Anda di halaman 1dari 7

F.

Pembahasan
Percobaan dalam praktikum ialah mengenai pengaruh koefisien partisi terhadap pH
suatu bahan obat yang bersifat asam lemah. Seperti yang diketahui bahwa pada
umumnya bahan-bahan obat sebagian besarnya bersifat asam lemah atau basah
lemah. Jika dilarutkan dalam air akan membentuk ion-ion dan ada juga yang tidak
terbentuk dalam ion, karena tidak mudah atau bahkan tidak larut dalam air. Tetapi,
beberapa obat yang tidak larut dalam air tersebut dapat larut dalam lipid. Kelarutan obat
tersebut terutama dipengaruhi oleh pH-nya. Semakin cepat obat tersebut larut dalam
tubuh, maka semakin cepat pula proses absorbsi atau penyerapannya oleh tubuh.
Absorbsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi bahan obat tersebut. Koefisien
partisi suatu obat merupakan perbandingan nilai kadar obat dalam fase lipoid terhadap
kadar obat dalam fase air setelah mencapai keseimbangan.

Dalam percobaan ini, bahan yang digunakan adalah dapar salisilat, dengan pH tertentu,
yaitu pH3, pH4, dan pH5 yang hendak diketahui koefisien partisinya. Digunakan larutan
dapar salisilat ini karena larutan dapar merupakan larutan yang dapat mempertahankan
pH-nya walaupun ditambahkan sedikit asam, maupun ditambahkan sedikit basa.
Larutan dapar salisilat yang digunakan tersebut dijadikan sebagai obat dalam fase cair.
Penggunaan pH larutan dapar salisilat dibuat beragam dari pH3 hingga pH5 bertujuan
untuk mengetahui pengaruh perubahan pH terhadap koefisien partisi asam salisilat,
sehingga dalam hal ini larutan dapar salislat yang harus dibuat beragam.

Karena koefisien partisi merupakan perbandingan kadar obat fase lipoid tehadap fase
airnya, maka perlu dibuat fase lipoid. Dalam percobaan ini, untuk membuat fase lipoid
digunakan kloroform p.a..

Larutan dapar salisilat lalu dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambahkan kloroform
serta diinkubasi selama 20 menit. Perlu dilakukan inkubasi untuk mempercepat
pemisahan antara kedua fase. Di samping itu, tidak menutup kemungkinan bahwa ada
sedikit bagian dari salah satu fase yang bereaksi terhadap fase lainnya (larutan salisilat
dan kloroform).

Setelah diinkubasi, larutan tersebut dimasukkan dalam corong pisah, selanjutnya
didiamkan beberapa saat, akan tampak dua lapisan atau dua fase cair yang berpisah
dan tidak saling bercampur. Kedua fase itu disebut sebagai fase air, yaitu larutan dapar
salisilat yang berada pada lapisan atas dan fase lipoid, yaitu klorofom yang berada
pada lapisan bawah.

Pemisahan dua fase tersebut dipengaruhi oleh perbedaan kepolaran dari masing-
masing fase tersebut, di mana larutan dapar salisilat tersebut bersifat polar, karena
sebagian juga mengandung air yang bersifat polar, sedangkan kloroform bersifat semi
polar, di mana tingkat kepolarannya sangat rendah. Dua cairan atau lebih dapat
bercampur jika memiliki kepolaran yang sama. Disamping itu, kloroform berada pada
lapisan bawah karena memiliki berat molekul yang lebih besar yaitu 119 gram/mol jika
dibandingkan dengan berat molekul asam salisilat, yaitu 138,12 gram/mol.

Setelah dikeluarkan dari corong pisah dan diukur volume fase air dan volume fase lipoid
sebagaimana yang telah diperoleh pada hasil pengamatan, larutan salisilat (fase air)
dan kloroform (fase lipoid) masing-masing diukur absorbansinya. Absorbansi
merupakan sinar yang diserap oleh senyawa dalam larutan. Pengukuran absorbansi
dengan menggunakan spektrofotometer. Dalam spektrofotometer akan memancarkan
sinar tampak yang kemudian melewati suatu larutan dan diserap oleh larutan yang
dilewati sehingga serapannya tersebut yang dikatakan sebagai absorbansi. Namun,
sinar tampak tersebut hanya dapat melewati larutan berwarna, sehingga untuk larutan
yang tidak berwarna perlu diwarnakan terlebih dahulu. Pewarnaan larutan tersebut
dilakukan dengan penambahan beberapa tetes larutan FeCl
3
yang dapat memberi
warna ungu pada larutan.

Dengan mengetahui besarnya absorbansi pada setiap larutan, dapat diketahui koefisien
partisi dengan menggunakan beberapa persamaan yang telah diuraikan pada hasil
pengamatan di atas, sehingga dapat diketahui hubungan absorbansi terhadap
perubahan pH dan hubungan koefisien partisi terhadap perubahan pH.

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dan grafik hubungan perubahan
absorbansi terhadap pH larutan sebagaimana pada hasil pengamatan di atas, bahwa
secara umum, semakin meningkat pH larutan suatu asam lemah, dalam hal ini adalah
asam salisilat, maka semakin meningkat juga nilai absorbansinya. Hal ini menunjukka
bahwa perubahan pH mempengaruhi nilai absorbansi suatu larutan, di mana nilai pH
suatu larutan berbading lurus dengan absorbansi.

Namun, jika diperhatikan lebih seksama, nilai absorbansi paling tinggi pada titik di saat
pH larutan sama dengan 4 dengan nilai absorbansi 0,620. Pada saat pH larutan sama
dengan 5, nilai absorbansinya sedikit menurun bahkan lebih rendah dibanding saat pH
larutan sama dengan 3, yaitu 0,555. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh tidak
meratanya konsentrasi larutan FeCl
3
saat ditambahkan pada masing-masing larutan
tersebut.

Selanjutnya

ialah nilai koefisien partisi dari larutan asam salisilat. sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, bahwa untuk memperoleh koefisien partisi suatu zat tertentu
diperlukan persyaratan kondisi tertentu. Apabila salah satu dari persyaratan tersebut
tidak terpenuhi, maka yang diperoleh adalah koefisien partisi semu atau biasa disingkat
APC (Apparent Partition Coefficient). Untuk memperoleh nilai APC dapat digunakan
beberapa persamaan matematis.

Berdasarkan hasil pengolahan analisis data yang juga disajikan dalam kurva hubungan
APC terhadap perubahan pH asam salisilat di atas, dapat diketahui bahwa semakin
tinggi nilai pH suatu larutan, maka semakin rendah nilai koefisien partisinya. Hal
tersebut berarti semakin mudah bahan obat tersebut terabsorbsi atau diserap oleh
tubuh, karena berdasarkan teori bahwa semakin besar koefisien partisi suatu bahan
obat, maka semaki sulit bahan obat tersebut terabsorbsi oleh tubuh, begitupun
sebaliknya.

Disamping itu, setelah mengetahui bagaimana hubungan APC suatu bahan obat
terhadap perubahan pH-nya, dapat diketahui pula hubungan absorbansi terhadap
APC. Menurut kurva hubungan APC-pH dan absorbansi-pH, diketahui bahwa nilai APC
berbanding terbalik dengan nilai absorbansi, di mana semakin besar nilai absorbansi
suatu larutan, maka nilai koefisien partisinya semakin kecil. Hal tersebut sejalan dengan
teori yang mengatakan bahwa semakin besar nilai koefisien partisi suatu larutan, maka
semakin kecil absorbansinya, begitu pula sebaliknya.

F. Pembahasan
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila
tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun
obat-obatan. Absorpsi obat di dalam tubuh terjadi setelah obat dibebaskan dari bentuk
sediaannya. Umumnya agar obat bisa memberikan efek biologis, obat yang telah
dibebaskan harus larut dan ditransportasikan oleh cairan tubuh menembus membran
biologis, dan dipenetrasi ke tempat kerjanya dan berinteraksi secara spesifik sehingga
menyebabkan perubahan-perubahan fungsi sel.
Secara umum, faktor utama yang mempengaruhi absorpsi obat adalah sifat
fisika kimia, yakni koefisien partisi. Koefisien partisi (P) : menggambarkan rasio
pendistribusian obat ke dalam sistem dua fase (lemak dan air). Permukaan membran
biologis berupa lipid, sehingga dapat dianggap bahwa penerobosan obat melalui usus
dapat dianggap sebagai kompetisi molekul obat diantara lingkungan air dan lipid
membran. Oleh sebab itu, prinsip kimia menentukan perpindahan obat dari lingkungan
air ke fase lipid membran.
Ada dua macam koefisien partisi, yakni koefisien partisi sejati dan koefisien
partisi semu. Koefisien partisi sejati (true Partition coeefficient) harus memenuhi
beberapa persyaratan kondisi, antara lain: (1) Antara kedua pelarut benar-benar tidak
bercampur satu sama lain; (2) Bahan obatnya tidak mengalami asosiasi atau disosiasi;
(3) Kadar obatnya relatif kecil; dan (4) kelarutan solut dalam masing-masing pelarut
kecil. Koefisien partisi semu (Apparent Partition Coefficient) merupakan suatu hasil
apabila persyaratan koefisien partisi sejati tidak terpenuhi. Dalam biofarmasetika dan
pada berbagai tujuan yang lain umumnya memiliki kondisi nonideal dan tidak disertai
koreksinya, sehingga hasilnya adalah koefisien partisi semu. Biasanya sebagai fase
lipoid adalah oktanol, kloroform, sikloheksan, isopropil, miristat, dan lain-lain. Fase air
yang biasa digunakan adalah larutan dapar. Percobaan ini merupakan keadaan
koefisien partisi semu.
Seperti yang telah diketahui, pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah
atau basa lemah. Pada percobaan, digunakan dapar salisilat dengan pH yang berbeda-
beda, yakni pH 3, pH 4, dan pH 5. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh
pH terhadap koefisien partisi. Ketiga larutan tersebut dicampur dengan kloroform dan
diinkubasi selama 20 menit. Setelah diinkubasikan dilanjutkan dengan mengencerkan
dan menambahkan larutan FeCl
3
dan HNO
3
yang kemudian diukur absorbansi larutan
tersebut untuk mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisinya.
Selain berpengaruh pada koefisien partisi, pH juga berpengaruh pada
absorbansinya.
dapat dilihat hubungan antara absorbansi dan pH larutan dapar. Pada pH 3,
absorbansinya sebesar 0,035. Begitu pula pada pH 4 dan pH 5 yang masing-masing
absorbansinya sebesar 0,022 dan 0,006. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi pH suatu
zat maka semakin rendah absorbansinya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah pH
suatu zat maka semakin tinggi absorbansinya. pH larutan juga berpengaruh dengan
koefisien partisi zat tersebut.


dapat diketahui bahwa pada pH 3 koefisien partisinya sebesar 0,6522. Pada pH
4, koefisien partisinya naik sebesar 27,9582. Selanjutnya, pada pH 5, koefisien
partisinya jauh meningkat sebesar 304,671. Dari data tersebut, diketahui bahwa
semakin tinggi pH zat maka semakin tinggi pula koefisien partisinya.

G. Kesimpulan

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pH
berpengaruh terhadap koefisien partisi obat yang bersifat asam lemah dalam campuran
pelarut kloroform-air. Semakin tinggi pH suatu larutan maka semakin tinggi pula
koefisien partisinya.

Anda mungkin juga menyukai