Anda di halaman 1dari 13

54 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

FISIONEUROHORMONAL PADA STRESOR OLAHRAGA


Sugiharto
Jurusan Ilmu Keolahragaan FIK Universitas Negeri Malang
Abstrak: Olahraga merupakan kegiatan yang menarik dan
menyenangkan, tidak hanya berdampak terhadap peningkatan
kesehatan, kondisi fsik dan fsiologis, tetapi juga psikologis.
Namun olahraga dengan dosis berat dan bersifat kompetitif
salah satu penyebab stres (stresor). Sebaliknya olahraga
yang dilakukan secara berkelanjutan dengan dosis yang tepat
menurunkan sekresi HPA Axis, hypercotisol yang rendah,
sitokin proinfamasi IL-6 aktif, merangsang sekresi hormone
pertumbuhan (GH), prolaktin dan dapat meningkatkan keke-
balan tubuh dengan dirangsangnya Th2. Dalam upaya menjaga
homeostatis, respon sistem stres diikuti oleh perubahan sikap
dan perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan homeo-
statis, sehingga tidak diragukan lagi bahwa olahraga memiliki
efek yang sangat menguntungkan bagi kesehatan baik keseha-
tan fsik maupun psikis.
Kata-kata kunci: olahraga, crh, hpa axis, gh, il-6.
Olahraga merupakan salah satu rang-
sangan yang sangat fsiologis dan meli-
batkan semua sistem tubuh, baik itu
sistem otot, syaraf, sistem metabolisme
maupun sistem hormon (Kanaley &
Hartman, 2002) dan sebagai metode
yang sangat efsien dalam mengontrol
stres (Teixeira dkk., 2008). Hal ini
karena olahraga dapat berperan untuk
mengontrol neurohormonal, syaraf oto-
nomik dan respon perilaku stres fsik
dan psikologis (Rimmele dkk., 2009
). Oleh sebab itu olahraga yang dilaku-
kan dengan baik memiliki peran yang
sangat penting dalam meningkatkan
kesehatan, baik kesehatan fsik maupun
kesehatan psikis (Mastorakos dkk.,
2005), kesegaran jasmani, mood dan
menurun- kan kecemasan serta mencegah
depresi (Strohle,2009). Namun olah-
raga juga memiliki resiko (Rost, 1993),
baik pada olahraga intensitas submak-
simal maupun maksimal (Gervino &
Douglas,1993). Terutama pada olahraga
yang berlebihan dengan dosis berat dan
kompetitif (Hackney,2006).
Olahraga merupakan stres fsik,
yang berpotensi menimbulkan gangguan
homeostatis, khusususnya pada olah-
raga yang dilakukan secara berlebihan
(Mastorakos & Pavlatou, 2005). Stres
fsik yang ditimbulkan tersebut menurut
Uchakin dkk. (2003) tidak hanya me-
nyebabkan stres fsik itu sendiri, tetapi
Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 55
juga dapat menyebabkan stres kimia f-
siologis dan pikologis. Hal ini berpoten-
si mengganggu homeostatis (Fatouros
dkk., 2010). Menurut Rimmele dkk.
(2007) olahraga dengan dosis berat juga
beresiko terjadi dehidrasi, menurunnya
berat badan kronis, masalah lambung,
hypo maupun hyperthermia, kerusakan
otot dan collap. Olahraga menyebabkan
peningkatan hormon kortisol baik olah-
raga dengan dosis maksimal (berat) mau-
pun dosis submaksimal (Sugiharto 2009;
Sugiharto dkk, 2010). Kortisol, men-
ingkatkan aktivitas glukokorticoid dan
cortikosteron, yang dapat menyebabkan
resisten insulin, tubuh, hyphothalamic-
hypophysis-adrenal axis (HHA) dan juga
meningkatkan insiden penyakit jantung
serta menurunnya daya tahan tubuh un-
tuk penyakit (Contarteze dkk.,2007).
Stres oleh tubuh direspon dengan
mengaktifkan sistem kardiorespirasi, sis-
tem locus ceruleus (LC/norepinephrin
(NE), sistem metabolisme dan HPA axis
(Mastorakas & Pavlatou, 2005). Aktifn-
ya hipotalamuspuitutaryadrenal axis
(HPA), menimbulkan conditioning stim-
uli pada alur limbichipotalamuspuitut-
ary-adrenal Axis (LHPA axis), kemudian
merangsang hipotalamus dan menyebab-
kan disekresinya hormon corticotrophin
relesing hormone (CRH), merangsang
hipotalamus untuk sekresi ACTH. Pen-
ingkatan sekresi ACTH, menyebabkan
meningkatnya sekresi, kortisol (Usui
dkk., 2012). Hormon tersebut dikeluar-
kan untuk menjaga homeostatis dalam
menghadapi stres, baik fsik maupun
psikologis (Fatouros dkk., 2010). Dalam
batas tertentu peningkatan kortisol digu-
nakan sebagai upaya untuk menghadapi
tuntutan baru (cope) dengan peningkatan
kebutuhan energi yang diakibatkan oleh
stresor olahraga (Hackney, 2006), se-
dangkan menurut Rimmele dkk. (2007)
baik stresor fsik maupun psikologis
menyebabkan peningkatkan sistem kar-
diorespirasi dan neurohormonal, sebagai
refeksi dari respon system syaraf oto-
nomi (autonomic nervous system/ANS)
salah satunya sistem syaraf simpatik
(sympathetic nervous system/SNS).
Atas dasar hal tersebut maka
diperlukan pemaparan konseptual ten-
tang neurofsiohormonal dalam men-
jelaskan stresor olahraga. Mekanisme
tersebut diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman dan landasan dalam men-
jelaskan makna latihan olahraga dalam
meningkatkan kesehatan dan kesega-
ran jasmani secara paripurna. Karena
olahraga memiliki sifat ambigius, dapat
berdampak positif, tetapi juga dapat ber-
dampak negatif. Dalam meningkatkan
makna olahraga bagi kesehatan dan kes-
egaran jasmani diperlukan pemahaman
respon dan adaptasi tubuh terhadap
olahraga dari konsep fsioneurohormo-
nal.
56 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66
PENGERTIAN STRES DAN STRESOR
Stres merupakan kondisi yang
didalamnya terdapat permintaan yang
melebihi kemampuan untuk memenuhin-
ya (Mastorakos dkk., 2005). Stres menu-
rut Carrasco & Vander de Kar (2003)
merupakan respon tubuh yang sangat sp-
esifk dalam memenuhi permintaan. Oleh
karena itu stres digambarkan keadaan
organisme di bawah pengaruh kekuatan
internal dan ekternal yang dapat men-
gancam untuk mengubah keseimbangan
dinamis (homeostatis) (Mastorakos, dkk,
2005). Stres menurut Hackney (2006)
adalah respon spesifk oleh tubuh,
yang dapat merangsang kerusakan atau
menganggu keseimbangan kondisi fsi-
ologis pada organisme normal. Kata
kunci dalam defnisi ini adalah normal
merupakan hal penting untuk dipahami
pada konteks ini, bahwa respon stres
merupakan tanggapan atau peristiwa hal
yang luar biasa dalam kehidupan fsi-
ologis basal sehari hari, namun bukan
merupakan peristiwa yang sangat sulit
distresful. Karena itu tubuh senantiasa
berusaha untuk mempertahankan hidup
dan menjaga dari pengaruh internal dan
ekternal yang dapat mempengaruhi ke-
seimbangan fsiologis (Fatouros dkk.,
2010). Ketidak mampuan tubuh mengha-
dapi pengaruh tersebut dapat menyebab-
kan kondisi tubuh kurang harmonis dan
homeostatis terganggu, juga disebut
dengan stres (Tsigos & Chrousos, 2002).
Stres menurut para ahli kesehatan me-
nyebabkan masalah kesehatan lebih dari
sebelumnya, seperti yang ditandai den-
gan perubahan aktivitas dari HPA axis,
guna merangsang system saraf otonom,
yang berpengaruh pada denyut jantung,
tekanan darah, suhu, kecepatan respirasi
dan tingkat katekolamin, maupun men-
unda pengaruh dari kortikosteroid (Shar-
ma dkk,2006).
Kondisi internal dan ekternal
yang dapat mempengaruhi kemampuan
tubuh tersebut disebut dan dapat me-
nyebabkan stres disebut stresor (Mas-
torakos & Pavlatou, 2005). Stresor
menurut Hackney (2006) merupakan
kegiatan, cara atau rangsangan yang
menyebabkan stres, sedangkan menurut
Carrasco & Vander de Kar (2003) stre-
sor adalah paparan kondisi yang me-
nyebabkan ketidaknyamanan. meng-
hasilkan serangkaian tanggapan yang
terkoordinasi untuk mempertahankan
hidup. Karena itu stresor dapat berasal
dari lingkungan, fsik, kimia, dan juga
psikologis (Uchakin dkk., 2003). Stresor
dapat berupa kondisi fsik seperti panas
atau dingin, infeksi atau peradangan (in-
famasi), olahraga atau stresor psikologi,
misalnya stresor psikologi lingkungan
seperti kondisi kerja, hubungan kekera-
batan yang tidak bagus, stres kerja, dan
komunikasi antara teman kurang baik
(Sharma dkk., 2006).
Stresor merupakan dinamika
baru bagi tubuh, tidak hanya berdampak
negatif tetapi juga dapat berdampak
positif. Hans Selye (dalam Cox, 2002)
mengemukakan stresor yang berdampak
positif disebut dengan eustres, sedang-
kan yang berdampak negatif disebut dis-
tres.Eustres dan distres pada dasarnya
merupakan gambaran respon adaptasi
tubuh terhadap stres yang dialami, un-
tuk menjaga keseimbangan agar homeo-
statis tidak terganggu (Fatouros dkk.,
Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 57
2010). Respon-adaptasi tubuh tersebut
dapat mempengaruhi perilaku fsik, fsi-
ologis maupun psikologis (Mastorakos
dkk., 2005). Eustres dan destres meru-
pakan dinamika baru bagi tubuh tersebut
dapat berdampak yang menyebabkan
gangguan sel dan sistem yang meng-
aturnya atau merangsang sistem sel yang
berdampak sebaliknya (Ronsendal dkk.,
2002). Distres misalnya dapat terjadi
apabila tubuh tidak mampu merespon
dinamika baru tersebut, homeostatis ter-
ganggu.
Stresor menghasilkan serangka-
ian tanggapan yang terkoordinasi untuk
mempertahankan hidup atau menjaga
homeostatis untuk meningkatkan adapta-
si (Carrasco & Van de Kar, 2003). Oleh
Hans Selye serangkaian adaptasi tersebut
disebut dengan mekanisme General
Adaptation Sindrome (GAS) (Gambar
1) (Rushall & Pyke, 1992). GAS memi-
liki 3 tahapan:
Alarm Reaction Stage (reaksi
peringatan), terdiri dari dua tahap, yaitu
shock dan counter shock. Shock secara
umum merupakan respon tubuh yang
berlebihan dan tidak efsiennya sis-
tem tubuh, walaupun menghadapi be-
ban yang ringan sekalipun. Atlet dapat
mengalami tekanan fsiologi maupun
psikologis yang berat pada awal terkena
paparan stres, misalnya olahraga dilaku-
kan, apalagi beban yang diberikan berat
dan bersifat mendadak. Tekanan berat
tersebut dapat berlangsung hingga ming-
gu kedua. Oleh sebab itu pada awal-awal
olahraga terjadi penurunan kondisi fsik,
kelelahan, tidak efsiennya sistem tubuh
dalam bekerja, bahkan berpotensi men-
urunnya kondisi fsik di bawah kondisi
rata-rata. Namun dengan konsistennya
pembeban secara bertahap, tubuh beru-
saha mengembangkan mekanisme cop-
ing, untuk melawan tekanan tersebut.
Stres secara bertahap terus berkurang
dengan melawan yang dikenal counter
shock. Tubuh secara bertahap melakukan
adaptasi terhadap stres, sehingga mera-
sakan nak dalam menghadapi shock,
kemudian terjadi adaptasi yang lebih
tinggi dari pada proses perusak. Pada
saat ini kinerja fsik mulai ada peningka-
tan dan kembali pada kondisi fsik sebe-
lum olahraga.
Resistance / Adaptation Stage,
merupakan fase kedua dalam mening-
katkan adaptasi awal yang terjadi setelah
Alarm Reaction Stage. Tahap ini terjadi
peningkatan perlawanan terhadap stres,
sehingga kinerja fsik berpotensi menin-
gkat. Ketika tubuh mendapat beban stres
secara terus menerus maka kemampuan
dalam menanggulangi stres juga akan
terjadi peningkatan. Jika kemampuannya
meningkat maka peningkatan kondisi
fsik tidak menjadi hambatan, namun
peningkatan dalam menanggulangi stres
tersebut juga sangat terbatas, selanjutnya
memasuki fase yang ketiga.
Exhaustion Stage (tahap kelela-
han) adalah reaksi nonspesifk yang di-
hasilkan dari stres berkepanjangan dan
dapat meningkatkan adaptasi.Tetapi
kondisi ini tidak dapat dipertahankan
dalam waktu lama. Hal ini dapat dis-
ebabkan oleh stres yang berlebihan, ka-
lau dalam olahraga dapat disebabkan
oleh overtraining. Tahap ini terjadi penu-
runan daya tahan, yang diikuti stres yang
meningkat, dengan penyebab yang kron-
ik. Tahap ini ditandai dengan peningktan
58 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66
kelelahan, kapasitas kerja fsik menurun
lebih cepat, adanya gangguan fsiologis
dan psikologis.
Kemampuan tubuh dalam mel-
akukan respon dan adaptasi dapat men-
galami kerusakan, yang diakibatkan oleh
dinamika baru tersebut secara terus me-
nerus, sehingga menyebabkan tekanan
atau stres yang tidak mampu ditanggu-
langi oleh tubuh. Stres baik fsik mau-
pun psikologis menyebabkan peningka-
tan sistem yang melibatkan sistem stres
di otak dan komponen saraf tepi, HPA
axis dan sistem saraf otonomi (Mastora-
kos dkk.,2005), serta melibatkan neuro-
hormon, sehingga banyak hormon stres
disekresi, untuk mempertahankan kes-
eimbangan (homeostatis) tubuh (Hack-
ney, 2006).
Gambar 1: Pola respons adaptasi tubuh
pada pemberian dosis latihan fsik
(Rushall & Pyke, 1992:51)
RESPON FISIOLOGI TUBUH TER-
HADAP STRES
Kehidupan merupakan sesuatu yang di-
namis, terdapat tantangan baik intrinsik
maupun ekstrinsik yang penyebabkan
stres (Tsigos & Chrousos, 2002). Tan-
tangan tersebut dapat menyebabkan
stres fsik ataupun emosional, seseorang
dalam menghadapi hal tersebut akan
relatif melakukan respon-respon adaftif
yang stereotif dan tidak alamiah, oleh
Selye sebagai kondisi Sindrom adaptasi
umum (Rimmele dkk.,2009). Keterli-
batan system syaraf dan hormon dalam
merespon stres disampikan pada Gambar
2.
Gambar 2: Respon fsiologis stres pada
sistem tubuh (Tsigos & Chrousos,
2002:866).
Gambar 2 menjelaskan bahwa
pusat kontrol stres terdapat di hipotala-
mus dan batang otak, termasuk parvos-
elular kortikotropin hormone (CRH) dan
Orginine-vasopressin (AVP), paraven-
tricular nuclei (PVN) dalam hipotala-
mus dan juga locus ceruleus (LS)- nor-
epineprin (Sistem saraf simpatik/SAM).
Hipotalamik-pituitari-adrenal axis (HPA
axis ) yang merupakan representatidari
system limbic, melalui otak mempen-
garuhi seluruh organ tubuh. Interaksi
antara pusat stres dengan system
Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 59
kontrol otak memberikan keuntungan
bagi system tubuh. Interaksi tersebut
berpengaruh terhadap fenomena afek-
si dan antisipasi (Sistem Mesokortikal/
Mesolimbik); yaitu inisiasi, propagasi
dan terminasi dari sistem aktiftas stres
(Amygdala/Hippocampus kompleks) dan
pembentuk sensasi rasa sakit (Arkuate
Nukleus).
Respon hormonal terhadap stres
dianggap sebagai mekanisme pertahanan
untuk menjaga kehidupan selama terjadi
stres, yang mengancam kehidupan. HPA
axis memiliki peran dalam menjaga ke-
hidupan (Carrasco & Van de Kar, 2003).
Tsigos & Chrousos, (2002) menjelaskan
bahwa secara fsiologi stres mengaktif-
kan HPA axis dan system saraf simpa-
tis, corticotrophin-releasing hormone
corticotrophin-releasing factor (CRH-
CRF) dan arginine vasopressin (AVP).
Hal tersebut menyebabkan peningkatan
produksi ACTH dari kelenjar posterior
dan mengaktifkan neuron andrenergik
dari locus caeruleas/norepinephrine (LC/
NE). Sistem LC/NE bertanggungjawab
untuk merespon langsung terhadap stre-
sor dengan melawan atau lari/fght or
fight), yang didorong oleh epinefrin dan
norepinefrin, sedangkan ACTH merang-
sang disekresinya kortisol dari kortek
adrenal (lihat Gambar 3). Peningkatan
sekresi kortisol memiliki efek metabolik
dengan meningkatkan glukoneogensis,
meningkatkan memobilisasi lemak dan
protein, serta menurunkan sensiftas in-
sulin, hormon pertumbuhan (GH-T3)
dan menurunnya respon peradangan
(Gulliams & Edwards, 2010) (Gambar
3). Respon stres terhadap tubuh menurut
Carrasco & Van de Kar (2003) dapat me-
nyebabkan beberapa perubahan fsiologis
antara lain: (a) memobilasi energi untuk
mempertahankan fungsi otot dan otak,
(b) meningkatkan responsibilitas/ketaja-
man/kepekaan tubuh terhadap ancaman
atau ketidaknyamanan (c) meningkatkan
kerja jantung, respirasi, distribusi aliran
darah, meningkatkan subtract dan suplai
energi ke otot dan otak, (d) Perubahan
sistem modulasi respon imun tubuh, (e)
menghambat system fsiologi reproduksi
dan perilaku seks, (f) menurunkan nafsu
makan.
Gambar 3: HPA Axis dan Respon stres
(Guilliams & Edwards, 2010:3)

Selain itu respon stres terhadap
otak juga melakukan aktivitas yang ber-
beda pada jaringan saraf simpatik. Dalam
menghadapi stres terdapat interaksi
yang menguntungkan antara pusat pen-
gendali stres dengan 3 daerah di syaraf
pusat tertinggi (high brain centre), yang
berpengaruh terhadap fenomena antisi-
patori (mesocortical/meso limbic system)
(Tsigos & Chrousos 2002). Fenomena
antisipatori, berkaitan dengan inisiasi,
propagasi dan terminasi dari ativitas
system stres (Amygdala/ complex Hip-
pocampus) serta pembentuk sensasi
60 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66
rasa sakit (Arkuate Nukleus) (Thornton
& Andersen, 2006). Stres menybabkan
diaktifkannya HPA axis dan SAM axis,
yang menyebabkan terjadinya perubahan
imonitas tubuh (lihat Gambar 4).
Gambar 4: HPA axis dan sympatheic ad-
renal medulare axis (SAM axis) dalam
menanggapi stres serta pengaruhnya
(Thornton & Andersen, 2006:5 ).
OLAHRAGA SEBAGAI STRESOR
TUBUH
Olahraga merupakan stresor bagi
tubuh yang memiliki potensi terhadap
gangguan homeostatis (Ronsendal dkk.,
2001) dan dapat menyebabkan stres
fsik, kimia, fsiologis serta psikologis
(Uchakin dkk., 2003. Stresor dapat me-
nyebabkan stress sistemik dan menim-
bulkan beberapa penyakit (Helbert dkk.,
2004). Karena itu memperlukan usaha
dari tubuh untuk melakukan adaptasi ter-
hadap stres (Debruille, dkk,1999), salah
satunya dengan mengaktifkan fungsi
neuroendocrine (Minetto dkk., 2006).
Stresor olahraga juga memiliki ket-
erkaitan dengan sekresi neuroendocrine.
Hal ini telah dibuktikan dengan olah-
raga yang sangat dinamik, yang melibat-
kan banyak otot, seperti pada lari selama
30-40 menit dengan intensitas 70% dari
kapasitas oksigen maksimal atau setara
dengan 80% dari denyut jantung mak-
simal, menunjukan peningkatan sekresi
hormon (Hackney, 2006). Sekresi hor-
mon tersebut disebabkan oleh pening-
katan aktivitas sistem syaraf simpatik
(sympathetic nervous system (SNS), se-
bagai sistem antisipasi terhadap stres.
Peningkatan aktivitas SNS merangsang
peningkatan sekresi katekolamin secara
langsung pada target sel dan juga pening-
katan sirkulasi katekolamin yang disebut
dengan simpatik Spill-over (Gambar
5).
Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 61
Gambar 5: Fase 1 pengaturan sekresi
hormon oleh SNS (Hankey, 2006:794 )
Kemudian beberapa detik setelah
olahraga dimulai, terjadi peningkatan
aktivitas sistem syaraf simpatik. Aktifn-
ya syaraf simpatik meningkatkan sekresi
dan sirkulasi katekolamin ke target sel,
yang dapat meningkatkan efek simpa-
tik spill over . Efek memiliki ini leb-
ih diperkuat dengan hubungan dengan
syaraf simpatik dengan kelenjar medula
adrenal, sehingga menyebabkan pening-
katan sirkulasi katekolamin. Bersamaan
dengan itu, sekresi insulin dari kelenjar
pankreas dihambat, sedangkan sekresi
glucagon mulai dirangsang. Kemudian
dilanjutkan dengan fase kedua (Gambar
6).
Gambar 6: Fase 2 pengaturan sekresi
hormon oleh SNS (Hankey, 2006: 794)
Fase 2, memerlukan waktu lebih
lama, namun dari isi tipikel juga lebih
cepat kurang dari satu menit. Pada fase
2 hipotalamus mulai merespon sekresi
hormon CRH,GHRH dan TRH. Sekresi
hormon tersebut untuk merangsang
perubahan hipofsis dan juga kelenjar
hormon yang telah mulai terangsang
untuk mengeluarkan hormon. Antara
lain kelenjar pituitari mulai merespon
rangsangan dihipotalamus, misal troph-
ic hormone, mulai ditambahkan dalam
sirkulasi. Pada fase 2 yang paling cepat
adalah adanya interaksi pada` hypotha-
lamic-pituitary-adrenocortical, merang-
sangn CRH, sehingga sekresi ACTH
dan sirkulasi kortisol meningkat.
62 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66
Gambar 7: Fase 3 Pengaturan sekresi sis-
tem hormon oleh SNS selama melaku-
kan olahraga (Hankey, 2006: 794)
Fase 3 menunjukan bukti bahwa
respon olahraga terhadap tubuh memi-
liki efek ganda. Respon olahraga bagi
tubuh selain dapat menjadi stresor, juga
dapat menjadi stimulator. Kedua respon
tersebut ditandai dengan disekresinya
neurohormonal, baik sebagai hormon
penanda stresor (kortisol dan adanya
infamasi) maupun stimulator disekres-
inya hormone endorphin. Gambar 7 juga
menunjukan adanya beberapa keterli-
batan sistem kardiorespirasi, sistem hor-
mon, sistem metabolisme, system syaraf
dan system otot dan system imonologi
selama melakukan olahraga. Karena itu
olahraga secara fsioneurohormonal mer-
angsang peningkatan denyut jantung, te-
kanan darah, volume tidal, dan frekuensi
pernapasan, pengaturan suhu tubuh dan
penyediaan energy (Usui dkk.,2008).
Sistem hormon sangat responsif
terhadap stres fsik maupun mental, ter-
masuk di antaranya olahraga yang inten-
sif dan terus menerus. Dalam melaku-
kan upaya adaptasi terhadap stres maka
system HPA axis dan hormon yang ber-
tanggungjawab terhadap stres diaktifkan
(Kanaley & Hartman, 2002). Aizawa
dkk. (2006) mengatakan bahwa aktifnya
hypothalamo-pituitary-gonadal(HPG)
dan HPA axis, pada saat olahraga, untuk
adaptasi terhadap stresor olahraga yang
dilakukan. Namun demikian aktifnya HP
axis dipengaruhi oleh intensitas, durasi,
metode dan tingkat keterlatihan individu
(Usui dkk., 2008) serta juga sifat dari
olahraga (Ronsendal dkk., 2002). Pada
olahraga yang bersifat kompetitif HPA
axis lebih aktif, dibanding dengan olah-
raga yang nonkompetitif. Hal ini karena
olahraga kompetitif, terjadi tekanan fsik
dan mental lebih tinggi (Aizawa dkk.,
2006).
Stresor bagi tubuh mengakatif-
kan HPA axis, yang ditangkap oleh lim-
bic system, menyebabkan conditioning
stimuli pada alur limbic-hipotalamus
puitutary-adrenal (LHPA) (Carlson,
1994), kemudian merangsang ACTH
(Uchakin dkk., 2003) dari bagian ko-
rtek adrenal (Wilson & Foster, 1994).
Hal ini menyebabkan peningkatan sekre-
si kortisol (Mastorakos dkk., 2005),
mengakibatkan, perubahan imunitas
tubuh, sebab kortisol memiliki sifat im-
onosupresif (Roitt, 1995). Sifat kortisol
tersebut berpengaruh pada penekanan
sintesis protein, mengurangi populasi eo-
sinofl, limfosit dan makrofag/monos it,
kemudian menimbulkan antropi jaringan
limfoid, thymus, limpa dan kelenjar limfe
(Granner,1998), sehingga mempen-
garuhi fungsi immune dan menurunkan
derajat kesehatan (Thornton & Anders-
en, 2006). Lebih jelas lihat Gambar 8.
Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 63
Gambar 8. Respon stressor terhadap
fungsi tubuh (Thornton & Andersen,
2006:2)
Berdasarkan Gambar 8, menje-
laskan bahwa olahraga yang berat men-
gaktifkan HPA axis dan sympathoadrenal
medulary system (SAM), memberikan
efek perubahan metabolisme dan sistem
ketahanan tubuh terhadap penyakit. Res-
pon stres berdampak secara psikologis
menyebabkan destres emosional dan pe-
rubahan perilaku. Gangguan tersebut
dapat dialami dalam waktu pendek mau-
pun panjang.
Gangguan waktu pendek ditan-
dai dengan peningkatan hormon kate-
kolmin, sedangkan dalam waktu panjang
ditandai dengan peningkatan sekresi kor-
tisol, keduanya dipengaruhi oleh intensi-
tas olahraga. Olahraga dengan intensitas
60% dari kapasitas oksigen maksimal
dan olahraga di atas ambang anaero-
bik terdapat perubahan sekresi kortisol.
Berdasarkan hasil tersebut ditemukakan
bahwa olahraga yang bersifat anaerobik
terjadi peningkatan sekresi kortisol yang
lebih tinggi dibandingkan dengan olahra-
ga aerobik (Minetto dkk., 2006). Korti-
sol merupakan penanda stres bagi tubuh,
baik stres fsiologis maupun psikolo-
gis (Helbert dkk., 2004), dan kortisol
juga digunakan sebagai marker status
keterlatihan. Jika atlet pria memiliki ra-
sio testosterone / kortisol lebih dari 30%
, dianggap telah overtraining (Aizawa
dkk.,2006) dan olahraga sebagai stresor,
yang dapat berdampak distres (Hackney,
2006) .
KESIMPULAN
Kesimpulan
Olahraga merupakan aktivitas
yang menyenangkan dan menarik, tetapi
juga memiliki fungsi ganda bagi tubuh.
Olahraga dapat menjadi stresor, seh-
ingga berpotensi menimbulkan distres,
sebaliknya olahraga juga dapat men-
jadi stimulator yang dapat menimbul-
kan eustres. Hal ini sangat tergantung
dengan intensitas yang dilakukan. Ke-
tika olahraga dianggap sebagai stresor,
maka tubuh bereaksi dengan mening-
katkan kewaspadaan terhadap ancaman
yang dapat mengganggu homeostatis.
Sinyal ancaman tersebut akan direspon
oleh tubuh dengan mekanisme sindroma
adaptasi umum atau General adapta-
tion syndrome (GAS), agar tubuh tetap
dalam kondisi yang homeostatis. GAS
memiliki tiga fase Alarm Reaction Stage
(reaksi peringatan), Resistance / Adap-
tation Stage dan Exhaustion Stage (ta-
hap kelelahan). Secara fsioneorohormo-
nal ketika tubuh ditekan oleh stresor,
HPA axis dan system saraf simpatis lebih
diaktifkan, corticotrophin-releasing hor-
mone corticotrophin-releasing factor
(CRH-CRF) dan arginine vasopressin
(AVP) disekresi. Hal ini menyebabkan
64 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66
peningkatan produksi ACTH dari ke-
lenjar posterior dan mengaktifkan neu-
ron andrenergik dari locus caeruleas/
norepinephrine (LC/NE). Sistem LC/NE
bertanggungjawab untuk merespon lang-
sung terhadap stresor dengan melawan
atau lari/fght or fight), yang didorong
oleh epinefrin dan norepinefrin. ACTH
merangsang disekresinya kortisol dari
kortek adrenal, untuk membuat mekan-
isme adaptasi terhadap stres yang diala-
mi. Olahraga yang dilakukan dengan
baik, berkesinambungan dengan intensi-
tas yang memadai, dapat menjadi stimu-
lator bagi tubuh, yang dapat meningkat-
kan kualitas kondisi fsik, psikologis dan
kesehatan.
Saran
Respon olahraga bagi tubuh tidak
hanya sebagai stresor, tetapi juga berpo-
tensi sebagai stimulator. Hal ini sangat
tergantung pada pengelolaan olahraga,
olahraga dengan intensitas tinggi dan
bersifat kompetitif lebih cenderung men-
jadi stresor yang dapat menyebabkan
distres. Sebaliknya olahraga dengan in-
tensitas yang tepat berkesinambungan
berpotensi menjadi stimulator. Memper-
hatikan alur stres yang ditimbulkan oleh
olahraga dan dampaknya maka olahraga
harus dilakukan dengan intensitas yang
baik, teratur, terukur, berkesinambun-
gan dan menyenangkan. Sebab olahraga
dengan intensitas yang tepat justru dapat
menurunkan kecemasan, depresi, men-
ingkatkan rasa enjoy dan mood. Untuk
menghindari stres yang kurang baik bagi
tubuh maka olahraga harus dilakukan
dengan teratur, terukur, berkesinambun-
gan dan menyenangkan, yang dilakukan
minimal 3 kali/minggu dengan intensitas
antara 60-80% dari HRR.
DAFTAR RUJUKAN
Aizawa, K., Nakahori, C.,Akimoto, T,
Kimura, F., & Hayashi, K. 2006.
Changes Of Pituitary, Adrenal
And Gonaldal Hormones Dur-
ing Competition Among Female
Soccer Players. Journal of Sports
Medicine and Physical Fitness,
46:322-327.
Carlson, N.R., 1994. Physiology of Be-
havior. Boston: Allyn and Bacon.
Carrasco, G.A. & Van de Kar. 2003.
Neuroendocrine Pharmacology
of Stress. European Journal of
Pharmacology, 463: 235-272
Contarteze, L.V.R., Manchado, B.F.,
Gobatta, A.C. & Mello, M. A.R.
2007. Biomarker Of Stress In
Rats Exercise In Swimming At
Intensities Equal And Superior
To The Maximal Estable Lactate
Phase. Reviews Brasil Medicine
Esporte, 13 (3):150-153.
Cox, R. 2002. Sport Psychology, Con-
cepts and Application. New York:
GrawHill Companies.
Debruille, C,, Lucyckx, M., Ballester,
L., Brunet, C., Odou, P., Dine, T.,
Gressier, B., Cazin, M., Cazin,
J.C. 1999. Serum Opioid Activ-
ity After physical Exercise in
Rat. Journal of Physiological Re-
Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 65
search, 48: 129-133.
Fatouros, I., Chatzinikolaou, A., Pal-
toglou, G., Petridou, A., Avlo-
niti, A., 2010. Acute Resistance
Exercise Results In Catechola-
minergic Rather Than Hypotha-
lamic-Pituitary-Adrenal Axis
Stimulation During Exercise In
Young Men. Informa Health-
care USA, Inc. Early Online:1-8
Gervino, E.V. & Douglas, P.S.1993.The
Benefts and Risk of Edurance
Exercise . International Journal
of Sport Cardiology, 2: 73-78
Granner, D.K.1998. Hormon of the Ad-
renal Medula. New York: Lange
Medical Books.
Guilliams, T. & Edwards, L. 2010.
Chronic Stres and The HPA Axis.
The Standard Poin Institute, 9
(2) :1-12.
Hackney, C. A. 2006. Exercise As Stress-
or To The Human Neuroen-
docrine System. Medicina, 42
(10):788-797.
Herbert, S ., Beland, R., Dionne, O.,
Crete, M. 2005. Physiological
Stress Response To Vidio-Game
Playing: The Contribution Of
Buil-In Music. Life Sciences, 76:
2371-2380.
Kanaley, J. & Hartman, M. 2002. Cor-
tisol and Growth Hormone Re-
sponses to Exercise. The Endo-
crinology, 12: 421-432.
Mastorakos G, Pavlatou M, Kandarakis
DE, Chousos GP, 2005. Exercise
and the Stress System. Hormones
4 (2):73-89
Mastorakos, G. & Pavlatou, M, 2005.
Exercise as a Stress Model and
Interplay Between the Hypothal-
amus-pituitary-adrenal and the
Hypothalamus-pituitary-thyroid
Axes. Hormon Metabolism Re-
search, 37:577-584.
Minetto, M.A., Paccotti, P., Borrione,
Masszza, G., & Ventura, M..
2006. Effects of the Training
Status On Hormonal Response
And Recovery From High-Inten-
sity Isokinetic Exercise: Com-
parasons Berween Endurance-
Trained Athletes And Sendentary
Subjects. Journal of Sports Med-
icine and Physical Fitness, 46:
494-500.
Rimmele, U., Seiler, R., Marti, B.,
Wirtz, P., Ehlert, U., Heinrichs,
M., 2009. The Level Of Physi-
cal Activity Affects Adrenal And
Cardiovascular Reactivity To
Psyhosoial Stres. Psychoneu-
roendocrinology, 34:190-198.
Roitt, I.M.1995. Essential Immunology.
London: Blackwell Scientifc
Publication.
Rosendal, L., Sogaard, K., Sjogaard, G.,
Langberg, H. & Kristiansen, J.
66 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66
2008. Increase In Interstitial Interleu-
kin-6 Of Human Skeletal Muscle
With Repetitive Low Exercise.
National Institute of Occupation-
al Health.
Rost, R.E.1993. Cardiovaskular Inci-
dents During Physical Activity.
International Journal Sports
Cardiology, 2:11-18.
Rushall, B.S. & Pyke, F.S. 1992. Train-
ing For Sport And Fitness. Mel-
bourne: Macmillan Co.
Sharma, R., Khera, S., Mohan, A., Gup-
ta, N., Ray, B. R. 2006. Assess-
ment of Computer Game As A
Psychological Stressor. Indian
Journal of Physiological and
Pharmacology, 50 (4):367-374.
Sugiharto. 2009. Physiogical Effects Of
Music During Exercise Secre-
tion Of Hormones Cortisol And
Endorphins. Folia Medica, 45
(2).
Sugiharto, Merawati, D. & Kinanti, R.
2010. Efek Fisiologi Musik Pada
Olahraga Dengan Intensitas
Maksimal Terhadap Neurohor-
monal. Malang. Lemlit Univer-
sitas Negeri Malang.
Strohle, A. 2009. Physical Activity,
Exercise,Depression And Anxi-
ety Disorders in Biological Psy-
chiatry- Review Article. Journal.
Neural Transm, 116:777-784.
Teixeira, M.A., Martins, R, Martins, M.,
Cunha, R.M. 2008. Changes in
Functional Fitness, Mood States
and Salivary IgA Levels after
Exercise Training for 19 weeks
in Elderly Subjects. Internation-
al Journal of Appied Sports Sci-
ences, (20): 16-26.
Tsigos, C. & Chrousos, P.G. 2002. Hy-
pothalamic-Pituitary-Adrenal
Axis, Neuroendocrine Factors
And Stress. Journal of Psycho-
momatic Research, 53: 865-871.
Thornton, M.L. & Andersen, L. 2006.
Ps y c hone uroi mmunol ogy
Examined:The Role Of Subjec-
tive Stress. Stress and Immunity
Cancer Projects. Cell Science
Reviews, 2(4): 1742-8130.
Uchakin, P.N., Gotovtseva, P.E., Gun-
dersen, S.J. 2003. Immune and
Neuroendocrine Alterations in
Marathon Runners. Journal of
Applied Research, 3 (4) 483-494.
Usui, T, Yoshikawa, T., Ueda, S.Y., Kat-
sura, Y. Orita, K. Fujimoto, S.
2012. Effects Of Acute Pro-
longed Strenuous Exercise On
The Salivary Stress Markers
And Infammatory Cytokines.
Journal of Physical Fitness and
Sports Medicine, 1 (1):1-8.
Willson, J.D. & Foster, D.W. 1992. Tex-
book of Endocrinology. Philadel-
phia: WB Saunders Co.

Anda mungkin juga menyukai