Anda di halaman 1dari 4

BAB III

ANALISA KASUS

3.1 Bronkopneumonia
Diagnosa bronkopneumonia pada kasus ini ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penuunjang. Dari anamnesis terhadap ibu pasien, didapatkan
keterangan yang mengarahkan pada kecurigaan pneumonia, yaitu sesak nafas, batuk berdahak
dan demam. Manifestasi klinis bronkopneumonia adalah gejala infeksi umum (demam, sakit
kepala, penurunan nafsu makan) dan gejala gangguan repiratori (batuk, sesak nafas). Dari
anamnesis, manifestasi klinis didahului beberapa hari dengan gejala infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA), yaitu batuk, rinitis (pada pasien ini didahului batuk), peningkatan
usaha bernafas, demam. Keluhan yang paling menonjol pada pasien bronkopneumonia adalah
batuk dan demam.2,3,5
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus terminalis yang
mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa infiltrat atau konsolidasi pada
alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia ini dapat mengakibat gangguan pertukaran gas
setempat. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh
bakteri,virus, jamur dan benda asing. Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan
penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis, dan strategi pengobatan.6
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang semakin menguatkan
bronkopneumonia yaitu takipnu, takikardi, suhu aksila 37,7 c, nafas cuping hidung,suara
nafas vesikuler melemah, dan Stridor di kedua basal paru.. Gejala-gejala pneumonia bakteri
pada bayi adalah demam,RR meningkat dan adanya batuk berdahak2,3,5
Berdasarkan kepustakaan bronkopneumonia adalah suatu infeksi akut pada paru paru
yang secara anatomi mengenai begian lobulus paru mulai dari parenkim paru sampai
perbatasan bronkus yang dapat disebabkan oleh bermacam macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing ditandai oleh trias (sesak nafas, pernafasan cuping hidung,
sianosis sekitar hidung atau mulut). Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus
respiratoris bagian atas selama beberapa hari.Suhu dapat naik mendadak sampai 39 40o C
dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah dispneu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung
dan mulut. Kadang kadang disertai muntah dan diare.Batuk biasanya tidak ditemukan pada
permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk selama beberapa hari, yang mula mula kering
kemudian menjadi produktif. Pada laboratorium pada bronkopneumonia, gambaran darah
terdapat leukositosis sedangkan pada bronkiolitis gambaran darah tepi dalam batas normal,
kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun metabolik. Usapan
nasofaring menunjukkan flora bakteri normal. Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui
jalan nafas secara percikan (droplet), proses radang pneumonia dapat dibagi atas 4 stadium,
yaitu :
1. Stadium kongesti
Kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih, bakteri
dalam jumlah banyak, beberapa neutrofil dan makrofag
2. Stadium hepatisasi merah
Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara, warna
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar.Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit
netrofil, eksudat dan banyak sekali eritrosit dan kuman.Stadium ini berlangsung sangat
pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu
Lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu.Permukaan pleura
suram karena diliputi oleh fibrin.Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis
pneumokokus.Kapiler tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi
Eksudat berkurang Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami
nekrosis dan degenerasi lemak.Fibrin diresorbsi dan menghilang.Secara patologi anatomis
Bronkopneumonia berbeda dari pneumonia lobaris dalam hal lokalisasi sebagai bercak
bercak dengan distribusi yang tidak teratur.Dengan pengobatan antibiotika urutan stadium
khas ini tidak terlihat.4
Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu, darah
perifer lengkap, C-reaktif Protein (CRP), uji serologis, pemeriksaan mikrobiologis dan
pemeriksaan rontgen thoraks. Pemeriksaan darah lengkap perfier pada pneumonia yang
disebabkan oleh virus biasanya leukosit dalam batas normal, namun pada pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri didapatkan leukositosis (15.00040.000/mm3). Dengan dominan
PMN. Leukopenia (<5000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi
Chlamydia kadangkadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN
pada cairan eksudat berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih
rendah dari pada glukosa darah. Kadangkadang terdapat anemia ringan dan LED yang
meningkat. CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin,
terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat
mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak, secara klinis CRP
digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi,
infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisial atau profunda. Uji serologik untuk
mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia
tampak adanya peningkatan antibodi IgM dan IgG. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat diambil dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah,
punksi pleura atau aspirasi paru.
Pasien didiagnosa banding dengan bronkiolitis karena bronkiolitis sering menyerang
anak usia 2-24 bulan dengan puncak insidensi pada bayi laki-laki usia 2-8 bulan yang tidak
mendapat Air Susu Ibu (ASI) dan hidup dilingkungan padat penduduk. Gejala pada
bronkiolitis yang mirip dengan brokopneumonia adalah didahului dengan ISPA, seperti pilek
ringan, batuk, dan demam, disusul dengan demam disertai sesak nafas, merintih, nafas
berbunyi, rewel, dan penurunan nafsu makan. Menurut Siahaan (2013) pada bronkilitis
ditemukan wheezing dimana pada bronkopneumonia jarang ditemukan wheezing sedangkan
menurut Prober (1999) pada bronkopneumonia juga dapat ditemukan adanya wheezing. Pada
pasien ini tidak ditemukan adanya wheezing.8,10
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah tirah baring, pemberian Oksigen
2 liter/menit, Infus 4:1 dengan 15 tetes/menit (mikro), dan di berikan medikamentosa berupa
antibiotik ceftriaxone 75 mg/8jam (intravena) dan Gentamisin 15mg/12jam (intravena).6
Oksigen diberikan untuk mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk bernapas,
dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen diberikan pada anak yang menunjukkan gejala
adanya tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam, SpO2< 90%, frekuensi
nafas 60x/menit atau lebih, merintih setiap kali bernafas untuk bayi muda, dan adanya head
nodding (anggukan kepala). Selanjutnya diberikan ceftriaxone 75 mg/8jam, sesuai dengan
teori yang dapat dilihat berdasarkan etiologi dari bronkopneumonia akibat bakteri, bakteri
yang cukup banyak menyebabkan bronkopneumonia adalah bakteri kokus gram positif
seperti streptococcus pneumonia, dan pneumococcus.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya ISPA (infeksi saluran pernapasan
akut ) adalah tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat
pendidikan dan pengetahuan, jangkauan pelayanan Zat gizi (makanan) memiliki efek kuat
untuk reaksi kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi. Hal ini dibuktikan dengan
adanya hasil penelitian akhir-akhir ini yang memperlihatkan bahwa melalui pemberian gizi,
dan hormon anabolik dapat mengatur daya tahan (resistensi) hospes terhadap infeksi bakteri.
Kurang Energi Protein (KEP), ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat
sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan
salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status
gizi. Resiko kesakitan hingga resiko kematian pada BBLR cukup tinggi oleh karena adanya
gangguan pertumbuhan dan imaturitas organ. Penyebab utama kematian pada BBLR adalah
afiksia, sindroma gangguan pernapasan, infeksi dan komplikasi hipotermia. Pada bayi BBLR,
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit
infeksi terutama Pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai