Anda di halaman 1dari 7

PERAN FARMAKOKINETIKA DALAM TERAPI KUANTITATIF

OBAT BAHAN ALAM



PHARMACOKINETICS : THE ROLE IN HERBAL MEDICNES QUANTITATIVE
THERAPY

Djoko Wahyono dan Arief Rahman Hakim
Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fak. Farmasi UGM


ABSTRAK
Obat bahan alam (herbal medicines) banyak digunakan didalam dunia kefarmasian untuk terapi,
disamping masih sering digunakan untuk pengatur diet makanan (dieatry suplement). Dengan
bertambahnya informasi efek samping dan toksisitas obat bahan alam, maka didalam penggunaannya perlu
rekomendasi khusus untuk menjaga efektivitas dan kemanan pemakaian. Penelitian farmakokinetika klinik
dan studi interaksi obat bahan alam menjadi sangat penting untuk meningkatkan rasionalitas terapi guna
menghasilkan terapi yang efektif dan aman. Mengingat kompleknya kandungan aktif obat bahan alam dan
rendahnya konsentrasi yang diketemukan di dalam serum, maka analisa dengan cara dan alat yang canggih,
misalnya menggunakan HPLC/MS, atau HPLC/NMR akan sangat membantu menetapkan parameter
farmakokinetika obat alam tersebut, sebagai dasar pengaturan dosis (medicinal herbal dose regimens).

Kata kunci : obat bahan alam, farmakokinetika, terapi efektif dan aman.


ABSTRACT
Herbal medicines are widely used in pharmacy as pharmacological therapy and dietary
supplements. However, with growing the recognition of adverse and toxicity effects, the study of clinical
pharmacokinetics and interaction of the herbal medicine becomes an important tool for rational herbal
therapy. Due to complex composition of herbal medicines and limited of active compound concentration
detected in serum, the advance instruments like HPLC/MS or HPLC/NMR will be useful in increasing the
study of clinical pharmacokinetics and interaction of herbal medicines. The herbal dose regimens could
have been arranged accurately using its pharmacokinetic parameters.

Key words : herbal medicines, pharmacokinetics, save and effective therapy





















PENDAHULUAN

Pemanfaaatan bahan alam sebagai
sumber obat merupakan pilihan dalam
menghadapi berbagai jenis penyakit yang
muncul dewasa ini. Bahan alam kelautan (a.l.
sponges, tunicata), tanaman, dan
mikroorganisma merupakan sumber penemuan
obat baru yang sangat menjanjikan karena
disamping mempunyai aktivitas farmakologi
juga dapat dimanfaatkan sebagai kerangka
dasar pengembangan obat melalui sintetik.
Sebagian besar obat sintetik (80% lebih)
kerangka dasarnya diketahui berasal dari
sumber bahan alami. Sebagi contoh kodein,
suatu obat penekan batuk (antitusif) dan
petidine (pengurang rasa sakit total, untuk
operasi), merupakan obat sintetik yang
didasarkan pada kerangka dasar morfin yang
merupakan senyawa bioaktif tanaman Papaver
somniverum (Cordell, 1981; Patrick, 2001).
Pentagamavunon dan gamavuton adalah
modifikasi sintetik dari kurkumin (Sardjiman,
2000). Di Indonesia, berbagai tanaman
terbukti memberikan aktivitas farmakologi
yang beragam. Wahyuono (2006) melaporkan
bioaktivitas berbagai tanaman di Kalimantan
Tengah (tabel 1). Tanaman-tanaman tersebut
secara tradisional digunakan oleh masyarakat
setempt untuk terapi penyakit yang muncul
diderita.
Namun, sampai sekarang penelitian
obat bahan alam (herbal medicines) di
Indonesia masih sebagian besar ditujukan
untuk melihat aktivitas farmakologi, toksisitas,
maupun identifikasi komponen aktif obat
tersebut. Penelitian yang mengekplorasi nasib
zat / komponen aktif obat bahan alam di dalam
tubuh dan hubungannya dengan respon
farmakologi belum banyak dilakukan. Pada
terapi klinik, pengaturan dosis yang tepat
sangat diperlukan agar jumlah / kadar aktif
obat bahan alam yang sampai pada reseptor
mencukupi untuk memberikan respon yang
diharapkan, tanpa menimbulkan efek yang
merugikan. Pengaturan ini dapat dilakukan
dengan memberikan dosis yang tepat, yang
didasarkan pada parameter farmakokinetik
obat bahan alam tersebut. Parameter
farmakokinetika yang perlu diketahui meliputi
kinetika absorbsi, distribusi, metabolisme dan
eksresinya. Pengetahuan tentang
farmakokinetik obat bahan alam dapat
membantu memberikan informasi yang sangat
berharga bagi praktisi klinik dalam
memberikan terapi yang efektif dan aman.


Tabel 1. Daftar ekstrak dari tanaman Kalimantan Tengah yang berpotensi bioaktivitas H berdasarkan atas nilai LC
50

pada hasil uji denga BST (Wahyuono, 2006).
Nama daerah & nomor
koleksi
Nama spesies Ekstrak LC
50
(g/ml)
Seluang belong
(#03-sbk/10-26)
Dictamnus albus L. Metanol 6,34
Asam empangal
(#03-sbk/10-08)
Globba marantina L. Metanol 9,91
Akar kuning
(#03-sbk/10-29)
Fibraurea chloroleuca Miers CHCl
3
10,43
Umbut rotan
(#03-sbk/10-66)
Calamus caesius Bl. Metanol 11,52
Sintuk
(#03-sbk/10-68)
Cinnamomum sintoc Bl. Metanol 15,75
Akar kuning
(#03-sbk/10-29)
Fibraurea chloroleuca Miers Metanol 20,53
Lanjau
(#03-sbk/10-58)
Pithecellobium elleipticum
(Bl.) Hassk.
CHCl
3
25,75
Sekak puong
(#03-sbk/10-31)
Pandorea sp. CHCl
3
53,30
Mali-mali pucuk merah
(#03-sbk/10-21)
Feea rubra Bl. Metanol 75,10
Pada tulisan ini akan dibahas tentang
penelitian yang menyangkut farmakokinetika
klinik obat alami dan interaksi obat bahan
alam dengan obat sintetik, serta perlunya
farmakokinetika pada terapi kuantitatif obat
bahan alami.
HUBUNGAN FARMAKODINAMIKA -
FARMAKOKINETIKA DAN RENTANG
TERAPETIK OBAT
.
Terminologi farmakodinamika dapat
dihubungkan dengan pengaruh obat terhadap
organ, sedangkan farmakokinetika adalah
respon organ terhadap obat (Gibaldi and
Perrier, 1975; Ritschel, 1980)
Hubungan antara respon farmakologi
dan dosis obat dapat dijelaskan sebagai berikut
: Kenaikan dosis dalam skala logaritmik
diikuti oleh kenaikan respon farmakologi
(Evans, 2006). Hubungan linier juga terjadi
antara dosis obat dan konsentrasi aktif obat di
dalam serum (Shargel dkk., 2005). Obat bahan
alam (herbal medecines) seperti pada obat
sintetik, aktivitas farmakologinya ditentukan
oleh adanya ikatan obat tersebut dengan
reseptor. Besarnya intensitas farmakologi yang
muncul tergantung pada konsentrasi / jumlah
obat yang mencapai resptor dan jenis ikatan
obat-reseptor, yang dapat bersifat spesifik
maupun non-spesifik. Durasi efek farmakologi
tergantung pada lamanya obat tinggal di dalam
reseptor. Untuk obat alami dengan kliren
besar, waktu tinggal di dalam badan lebih
singkat dibanding dengan obat alami yang
mempunyai kliren kecil. Harga kliren inilah
yang digunakan sebagai salah satu dasar
pemberian dosis obat alami (Shargel
dkk.2005). Evans (2006) menjelaskan
hubungan antara konsentrasi obat hipotetik
didalam serum dengan probabilitas respon dan
toksisitas (Gambar 1).
Sebagian besar para ahli beranggapan
bahwa rentang terapetik (Therapeutic Range)
adalah konsentrasi obat di dalam serum yang
menimbulkan efek klinik yang diharapkan.
Umumnya, rentang terapetik tidak pernah
dinyatakan dengan harga mutlak. Angka
didalam rentang terapetik adalah merupakan
nilai rata-rata dari populasi individu
konsentrasi obat terendah di dalam serum
yang dapat memberikan efek klinik sampai
dengan konsentrasi minimum yang
menimbulkan efek toksik. Pada gambar 1
terlihat bahwa kenaikan konsentrasi obat
hipotetik didalam serum diikuti dengan
kenaikan probabilitas respon farmakologi, dan
secara simultan diikuti kenaikan efek toksik.
Pada kadar di atas 10 mg/L timbul gejala
toksik yang tidak diinginkan dari obat tersebut
(Gambar 1).


Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi obat di dalam serum dan probabilits respon atau toksisitas obat hipotetik
(Evans, 2006)









Gambar 2. Hubungan antara konsentrasi obat dan efek obat untuk obat hipotetis. A. Obat hipotetik yang
tidak menibulkan efek toksik pada konsentrasi dengan probabilitas respon maksimum (Broad
Therapeutic Range). B. Obat hipotesik dengan probabilitas toksik meningkat pada konsentrasi
obat mencapai probabilitas respon maksimum (Narow Therapeutic Range) (Evans, 2006).



Perbedaan kadar dalam serum yang
menimbulkan efek toksik inilah yang
membedakan apakah suatu obat termasuk
dalam rentang terapetik sempit (Narrow
Therapeutic Range)(Gambar 2A) atau rentang
terapetik luas (Broad Therapeutic Range)
(Gambar 2B).

PARAMETER FARMAKOKINETIKA
Nasib obat bahan alam didalam tubuh
seperti halnya obat sintetik, dapat diukur
secara kuantitatif dengan beberapa parameter
farmakokinetik. Parameter farmakokinetik
adalah besaran yang diturunkan secara
matematis dari konsentrasi obat aktif didalam
serum/urin/cairan hayati yang lain selama
waktu tertentu, yang menggambarkan proses
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi
(Gibaldi and Perrier, 1975; Ritcshel, 1980;
Shargel dkk., 2005). Parameter-parameter
tersebut dapat berupa parameter primer, yakni
parameter yang dipengaruhi secara langsung
oleh faktor fisiologi, misalnya klirens (Cl),
volume distribusi (Vd) dan konstanta
kecepatan absorbsi (Ka). Parameter yang tidak
langsung dipengaruhi oleh faktor fisiologi
disebut parameter farmakokinetika sekunder,
yakni misalnya waktu paro eliminasi (t
1/2
),
konstanta kecepatan eliminasi (k), dan daerah
di bawah kurva (Area Under the Curve =
AUC). Parameter-parameter farmakokinetik
tersebut merupakan alat utama dalam
menentukan pengaturan dosis obat (drug
regimen dose).


STUDI FARMAKOKINETIKA
BEBERAPA OBAT BAHAN ALAM
Pengetahuan farmakokinetika obat
alami sangat dibutuhkan untuk memperoleh
terapi yang efektif, aman dan terhindar dari
efek samping. Studi farmakokinetika pada
obat alami sangat menantang, mengingat
kompleksitas zat yang terkandung didalamnya,
serta sangat kecilnya konsentrasi metabolit
aktif obat bahan alam tersebut yang dapat
terdeteksi didalam serum. Penelitian
menggunakan binatang percobaan bisa sangat
membantu dan murah, namun tidak semua
hasil penelitian pada binatang percobaan dapat
dikonversi untuk diaplikasikan pada manusia.
Dengan bertambahnya pengetahuan tentang
zat aktif yang terkandung dalam obat alami
serta diketemukannya metoda analisa yang
selektif dan sensitif, parameter
farmakokinetika obat alami dapat diketahui
dan dipublikasi untuk praktisi. Beberapa obat
bahan alam yang sudah diteliti profil
farmakokinetikanya dan interaksinya dengan
obat lain adalah sebagai berikut :

Ginko (Ginko biloba L.)
Penelitian klinik ginko umumnya
menggunakan ekstrak standard (Egb761)
dalam bentuk padat secara oral. Egb761
mengandung 26% flavanoid (campuran
kuersetin, kamferol, dan isohamnetin glikosid)
dan 6% terpen (ginkgolid dan bilobalid).
Penelitian farmakokinetika klinik ginkgolid
A,B, dan bilobalid telah dilakukan terhadap 15
sukarelawan sehat dengan menggunakan
preparat ginkgolid bebas dan komplek
ginkgolid-fosfolipid (Mauri dkk, 2001).
Hasilnya terlihat pada tabel 2.
Konsentrasi maksimum (C
maks
) dan
AUC ginkgolid dan bilobalid 3-4 kali lebih
besar jika diberikan dalam bentuk komplek
dengan fosfolipid dibanding ginkgolid bebas.

Garlik (Allium sativum L.)
Salah satu komponen zat aktifnya
adalah S-alilsistein (SAC), yang merupakan
kontributor utama dalam preparat garlik untuk
kesehatan. Uji farmakokinetika klinik pada
sukarelawan sehat menunjukkan bahwa
setelah pemberian dosis 500 mg kapsul
ekstrak garlik secara oral, konsentrasi puncak
dalam serum (C
maks
) dicapai kurang lebih 1
jam setelah pemberian. Waktu paro
eliminasinya setelah pemberian oral adalah 10
jam (Kodera dkk., 2002).

Minyak timus (Thymus vulgaris L.)
Minyak timus banyak digunakan
sebagai terapi bronkhitis akut dan kronis.
Aktivitas farmakologi lain yang pernah
dilaporkan adalah sebagai antiinflamasi,
antimikroba, antivirus, dan antioksidan
(Piscitelli dkk, 2002). Kandungan utama
minyak timus adalah terpinen 94,3%, p-cimen
(23,5%), karvakrol (2,2%), dan timol (63,6%)
(Dimitra dkk., 2000). Penelitian
farmakokinetika klinik preparat timol
dilakukan pada sukarelawan sehat. Setelah
mendapatkan perlakuan dengan tablet
Bronchipet

, yang mengandung 1,08 mg


timol, hasilnya menunjukkan bahwa tidak
diketemukan timol didalam serum maupun
urin. Namun metabolit timol sulfat dan
glukoronid diketemukan dalam urin maupun
serum. Setelah hidrolisis, timol sulfat didalam
serum dapat terdeteksi, tetapi timol glukoronid
tidak terdeteksi. Konsentrasi puncak (C
maks
)
didalam serum 94,124,5 ng/mL tercapai pada
2,00,8 jam setelah pemberian secara oral.
Waktu paro eliminasi (t
1/2
) timol sulfat adalah
10,2 jam. J umlah total metabolit timol sulfat
dan glukoronid dalam urin setelah 24 jam
adalah 16,24,5% dari dosis (Kohlert dkk.,
2002).



Eurikomanon (Eurycoma longifolia J ack)
Eurycoma longifolia J ack termasuk
famili Simaroubaceae, dikenal dengan nama
Tongkat Ali di Malaysia, Pasak Bumi di
Indonesia dan Cay ba binh di Vietnam
(Chan dkk., 1998). Analisis HPLC tervalidasi
eurikomanon, bioaktif kuasinoid, pada plasma
tikus setelah pemberian oral dan intravena
ekstrak Eurycoma longifolia J ack
dikembangkan untuk studi farmakokinetika
dan bioavailabilitasnya. Konsentrasi relatif
eurikomanon terdeteksi setelah pemberian
injeksi intravena ekstrak 10 mg/kg
mengandung 1,96 mg/kg kuassinoid. Kadar
tersebut turun secara drastis sampai mendekati
nol setelah 8 jam. Konstanta kecepatan
eliminasi (k), waktu paro eliminasi (t
1/2
),
volume distribusi (Vd) dan klirens (Cl)
berturut-turut adalah 0,880,19 per jam,
1,000,26 jam, 0,680,30 L/kg, dan 0,390,08
L/jam/kg. Setelah pemberian oral, harga C
maks
dan t
maks
eurikomanon berturut-turut adalah
0,330,03 g/ml dan 4,400,98 jam.
Konsentrasi plasma eurikomanon setelah
pemberian oral jauh lebih kecil bila
dibandingkan pemberian injeksi intravena
yang mengindikasikan bioavailabilitas
eurikomanon setelah pemberian oral tidak
baik. Bioavailabilitas absolut eurikomanon
setelah pemberian oral adalah 10,5% (Low
dkk., 2005).

Kurkumin (Curcuma spp.)
Studi farmakodinamik dan
farmakokinetika kurkumin telah dilakukan
setelah pemberian ekstrak Curcuma secara
oral pada pasien dengan kanker colorectal.
Ekstrak Curcuma terstandardisasi dalam
bentuk kapsul dengan dosis antara 440 sampai
2200 mg/hari yang mengandung kurkumin 36-
180 mg diberikan kepada 15 pasien kanker
colorectal setiap hari selama 4 bulan. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
ekstrak Curcuma aman diberikan pada pasien
sampai dosis 2,2 g/hari yang ekivalen dengan
180 mg kurkumin, kurkumin memiliki
bioavailabilitas kecil pada manusia dan
mungkin disebabkan oleh metabolisme
intensif di saluran cerna (Sharma dkk., 2001).


Tabel 2. Parameter farmakokinetika ginkgolid dan bilobalid pada manusia (Mauri dkk, 2001)
Ginkgolid
A
Gingkgolid
B
Bibolid Gingkgolid
A
Gingkgolid
B
Bilobalid Ginkgolid
A
Ginkgolid
B
Subyek manusia manusia manusia manusia manusia manusia Manusia manusia
N 15 15 15 15 15 15 15 15
Pemberian Oral
1
Oral
1
Oral
1
Oral
2
Oral
2
Oral
2
Iv iv
Dosis (mg) 160 160 160 160 160 160 4,08
3
4,08
3

t
maks
(jam) 2 2 2 4 3 3 1 1
C
maks

(ng/ml)
41,814 5,62,2 37,614,2 1088 13,42,2 60,313 - -
t
1/2

(jam)
2,630,45 2,340,38 2,300,24 1,880,13 1,690,3 3,160,3 3,750,25 4,250,32
AUC
(ng.ml/mnt)
84343009 1030447 69272850 28361768 2531287 13962
1948
68305
2766
19714
1067

Keterangan :

1
setelah pemberian sediaan Ginkgoselect

(24% flavanoid dan 6% terpen dalam bentuk bebas)



2
setelah pemberian sediaan Ginkgoselect

Phytosome (24% flavanoid dan 6% terpen dalam


bentuk kompleks dengan fosfolipid)
3
setelah pemberian injeksi intravena 40 ml mengandung Ginggolide A 0,102 mg/ml


KESIMPULAN
1. Penetapan farmakokinetika obat alami
sangat diperlukan untuk mengatur dosis
pemberian agar diperoleh terapi yang
efektif dan aman.
2. Penelitian farmakokinetika klinik obat
alami sangat menantang mengingat
komponen aktif obat alami sangat
komplek dan konsentrasi metabolit aktif
yang dapat dideteksi di dalam serum
sangat kecil. Oleh karena itu, perlu
dikembangkam metoda analisis yang
selektif, sensitif, dan mempunyai
reproduktibiltas tinggi

DAFTAR PUSTAKA.
Chan K.L., Choo C.Y., Morita H., Itokawa H.,
1998, High performance liquid
chromatography in phytochemical
analysis of Eurycoma longifolia, Planta
Med, 64: 741-745.
Cordell, G.A., 1981, Introduction to alkaloids, a
biogenetic approach, J ohn Wiley and
Sons, Inc., New York.
Dimitra J .D., Basil N.Z., Moschos G.P., 2000, GC-
MS analysis of essensial oils from some
Greek aromatic plants and their
fungitoxicity on penicllium digitatum,
Agric Food Chem., 48(6): 2576-2581.




Evans W.E., 2006, General principles of clincal
pharmacokinetics, in Burton M.E.,
Shaw L.M., Schentag J.J ., Evans W.E.,
Applied pharmacokinetics &
phamacodynamics : principles of
therapeutic drug monitoring, 4
th
ed.,
Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia, 3-7.
Gibaldi, J R & Perrier, D. 1975, Pharmacokinetics:
Drugs and the Pharmaceutical
Sciences. Marcel Dekker, New York.
Kodera Y., Suzuki A., Imada O, 2002, Physical,
chemical, and biological properties of
S-allylcysteine, an amino acid derived
from garlic, J. Agric. Food Chem.,
50(3) :622-632
Kohlert C, Schindler G, Marz RW,, 2002, Systemic
availability and pharmacokinetics of
thymoil in humans, J.Clin. Pharmacol.
42(7): 731-737
Low B., Ng B., Choy W., Yuen K., Chan K., 2005,
Bioavailbility and pharmacokinetic
studies of eurycomanon from Eurycoma
longifolia, Planta Med, 71: 803-807.
Mauri P, Simonetti P, Gardana C., 2001, Liquid
chromatography/atmospheric pressure
chemical ionization mass spectromety
of terpene lactones in plasma of
volunteers dosed with Ginkgo biloba L.
Extracts, Rapid Commun. Mass
Spectrom., 15 : 929-934.

Patrick G., 2001, Medicinal Chemistry Instant
Notes, BIOS Scientific Publishers Ltd.,
Oxford, UK.
Piscitelly S.C., Burstein A.H., Welden N., 2002,
The effect of garlic supllements on the
pharmacokinetic of saquinavir clinical
infectious disease, Clin. Infect. Dis.,
34(2) : 234-238.
Ritschel W.A. 1980, Handbook of basic
pharmacokinetics, Ed.2. Drug
Inteligence Publications, Inc.: Hamilton
Sarjiman, 2000, Synthetic of some new series of
curcumin analogues, anti-oxydative,
anti-inflamatory, antibacterial activities
and quqntitative structur-activity
relationship, Dissertation, Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
Shargel L., Wu S.P., and Yu A.B.C., 2005, Applied
Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics, 5
th
ed., McGraw-Hill
Companies Inc., New York.
Sharma R.A., McLelland H.R., Hill K.A., Ireson
C.R., Euden S.A., Manson M.M.,
Pirmohamed M., Marnett L.J ., Gescher
A.J ., dan Steward W.P., 2001,
Pharmacodinamic and
pharmacokinetics study of oral
Curcuma extract in patients with
colorectal cancer, Clin. Cancer
Research, 7 : 1894-1900.
Wahyuono S., 2006, Evaluasi bioaktivitas tanaman
obat koleksi Kalimantan Tengah, MOT,
11(38): 24-30.

Anda mungkin juga menyukai