Deep Frying
Deep Frying
o
C; suhu detektor: 230
o
C; suhu kolom: program
temperature (kolom temperatur: awal 190
o
C diam
15 menit, akhir 230
0
C diam 20 menit dan rate
10
0
C/menit); ratio = 1:8; inject volum: 1 L;
linier velocity: 20 cm/sec.
d. Analisis dimulai dari injeksi pelarut (1 L) ke
dalam kolom untuk memperoleh baseline,
kemudian dilanjutkan dengan menginjeksi 5 L
campuran standar FAME. Bila semua puncak sudah
keluar baru kemudian sampel diinjeksikan
sebanyak 5 L. Waktu retensi dan puncak sampel
diukur untuk masing-masing komponen
dibandingkan dengan standar dan dihitung dengan
cara sebagai berikut:
C
x
= A
x
. R C
s
A
s
keterangan:
C
x
: Konsentrasi komponen X
C
s
: Konsentrasi standar internal
A
x
: Luas puncak komponen X
A
s
: Luas puncak standar internal
R : Respon
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 23-28
26
3. Hasil dan Pembahasan
Uji asam lemak trans pada minyak goreng (setelah
menggoreng singkong). Tabel 1 menunjukkan
kandungan asam oleat pada minyak segar (sebelum
digunakan dalam proses menggoreng) yaitu sebesar
41,35%
b
/
b
. Setelah minyak dipakai untuk menggoreng
singkong terlihat penurunan kadar asam oleat (sampel
A, B dan C), tetapi belum tampak adanya pembentukan
asam lemak trans. Asam lemak trans baru terbentuk
setelah minyak dipanaskan pada pengulangan ke-2
dengan waktu 30 menit yaitu sebesar 0,37%
b
/
b
(sampel
D). Jumlah asam lemak trans (elaidat) ini meningkat
sejalan dengan pengulangan ke-3 dan ke-4 serta
penambahan waktu menggoreng (sampel E, F, G dan
H).
Reaksi oksidasi terhadap asam oleat (bentuk cis)
menyebabkan terbentuknya isomer trans (asam elaidat).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya asosiasi
negatif antara asam elaidat dan asam oleat (r = -0,8;
p = 0,016), artinya penurunan kadar asam oleat (cis)
diikuti dengan peningkatan kadar asam elaidat (trans).
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa
pengulangan penggunaan minyak goreng kemungkinan
dapat menyebabkan adanya kandungan asam lemak
trans pada makanan yang digoreng. Walaupun jenis
bahan baku makanan tersebut bukan berasal dari
kelompok ruminansia. Hal ini karena terjadinya
penyerapan minyak oleh bahan makanan selama proses
penggorengan.
Uji asam lemak trans pada minyak goreng (setelah
menggoreng daging sapi). Seperti halnya proses
menggoreng singkong, asam lemak trans belum
terbentuk saat minyak pertama kali digunakan untuk
menggoreng daging sapi. Kadar asam oleat (bentuk cis)
pada tahap penggorengan awal sebesar 35,94%
b
/
b
(sampel A). Pembentukan asam lemak trans (asam
elaidat) baru terjadi setelah minyak dipanaskan 2 (dua)
menit berikutnya yaitu sebesar 0,13%b/b (sampel B).
Jumlah asam elaidat ini meningkat sejalan dengan
pengulangan ke-2 dan ke-3 serta menurun pada
pengulangan ke-4. Pada sampel E terjadi peningkatan
kadar asam elaidat yang cukup besar yaitu 1,51% b/b
dan kembali menurun pada sampel F, G dan H. Hasil
uji korelasi Pearson antara asam elaidat dan asam oleat
menunjukkan bahwa ada asosiasi negatif antara asam
elaidat dan asam oleat, walaupun hubungan ini tidak
signifikan (r = -0,14; p > 0,05). Peneliti menduga bahwa
tidak adanya hubungan antara penurunan asam lemak
bentuk cis dan peningkatan asam lemak bentuk trans
disebabkan oleh reaksi oksidasi yang tidak saja
mengubah bentuk cis menjadi trans, tetapi juga merusak
ikatan isomer trans yang sudah ada.
Bentuk isomer dari asam linoleat (cis) adalah asam
linolelaidat (C
18
:2n9t). Pada penelitian ini, tampaknya
asam linolelaidat (trans) hanya terdeteksi pada sampel
E yaitu sebesar 0,25%
b
/
b
. Tetapi pada proses
pengulangan berikutnya tidak lagi terdeteksi adanya
jenis asam lemak trans ini.
Tabel 1. Hasil Analisis Asam Elaidat dan Asam Oleat
pada Minyak (Setelah Menggoreng Singkong)
dalam Berbagai Pengulangan
Pengu-
langan
Sampel
(minyak)
Waktu
(Menit)
Suhu
(
C)
Asam Elaidat
(trans)
(C18:1n9t)
(%
b
/
b
)
Asam
Oleat (cis)
(C18:1n9c)
(%
b
/
b
)
Minyak baru - 41,35
Ke-1 A 15 200 - 37,94
B 30 200 - 39,55
Ke-2 C 15 200 - 41,92
D 30 200 0,37 36,16
Ke-3 E 15 200 0,54 37,22
F 30 200 0,54 36,33
Ke-4 G 15 200 0,66 36,59
H 30 200 0,73 35,69
Keterangan : - = tidak ada ; (r =- 0,8, p =0,016); asam lemak elaidat
() = 23,104 (C18:1n9t)
Tabel 2. Hasil Analisis Asam Elaidat dan Asam Oleat pada
Minyak (Setelah Menggoreng Daging Sapi)
dalam Berbagai Pengulangan
Pengulangan
Sampel
(minyak)
Waktu
(menit)
Suhu
(
C)
Asam
Elaidat
(trans)
(C18:1n9t)
(%
b
/
b
)
Asam Oleat
(cis)
(C18:1n9c)
(%
b
/
b
)
Ke-1 A 2 200 - 35,94
B 2 200 0,13 40,72
Ke-2 C 2 200 0,90 37,08
D 2 200 0,85 35,79
Ke-3 E 2 200 1,51 27,92
F 2 200 1,17 35,99
Ke-4 G 2 200 1,36 37,81
H 2 200 1,20 36,80
Keterangan : - = tidak ada; (r=- 0,14, p=0,736); asam lemak elaidat
() = 23,104 (C18:1n9t)
Gambar 1. Hasil Analisis Asam Lemak pada Minyak
Goreng Menggunakan Gas Chromatography,
Kolom Cyanopril Methyl Sil (Capilary Column)
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 23-28
27
Kadar asam lemak trans yang cenderung turun naik
pada minyak hasil menggoreng daging, kemungkinan
disebabkan asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam
daging mengalami pemecahan ikatan rangkap (asam
oleat, linoleat dan linolenat) serta terjadi isomerisasi,
sehingga terlihat kadar asam elaidat (trans) tertinggi
pada sampel E, diikuti dengan penurunan kadar oleat
(terendah). Jadi pembentukan asam lemak trans
(C
18
:1n9t dan C
18
:2n9t) kemungkinan tidak saja berasal
dari asam lemak cis pada minyak yang mengalami
isomerisasi, tetapi juga berasal dari asam lemak trans
yang secara alamiah sudah terdapat dalam daging sapi
(ruminansia), yang kemudian selama proses
penggorengan terjadi pelarutan asam lemak trans dari
komponen daging yang digoreng tersebut. Daging yang
sebelum digoreng mengandung 2,2 %b/b asam elaidat.
Pada saat menggoreng daging, waktu yang dibutuhkan
relatif lebih singkat dibandingkan dengan saat
menggoreng singkong. Hal ini disebabkan karena
daging tersebut sudah dalam keadaan pre-cooked,
sehingga waktu untuk menjadi matang relatif lebih
pendek [10].
Proses menggoreng dengan cara deep frying dan
pengulangan dapat menyebabkan terjadinya isomerisasi
geometri dan posisi
[2]
. Perubahan kecil terhadap suhu
pemanasan sangat mempengaruhi proses pembentukan
isomer geometri dari cis menjadi trans yang lebih stabil,
hal ini ditandai dengan perubahan kecepatan reaksi dan
energi aktivasi pembentukan isomer [11].
Pada penelitian ini, asam lemak trans yang terbentuk
adalah asam elaidat sebagai hasil oksidasi terhadap
asam oleat (C18:1 cis). Sedangkan hasil reaksi oksidasi
asam linoleat (C18:2 cis) adalah campuran konyugasi
antara 9- dan 13- diene hydroperoxides kemudian
mengalami isomerisasi geometrik membentuk trans
isomer yaitu asam linolelaidat (C18:2 trans)
[6].
Pemanasan minyak terputus (dipanaskan-didinginkan-
dipanaskan) selama beberapa hari menyebabkan
destruksi makin cepat dan mengalami dekomposisi, bila
kemudian didinginkan (malam hari) akan menyebabkan
dekomposisi pada saat minyak dipanaskan kembali.
Minyak goreng yang digunakan lebih dari 4 (empat) kali
pemanasan akan mengalami oksidasi (reaksi dengan
udara) yang ditandai dengan terbentuknya peroksida
[11] .
Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak
tak jenuh (memiliki ikatan rangkap), tetapi bila minyak
dipanaskan suhu 100
o
C atau lebih, asam lemak
jenuhpun dapat teroksidasi. Proses menggoreng pada
suhu 200
o
C lebih memudahkan kerusakan berupa reaksi
oksidasi terutama pada minyak dengan derajat
ketidakjenuhan tinggi [5]. Ketaren menyebutkan bahwa
kerusakan minyak diakibatkan oleh proses
penggorengan pada suhu tinggi (200-250
o
C) [2].
Penelitian yang dilakukan oleh Ananta menyebutkan
bahwa semua asam lemak esensial mudah rusak oleh
reaksi oksidasi dan pemanasan [10]. Pada suhu tinggi,
asam linoleat dapat mengalami polimerisasi serta
terbentuk asam lemak rantai pendek [7]. Kerusakan
minyak setelah proses deep frying tergantung dari jenis
minyak, mutu minyak goreng segar serta perlakuan
terhadap minyak ulangan. Minyak yang telah rusak
tidak hanya memberikan efek negatif bagi gizi dan
kesehatan tetapi juga berdampak pada tekstur dan rasa
makanan yang dihasilkan [1].
4. Kesimpulan
Simpulan. Setelah proses menggoreng dengan cara
deep frying (suhu tinggi dan waktu yang lama) terlihat
adanya hubungan terbalik antara kadar asam lemak
elaidat (trans) dan asam oleat (cis) dengan nilai p <0,05.
Pembentukan asam lemak trans terjadi setelah proses
penggorengan minyak pada pengulangan kedua.
Saran. Jika dilihat dari awal terbentuknya asam lemak
trans, sebaiknya proses menggoreng dilakukan dengan
api sedang (< 200
o
C) dan minyak goreng yang
digunakan sebaiknya tidak melebihi 2 (dua) kali
pengulangan. Sebagai kelanjutan dari penelitian ini,
dapat dilakukan analisa kandungan asam lemak trans
pada produk makanan gorengan dan makanan lainnya
yang mengandung trans dan sering dikonsumsi oleh
sebagian besar anggota masyarakat.
Daftar Acuan
[1] A. Khomsan, Pangan dan Gizi untuk Kesehatan,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, p. 47-53.
[2] S. Ketaren, Pengantar Teknologi Minyak dan
Lemak Pangan, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, 1986, p.61-143.
[3] N.N. Puspitasari, Bul.Tek dan Industri Pangan.
1996; 7: 84-94.
[4] P.A. Mayes, Biosintesis Asam Lemak. Biokimia,
in: R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes (Eds.),
A. Hartono (alih bahasa), Penerbit EGC
Kedokteran, Jakarta, 2003, p.217-281.
[5] S. Stender, D. Jorn, The Influence of Trans Fatty
Acids on Health, A Report From The Danish
Nutrition Council, 4th ed., The Danish Nutrition,
2003.
[6] O.R. Fennema (Ed), Food Chemistry, 3rd ed.,
Marcel Dekker, Inc., New York. USA, 1996.
[7] G.A. Jacobson, Quality Control of Commercial
Deep Fat Frying, Chemistry & Technology of
Deep Fat Frying, Food Technology Symposium,
1967, p.42-48.
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 23-28
28
[8] C.J. Robertson, The Practice of Deep Fat Frying
Chemistry & Technology of Deep Fat Frying, Food
Technology Symposium 1967 p. 34-36.
[9] T.P. Pantzaris, Palm Oil in Frying, Frying of Food:
Oxidation, Nutrient and Non-Nutrient
Antioxidants, Biologically Active Compounds and
High Temperatures, Boskou and Ibrahim E. (Eds.),
Technomic Publishing Company, Inc.,
Pennsylvania. USA, 1999.
[10] L.D. Joeliani, Skripsi Sarjana, Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Indonesia,
1996.
[11] C.M. Ananta, Skripsi Sarjana, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Indonesia,
1991.