Anda di halaman 1dari 9

Perjalananku Menuju Kampus Biru

Sudah lama kiranya saya memendam keinginan untuk sekadar menceritakan perjalanan hidup saya
dalam memperjuangkan cita-cita di masa lalu hingga pada akhirnya saya berada di kampus biru,
kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sungguh sebuah anugerah yang sangat besar datangnya
dari ALLAH jika pada saat ini ALLAH taqdirkan saya untuk bisa menempuh pendidikan kuliah di
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Anugerah yang sangat besar karena bagi saya semua yang saya impikan dapat terwujud
semata-mata karena rizqi dari ALLAH. Tidak hanya itu merupakan anugerah yang sangat besar juga
karena ALLAH menjawab ikhtiar saya selama kurang lebih dua tahun.

Kira-kira dua tahun yang lalu di pertengahan tahun 2006, saat saya menginjak masa-masa kelas tiga
SMA. Saya tersadar bahwa saya telah memasuki fase akhir pendidikan di sekolah menengah. Saya
mulai berpikir tentang masa depan saya selepas masa-masa SMA waktu itu. Sudah barang tentu
merupakan idaman bagi setiap siswa kelas tiga SMA kala itu untuk bisa meneruskan pendidikan kuliah
di Perguruan Tinggi Negeri ternama di Tanah Air. Dan saya mulai sadar bahwa masa-masa kelas tiga
SMA bukanlah masa-masa seperti dua tahun yang telah lewat di kelas satu atau pun kelas dua SMA.
Saya sudah dewasa dan saya harus mampu berpikir dan bersikap layaknya orang dewasa. Sudah bukan
saatnya lagi bagi saya untuk bermain-main dan bersantai ria dan melupakan citacita saya selepas SMA.

Dulu sewaktu SMA, saya bukan siapa-siapa. Saya sama sekali tidak termasuk dalam daftar siswa-siswa
yang memiliki prestasi akademis di sekolah. Saya bisa masuk di SMA Negeri 1 Tegal tahun 2004
dengan NEM SMP 24,14 (untuk 3 mata pelajaran). Bukan sesuatu yang istimewa. Dan masa-masa
sekolah saya di kelas satu pun sempat terseokseok walaupun pada akhirnya saya mampu duduk di kelas
dua program IPA. Dan di kelas dua SMA pun tidak banyak yang berubah dari diri saya dalam hal
prestasi walaupun pada akhirnya saya mampu naik ke kelas unggulan di kelas tiga SMA. Jadi, secara
umum, seorang Muhammad Nikmatul Mu’minin Fadli bukanlah siswa SMA yang memiliki segudang
prestasi akademis layaknya teman-teman saya yang lain saat itu. Namun, label siswa biasa itu tidak
bisa menghentikan saya untuk terus mengejar impian untuk kuliah di perguruan tinggi favorit.

Penting buat saya adalah motivasi yang mendorong saya untuk terus dapat teguh dan tegar mengejar
impian untuk bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri ternama seperti UGM, ITB, ataupun UI.
Bagaimana kiranya agar seorang siswa SMA biasa seperti saya bisa lulus masuk ke PTN-PTN favorit?
Karena, kuliah di PTN favorit tidak hanya menjadi milik dan hak siswa-siswa berprestasi saja, tetapi
saya yang biasa ini pun mampu meraihnya. Kala itu saya terus berpikir kiranya hal apa yang bisa
membuat saya termotivasi untuk bisa meraih impian kuliah di PTN ternama saat itu? Dan jawabannya
ternyata tidak sulit. Saya menemukan sebuah spirit itu dari keluarga saya dan orangorang di sekitar
saya.

Bagi saya, siswa SMA Negeri 1 Tegal saat itu, kuliah di PTN ternama merupakan jejak yang harus
diikuti mengingat sudah banyak kakak-kakak kelas saya yang telah mendahului saya kuliah di PTN
favorit. Mereka menjadi kebanggaan keluarga, temanteman, atau paling tidak menjadi kebanggaan bagi
diri mereka sendiri karena dapat kuliah di PTN favorit. Maka, rasa ingin menjadi kebanggaan itulah
yang awalnya memotivasi saya untuk mengejar impian-impian saya selepas masa SMA.

Berawal dari keakraban yang saya jalin dengan kakak-kakak kelas yang sudah menempuh pendidikan
di PTN-PTN favorit, dari mereka saya menjadi banyak belajar tentang pentingnya mengejar masa
depan selepas SMA, tentang tidak mudahnya perjuangan untuk bisa kuliah di PTN favorit, dan juga
tentang arti hidup sebenarnya dalam konteks masa depan di dunia. Saya sungguh tergugah dan segera
bangkit dari keterpurukan saya saat itu sebagai seorang siswa SMA biasa yang tidak pernah
menorehkan kebanggaan bagi orang lain secara umum dan bagi diri saya secara khusus.

Mengapa harus kuliah di Perguruan Tinggi Negeri? Karena di Perguruan Tinggi yang berstatus
Negerilah saya bisa mendapatkan segala sesuatu yang tidak akan bisa saya dapatkan sebelumnya, lain
halnya jika saya kuliah di Perguran Tinggi yang bukan Negeri. Segalanya seperti rasa bangga,
kemudahan dalam segala sesuatu di bangku kuliah semacam kualitas pendidikan, fasilitas perkuliahan,
juga kemudahan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sisi materi selepas kulah di PTN,
walaupun semuanya itu tidak mutlak dapat didapatkan karena tergantung dari individu masing-masing
orang.

Dan saya beruntung bisa berada di sekolah yang menyediakan kemudahan akses bagi siswanya untuk
dapat kuliah di PTN. Banyak informasi dari pihak SMA yang datangnya dari PTN-PTN favorit. Ada
banyak penawaran jalur masuk ke PTN-PTN semacam program PMDK (sekarang telah berganti nama
dan namanya tergantung masing-masing PTN penyelenggara), Ujian Masuk mandiri yang
diselenggarakan tiap perguruan tinggi, SPMB (sekarang telah berganti nama menjadi SNMPTN) dan
macam-macam informasi lainnya melalui sekolah. Semuanya telah tersedia dan saya hanya perlu
menentukan satu pilihan saja untuk kuliah di PTN yang saya kehendaki.

Saat itu, saya memilih Universitas Indonesia dan memlih jurusan Ilmu Komputer sebagai tempat saya
berlabuh selanjutnya selepas SMA. Dan saya memilih mengikuti SPMB (sekarang SNMPTN) karena
saat itu peluang untuk dapat lulus dan kuliah di UI melalui jalur SPMB sangat besar.. Saya memilihnya
selain karena saya banyak bergaul dengan kakak-kakak kelas alumni yang ada di sana -sehingga sedikit
bayak saya terpengaruh olehnya-, juga karena bagi saya Universitas Indonesia menjanjikan segalanya
bagi siswa SMA yang pada akhirnya saat ini saya mengetahui bahwa hal itu salah. Mungkin yang
paling utama adalah rasa kebanggaan jika kiranya saya dapat kuliah di UI saat itu. Kebanggaan pada
diri saya, kebanggan dari keluarga saya dan kebanggaan dari orangorang yang ada di sekitar saya.

Perlu diketahui, banyak juga teman saya yang waktu itu sudah memantapkan hati meneruskan kuliah di
perguruan tinggi lain seperti UGM. Dan saat itu saya sungguh membenci UGM karena wakti itu saya
masih beranggapan salah bahwa UGM adalah kampus yang berorientasi bisnis. Siapa yang memiliki
uang yang cukup, maka itulah yang berhak untuk kuliah di UGM. Namun pada akhirnya saya sadar
bahwa angapan itu sama sekali tidak benar.

Maka, layaknya orang yang telah mengetahui tujuan hidup selanjutnya, saya pun mulai mencari
informasi-informasi yang kiranya dapat membuat saya lebih dekat dan lebih bersemangat dengan UI.
Karena bagi saya, semangat atau motivasi adalah akar kekuatan saya untuk bisa melakukan sebuah
perbuatan dan pejuangan, seperti meraih cita-cita berkuliah di PTN favorit. Dari akar motivasi yang
kuat itulah nantinya akan tumbuh pohon-pohon perjuangan dan pada akhirnya saya dapat memetik
buah yang manis dari pohon perjuangan itu. Dan juga saya teringat dengan firman ALLAH Subhanahu
Wa Ta’ala dalam Al Qur’an:

“Dan tidaklah manusia itu mendapatkan sesuatu melainkan dari apa-apa yang diusahakannya” (An
Najm : 39)

Maka, seketika itu saya tersadar bahwa untuk bisa kuliah di PTN bukanlah sesuatu yang mudah diraih.
Ada perjuangan yang sangat keras yang harus saya lakukan untuk bisa mendapatkannya. Sesuatu yang
besar membutuhkan perjuangan yang besar pula untuk meraihnya. Saya harus bekerja keras tanpa kenal
lelah untuk bisa mewujudkan cita-cita saya melanjutkan kuliah di UI saat itu. Apa kuncinya? Tidak ada
kata lain selain belajar mempersiapkannya. Dan apabila saya gagal dalam mempersiapkannya, maka
sama saja saya memprsiapkan kegagalan bagi diri saya. Saya pun melewatkan kesempatan mengikuti
UM UGM tahun 2007 dengan tatapan sinis terhadap UGM dan penuh rasa optimist menatap UI.

Mulailah saya menyingsingkan baju untuk berusaha semaksimal mungkin mempersiapkan segala
sesuatu demi kuliah di PTN favorit seperti UI saat itu. Ada banyak yang saya lakukan. Mencari
informasi dengan menjalin komunikasi dengan orang-orang yang sudah kuliah di sana, menumbuhkan
rasa percaya diri, dan tentunya belajar mempersiapkannya sedini mungkin. Saat saya sudah mantap
memilih tujuan saya, saya tengah berada dalam waktu yang sempit. Ada banyak tuntutan lain seperti
tuntutan lulus Ujian Nasional. Kala itu saya pun menghadapi sebuah pilihan yang dilematis. Di sisi lain
saya harus lulus Ujian Nasional dengan nilai yang baik, namun di sisi lain saya pun harus lulus ujian
SPMB selepas Ujian Nasional agar saya bisa kuliah di UI.

Dan dengan taufiq dari ALLAH, saya memilih untuk berkosnsentrasi mempersipakan SPMB 2007.
Saya beranggapan karena jika saya lebih siap untuk SPMB, saya akan lebih siap lagi untuk mengikuti
Ujian Nasional. Namun sebaliknya, jika saya hanya berkonsentrasi untuk Ujian Nasional, saya belum
tentu mampu untuk mengikuti SPMB. Dan juga, pastinya bobot soal untuk SPMB akan lebih sulit
daripada soal Ujian Nasional. Jadi, di saat teman-teman saya sibuk dengan persiapan Ujian Nasional,
saya justru sibuk dengan persiapan SPMB 2007. Namun, lagi-lagi semuanya tergantung pada
masingmasing orang karena setiap diri lebih mengetahui yang terbaik bagi dirinya, dan juga setiap
orang memiliki pilihan masing-masing dalam hidupnya. Dan inilah pilihan saya.

Dan mulailah saya mempersiapkan segalanya. Persiapan yang utama tentunya adalah belajar materi-
materi pelajaran yang diujikan di SPMB kala itu. Saya kumpulkan soalsoal untuk masing-masing
pelajaran seperti Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Fisika, Kimia, dan Biologi. Kalau
tidak salah, saya mengumpulkan kira-kira 2 kardus buku berisi soal-soal ujian SPMB yang di dalamnya
tak kurang ada 10.000 soal. Mengapa begitu banyak? Karena bagi saya, SPMB 2007 adalah ibarat
sebuah peperangan dan saya harus banyak berlatih berperang sebanyak mungkin agar kelak saat perang
sesungguhnya saya sudah mahir menggunakan senjata saya.

Setelah bekal persiapan dirasa cukup, maka saya pun membentangkan agenda-agenda belajar. Saat itu
di akhir tahun 2006 dan SPMB akan dilaksanakan pada bulan Juli 2007. Agenda-agenda belajar yang
saya buat adalah jadwal belajar saya setiap hari, target belajar per minggu, dan evaluasi belajar selama
beberapa bulan berikutnya. Saya pun mulai terbiasa dengan kesibukan belajar. Saya yang sebelumnya
lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersantai tiba-tiba menjadi seorang siswa yang optimist,
idealist, dan full agenda. Perjuangan mempersiapkan segalanya untuk lulus SPMB dan diterima di UI
bukanlah hal yang mudah. Dalam perjalanan saya melakukan persiapan, banyak cobaan baik secara
lahir maupun bathin. Mungkin yang paling berat adalah cobaan dari sisi bathin karena sepanjang
perjuangan saya mempersiapkan SPMB 2007, saya menghadapi banyak asumsi negatif yang seringkali
melemahkan semangat saya. Olok-olok dari teman, rasa tidak percaya dari pihak keluarga, dan rasa
kurang percaya diri dari diri sendiri seringkali melemahkan tekad saya. Namun, semata-mata karena
taufiq dari ALLAH sajalah yang membuat saya tetap teguh dan tegar meneruskan perjuangan agar bisa
lulus SPMB 2007.

Hingga sampailah saya di bulan April 2007 di mana saya harus menghadapi Ujian Nasioal. Saya sudah
lebih dari siap mempersiapkan Ujian Nasional karena walaupun sebelumnya saya tidak fokus tentang
Ujian Nasional, akan tetapi persiapan saya untuk SPMB sungguh sangat membantu saya mengerjakan
soal-soal di Ujian Nasional. Dan singkat cerita, saya lulus Ujian Nasional dengan NEM 24,48 untuk
tiga mata pelajaran. Di saat teman-teman saya selesai menjalani Ujian Nasional mereka, banyak teman-
teman saya yang menganggap bahwa perjuangan mereka telah usai. Tapi, bagi saya justru sebaliknya.
Perjuangan memepersiapkan SPMB baru saja memulai fase awal karena sebelumnya konsentrasi saya
seringkali terbelah oleh bayang-bayang Ujian Nasional. Dan untuk lebih memantapkan persiapan saya,
saya pun mengikuti program Bimbingan Belajar di salah satu Lembaga Bimbingan Belajar di daerah
Jakarta Selatan selama kurang lebih dua bulan. Kebetulan, saat itu program bimbingan belajar tersebut
diadakan oleh para mahasiswa Univeritas Indoensia, kampus favorit saya saat itu yang pada akhirnya
saya sadari bahwa itu salah.

Bayang-bayang bangku kuliah di Ilmu Komputer UI semakin jelas di mata mengingat saya hidup di
lingkungan yang serba UI. Dan lebih dari itu, UI merupakan sebuah idealisme dan prestise bagi
sebagian orang. Waktu dua bulan dalam masa “karantina” bimbingan belajar sungguh sangat menempa
saya menjadi pribadi yang lebih optimist menatap masa depan di Ilmu Komputer UI. Hingga pada
akhirnya, saya mengikuti SPMB 2007 dengan mantap memilih Ilmu Komputer UI di pilihan pertama,
dan Ilmu Komputer UGM di pilihan kedua.

Mengapa saya masih memilih Ilmu Komputer UGM padahal waktu itu saya membenci UGM?
Jawabannya adalah karena ibu saya “hanya” merestui saya kuliah di Jurusan Komputer. Dan bagi saya,
tidak ada jurusan lain selain jurusan komputer di UI kala itu yang cocok dengan cita-cita saya. Maka
saya pun mulai sadar bahwa selain saya harus memenuhi kehendak hati saya, saya pun wajib
memenuhi keinginan hati orang tua saya. Maka dengan sedikit mengikis rasa idealisme saya, saya pun
memilih Ilmu Komputer UGM di pilihan kedua. Ikhtiar yang saya lakukan sudah dirasa cukup dan saya
hanya tinggal melaksanakan ujian sesungguhnya yaitu ujian SPMB.

Di ujian SPMB, saya sedikit tidak percaya diri karena secara jujur saya akui saya kurang bisa
mengerjakan soal-soal SPMB secara optimal. Namun, saya berusaha untuk tetap optimist meraih cita-
cita saya untuk lulus SPMB dan kuliah di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Layaknya
seorang muslim, setelah berusaha, maka wajib bagi saya untuk bertawakkal kepada ALLAH. Biarl
ALLAH saja yang menentukan jawaban atas ikhtiar saya dalam mempersiapkan SPMB 2007. Dan pada
akhirnya di , dengan penuh rasa sedih, kecewa, dan penyesalan, SAYA GAGAL LULUS SPMB 2007 !

Sungguh kegagalan di SPMB membuat kehidupan saya serasa hilang. Saya kehilangan semangat hidup.
Cita-cita di UI sirna sudah. Segalanya telah berganti dengan rasa sedih yang bertambah-tambah. Rasa
kecewa pada diri sendiri, malu kepada orang lain, danlebih dari itu semua adalah penyesalan yang saya
alami karena beberapa kesalahan yang saya lakukan sebelumnya. Saya menjadi seorang pecundang di
saat orang lain telah meraih mimpi-mimpi gemilang. Ya, di saat orang lain telah merayakan
kemanangan karena berhasil dengan cita-citanya masing-masing, saya justru tertunduk lesu meratapi
nasib yang menimpa saya denga lelehan air mata yang senantiasa mengalir di pipi.

Betapa tidak, impian saya musnah berlalu. Perjuangan-perjuangan yang saya lalui tak berbuah apa-apa.
Yang tersisa hanyalah keputusasaan, kekecewaan, dan kesedihan yang senantiasa menggelayut dalam
diri ini. Sungguh, saat itu saya tidak pernah merasakan dahsyatnya kegagalan seperti sebelumnya. Bagi
saya saat itu, kegagalan SPMB dan terlebih lagi gagal kuliah di PTN tahun itu adalah sebuah
kehancuran masa depan saya. Begitulah kiranya pikir saya secara pendek dan sempit. Allaahul
Musta’an

Namun, seiring berjalannya waktu, sebulan dua bulan, rasa itu kian pergi. Dan sebaikbaik orang yang
gagal adalah orang yang mampu bangkit dari kegagalannya dan kembali meraih cita-cita yang dahulu
pernah hinggap secara kuat dalam dada. Saya lebih mengetahui dan lebih sadar makna kegagalan. Saya
lebih mengetahui bahwa belum tentu sesuatu yang saya dambakan dan saya senangi itu baik bagi diri
saya pribadi. Saya lebih mengetahui hakikat tujuan saya melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Negeri.
Pada, intinya, saya lebih dapat bersikap bijak dan arif serta dewasa dalam menyikapi persoalan yang
saya hadapi, terutama masalah-masalah berat yang menimpa saya.

Dalam masa-masa kesendirian saya karena teman-teman seperjuangan dahulu telah mendahului saya
dengan keberhasilan mereka masing-masing, saya merenung dan mengharapkan ada hikmah yang
dapat saya petik dan kiranya ALLAH mengganti kegagalan saya untuk lulus di SPMB 2007 itu dengan
yang lebih baik. Saya menajdi lebih sadar tentang kesalahan-kesalahan saya di masa lalu saat masih
silau dengan bangku kuliah di UI.

Dan dari sisi pilihan akademis, mengapa harus UGM? Maka jawabnya adalah karena UGM adalah
salah satu Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia atau bahkan di Asia. Tidak berhenti sampai di situ,
masih ada beberapa masalah menyangkut pilihan saya yang jatuh ke UGM. Bukankah kuliah di UGM
itu hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu secara finansial? Bukankah dalam proses seleksi
mahasiswa baru di UGM terdapat ketidakadilan dalam hal komponen biaya kuliah, terutama SPMA
(Sumbangan Pengembangan Mutu Akademik)? Semakin besar nominal SPMA yang ditawarkanoleh
calon mahasiswa, maka semakin besar pula peluangnya diterima di UGM. Bukankah sangat sulit untuk
masuk di UGM dibandingkan masuk ke perguruan tinggi yang lain? Maka jawabnya adalah saya
sendiri sebagai bukti. Saya bisa masuk kuliah di UGM dengan tidak membayar sedikitpun uang
pangkal atau Admission Fee atau SPMA( Sumbangan Pengembangan Mutu Akademik) di UGM dan
tidak ada kata sulit bagi ALLAH yang telah menetapkan hambaNya untuk dapat lulus ujian masuk
UGM

Memang, anggapan yang beredar di masyarakat adalah bahwa untuk dapat kuliah di UGM, dibutuhkan
banyak sekali biaya bagi sebagian orang merupakan sesauatu yang mustahil terpenuhi. Ujian masuk
UGM diwarnai ketidakadilan berdasarkan jumlah nominal uang sumbangan masuk yang diisikan calon
mahasiswa. Maka, anggapan itu sama sekali tidak benar dan terbantahkan dengan apa yang saya alami
dengan saat masuk dan diterima di UGM.

Perlu diketahui, setiap tahunnya, UGM menyediakan 1000 beasiswa bagi calon mahasiswa berupa
pembebasan pembayaran uang sumbangan masuk bagi para pendaftar Ujian Tulis (UTUL) UM UGM.
Dan dikarenakan kurangnya informasi yang ada di tengah masyarakat, anggapan salah bahwa kuliah di
UGM adalah sesuatu yang mahal pun terus mendarah daging. Tidak banyak yang mengetahui bahwa
tersedia beasiswa pembebasan uang sumbangan masuk bagi peserta Ujian Tulis UM UGM. Contoh
kasusnya adalah seperti yang terjadi tahun lalu, dari jumlah 1000 beasiswa pembebasan uang yang
tersedia, hanya ada sekitar 600 pendaftar saja yang mengajukan diri sehingga jika ke-600 orang
pendaftar beasiswa itu diteriama di UGM, maka secara otomatis langsung terbebas dari kewajiban
membayar uang Sumbanagn Pengembangan Mutu Akademik yang rentan jumlahnya adalah mulai Rp
5.000.000 sampai nominal yang tak terbatas. Dan beruntunglah saya menjadi salah satu yang diterima
dengan terbebas membayar uang SPMA dan hanya cukup membayar biaya kuliah lain seperti SPP Rp
75.000 / sks, dan BOP 500.000 per semester, serta biaya lain-lain untuk mahasiswa baru sebesar Rp.
310.000.

Tidak cukup sampai di situ, jika sang mahasiswa baru UGM yang telah diterima pun masih mengalami
kesulitan atau dalam kata lain masih belum mampu membayar biaya kuliah seperti SPP, BOP dan biaya
lain-lain, masih ada kesempatan untuk menndapatkan pembebasan SELURUH komponen biaya
sehingga sama sekali tidak ada sepeserpun nominal uang yang kelauar dari saku untuk kuliah di UGM.
Jadi, anggapan bahwa kuliah di UGM membutuhkan baiay ayang sangat besar itu adalah anggapan
yang salah besar.

Sebagian orang memang termakan dengan anggapan-anaggapan negative tentangUGM sehingga


mereka ketakutan untuk kuliah di UGM atau paling ekstrem adalah dengan mengeluarkan puluhan atau
bahkan ratusan juta rupiah demi meraih mimpi kuliah di UGM. Beberapa teman sekelas saya
menghabiskan nominal uang sekitar lima puluh juta rupiah untuk dapat duduk di bangku Jurusan Fisika
UGM. Berbeda dengan saya yang hanya mengeluarkan nominal uang sekitar dua juta rupiah saja.
Sungguh sangat jauh perbandingannya. Dan sangat penting untuk dipahami bahwa hasil seleksi
penermaan mahasiswa baru di UGM adalah murni merupakan hasil ujian tertulis (bagi peserta UTUL)
masing-masing peserta, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan nominal uang sumbangan yang
telah diisikan dalam formulir. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh salah satu dosen UGM yang
terlibat kepanitiaan UM UGM. Maka, mulai sekarang, buanglah jauh-jauh asumsi negative tentang
UGM dalam hal biaya masuk kuliah. UGM merupakan kampus rakyat yang peduli dengan nasib para
putera-puteri bangsa ini yang unggul, dan sama sekali tidak memandang strata ekonomi dari para
intelektual muda yang akan meraih cita-citanya di UGM.

Maka, dengan bekal semangat baru, motivasi baru, niat yang baru, dan doa yang senantiasa terucap,
saya pun dengan mantap memilih UGM sebagai tempat saya menggantungkan cita-cita selepas
kegagalan yang saya lalui sebelumnya. Saya bentangkan kembali agenda-agenda persiapan saya untuk
dapat meraih harapan saya kuliah di UGM. Sama seperti sebelumnya, semangat yang pernah hilang
akibat keputusasaan kegagalan mulai muncul dan tumbuh berkembang. Segalanya berjalan dengan
kemudahan dari ALLAH hingga pada akhirnya SAYA BERHASIL LULUS UJIAN MASUK UGM
2008 !

Saya diterima di Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah
Mada. Mengapa Fisika? Itulah pertanyaan selanjutnya bagi saya. Ya, jurusan yang saya ambil adalah
Fisika padahal saya sama sekali tidak tertarik dengan Fisika atau setidaknya saya sama sekali tidak
mempunyai latar belakang dunia Fisika. Maka jawabnya adalah saya memang memilih Fisika karena
selama masa-masa kesendirian saya dalam kegagaan masa lalu, saya mulai lebih mengenal dunia Fisika
dan lebih tertantang untuk mempelajarinya. Saya pun menjadi lebih termotivasi dengan jejak salah satu
alumni Fisika UGM yang telah sukses. Walaupun pada awalnya saya pun ragu dan tidak terlalu
gembira saat saya diterima di Fisika UGM.

Dan saya pun teringat bahwasanya tidak semua yang kita benci itu buruk bagi saya dan sebaliknya
pula, tidak semua yang saya sukai adalah sesuatu yang baik bagi diri saya. Itulah yang membuat saya
senantiasa terpacu. Saya yakin ALLAH adalah Maha Hikmah dan Maha Memberikan Rizqi. Tidaklah
apa yang ALLAH karuniakan kepada hambaNya melainkan hal itu baik untuknya pasti ada hikmah di
balik semuanya itu.

Dan mulailah saya hingga saat ini menerima apa yang ALLAH rizqikan sebagai jawaban atas ikhtiar
saya selama kurang lebih dua tahun memperjuangkan cita-cita saya, dan menjadi kebanggaan keluarga
saya. Dan benar adanya, di saat orang lain menganggap bahwa kuliah di jurusan Fisika bukanlah
sesauatu yang menyenangkan, maka saya justru beranggapan sebaliknya. Saya merasakan di sinilah
tempat saya seharusnya semenjak dulu. ALLAH memang Maha Hikmah yang mengetahui yang terbaik
bagi hambaNya yang beriman kepada TaqdirNya. Dan akhir kata, saya berdo’a agar saya tetap mampu
untuk terus bercita-cita tinggi penuh optimist dan tetap istiqomah dengan tujuan awal saya meneruskan
kehidupan saya di sini.

Allaahul Musta’an wal Muwaffiq. Wassholaatu Wassalaamu ‘alaa Rasulillaah wa Ashhabihi


Ajma’iin.... Walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin..........

Yogyakarta, 13 Desember 2008

Anda mungkin juga menyukai