Anda di halaman 1dari 5

SENIN, 05 APRIL 2010

Dikriminalkan, Perawat Judicial Review UU Kesehatan ke


MK
Seorang perawat dipidana karena memberikan obat daftar G (antibiotik dll) kepada pasien.
Padahal, bila itu tak dilakukan, si pasien terancam meninggal dunia.
ALI
Dibaca: 2834 Tanggapan: 2

MK sedang uji UU Kesehatan. Foto: Sgp
Tweet

Malang benar nasib Misran. Kepala Puskesmas Pembantu di Kuala Samoja, Kabupaten
Kutai Kertanegara ini harus merasakan dindingnya penjara selama tiga bulan. Ironisnya,
hukuman ini diperolehnya justru karena Misran melakukan tindakan medis untuk
menolong nyawa pasien. Pria yang berprofesi sebagai perawat ini divonis bersalah
karena melanggar UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dalam UU itu, seorang perawat dibatasi tindakannya dalam mengobati pasien.
Ketentuan ini yang diuji oleh Misran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia meminta MK
membatalkan Pasal 108 Ayat (1) beserta penjelasannya dan Pasal 190 Ayat (1) UU
Kesehatan. Sidang di MK pun sudah memasuki agenda pemeriksaan perbaikan
permohonan.

Pasal 108 ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang dimaksud adalah
tenaga kefarmasian dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat-
bisa melakukan tindakan kefarmasian secara terbatas yang dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Misran mengatakan perawat tidak boleh memberikan obat daftar G (Gevaarlijk atau
berbahaya) seperti antibiotik, analgetik dll. Padahal, kondisi di lapangan sangat tak
memungkinkan di daerah-daerah yang tak ada tenaga kefarmasian. Bila obat daftar G
tak segera diberikan, maka nyawa pasien akan terancam.

Hal ini yang dilakukan oleh Misran kepada pasiennya. Ia pun nekat memberikan obat
daftar G ke pasien sehingga tindakan tersebut membuatnya dijebloskan ke penjara oleh
polisi. Padahal, lanjutnya, banyak polisi yang berobat ke puskesmasnya. Mungkinkah
UU sekejam ini, ujarnya di ruang sidang MK, Senin (5/4).

Dalam praktek, lanjut Misran, banyak perawat di daerahnya yang tak berani
memberikan tindakan kefarmasian kepada pasiennya. Bahkan ada pasien yang sampai
meninggal dunia, tuturnya. Tindakan pasien ini sebenarnya tidak dibenarkan
berdasarkan Pasal 190 ayat (1) UU Kesehatan.

Misran menilai UU Kesehatan tak menjamin kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh
konstitusi kepada perawat. Ibarat buah simalakama, menolong pasien dengan memberi
obat daftar G terancam dipidana, bila membiarkan pun juga terancam dipidana.
Ancaman pidana dalam Pasal 190 ayat (1) maksimal dua tahun penjara.

Ketentuan itu berbunyi Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan
yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau
Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Hakim Konstitusi Fadlil Sumadi meminta agar pemohon menyiapkan data-data atau
bukti-bukti untuk memperkuat argumentasinya. Silahkan hadirkan ahli yang
mendukung argumen anda atau saksi-saksi yang melihat rekannya ditangkap karena
pasal tersebut, ujarnya.

Perawat Anestesi
Berdasarkan catatan hukumonline, kasus yang mirip pernah menimpa perawat anestesi
(pembiusan). Kala itu, ada kekhawatiran bahwa tindakan perawat anestesi dalam
melakukan pembiusan dapat dikriminalkan berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran. Pasalnya, UU itu menyebutkan yang bisa melakukan tindakan
anestesi adalah dokter anestesi.

Kondisi ini pun menjadi dilema karena jumlah dokter anestesi di Indonesia sangat
sedikit. Apalagi, para dokter anestesi ini hanya tersebar di kota-kota besar. Sedangkan,
di daerah-daerah terpencil, hanya ada perawat anestesi yang melakukan pembiusan
ketika terjadi operasi bagi pasien.

Mukernas Ikatan Perawat Anestesi Indonesia (IPAI) Tahun 2007 pun meminta Menteri
Kesehatan menerbitkan payung hukum kepada mereka yang melakukan tindakan medis
anestesia (pembiusan). Kala itu memang ada kekhawatiran dari para perawat anestesi,
ujar Sekretaris Umum IPAI Dorce Tandung melalui sambungan telepon, Senin (5/4).

Namun, lanjut Dorce, sekarang para perawat anestesi tak perlu khawatir lagi.
Perdebatan apakah perawat anestesi bisa melakukan tindakan anestesi tanpa kehadiran
dokter anestesi pun telah usai. Dua aturan yang dikeluarkan oleh Menkes pasca
rekomendasi Mukernas IPAI itu dinilai sudah cukup sebagai payung hukum bagi perawat
anestesi.

Dua aturan tersebut adalah Permenkes No. 512 Tahun 2007 yang mengatur pelimpahan
wewenang dokter anestesi ke perawat anestesi dan Kepmenkes No. 779 Tahun 2008
tentang Standar Pelayanan Anestesi dan Reanimasi di Rumah Sakit. Sekarang sudah
tidak ada masalah lagi, pungkas Dorce.

























Rawan Kriminalisasi, Ikatan Apoteker Indonesia Minta Perlindungan Hukum
Senin, Agustus 13, 2012 5 comments
"Kasus kriminalisasi terhadap Apoteker sangat banyak, tapi tak mencuat ke permukaan. Tentunya
ini mengancam para apoteker di Indonesia dalam praktek kefarmasian, "

Skalanews - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pusat mengkhawatirkan tak adanya perlindungan
hukum dalam menjalankan praktik kefarmasian akan menjadi penghambat dalam kelancaran
pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Tak jarang kriminalisasi terhadap apoteker kerap terjadi.

"Kasus kriminalisasi terhadap Apoteker sangat banyak, tapi tak mencuat ke permukaan. Tentunya ini
mengancam para apoteker di Indonesia dalam praktik kefarmasian," kata Ketua Pengurus Pusat
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) M Dani Pratomo dalam diskusi 'Kriminalisasi Apoteker' dibilangan
Jakarta Selatan, Senin (13/8)


Dicontohkanya dugaan kriminalisasi terhadap Apoteker seperti kasus yang kini tengah menjerat
seorang Apoteker asal Semarang yakni Yuli Setyarini S.Farm. Perkara yang menjerat Yuli bermula
pada 2010 saat itu Yuli bekerja di Apotek Dirgantara Ngaliyan Semarang.


Ia menemukan transaksi yang janggal, yakni ada pembelian psikotropika di apotek tersebut. Padahal
dia sama sekali tidak memesan obat-obatan itu. Setelah ditelusuri, ternyata pesanan dilakukan
asistennya atas desakan pemilik apotek. Sadar ada pelanggaran, Yuli pun menyerahkan semua obat-
obatan jenis psikotropika itu ke Dinas Kesehatan Kota Semarang.


Adapun jenis obat-obatan yang diserahkan Yuli ke Dinkes Kota antara lain Codein tab 10mg 175,05
tab, Codein tab 20mg 199,675 tab, Codipront Caps 45 cap, Codipront syrup 1 Btl, Codipront Cum exp
syrup 3 Btl, Amitriptilin 25 mg 91 tab, Carbamazepipn 63 tab, Haloperidol 11 tab, CPZ 525,5 tab,
Clobazam 60 tab, Danalgin 61 tab, dan Tramal 15 Tab.


Obat-obatan tersebut berdasarkan UU No 5/1997 termasuk jenis obat-obatan yang masuk dalam
daftar G (gevaarlijk/berbahaya) yang tidak boleh sembarang diperjualbelikan.


"Berdasarkan pengakuan dari sejawat Yuli penitipan tersebut dilakukanya karena yang bersangkutan
akan mengundurkan diri sebagai pengelola apoteker Dirgantara. Sedangkan apoteker yang akan
menggantukan dirinya belum ada. Sehingga ada kekhawatiran jika obat-obatan khusus yersebut
akan disalahgunakan bila tidak diserahkan ke Dinas Kota Semarang,"jelasnya

Namun yang dilakukan Yuli tersebut oleh pemilik apotek Dirgantara yakni Wiwik Suprihartiningsih,
dilaporkan sebagai penggelapan. Lantas oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yuli dijerat Pasal 374 KUHP
terkait penggelapan dalam jabatanya. Kasus ini sendiri tengah menanti putusan oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Semarang.

"Apabila tindakan penitipan obat berbahaya kepada Dinas Kesehatan seperti yang dilakukan Yuli
dikategorikan sebagai tindakan penggelapan bahkan sampai dijatuhi hukuman, maka Apoteker tidak
lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian yang pada akhirnya
dapat menganggu kelancaranan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,"bebernya.

IAI juga meminta kepada Mahkamah Agung (MA) agar anggotanya yakni terdakwa Yuli diberi
perlindungan hukum. "Agar Yuli dibebaskan dari jeratan penggelapan, karena tak ada satupun stok
obat yang kurang dan digelapkan dan obat itu sudah diserahkan ke Dinas Kesehatan,"pungkasnya.

Tak ada UU Praktek Kefarmasian

Rawannya kriminalisasi terhadap profesi Apoteker dinilai Ketua IAI, Dani Pratomo dituding sebagai
imbas karena tak adanya Undang-undang praktik Kefarmasian.

Selama ini dalam menjalankan profesinya Apoteker hanya berlindung dibalik UU No.36 tahun 2009
tentang kesehatan dan PP 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.

"Maka perlu dibuat UU praktek kefarmasian untuk melindungi konsumen dan para
apoteker,"katanya.

Diakuinya, pada 2004 IAI sudah melobby DPR untuk membentuk UU Praktek Kefarmasian, namun
sayang DPR hanya mengabulkan pembuatan PP 51/2009 saja.

Anda mungkin juga menyukai