
disesuaikan).
(2) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji
tourniquet dan hitung trombosit:
a. Bila uji tourniquet positif dengan trombosit <100.000/ul,
pasien dirawat untuk observasi (tatalaksana DBD derajat 1).
b. Bila uji tourniquet positif atau negatif dengan trombosit
>100.000/ul atau normal, pasien boleh pulang dengan
pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu
turun. Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht,
dan trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila
terjadi penurunan kadar Hb dan/atau peningkatan kadar
Ht, segera rawat. Pasien dianjurkan minum banyak seperti
air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan Iain-lain, serta
diberikan obat antipiretik golongan parasetamol jangan
golongan salisilat. Bila keadaan klinis memburuk (gelisah,
ujung kaki/tangan dingin) segera ke rumah sakit.
(3) Jika dalam 2 hari demam tidak turun atau timbul tanda/gejala
lanjut seperti perdarahan, fnuntah, gelisah, lemah, dianjurkan
segera dibawa berobat ke dokter atau ke puskesmas, dan
rumah sakit.




Tatalaksana Kasus DBD Derajat I dan DBD derajat II tanpa Peningkatan
Hematokrit

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD derajat I)
atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola
seperti tertera pada bagan di atas.
Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1
sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh
manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu >
38,5C. Pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif.
Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan
infus NaCl 0,9% : Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan.
Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit setiap 6-12 jam.
Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan
dengan perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahan yang
terjadi. Kadar Hb, Ht dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam.
Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratoris, anak dapat
dipulangkan; tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun, maka infus
cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan seperti pada bagan berikut.

Tatalaksana Kasus DBD Derajat II dengan Peningkatan Hemokonsentrasi > 20%

Pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus
selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (paling
tersering perdarahan kulit dan mukosa, yaitu petekie atau mimisan), disertai
penurunan jumlah trombosit < 100.000 /ul, dan peningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/ringer asetat/NaCl
0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9% 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor
tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam.
1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu
anak tampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil,
diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun minimal dalam
2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya
tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam, selanjutnya evaluasi 12-24 jam dan akhirnya
cairan dihentikan pada 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok.
Maka apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak
tampak gelisah, nafas cepat (distres pernafasan), frekuensi
nadi meningkat, diuresis kurang, serta peningkatan Ht, maka
tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Apabila belum
terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan lagi
menjadi 15 ml/kgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi.
Apabila distres pernafasan menjadi lebih berat dan Ht naik
dan tekanan nadi < 20 mmHg maka berikan cairan koloid 20-
30 ml/kgBB/jam, tetapi bila Ht turun, berikan transfusi darah
segar 10 ml/kgBB/jam. Bila keadaan klinis membaik, maka
cairan disesuaikan seperti butir 1.







Tatalaksana Kasus SSD atau D6D Derajat III dan IV

Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba
kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit (misalnya sistolik 90 dan diastolik
80 mmHg, jadi tekanan nadi < 20 mmHg), bibir biru, tangan kaki dingin, dan tidak ada
produksi urin.
(1) Segera beri infus kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, atau
NaCl 0,9%) 20 ml/kgBB secepatnya (diberikan secara bolus
dalam waktu 30 menit), dan oksigen 2 liter/menit. Untuk SSD
berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak
terukur), diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB dan koloid (lihat
butir 2). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit
dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
(2) Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan
ringer laktat dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh
frozen plasma) atau koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20
mL/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur
infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya).
Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap
15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis,
elektrolit dan gula darah.
a. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi
> 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Volume 10 ml/kg berat badan/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis
stabil dan hematokrit menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/kgBB
sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil, kemudian secara bertahap cairan diturunkan
5 ml dan seterusnya 3 ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48
jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin > 1 ml/kgBB/jam, BD urin < 1,020), dan pemeriksaan
hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
b. Apabila syok belum teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih > 40 vol%,
berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kgBB. Apabila tampak perdarahan masif,
berikan darah segar 20 ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam.
Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8 cm H2O) pada syok berat kadang-kadang
diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.


Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan Laboratorium
a. Isolasi Virus Dengue
Faktor yang mempengaruhi keberhasila isolasi virus adalah pengambilan bahan
pemeriksaar (BP) pada awal perjalanan penyakit (biasanya dalam 5 liari setelah onset
demam), penanganan yang tepat dan penghantaran BP secepatiiya ke laboratorium.



Pemeriksaan Serologis
a. Uji HI (Hemaglutination Inhibition test)
Tes HI merupakan pemeriksaan yang sederhana, sensitif dan cepat. Kerugiannya
adalah serum, sebagai BP, harus diberi perlakuan awal dengan aseton dan koalin, untuk
menyingkirkan inhibitor hemaglutinasi nonspesifik dan aglutinin nonspesifik. Untuk
mendapatkan hasil yang maksimal, maka pemeriksaan hams dilakukan dua kali, yaitu saan
masa akut dan saat masa pemulihan. dengan interval kurang dan 7 hari, dan tes ini tidak
dapat membantu diagnosa pada infeksi primer. Tes in~dapat mengalami kegagalan dalam
membedakan infeksi yang disebabkan oleh flavivirus lainnya, seperti virus Japanese
encephalitis, dan virus West Nile
Antibody response S1-S2 interval Convalescent titer Interpretation
4 fold rises 7 days 1 : 1280 Acute flavivirus infection,
primary
4 fold rises Any specimen 1 : 2560 Acute flavivirus infection,
scondry
4 fold rises < 7 days 1 : 1280 Acute flavivirus infection, either
primary or secondary
No change Any specimen 1 : 2560 Recent flavivirus
infection,secondary
No change 7 days 1 : 1280 Not Dengue
No change < 7 days 1 : 1280 Uninterpretable
Unknown Single specimen 1 : 1280 Uninterpretable
'
b. Uji Pengikatan Komplemen (Complement Fixation test)
Tes ini dapat digunakan untuk diagnosa serologis, walaupun tes ini merupakan
pemeriksaan serologis yang memiliki sensitifitas paling rendah dan pemeriksaan lain telah
menggantikan posisinya. Antibodi fiksasi komplemen muncul setelah antibodi IgM dan HI,
dan biasanya lebih spesifik. Sehingga pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
menskonfirmasi adanya infeksi dengue pada pasien yang terlambat melakukan pemeriksaan
seroiogis. Peningkatan 4 kali titer antibodi ini, dengan interval antara masa aktif dan masa
pemulihan kurang dari 2 minggu, signifikan pada infeksi sekunder dengue.

c. Uji Netralisasi (Neutralization test)
Tes netralisasi yang paling sensitif dan spesifik adalah serum delution, virus-constant,
plaque-reduction test. Setelah infeksi dengue primer, antibodi netralisasi spesifik dengue
akan terdeteksi pada awal masa pemulihan. Setelah infeksi dengue kedua, titer antibodi ini
akan meningkat untuk melawan keempat serotipe virus dengue dan flavivirus lainnya.

d. Uji MAC-ELISA (IgM Captire Enzime-Linked Immunosorbent Assay)
Pada infeksi virus dengue primer maupun sekunder, MAC-ELISA dapat menghitung
peningkatan IgM spesifik terhadap dengue, bahkan pada serum yang diambil pada hari
peitama hingga hari kedua fase akut. BP yang diambil yang diambil setelah hari ke-2-3 masa
pemulihan juga masih dapat dideteksi oleh pemeriksaan ini. Pada kasus-kasus tertentu
dimana BP hanya dapat diambil satu kali, adanya IgM antidengue sudah dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosa adanya infeksi dengue yang baru. bahkan pada infeksi primer
dimana level antibodi HI tidak dapat memberikan nilai diagnostik.

Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG pada kasus DBD, dapat terdeteksi beberapa kelainan
:
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Hepatomegali, dilatasi V. hepatika dan kelainan parenkim hati
4. Cairan dalam rongga peritoneum
5. Penebalan dinding vesika felea
Kelainan ini dapat terdeteksi dengan foto rontgen dada, foto rontgen perut dan USG.
Foto rontgen dada dilakukan dengan 2 posisi, yaitu AP supine dan RLD (right lateral
decubitus). Foto rongen perut dilakukan dengan posisi AP supine. Pemeriksaan USG
dilakukan pada posisi agak supine dengan potongan transversal, longitudinal atau oblique.

Anda mungkin juga menyukai