Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Epilepsi adalah terjadinya dua atau lebih bangkitan kejang tanpa provokasi
yang dipisahkan oleh interval lebih dari 24 jam. Insidens epilepsi pada populasi
umum diperkirakan 20-70 per 100.000 orang per tahun, dengan prevalensi 4-10
per 1000 orang. Insidens lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa dan
tertinggi pada neonatus.
1

Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi lepasnya muatan listrik ysng
berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan gejala terganggunya
fungsi otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimiawi,
anatomis, atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang
dapat mengganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang.
Dengan demikian, bangkitan kejang dapat diseabakan oleh banyak kelainan
diantaranya adalah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, umor otak,
perdarhan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak,
kelainan, degenerative susunan saraf pusat, gangguan metabolik, gangguan
elektrolit, demam, reaksi toksis-alergi, keracunan obat atau zat kimia.
2

Berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalografis, International
League Against Epilepsy (ILAE) menyusun klasifikasi kejang epilepsi menjadi
tiga jenis utama, yaitu kejang parsial, kejang umum, dan kejang yang tidak dapat
diklasifikasikan.
1

Manifestasi bangkitan kejang dapat bermacam-macam, dari yang ringan
seperti rasa tidak enak diperut sampai kepada yang berat (kesadaran menghilang
disertai kejang tonik-klonik). Semua ini bergantung kepada sel-sel neuron dalam
otak yang terangsang dan sampai berapa luas rangsangan ini menjalar.
2

Pemantauan pasien epilepsi dilakukan untuk mengetahui kepatuhan
minum obat, respon terhadap obat, dan timbulnya efek samping obat (bila perlu
dilakukan pemeriksaan darah tepid an fungsi hati). Juga perlu dilakukan evaluasi
neurologik ulang secara berkala.
1


Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik karena diagnosis
yang salah dan penggunaaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang
tidak terkontrol, depresi nafas, dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal
dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah saat ini kejang atau bukan.
Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.
3

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epilepsi adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermiten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik,dan
otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listik yang berlebihan dineuron
otak.
4
Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang
berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
3

2.2 Epidemiologi
Insidens epilepsi pada populasi umum diperkirakan 20-70 per 100.000
orang per tahun, dengan prevalensi 4-10 per 1000 orang. Insidens lebih tinggi
pada anak daripada orang dewasa dan tertinggi pada neonates.
1

2.3 Patofiisologi
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik
yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
disebabkan oleh: 1) kemampuan membran sel melepaskan muatan listrik yang
berlebihan. 2) berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino
butirat (GABA). Status epileptikus terjadi karena proses eksitasi yang berlebihan
berlangsung terus menerus.
5,6

2.4 Batasan
Epilepsi adalah suatu kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh
berulangnya bangkitan epilepsi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis lepas
muatan listrik yang berlebihan dan hipersinkron dari sel neuron diotak. Sindrom
epilepsy adalah epilepsy yang ditandai oleh sekumpulan gejala dan tanda klinis
yang terjadi bersama-sama, meliputi serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus,
usia onset, berat penyakit, kronisitas, dan prognosis. Status epileptikus adalah
bangkitan atau berulangnya bangkitan yang berlangsung selama >30 menit dan
kesadaran tidak kembali.
7

2.5 Etiologi
Penyebab epilepsi adalah multifactor, termasuk genetik dan penyebab
yang didapat. Faktor genetik sebagai penyebab epilepsi diantaranya:
7

1. Epilepsi sekunder pada tuberculosis dan fenilketonuria
2. Epilepsi primer yang disebabkan oleh gangguan eksitabilitas dan
sinkronisasi neuron korteks serebri.
Lesi di otak yang menyebabkan epilepsi sekunder diantaranya:
7

1. Asfiksia
2. Sklerosis hipokampus
3. Tumor
4. Trauma kepala
5. Infeksi
6. Stroke
Penentuan faktor penyebab epilepsi sangat menentukan untuk tatalaksana
selanjutnya karena epilepsi dapat diakibatkan berbagai macam etiologi. Adapun
etiologi tersering pada anak adalah:
9

1. Infeksi: meningitis, ensefalitis
2. Gangguan metabolik: hipoglikemi, hiponatremi, hipoksemi, hipokalsemi,
gangguan elektrolit, gagal ginjal, gagal hati, gangguan emtabolik bawaan.
3. Trauma kepala
4. Keracunan: alkohol, teofilin
5. Lain-lain: ensefalopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial,
idiopatik.


2.6 Klasifikasi
Komisi Klasifikasi dan Terminologi International League Against
Epilepsy (ILAE) tahun 1981 membuat sistem klasifikasi berdasarkan bentuk
bangkitan,yaitu:
7

1. Bangkitan parsial/fokal yang dimulai dari satu bagian hemisfer otak
2. Bangkitan umum yang dimulai dari kedua hemisfer secara simultan
Klasifikasi International Bangkitan Epilepsi (ILAE, 1981)
1. Bangkitan parsial
2. Bangkitan umum (konvulsi atau non konvulsi)
3. Bangkitan yang tidak dapat diklasifikasi
Klasifikasi International Epilepsi dan Sindrom Epilepsi (ILAE, 1989)
7

1. Hubungan lokalisasi dan sindrom (fokal, local, partial)
2. Epilepsi umum dan sindrom
3. Epilepsi umum dan sindrom yang tidak dapat ditentukan sifatnya fokal
atau umum
4. Sindrom epilepsi

2.7 Kriteria Diagnosis
Pada dasarnya epilepsi merupakan diagnosa klinis. Skema diagnostik
epilepsi dibagi menjadi 5 aksis yang dibuat untuk pendekatan klinis dalam
menentukan diagnosis dan tatalaksana epilepsi.
7

Aksis 1 : Iktal fenomenologi-bangkitan berdasarkan iktal terminologi
Aksis 2 : Tipe bangkitan berdasarkan tipe bangkitan epilepsi, lokaliasasi,
dan rangsang
Presipitasi bangkitan
Aksis 3 : Sindrom
Aksis 4 : Etiologi
Aksis 5 : Gangguan fungsi
Bentuk bangkitan epilepsi terutama didapatkan dari anamnesis secara teliti
dari orang tua, sehingga dapat ditentukan bentuk bangkitan berdasarkan iktal
fenomenologi dan lokalisasi area serebral.
7

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk memilih
pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis
dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian
mencari kemungkinan adanya faktor pencetus atau penyebab kejang. Tanyakan
riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan,
trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.

10
2.8 Pemeriksaan Penunjang
EEG (elektroensefalografi) merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling penting. Kelainan dan lokasi EEG interiktal (diantara bangkotan) selain
dapat membantu menegakkan diagnosis epilepsi juga dapat menentukan
klasifikasi bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi. Kelainan EEG interiktal saja
tidak cukup untik mendiagnosis epilepsi sebab 10-20% pasien epilepsi tidak
menunjukkan kelainan EEG dan 2-3% pasien bukan epilepsi menunjukkan
kelainan EEG. Diagnosis pasti epilepsi baru dapat ditegakkan bila bangkitan
muncul pada saat dilakukan rekaman EEG, sehingga rekaman iktal dapat
dikorelasikan dengan manifestasi klinis epilepsi.
7

Pemeriksaan penunjang fisis, neurologis, dan laboratorium dapat
membantu menemukan kelainan yang mnedasarinya. CT Scan dan MRI
merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui adanya kelainan struktur di
otak. MRI lebih unggul disbanding CT Scan kecuali untuk kasus dengan
kalsifikasi serebral.
7
CT Scan kepala dan MRI kepala adalah untuk melihat
apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak.
8



2.9 Terapi
Tujuan terapi epilepsi adalah bebas bangkitan, tanpa efek samping dalam
waktu yang sesingkat mungkin. Perlu diketahui obat mana yang paling efektif
twrhadap tipe bangkitan yang kedua, oleh karena setelah bangkitan yang kedua
risiko untuk berulangnya bangkitan 80-90%. Pada sebagian kecil penderita
epilepsi, OAE dapat dihindari meskipun bangkitan berulang, Anak dengan
epilepsi rolandik akan terus mengalami bangkitan sampai usia 16 tahun, bangkitan
biasanya pada malam hari, singkat, dan tanpa kehilangan kesadaran. Setelah anak
dan keluarga diberi pengertian, pengobatan sering tidak diperlukan. Apabila jarak
antara bangkitan pertama dan kedua 1-2 th, pemberian OAE dapat ditunda.
7

OAE dimulai dengan 1 macam OAE, mulai dengan dosis kecil dinaikkan
bertahap sampai bangkitan hilang atau muncul efek samping. Bila obat pertama
gagal, obat kedua dapat ditambahkan sampai bangkitan teratasi, kemudian OAE
pertama diturunkan, dengan tujuan monoterapi. Bila dengan obat kedua bangkitan
belum terkontrol, langkah ini dapat diulangi untuk mendapatkan obat tunggal atau
kombinasin yang efektif. Apabila dengan pengobatan monoterapi gagal dapat
dipertimbangkan pemakaian 2 atau lebih OAE (politerapi).
7

Pada umumnya OAE dapat dihentikan dalam 2-4 th bebas kejang,
tergantung dari jenis epilepsi, ada tidak kelainan neurologis yang mneyertai, dan
respons terapi OAE. Penghentian obat dilakukan secara bertahap (tapering off),
perlu waktu 6 bl untuk menghentikannya.
7

2.10 Prognosis
Pada umumya prognosis epilepsi baik, kurang lebih 70% penderita
epilepsi mengalami remisi (bebas bangkitan selama 5 th atau lebih setelah
penghentian obat). Beberapa factor predictor prognosis adalah kelainan neurologi
berat (retardansi mental, serebral palsi), terdapat beberapa jenis bangkitan,
respons terhadap OAE, EEG abnormal pada awal terapi atau EEG memburuk.
7

Anda mungkin juga menyukai