Anda di halaman 1dari 85

1

PENATALAKSANAAN
SEPSIS NEONATORUM

2007
HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


2


PANEL AHLI
Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang

dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya

Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Dharma, Sp.PK
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Retno Kadarsih, Sp.MK
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
dr. Risma Kaban, Sp. A (K)
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta
TIM TEKNIS
Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K)
Ketua
dr. Ratna Rosita, MPHM
Anggota
dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS
Anggota
dr. N. Soebijanto, SpPD
Anggota
dr. Suginarti, M.Kes
Anggota
dr. Diar Wahyu Indriati, MARS
Anggota
dr. Syanti Ayu Anggraini
Anggota
dr. Melani Marissa
Anggota
dr. Titiek Resmisari
Anggota
dr. Aini Bachruddin Bachtiar
Anggota


3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di
bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health
Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka
mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per
1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.
1

Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000
kelahiran hidup.
2
Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the worlds mother
2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus
disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan
diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh
kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan
lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain.
3
Sepsis neonatorum sebagai salah
satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama
yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality
rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi
karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah
dan ditanggulangi.
4
Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat
mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.
5

Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-
18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di
negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup
dengan angka kematian 10,3%.
6,7
Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data
yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari-
September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka
kematian sebesar 14,18%.
8

Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya
yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada
bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong
terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah
pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain.
berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan
terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan


4

kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan
juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru,
hati, dan lain-lain.
9

Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran
hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk
melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar
rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara
umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus.
10

1.2. Permasalahan
Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi.
Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.
Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka
kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian antibiotik
spektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang. Dalam
tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1) permasalahan
penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan (profilaksis) sepsis
neonatorum.
Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit ditegakkan karena gejala klinis
yang aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran
penyakit dapat menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu,
pemeriksaan penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur
merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan
tersebut hasilnya baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil
yang kurang memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik
antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara.
Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan
sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran
klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi
penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola
resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit
menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan risiko infeksi
nosokomial.
8,11
Perkembangan teknologi kedokteran yang tersedia saat ini telah
menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti
pemeriksaan Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein, dan lain
sebagainya pada sepsis neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa


5

kritis berdasarkan Evidence-based dalam mempertimbangkan risiko, keuntungan
dan kerugiannya.
Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu
diangkat ke permukaan. Risiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum
sudah banyak diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di
Indonesia.
Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan
yang optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat
informasi baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah
memberikan cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Beberapa studi yang dilaporkan
akhir-akhir ini telah memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang
lebih efisien dan efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini
membutuhkan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin
belum dapat terjangkau untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan
dikembangkan dikemudian hari.
12,13,14

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis
neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan
yang lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi
Indonesia.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Tersusunnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidence-
based medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan
sepsis neonatorum.
2. Tersusunnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan
proGramyang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang
diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.


6

BAB II
METODOLOGI PENILAIAN

2.1. Strategi penelusuran kepustakaan
Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan
elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New
England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease
Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka Journal
of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics, dalam 20 tahun terakhir (1986-2006)
serta World Health Organization tentang Neonatal Problems tahun 2003. Kata
kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in
newborn, SGB (Group B Streptococcus).

2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi
Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal)
berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian
ditentukan tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat
rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan
berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research.

Tingkat pembuktian (Level of evidence)
Ia. Meta-analisis randomized controlled trials.
Ib. Minimal satu randomized controlled trials.
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials.
IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol.
IIIa. Studi cross-sectional.
IIIb. Seri kasus dan laporan kasus.
IV. Konsensus dan pendapat ahli.

Tingkat rekomendasi
A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.
B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.
C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.


7

BAB III
SEPSIS NEONATORUM

3.1. Definisi
Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi
sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.
15
Dalam
sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi
sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences
(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses
berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik,
disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.
16


3.2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).
5
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera
dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat
proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan
pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia
coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara
berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang
Gramnegatif.
17,18
Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per
1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.
19
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).
20,21
Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.
Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara
maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan
penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh
mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas
aeruginosa).
22
Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis
berdasarkan awitan dan sumber infeksi.



8

Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi
20

Dini Lambat
Awitan

Sumber infeksi
<72 jam

Jalan lahir
>72 jam

Lingkungan (nosokomial)
Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian
besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak
dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan
sekitar (SAL).
9

3.3. Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,
kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri.
Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu
berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan
perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab
utama dari sepsis neonatorum.
23
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah
diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999
di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan
Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering
ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus
pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada
meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama
Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif
juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di
daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang
dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering
ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.
24

Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat
pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun
terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada
tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter
sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005


9

menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter
sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).
25, 26

Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu
26
1975-1980 1985-1990 1995-2003
RSCM/FKUI
(Monintja, 1981;
Amir Aminullah
1993, I 2003)

Amerika Serikat
(Texas Univ.; CDC
Atlanta)
(Shattuck 1992;
Schuchat 1997)

Inggris
(Health PT 2003)
Salmonella sp
Klebsiella sp



Group B Strep.
E. coli
Listeria sp




Pseudomonas sp
Klebsiella sp
E. coli


Group B Strep.
Listeria sp
Enterovirus



Group B Strep.
E. coli
Listeria sp
Enterovirus
Acinetobacter sp
Enterobacter sp
Pseudomonas sp
Serratia sp

E. coli
Group B Strep
Listeria sp
Strep. Pneumoniae


Group B Strep
Listeria sp
E. coli
Enterovirus
Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004
Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering
adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria
monocytogenes.
27
Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan
berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulase-
negative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,
Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri anaerob. Koloni-
koloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna, konjungtiva,
dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang
invasif.
4
Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar
waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari
survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000
terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien
BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan
21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus
bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram
positif (70,2%). Bakteri Gram negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%)
sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering
(47,9%) pada SAL (tabel 3).
28



10

Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi hematogen pada
BBLR ( < 1500 Gram)
28


Organisme
SAD

SAL

Jumlah infeksi
(% of total)
Mortalitas
(%)
b

Jumlah infeksi
(% of total)
Mortalitas
(%)
b


Gram-positive bacteria
(total)
31 (36.9) 26 922 (70.2) 11.2

SGB 9 (10.7) 30 (2.3) 21.9
Viridans streptococcus 3 (3.6)
Other streptococci 4 (4.8)
Listeria monocytogenes 2 (2.4)
Coagulase-negative
Staphylococcus
9 (10.7) 629 (47.9) 9.1

Staphylococcus aureus 1 (1.2) 103 (7.8) 17.2
Enterococcus species 43 (3.3)
Other 3 (3.6) 117 (8.9)
Gram-negative bacteria
(total)
51 (60.7) 41 231 (17.6) 36.2

Escherichia coli 37 (44.0) 64 (4.9) 34.0
Haemophilus influenzae 7 (8.3)
Citrobacter 2 (2.4)
Bacteroides 2 (2.4)
Klebsiella 1 (1.2) 52 (4.0) 22.6
Pseudomonas 35 (2.7) 74.4
Enterobacter 33 (2.5) 26.8
Serratia 29 (2.2) 35.9
Other 2 (2.4) 18 (1.4)




11

Fungi (total) 2 (2.4) 160 (12.2) 31.8
Candida albicans 2 (2.4) 76 (5.8) 43.9
Candida parapsilosis 54 (4.1) 15.9
Other 30 (2.3)

a
NICHD Neonatal Network Survey, th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447
orang dengan SAD dan 6215 orang dengan SAL .
b
Semua penyebab kematian .
Sumber: D Kaufman et al. Clin Microb Rev 2004; 641
Dari pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis
neonatorum berlainan antar negara dan dari waktu ke waktu. Selain itu, kuman
penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda. Oleh karena itu, pemeriksaan pola
kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang
peranan yang sangat penting.
3.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam
darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari
infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS:Systemic Inflammatory
Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ,
dan akhirnya kematian (tabel 4).
16
Tabel 4. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus
16

Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:
Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi
dan desaturasi O2
Suhu tubuh tidak stabil (<36C atau
>37.5C)
Waktu pengisian kapiler > 3 detik
Hitung leukosit <4000x10
9
/L atau
>34000x10
9
/L
CRP >10mg/dl
IL-6 atau IL-8 >70pg/ml
16 S rRNA gene PCR : Positif








FIRS/
SIRS
Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai
dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat
dalam Tabel 5.
SEPSIS
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ
tunggal
SEPSIS BERAT
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan
resusitasi cairan dan obat-obat inotropik
SYOK
SEPTIK


12

Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah
mendapatkan pengobatan optimal
SINDROM DISFUNGSI
MULTIORGAN
KEMATIAN
Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9
Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan
laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada
International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai
kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5
dan 6).
29

Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan
bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected)
maupun terbukti infeksi (proven).
30

Tabel 5. Kriteria SIRS
29

Usia Neonatus Suhu Laju Nadi per
menit
Laju napas
per menit
Jumlah leukosit X
10
3
/mm
3

Usia 0-7 hari >38,5C atau <36C >180 atau <100 >50 >34
Usia 7-30 hari >38,5C atau <36C >180 atau <100 >40 >19,5 atau <5
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah
satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

Tabel 6. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik
29

Infeksi



Sepsis

Sepsis berat



Syok septik
Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau
Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang lain).

SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.

Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai
gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti
gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).

Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7
hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

3.5. Patofisiologi
Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,


13

khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:
5,31

1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui
aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini
ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis.
Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan
amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam
rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan
ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir
akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.



Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan
Sumber : Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian
terlalu padat, dll.
31

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran
INFEKSI
INTRANATAL
INFEKSI
PRANATAL


14

klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain
pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul
akibat beratnya penyakit.
32

3.5.1 Respons inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.
Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang
memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab,
sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.
33

Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki
peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein
spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks
LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14
akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk
transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.
32

Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
(2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.
Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin
proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak
mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun
non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.
16, 34

Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai
dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer
dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan
mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.
33,35



15


Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis
33

Sumber : Short MA. Adv Neonat Care 2004; 5:258-73
Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang
meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral
dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di
membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan
sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin
proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon (IFN- ), interleukin 1-
(IL-1), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin
antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti
inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi
terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab.
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat
membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta
kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses
inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ
vital dapat berjalan dengan baik.
36
Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi
fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder
(nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin),
dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan


16

selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi
sehingga menyebabkan kerusakan organ.
33

Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada
permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera.
Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini
disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan
ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan
menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.
33

3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator
inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung
akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik
secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi
kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin
dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga
mengaktivasi jalur intrinsik.
33

Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan
membantu mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis.
Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk
menyebabkan pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-. Selain itu,
trombin merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi
kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.
33

Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang
terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi.
Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui
lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan
hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.



17


Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company
33

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73
3.5.3. Gangguan fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem
koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh
darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan penyembuhan luka.
33

Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinase-
type plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah
plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis
fibrin.
33,37,38
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan
inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.
33

Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh
tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi fibrinolisis
akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.
33,35,39,40
Hasil
pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup
D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-
dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan
trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan


18

disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai
gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat
menyebabkan kematian.
33

Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan
tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen
khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,
aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular.

Gambar 4. Supresi Fibrinolisis
Sumber:......................................
Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular
menyeluruh (PIM) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor
pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM
secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan.
Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis
buruk.
33,Error! Bookmark not defined.

Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme
inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan
koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya
trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,
syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan
kematian.
41
Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme


19

prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini yang
memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat mekanisme ini.
33


Gambar 5. Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi
33

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

3.6 DIAGNOSIS
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk
menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk
adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat
lainnya.
8

3.6.1. Faktor Risiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi
dan lain-lain.
Faktor risiko ibu
:
1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila
disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
27,42,43

2. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi
perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
42,44,45

3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
27,42

4. Kehamilan multipel.
42,44,46

5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
47



20

6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
47

Faktor risiko pada bayi:
1. Prematuritas dan berat lahir rendah.
42,43,46,48

2. Dirawat di Rumah Sakit.
49

3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal
distress dan trauma pada proses persalinan.
42,43,48

4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus,
pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.
42,43,48

5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,
atau asplenia.
42,46

6. Asfiksia neonatorum.
27,43,48

7. Cacat bawaan.
27,43,48

8. Tanpa rawat gabung.
43

9. Tidak diberi ASI.
49

10. Pemberian nutrisi parenteral.
50,51

11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
50

12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.
49

13. Buruknya kebersihan di NICU.
49

Faktor risiko lain:

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering
terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit
putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur
cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga
pasien, serta buruknya kebersihan di NICU.
27,42,46,48

Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih
menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak
adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini.
Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap
mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.

3.6.2. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis
yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon


21

tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat
dilihat dalam tabel 7.
6,52

Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak
lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan
kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan
gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat
(letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch
cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular
(hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan
kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,
ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan
lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).
53,54

Tabel 7. Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus
25

Gejala klinis

Frekuensi
Aminullah ,
1993
Shattuck,
1992
Pong A,
2003
Gangguan minum 100% 35% 48%
Letargi/tampak sakit berat 100%
Gangguan nafas/dispnea 59% 27% 33%
Ikterus/hiperbilirubinemia 55%
Jittery/Iritabel 16% 62% 60%
Kejang 48% 19% 42%
Gangguan serebral (spastis, paresis) 23%
Hipertermia/hipotermia 34% 46% 60%
Serangan apnea 20% 15% 31%
Gangguan gastrointestinal 14% 12% 20%
Sumber : Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. 2005. hlm 17-31
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood
Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat
bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:
55

Laju napas > 60 kali per menit
Retraksi dada yang dalam
Cuping hidung kembang kempis
Merintih
Ubun ubun besar membonjol
Kejang
Keluar pus dari telinga


22

Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba
dingin)
Letargi atau tidak sadar
Penurunan aktivitas /gerakan
Tidak dapat minum
Tidak dapat melekat pada payudara ibu
Tidak mau menetek.
Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan
Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah
Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini
gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (Tabel 8). Penegakan
diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan
kategori tersebut.
56

Tabel 8. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis
8

Kategori A Kategori B
Gangguan napas (misalnya: apnea,
frekuensi napas > 60 atau <30 kali/menit,
retraksi dinding dada, merintih pada waktu
ekspirasi, sianosis sentral)
Kejang
Tidak sadar
Suhu tubuh tidak normal (tidak normal sejak
lahir dan tidak memberi respons terhadap
terapi atau suhu tidak stabil sesudah
pengukuran suhu normal selama tiga kali
atau lebih, menyokong ke arah sepsis)
Persalinan di lingkungan yang kurang
higienis (menyokong ke arah sepsis)
Kondisi memburuk secara cepat dan
dramatis (menyokong ke arah sepsis)
Tremor
Letargi atau lunglai/layuh
Mengantuk atau kurang aktif
Iritabel atau rewel
Muntah (menyokong ke arah sepsis)
Distensi abdomen (menyokong ke arah
sepsis)
Tanda mulai muncul sesudah hari ke 4
(menyokong ke arah sepsis)
Air ketuban bercampur mekonium
Malas minum, sebelumnya minum dengan
baik (menyokong ke arah sepsis)

Sumber: Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. 2005. hlm 32-43
Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-
tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut:
56

Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari
Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai
sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini);
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel 6), atau
tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6);


23

Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B;
Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja
timbulnya;
Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi
tanda awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam lagi.
Bayi berumur lebih dari tiga hari
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda
atau lebih pada Kategori B;
Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.
Namun demikian, seringkali gambaran klinis sepsis pada neonatus tidak
menunjukkan gejala yang khas. Dibawah ini merupakan gambaran klinis sepsis
neonatorum yang tidak spesifik yang dikemukakan oleh Vergnano S et al.
57

Clinical signs and symptoms
Not able to feed
Not attaching to the breast
No suckling at all
Temperature >37.7C or
<35.5C
Respiratory rate >60 breaths/min.
Severe chest indrawing
Nasal flaring
Grunting
Reduced movements
Crepitations
Lethargic or unconscious
Convulsions
Bulging fontanelle
Cyanosis
Reduced digital capillary refill
time
Pus draining from the ear
Redness around umbilicus
extending to the skin
Sumber : Vergnano S et al. Neonatal sepsis: an international perspective
NON SPECIFIC

Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti
pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.



24

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang
3.6.3.1 Laboratorium
3.6.3.1.1 Pemeriksaan Kuman
A. Kultur Darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan
karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.
58

Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan
kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-
masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis
neonatorum awitan dini maupun lanjut.
Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa
infeksi merupakan penyebab tersering kematian BBLR dan diagnosis
sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada
pemeriksaan kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur
negatif, meski telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas.
Pemberian antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah
persalinan prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri
pada media kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh
kemungkinan pemberian antibiotik sebelumnya pada bayi yang dapat
menekan pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat
disebabkan akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu
penelitian menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan
hasil negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml
dengan hitung koloni <4 CFU/ml darah. Penghitungan jumlah koloni
bakteri pada bakteremia membutuhkan minimal 1mL darah.
59,28
Jumlah
koloni pada neonatus dengan bakteremia diharapkan lebih banyak
dibandingkan pada dewasa. Hasil kultur positif palsu dapat terjadi akibat
kontaminasi saat pengambilan sampel. Kultur bakteri aerob bermakna
untuk seluruh etiologi bakteri penyebab sepsis neonatorum; sedangkan
kultur bakteri anaerob diindikasikan untuk neonatus yang disertai dengan
abses, hemolisis masif dan pneumonia yang tidak membaik dengan
pengobatan.
28

Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum adalah 1-
10%. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala
spesifik. Pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan diagnosis atau


25

menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum awitan dini
maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan
serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, pungsi lumbal diulang 24-
36 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan
cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan
kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis.
5
Dari
penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur
darah negatif.
9

Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk
mengetahui ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih
baik dilakukan pada kasus sepsis neonatorum awitan lambat.
5,22

Spesimen urin diambil melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik
kandung kemih.
60

Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan
lambung menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.
28


B. Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua
dan sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam
melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini
dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk
golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.
5
Walaupun dilaporkan
terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk
identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan
fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan
penggunaan antibiotic pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil
pemeriksaan kultur bakteri.
61

Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai,
seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena
merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia.
Automated blood culture system yaitu kultur darah dengan medium cair
dari sistem deteksi cepat dan automated seperti Bactec dan BacT
Alert dapat digunakan apabila tersedia anggaran yang memadai.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan
kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,


26

berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda
sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis
banyak dilaporkan di kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas
yang berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai
petanda sepsis tersebut dan mengemukakan sejumlah petanda infeksi
yang sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis pada neonatus
dan bayi prematur (tabel 9).
62

Tabel 9. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur
62

Haematological tests
Total white blood cell count
Total neutrophil count
Immature neutrophil count
Immature/total neutrophil ratio
Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Dohle
bodies, intracellular bacteria
Platelet count
Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)
D-dimer
Fibrinogen
Thrombin-antithrombin III complex (TAT)
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)
Plasminogen tissue activator (tPA)
Acute phase proteins and other proteins
a1 Antitrypsin
C Reactive protein (CRP)
Fibronectin
Haptoglobin
Lactoferrin
Neopterin
Orosomucoid
Procalcitonin (PCT)
Components of the complement system
C3a-desArg
C3bBbP
sC5b-9
Chemokines, cytokines and adhesion molecules
Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10
Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75
Interferon c (IFNc)
E-selectin
L-selectin
Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)


27

Vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-1)
Cell surface markers
Neutrophil Lymphocyte Monocyte
CD11b CD3 HLA-DR
CD11c CD19
CD13 CD25
CD15 CD26
CD33 CD45RO
CD64 CD69
CD66b CD71
Others
Lactate
Micro-erythrocyte sedimentation
Superoxide anion (respiratory burst)
Sumber : Ng PCArch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235

3.6.3.1.2 Pemeriksaan Hematologi
Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang
diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut:
Hitung trombosit.
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis
neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari
100.000/L), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width)
meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.
5

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,
walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus
sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang
tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan
dengan stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan
bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil,
eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang
terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,
jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis
sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita
hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periventrikular serta
intraventrikular.
5



28

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).
Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.
Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima
untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah
0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama
kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan
kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio
I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis
neonatorum dapat ditegakkan.
5

Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan
yang terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau
peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui
sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat
proses persalinan.
Pemeriksaan kadar D-dimer.
D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh
karena itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem
fibrinolisis.
63
Pada sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak
spesifik untuk sepsis karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh
penyebab lain seperti trombosis, keganasan dan terapi trombolitik.
64, 65,66, 67

Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara
lain, aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole
blood agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks menggunakan
antibodi monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks.
Metode ini sederhana, mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal,
namun kurang sensitif untuk pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara
ELISA konvensional dianggap merupakan metode rujukan untuk penetapan
kadar D-dimer, tetapi cara ini tidak praktis karena memerlukan waktu yang relatif
lama dan mahal. Terdapat beberapa cara cepat berdasarkan prinsip ELISA
antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas D-dimer dan Instant IA D-dimer. Dengan
cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat dan sensitivitasnya mendekati
cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-dimer dengan metode yang berbeda
bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
spesifisitas antibodi yang dipakai pada masing-masing metode, belum ada
satuan yang baku dan belum adanya konsensus tentang nilai batas abnormal.



29

3.6.3.1.3 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan
muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-
6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di
neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi
yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah
stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai
proses inflamasinya teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L.
Pemeriksaan kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada
diagnosis sepsis neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian dari septic
work-up atau sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk
mengetahui respon antibiotik, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor
yang dapat mempengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan,
jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan
infeksi virus berat (seperti HSV, rotavirus, adenovirus, influenza).
5,68,69

Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai
sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi
positif 48,77%.
70
Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis
awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.
71

Alur pemeriksaan CRP serta indikasi pemberian antibiotikpada sepsis awitan
dini dan sepsis awitan lambat dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut ini.

Gambar 7. Alur pemeriksaan CRP pada SAD dan kaitannya dengan pemberian antibiotik
72

Sumber: http://neoreviews.aappublications.org


30


Gambar 8. Alur pemeriksaan CRP pada SAL dan kaitannya dengan pemberian antibiotik
72

Sumber: Kruger M, et al. Biol Neonate 2001; 80: 118-123
3.6.3.1.4 Procalcitonin (PCT)
PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat
13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel
parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam
darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama
bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya
menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni <2 ng/mL.
PCT bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP,
mempunyai sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis awitan dini, serta
sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat
membedakan infeksi bakterial dari viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7
ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (01,5) ng/mL. Pengukuran
kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.
3.6.3.1.5 Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi
Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum
adalah dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b,
CD64, Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan.
Pemeriksaan petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan dengan
beberapa tes sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan
petanda infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada


31

beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotik
dapat dihentikan.
5

IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang terlibat dalam berbagai aspek sistem
imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan
fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis
protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis
neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum
peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak
terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi. Dari
penelitian

didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan
dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan
kemungkinan sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya
dan risiko pemberian antibiotik.
73,74
Waktu pemeriksaan sangat berpengaruh
terhadap hasil yang diperoleh, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 9.
Penggunaan IL-6 dan CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi
terinfeksi dengan usia pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma
terjadi pada waktu 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun.
Perbandingan waktu dan konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP diperlihatkan pada gambar
9.

Gambar 9. Waktu Pemeriksaan dan Konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP



32

3.6.3.1.6 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa
Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini
pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan
mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar
Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna
mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan S.pneumoniae. Selain
bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan
prognosis pasien sepsis neonatorum.
Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan
spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan
oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang
menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor
risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.
75

PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien
sepsis neonatus.

Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada
kuman dibuktikan mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi
dan sosialisasi pemeriksaan semacam ini telah berkembang dan terjangkau,
diharapkan cara pemeriksaan ini bermanfaat untuk penatalaksanaan dini dan
memperbaiki prognosis pasien.
23
Pemeriksaan diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga
bermanfaat untuk deteksi infeksi virus pada neonatus. Walaupun diagnostik
molekular pada bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah
terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif
88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan
lingkup yang besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive
test untuk diagnostik cepat bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala
sepsis.
Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk
mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur.
Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas
98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat
terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah
Sakit Rujukan Propinsi.



33

3.6.3.2 Pencitraan
Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,
misalnya:

- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola
retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS
(Respiratory Distress Syndrome).

- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
5


- Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena
ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan
dini yang telah terbukti dengan kultur.
22
Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks
untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark
ataupun abses.
5

USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan
ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan
perubahan kronis. Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan
progresivitas komplikasi.
5

3.6.4. Pendekatan Diagnosis
Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, upaya penegakan
diagnosis tampaknya sangat tergantung dari fasilitas yang tersedia di rumah sakit.
Beberapa pemeriksaan laboratorium hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar.
Oleh karena itu, beberapa klinik melakukan upaya penegakan diagnosis dengan
berbagai cara. Ada klinik yang mempergunakan faktor-faktor risiko, ada pula yang
mempergunakan gabungan beberapa gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
ataupun kombinasi berbagai pemeriksaan penunjang dalam melakukan pendekatan
diagnosis. Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan
diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko
tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10).
76

Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko
77

Risiko mayor
1. Ketuban pecah > 24 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C
3. Korioamnionitis
4. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit
5. Ketuban berbau


34


Risiko minor
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C
3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 )
4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram.
5. Usia gestasi < 37 minggu.
6. Kehamilan ganda.
7. Keputihan pada ibu.
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.
Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka
pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan
penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.

Pendekatan khusus ini diharapkan
dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan yang lebih
efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.
76


Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan
memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan
diagnosis sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 11. Selanjutnya
dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau
sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotik. Sistem
skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan
diagnosis sepsis awitan lambat.
77

Tabel 11. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal
77
Penemuan Skor
Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem pernafasan,
gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit).
Jumlah leukosit total <10.000 atau 20.000 / mm
3
.
Jumlah neutrofil absolut <1000 / mm
3
.
Rasio neutrofil batang : neutrofil matur 0.1
Usia >1 minggu.

1
1
1
1
1
Sumber: Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6
Berlainan dengan Spector dkk, beberapa peneliti lain memilih kombinasi
beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan hematologi dan protein
tertentu sebagai faktor penentu dalam sistem skoring.
Philip dan Hewitt pada tahun 1980 melakukan penapisan sepsis neonatorum
awitan dini berdasarkan kombinasi 5 pemeriksaan laboratorium yaitu :
78

1. Jumlah leukosit <5.000 / mm
3

2. Rasio neutrofil imatur : total neutrofil 0,2


35

3. Laju endap darah 15 mm/jam
4. Lateks C-Reactive Protein positif (> 0,8 mg/100 mL)
5. Lateks haptoglobin positif (>25 mg/100 mL)
Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini
mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga
dapat mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitivitas dan
spesifisitas berturut-turut 83% dan 74%.
78
Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga
dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987).

Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil
pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring
system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 12.
79

Tabel 12. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini
dan lambat
80
Penemuan Skor
Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat.
Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun.
Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) 0,3
Jumlah imatur PMN meningkat.
Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (5000/mm
3
atau 25.000, 30.000, dan
21.000/mm
3
pada saat lahir, 12-24 jam, dan usia 2 hari).
Terdapat perubahan degeneratif pada PMN 3+ untuk vakuolisasi, granulasi toksik, dan
badan Dohle.
Jumlah trombosit 150.000 / mm
3
.
1
1
1
1
1

1

1
Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7
Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum
awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar
jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor 3 maka
sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.
79
Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana
karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan
darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah
mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang
menunjang sistem skoring tersebut.
79
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa
perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan


36

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi
jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).
16

Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus
16

Variabel Klinik
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x10
9
/L )
Leukopenia ( < 5000 x 10
9
/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 10
9
/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
3.7. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu
dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan
pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan
komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan
antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman
penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.
25
Antibiotik tersebut segera
diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif
(adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut belum
terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit, intravenous


37

immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange transfusion) dan
penggunaan sitokin rekombinan.
5

3.7.1 Pemberian antibiotik
Sepsis merupakan keadaan kedaruratan dan setiap keterlambatan
pengobatan dapat menyebabkan kematian.
17,80
Pada kasus tersangka sepsis, terapi
antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah
diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan
dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan
pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik
harus dihentikan.
187

Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat
universal. Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menimbulkan masalah
resistensi di kemudian hari. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan
resistensi daripada antibiotik spektrum sempit.
19
Oleh karena itu, kebijakan dalam
pemberian antibiotik harus ada pada setiap unit perawatan neonatus. Surveilans
bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit neonatal
untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit.
19,52

Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama yaitu,
mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotik.
81
Pemakaian antibiotik
secara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa tempat.
19,82

Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotik akan
menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti
Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta
lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotik. Sedangkan
bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap
vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang
mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE).
53,83

Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram
negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kira
50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap
sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilin-
tazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul
(kira-kira 20%).
53

Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada
bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan


38

Enterobacter sp.
84
Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp. (termasuk
terhadap karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan berbagai
angka prevalensi di tiap negara.
84
Di Pakistan, E.coli dan Pseudomonas sp.
menunjukkan resistensi derajat tinggi terhadap ampisilin, amoksisilin klavulanat dan
gentamisin; resistensi derajat sedang terhadap sefotaksim, seftazidim dan
seftriakson; dan resistensi derajat rendah terhadap golongan kuinolon.
81
Data
terakhir pada bulan Juli 2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FKUI-
RSCM, menunjukkan bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat
tinggi terhadap antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua
(sefotaksim, seftriakson) serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotik lini ketiga
(imipenem, meropenem). Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter
sp. yang masih sensitif terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococcus
sp. masih sensitif terhadap amikasin.
82



Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens
sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan
insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten
terhadap ampisilin.
80,85
Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim,
seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif
memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi.

Oleh karena
itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan
untuk mencegah resistensi tersebut.
86

Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme
pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan
memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara
berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.
53
Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan
intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus
berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.
87

Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan
intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif
untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti
telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi
(kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi
justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.
54,87




39

3.7.1.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan
Listeria monocytogenes.
18
Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah
aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif
terhadap semua organisme penyebab SAD.
18,22
Kombinasi ini sangat dianjurkan
karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.
18

3.7.1.2 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat
Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga
digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab
infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena
telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.
Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau
amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh
sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat
menginaktifkan aminoglikosida lain
.18
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular),
obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan
sebagai terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus
dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan
piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan
seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif
terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.
18
Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin
atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan
utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat
baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten
terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat
menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian,
sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis
karena tidak efektif terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara
berlebihan akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten
dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi
ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas
dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.


40

Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik
lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati
dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan
aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten
penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).
18
Pemberian antibiotik pada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak
bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya
disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan
neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan
secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotik.
3.7.2 Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ
atau lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi,
gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik
seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada
keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian
inotropik, dan pemberian komponen darah.
88,89,90
Terapi suportif ini dalam
kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di
kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian
transfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.
3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG)
Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti
merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini
dilakukan dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada
proses opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi
komplemen serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.
5
Manfaat pemberian
IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih bersifat
kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat penurunan mortalitas bayi
prematur secara bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan peneliti lain tidak
memperlihatkan perbedaan.
91
Studi multisenter yang dilakukan oleh Weisman,dkk.
melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi
kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.
92
Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah
dilakukan dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT)
didapatkan penurunan angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga


41

terinfeksi.
93
Namun, bila diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis,
angka tersebut menjadi tidak signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang ada
belum cukup kuat untuk menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus
Sepsis Neonatorum. Meta-analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan
angka mortalitas secara signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setelah
pemberian IVIG poliklonal.
94

Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan
kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum awitan dini. Dosis yang
dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.
95
Pemberian IVIG terbukti
aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.
96

3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-
CSF)
Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan
masih belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien
sepsis neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GM-
CSF.
97
Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka
mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.
98
G-CSF
merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya
adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas
kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan
fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis
neonatorum.
99
Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di
dalam sirkulasi karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang
meningkat.
100
Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun
dapat meningkatkan konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum
tulang dan dapat menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun
tidak memperlihatkan perbaikan dalam angka kematian pasien.
100,101
Oleh karena
itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak dianjurkan tetapi beberapa klinik
menggunakannya dengan dosis 10 g/kg/hari pada pasien dengan neutropenia yang
tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG.
90
Dari Cochrane review
disimpulkan bahwa belum tersedia evidence-based yang cukup untuk menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas pada penggunaan G-CSF secara rutin dalam
mengatasi sepsis dengan neutropenia. Namun, bila dibandingkan dengan pemberian
IVIG, transfusi G-CSF lebih menurunkan angka mortalitas.
95

Dilaporkan bahwa transfusi granulosit memberikan hasil cukup baik, tetapi
jarang digunakan karena teknik filtrasi yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi.


42

Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF dan GM-CSF dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta mencegah infeksi
nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam penelitian lebih lanjut dan
membutuhkan biaya yang mahal.
89


3.7.2.3 Tansfusi Tukar (TT)
Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial,
sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai
pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama
antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan.
Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan
plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.
102,103,104,105
Tujuan TT
pada sepsis adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan
memperbaiki keadaan umum pasien.
88,102,104
Dikatakan demikian karena berdasarkan
penelitian-penelitian yang pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT
dapat meningkatkan kadar IgG, IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan
fungsi granulosit; meningkatkan aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya serta
jumlah neutrofil; mengeluarkan endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan
oxygen-carrying capacity darah; memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan
konsentrasi oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi perifer dan distres
pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah
yang diperlukan untuk tindakan TT adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan
atau 100 ml/kgBB untuk bayi prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming
the tubing. Metode yang paling disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric
exchange, yaitu mengeluarkan dan memasukkan darah yang dilakukan bersama-
sama melalui kateter arteri umbilikalis (dipakai untuk mengeluarkan darah pasien)
dan kateter vena umbilikalis (dipakai untuk memasukkan darah donor). Kontra
indikasi TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan
tepat, omphalitis, omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleeding
diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh darah
kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.
106
TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal
ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan
TT memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup
menjanjikan dan menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia,
sklerema, DIC dan asidosis berat. Tabel 14 di bawah ini, menunjukkan survival dari
beberapa penelitian kasus yang dilakukan TT. Namun demikian, perlu diperhatikan


43

juga mengenai efek samping seperti gangguan hemodinamik yang dapat
menyebabkan kematian.
107

Tabel 14. Angka Survival bayi yang dilakukan TT
108

Peneliti
Survival (n) (%)
Dilakukan TT Tidak dilakukan TT
Prodhom et al, 1974 7/8 (88) 0/8(0)
Tollner et al, 1977 10/10 (100) 5/10(50)
Pearse et al, 1978 13/19(68) 7/17(41)
Belohradsky et al, 1978 37/74 (50) 60/132 (45)
Countney et al, 1979 23/34 (68) 4/14 (29)
Lemos, 1981 8/8 (100) 0/14 (0)
Bassi et al, 1981 12/22 (55) 7/13 (54)
Narayanan et al, 1984 8/20 (40) 2/20 (10)
Xanthou et al, 1985 25/44 (57) 18/62
Gross et al, 1987 7/11 (64) 8/11 (73)
Total 150/250 (60) 111/311 (35.69)
Sumber : Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. 2002

3.7.2.4 Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)
Pada bayi dengan sepsis, pemberian FFP biasanya diberikan apabila
ditemukan gangguan koagulasi. Gangguan koagulasi yang sering dihadapi pasien
adalah Koagulasi Diseminasi Intravaskular/KID (Disseminated Intravascular
Coaagulation/DIC). Di samping faktor koagulasi, FFP juga mengandung antibodi,
komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein dan fibronectin. Walaupun
FFP mengandung antibodi protektif tertentu, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah
antibodi tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada
pemberian secara kontinyu (seperti 10 mL/kg setiap 12 jam), kadar proteksi baru
dapat dicapai. Studi yang dilaporkan oleh Acuna et al mengemukakan bahwa pada
kenyataannya FFP hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi tanpa meningkatkan kadar
IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena
(Intravena Immunoglobulin-IVIG), pemberian IVIG ini akan lebih aman dalam
menghindarkan efek samping pemberian FFP.
97

3.7.2.5 Pemberian Pentoxifilin
Pentoxifilin merupakan turunan xantin yang memiliki aktivitas inhibitor
fosfodiesterase yang membuatnya mampu memodulasi proses inflamasi. Cochrane


44

review menyatakan bahwa pentoxifilin sebagai terapi adjuvant sepsis neonatorum
terbukti dapat menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan efek samping.
108

3.7.2.6 Pemberian Melatonin
Di dalam patogenesis sepsis neonatorum terdapat implikasi timbulnya radikal
bebas. Melatonin merupakan antioksidan endogen hasil produksi indoamin yang
dirancang untuk menjadi salah satu alternatif terapi adjuvant untuk mengatasi sepsis
neonatorum. Melatonin diberikan secara oral dengan dosis 2 X 10 mg per hari.
Pemakaian melatonin tersebut masih dalam tahap uji klinik dan penelitian ini
merupakan penelitian pertama pada manusia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
perbaikan kondisi klinik pada kelompok yang diterapi dibandingkan kelompok kontrol.
Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini dengan sampel
yang lebih besar.
109

3.7.2.7 Penatalaksanaan imunologik
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa dalam 10 tahun terakhir ini telah
diajukan konsep baru dalam bidang infeksi yang dikenal dengan "systemic
inflammatory response syndrome"

(SIRS). Konsep ini menggambarkan patofisologi
baru dalam kaskade inflamasi yang agak berbeda dengan gambaran yang dianut
sebelumnya.

Pada pasien SIRS ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik
humoral maupun selular, yang berupaya untuk mengimbangi atau melakukan reaksi
eliminasi mikroba melalui pembentukan berbagai komplemen dan antibodi.

Pelaporan ini mempunyai arti yang penting dalam manajemen pasien. Pada bayi
dengan risiko, dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih
efisien dan efektif sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh
kembang bayi dapat dihindarkan. Berbagai penelitian eksperimental maupun studi
klinis banyak dilakukan untuk menghambat kaskade inflamasi ini. Salah satu cara
adalah dengan menurunkan aktivitas biologis dari IL-1 dan TNF-. Dalam suatu studi
eksperimental pada hewan coba, penyuntikan TNF- dan IL-1 memperlihatkan
perubahan fisiologis yang sejalan dengan kaskade inflamasi. Selanjutnya apabila
dilakukan rintangan terhadap aktivitas IL-1 dengan reseptor antagonis IL-1 (IL-1ra)
ternyata dapat melindungi binatang dari kematian akibat bakteremia dan
endotoksemia.
13,110,111
Hasil ini memperkuat hipotesis yang mengemukakan bahwa
pengurangan tingkat sirkulasi TNF- dan IL-1 di dalam sirkulasi akan memperlemah
perkembangan kaskade sepsis. Penelitian ini juga memperkuat kemungkinan
penggunaan terapi antisitokin dalam menurunkan angka kematian karena syok
septik pada pasien sepsis. Studi klinis pemberian terapi IL-1ra dan anti TNF- pada
penderita sepsis baru merupakan penelitian pendahuluan. Apabila studi klinik ini


45

dapat dilakukan pada pasien dengan hasil seperti pada penelitian eksperimental,
diharapkan tata laksana pasien akan menjadi lebih optimal.
25

3.7.2.8 Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum
Telaah pustaka dan meta-analisis mengenai pemakaian kortikosteroid untuk
sepsis sejak awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1990-an umumnya
menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan manfaat untuk pengobatan
sepsis dan syok septik. Kortikosteroid tersebut diberikan dalam dosis tinggi untuk
mengatasi inflamasi dengan pertimbangan mekanisme kerja kortikosteroid yang
sangat dominan sebagai antiinflamasi. Telaah saat ini menunjukkan bahwa hal
tersebut dapat menimbulkan rebound respons inflamasi sistemik dengan berbagai
bahaya yang menyertainya.
112
Beberapa meta-analisis telah menunjukkan secara
konsisten bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi (lebih dari 42.000 mg
equivalen hidrokortison) telah terbukti tidak bermanfaat dan membahayakan.
113

Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan
untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid
dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki
status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respon terhadap
katekolamin dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan
hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.
109,114
Sebuah meta-analisis memperkuat
hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan.
115

3.7.2.9 Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan
metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi
insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi
meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut
oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat
dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada
keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus
dipenuhi atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada
bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari
dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan
melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk
tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral
diberikan setelah bayi lebih stabil.
116




46

3.8. Pencegahan dan Penanggulangan
Menurut Lancet Neonatal Survey Series tahun 2005, terdapat beberapa
intervensi pencegahan berdasarkan Kedokteran Berbasis Bukti, yang dapat
dilakukan pada periode yang berbeda yaitu pada periode intrapartum dan
postpartum. Intervensi pencegahan tersebut dapat dilihat pada tabel 15.
117
Tabel 15. Evidence of efficacy for interventions at different time periods
118
Intrapartum

Amount of evidence

Reduction (%)in all-cause neonatal
mortality or morbidity/major risk factor if
specified (effect range)
Antibiotics for preterm
premature rupture of
membranes

Corticosteroids for preterm
labour

Detection and management
of breech (caesarian
section)

Labour surveillance
(including partograph) for
early diagnosis of
complications

Clean delivery practices
IV



IV


IV



IV




IV

Incidence of infections: 32%(13 .47%)



40%(25 .52%)


Perinatal/neonatal death: 71%(14.90%)



Early neonatal death: 40%
58 .78%



Incidence of neonatal tetanus:55 .99%

Postpartum

Amount of evidence

Resuscitation of newborn
baby

Breastfeeding

Prevention and
management of
hypothermia

Kangaroo mother care (low
birthweight infants in health
facilities)
Community-based
IV


V

IV



IV


V
6 .42%


55 .87%

18 .42%



Incidence of infections:51% (7.75%)


27%(18 .35%)


47

pneumonia case
management

Sumber : Lancet Neonatal Survival Series 2005
3.8.1. Pencegahan Sepsis Awitan Dini
Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan
pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko
terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur
karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada
wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat
menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB
sebesar 86%. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau
ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin
intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis.
Bagi ibu yang pernah mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan
cefazolin.
118

3.8.2. Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut
Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan
dengan infeksi nosokomial antara lain :
Pemantauan yang berkelanjutan
Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
Bentuk ruang perawatan
Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
Pemakaian antibiotik yang rasional
Program pendidikan
Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program
kontrol.
119

3.8.2.1. Antibiotik Profilaksis
Terapi pencegahan atau antibiotik profilaksis pada bayi baru lahir tidak
dilakukan lagi. Pemberian antibiotik harus dibatasi serta memperhatikan faktor ibu


48

dan bayi. Antibiotik hanya boleh diberikan pada BBLR dengan berat <1250 Gram
tanpa memandang ke dua faktor tersebut.
52
Penelitian meta-analisis pada neonatus kurang bulan terhadap pemberian
antibiotik profilaksis diantaranya dari 5 RCT yang dianalisis tampak adanya
penurunan insidens terjadinya sepsis dan sepsis akibat coagulase negative
staphylococcal (CoNS) pada neonatus yang mendapat profilaksis vankomisin.
Didapatkan hasil lebih baik dengan pemberian secara infus kontinyu. Namun, tidak
ada bukti bahwa pemberian profilaksis vankomisin dapat menurunkan angka
mortalitas ataupun mempengaruhi lama masa perawatan di NICU. Dari hasil analisis
yang sama juga tidak menunjukkan adanya gangguan pendengaran yang signifikan
akibat efek samping ototoksisitas dari vankomisin. Hingga saat ini belum ada bukti
cukup untuk menunjang hipotesis adanya peningkatan resistensi mikroba terhadap
vankomisin.
120
Selain mengetahui berat bayi, perlu diketahui ada tidaknya riwayat
infeksi intrauterin dengan menanyakan apakah ibu demam selama proses persalinan
sampai tiga hari pasca persalinan atau ketuban pecah dini 18 jam atau lebih sebelum
bayi lahir. Setelah itu, antibiotik baru dapat diberikan.
121

3.8.2.2. Kebersihan Tangan
Mencuci tangan adalah cara paling sederhana dan merupakan tindakan
utama yang penting dalam pengendalian infeksi nosokomial. Namun, kepatuhan
dalam pelaksanaannya sangat sulit oleh karena beberapa hal yaitu iritasi kulit,
sarana tempat dan peralatan cuci tangan yang kurang, pemakaian sarung tangan,
terlalu sibuk, dan juga tidak terpikir untuk melakukan cuci tangan.
122

Adapun hal-hal yang perlu diketahui dalam mencuci tangan adalah:
1. Mikroorganisme kulit
2. Tipe, tujuan dan metode mencuci tangan
3. Kepatuhan mencuci tangan
4. Jenis cairan dan lokasi tempat mencuci tangan
5. Kapan wajib mencuci tangan
6. Tujuh langkah mencuci tangan
7. Prosedur standar mencuci tangan rutin
Prosedur standar mencuci tangan rutin adalah sebagai berikut :
Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua perhiasan.
Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama selama tiga menit
dengan larutan pencuci tangan antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan
bagian sisi jari.
Bilas dengan air mengalir.


49

Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir
Taruh cairan sabun/sabun antiseptik dibagian tangan yang telah basah
Buat busa secukupnya
Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik
Bilas kembali dengan air bersih
Tutup kran dengan siku
Keringkan tangan dengan tissue
Hindari menyentuh benda sekitarnya setelah mencuci tangan.
Kepatuhan para tenaga medis dalam mencuci tangan sangat rendah, namun ada
alternatif untuk mengatasi hal tersebut, antara lain dengan menggosok tangan (hand-
rubbing) dengan menggunakan cairan pembersih mengandung alkohol.
123
Alternatif
ini cukup menjanjikan karena tidak sulit dikerjakan, sehingga tingkat kepatuhan para
tenaga medis bertambah dan dampak yang ditimbulkannya sama dengan mencuci
tangan dengan sabun antiseptik.
124,125,126
Hand-rubbing dilakukan sesudah
memegang satu bayi dan sebelum memegang bayi lain, sedangkan pada saat awal
masuk ke ruang perawqtan cuci tangan sebaiknya cuci tangan dengan sabun
antiseptik dan air mengalir. Dengan diberlakukannya kebijakan mengenai cuci
tangan, dapat meningkatkan kepatuhan para tenaga medis.
127
Penelitian Chelly
Gunawan tentang efektifitas Etil Alkohol Gliserin 69% Hand Rub, dengan uji acak
buta, didapatkan hasil yang tidak ada perbedaan bermakna pemakaian bahan
tersebut dengan Alkohol Based Handrub yang digunakan di Eropa.
128
Hand Rub
diletakkan disetiap tempat tidur bayi agar memudahkan tenaga medis menggunakan
dan mencegah penurunan kepatuhan dalam penggunaannya.

Gambar 10. Tujuh langkah mencuci tangan
129

Sumber: Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2005


50

Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi
nosokomial. Hal yang sering ditemui adalah terbatasnya tempat cuci tangan, serta
rasio pasien dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu, Hand Rub dan sosialisasi
pentingnya mencegah infeksi sangat diperlukan. Selain itu, sangat membantu
menurunkan kejadian luar biasa infeksi sepsis dan selulitis di bangsal seperti
kejadian di Surabaya yang tercantum pada tabel dibawah ini.
Tabel 16. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Dokter dan Perawat dan Bidan di Ruang
Neonatus Periode Mei 2002 ( 30 orang )
KRITERIA MEDIS
BENAR
MEDIS
SALAH
PARAMEDIS
BENAR
PARAMEDIS
SALAH
TPP
BENAR
TPP
SALAH
1 30 70
2 40 60 50 50 30 70
3 40 60 30 70
4 20 80 20 80 0 100
5 80 20
KRITERIA :
a. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan
b. Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu
c. Tindakan medis lain pakai sarung tangan
d. Batuk pilek memakai masker
e. Disinfeksi kulit prosedural

Tabel 17. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang
Neonatus Pasca Komunikasi dan Pengelolaan KLB ( 30 orang )
KRITERIA MEDIS
BENAR
MEDIS
SALAH
PARAMEDIS
BENAR
PARAMEDIS
SALAH
TPP
BENAR
TPP
SALAH
1 90 10
2 90 10 90 10 80 20
3 90 10 50 50
4 80 20 80 20 50 50
5 90 10
KRITERIA :
a. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan
b. Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu
c. Tindakan medis lain pakai sarung tangan
d. Batuk pilek memakai masker
e. Disinfeksi kulit prosedural



51

Tabel 18. Sepsis, Sepsis dengan Selulitis dan Kematian Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Saat
KLB
SEBELUM INTERVENSI
BULAN SEPSIS
DENGAN
SELULITIS
KEMATIAN
SEPSIS DG
SELULITIS
JANUARI 1 1(100%)
FEBRUARI 11 6(46%)
MARET 7 4(57%)
APRIL 4 1(25%)
47,4%
SESUDAH INTERVENSI
BULAN SEPSIS
DENGAN
SELULITIS
KEMATIAN
SEPSIS DG
SELULITIS
MEI 0 0
JUNI 0 0
JULI 1 0
AGUSTUS 0 0
SEPTEMBER 0 0
OKTOBER 0 0

3.8.2.3. Penggunaan Air Susu Ibu (ASI)
Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah terjadinya
infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk
memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektifitas ASI
tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin
sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi nosokomial pada bayi prematur
yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi prematur yang
mendapat susu formula (47,2%).
130

Penelitian acak buta ganda pre dan post test control group design dengan
pemberian probiotik selama 14 hari pada bayi prematur, dapat meningkatkan kadar
imunoglobulin A sekretori feses sebanyak 19,7% dibanding yang tidak diberi
probiotik. Diduga bakteri probiotik yang diberi sejak dini setelah lahir, mempunyai
efek protektif terhadap infeksi dini yang umumnya terjadi di mukosa
gastrointestinal.
131

3.8.2.4. Pencegahan dengan menggunakan IVIG
Dalam suatu studi meta-analisis yang dilakukan terhadap 4933 bayi yang
mendapatkan profilaksis IVIG dan 110 bayi menerima IVIG sebagai terapi sepsis


52

dilaporkan bahwa pemberian IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis
sepsis neonatal (khususnya pada bayi BBLR) dibandingkan bila dipakai sebagai
terapi standar sepsis.
96

3.8.2.5. Ruang Perawatan
Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai
dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Jumlah pasien yang terlalu banyak,
kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan, kurangnya handuk atau tissue,
tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak nyaman, perawatan yang tidak
baik terhadap ruangan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas ruangan isolasi,
dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum. Setiap ruang perawatan
terutama NICU memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi untuk 2 pasien yang
terinfeksi, dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat memakai baju steril untuk
tindakan invasif, dan tempat penyimpanan alat-alat atau material yang sudah
dibersihkan. Menurut American Academic Pediatric, 2004 pelayanan kesehatan
neonatus dibagi menjadi beberapa tingkatan (lihat tabel 19).
132

Tabel 19. Tingkat Pelayanan Kesehatan Neonatus
133

Pelayanan Kesehatan Dasar Neonatus (Perawatan neonatus level I) :
- Perawatan bayi normal
- Resusitasi neonatus dan stabilisasi neonatus sebelum rujukan
Pelayanan Kesehatan Spesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level II) :
- Level I + bayi berat lahir >1500 g
- Resusitasi dan stabilisasi sebelum dirujuk ke level III
Pelayanan Kesehatan Subspesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level III) :
- Level IIIA Level II + ventilasi mekanik
- Level IIIB Ventilasi mekanik lanjut dan tindakan bedah minor
- Level IIIC Tindakan bedah lanjut (eg, omphalocele, tracheoesophageal fistula,
esophageal atresia, myelomeningocele, ventriculoperitoneal shunt, dll)
- Level IIID Tindakan bedah lanjut bedah kelainan jantung bawaan dan ECMO
Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:13417
Secara lebih rinci, lingkungan perawatan bayi harus memenuhi kriteria berikut :
Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan tidak ada jendela
yang terbuka ke daerah luar.
Semua jalan masuk ke ruang bayi harus ada wastafel dengan kran yang
bisa dibuka/ditutup dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk
sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum masuk ruang bayi.
Menghindari terlalu banyak orang di ruang bayi.
Harus ada ruang atau daerah isolasi yang digunakan dengan benar.


53

Gaun penutup dan fasilitas untuk membuang benda sekali pakai harus
ada di dekat pintu masuk.
Lantai ruang bayi harus disapu setiap 8 jam untuk menghilangkan debu
dan dipel sekali sehari dan/atau jika terlihat kotor.
Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari jika terkontaminasi.
Inkubator harus dilap dengan air steril sekali sehari atau jika
terkontaminasi.
Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara menyeluruh
dengan larutan hipoklorida 10%.
Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus ditempel pada setiap
inkubator.
Harus ada area yang khusus untuk melakukan desinfeksi inkubator.
Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu untuk setiap tiga
inkubator.
Permukaan di ruang bayi harus dibersihkan dengan seksama sedikitnya
sekali seminggu.
Pemisahan limbah dibagi atas :
a. Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)
Dapat berupa dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab, plester,
masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong urin, sampah yang
terkontaminasi dengan cairan tubuh.
b. Sampah domestik/rumah tangga (kantong berwarna hitam)
Dapat berupa kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,
kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang tidak terkontaminasi
cairan tubuh pasien.
c. Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)
Seperti jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas objek, lanset,
sampah yang memiliki permukaan/ujung yang tajam.
Semua limbah cair (darah, cairan suction dan sekresi) dibuang di sanitary
sewer dan digelontor dengan air.
Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan yang tahan tusukan
dan air.
3.8.2.6. Petugas
Jumlah petugas yang memadai diperlukan untuk memberikan asuhan kepada
bayi dengan waktu cuci tangan yang adekuat diantara kontak dari bayi ke bayi. The
American Academy Pediatrics (AAP) memberikan beberapa rekomendasi di bawah


54

Tabel 20. Jumlah staf berdasarkan level pelayanan
133

Level Neonatal Unit Jumlah Perawat
Unit perawatan bayi normal (Level1) 1 perawat per 6-8 neonatus
Unit Perawatan Transisi (Level II) 1 perawat per 3-4 neonatus
Unit Perawatan Intensif (Level III) 1 perawat per 1-2 neonatus
Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:13417
3.9. Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain:
5,133,134
Meningitis
Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus
dan/atau leukomalasia periventrikular.
Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute
respiratory distress syndrome (ARDS).
Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti
ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal.
Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai
dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental
Kematian
3.10. Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30%
kasus neonatus.

Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada
bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis
awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan
pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira
2 %).
5,135





55

BAB IV
DISKUSI

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permasalahan seputar sepsis
neonatorum terletak pada permasalahan penegakan diagnosis, penatalaksanaan,
dan pencegahan (profilaksis) sepsis neonatorum.
Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala
karena gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai keadaan
lain yang disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis
secara dini berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat
mortalitas. Oleh karena itu, para ahli berupaya untuk dapat menegakkan diagnosis
secara dini dengan membuat beberapa kriteria diagnosis untuk sepsis. Saat ini,
banyak sekali ditemukan berbagai kriteria diagnosis yang telah dipergunakan di
berbagai sarana kesehatan. Ada sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan
diagnosis berdasarkan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke
dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10).

Bila terdapat satu faktor risiko
mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif
dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.
77

Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko
77

Risiko mayor
6. Ketuban pecah > 24 jam
7. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C
8. Korioamnionitis
9. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit
10. Ketuban berbau
Risiko minor
9. Ketuban pecah > 12 jam
10. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C
11. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 )
12. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram.
13. Usia gestasi < 37 minggu.
14. Kehamilan ganda.
15. Keputihan pada ibu.
16. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.
Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90
Selain itu, pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan


56

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi
jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).
16

Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus
16

Variabel Klinik
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x10
9
/L )
Leukopenia ( < 5000 x 10
9
/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 10
9
/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab
merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun
demikian, terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali
menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat
diketahui setelah 48-72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman
penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar
negara. Menurut survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada
tahun 1998-2000, pada SAD ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus
bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri
Grampositif (70,2%). Bakteri Gramnegatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%)
sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering
(47,9%) pada SAL (tabel 3).
28



57

Saat ini, dengan berkembangnya teknologi kedokteran telah menghadirkan
berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan CRP,
Interleukin, PCR, Procalcitonin, dan lain sebagainya untuk menunjang diagnosis
sepsis neonatorum. Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan seperti yang ditunjukkan dalam tabel 21. Pada dasarnya, pemeriksaan
penunjang untuk penegakan diagnosis sepsis dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok yaitu :
Kelompok pemeriksaan penunjang konvensional, yang meliputi pemeriksaan
darah perifer lengkap, kultur darah dan CRP.
Kelompok pemeriksaan penunjang canggih : marker/petanda dan mediator.
Permasalahan terletak pada fasilitas yang ada di tempat pelayanan masing-
masing sangat bervariasi. Oleh karena itu, harus dipilih pemeriksaan penunjang
yang sesuai dengan kebutuhan di setiap sarana kesehatan.
Mengenai penatalaksanaan, ditemukan permasalahan dalam pemberian
antibiotik spektrum luas pada neonatus, mengingat toksisitasnya dan pola resistensi
dikemudian hari. Sehingga perlu sekali untuk memberikan batasan indikasi yang
jelas berdasarkan evidence based medicine mengenai pemberian antibiotik tersebut.
Spektrum mikroorganisme yang menyebabkan sepsis neonatorum sangat
bervariasi dari waktu ke waktu dan juga antar daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Bahkan dapat pula berbeda dari rumah sakit satu dengan rumah sakit
lainnya di daerah yang sama. Di sebagian besar negara berkembang, bakteri
Gramnegatif tetap menjadi etiologi utama sepsis neonatorum, terutama pada SAD.
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir, tampak telah
terjadi peningkatan multidrugs resistence. Hal tersebut diperkirakan diakibatkan
penggunaan antibiotik yang tidak tepat, penjualan antibiotik secara bebas tanpa
resep dokter, kurangnya peraturan/perundang-undangan yang mengatur
penggunaan antibiotik, sanitasi yang buruk dan tidak efektifnya kontrol terhadap
pelayanan persalinan. Di lain pihak, infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang telah
resisten terhadap antibiotik akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan,
peningkatan mortalitas, serta semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan.
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus
menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:

Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB).
Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi
mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).


58

Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya
menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).
Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola
resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal
berikut:
1. Usia saat awitan penyakit, karena mikro-organisme penyebab SAD dan SAL
berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.
2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.
3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik
memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan.
Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan
menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi
silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan.
4. Farmakokinetik antibiotik.
5. Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan terapi
antibiotik terdahulu).
Berikut ini sepuluh langkah perencanaan penggunaan antibiotik:

1. Kultur darah (dan mungkin cairan serebrispinal dan atau urin) harus dimulai
sebelum memulai terapi antibiotik.
2. Gunakan sedapat mungkin antibiotik spektrum sempit, seperti penisilin
(piperacillin-tazobactam) dan aminoglikosida (amikasin).
3. Jangan memulai terapi dengan sefalosporin generasi ke tiga (sefotaksim,
seftazidim) atau karbapenem (imipenem, meropenem).
4. Kembangkan kebijakan antibiotik lokal dan nasional untuk membatasi
penggunaan antibiotik spektrum luas yang mahal seperti imipenem untuk
pengobatan empirik.
5. Percaya hasil kultur dan laboratorium mikrobiologi.
6. Peningkatan CRP bukan berarti sepsis.
7. Jika kultur darah steril dalam 2-3 hari, penghentian antibiotik hampir selalu aman
dan tepat.
8. Usahakan untuk tidak menggunakan antibotik untuk waktu yang lama.
9. Obati sepsis bukan kolonisasi.
10. Lakukan yang terbaik untuk pencegahan infeksi nosokomial dengan cara
menggalakkan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan.
Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga
diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak
positif antara lain :


59

Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT),
pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin.
95,96,97,108,109

Masalah pencegahan (profilaksis) juga dinilai perlu untuk diangkat ke
permukaan karena sudah cukup banyak penelitian mengenai risiko dan manfaatnya
di luar negeri namun belum dipakai di Indonesia karena masih diragukan
manfaatnya. Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD)
dan lambat (SAL).
Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan
pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan
tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan
dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah
dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan
korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat
menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB
sebesar 86%.
119

Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain :
1. Pemantauan yang berkelanjutan
2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
3. Bentuk ruang perawatan
4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
8. Pemakaian antibiotik yang rasional
9. Program pendidikan
10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.
120








60

Tabel 21. Perbandingan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Sepsis Neonatorum
Pemeriksaan
Penunjang
Overview Sensitivitas Spesifisitas Possitive
predictive value
Negative
predictive
value
Kelebihan Kekurangan
Kultur darah
28,59,60
dapat dilakukan pada
SAD maupun SAL
standar baku
emas
hasil baru dapat
dilihat 48-72 jam
cara
pengambilan
spesimen
khusus
jumlah darah
yang diambil
cukup banyak
(1cc)
hasil positif
palsu:
kontaminasi
dalam
pengambilan
sampel
hasil negatif
palsu: sampel
terlalu sedikit
Kultur urin
5,22,61
bila dicurigai terdapat
infeksi saluran kemih
cara
pengambilan
spesimen


61

khusus, yaitu:
kateterisasi steril/
aspirasi
suprapubik
dilakukan pada
anak yang lebih
besar
memberikan
hasil yang lebih
baik pada SAL
Pewarnaan Gram
62
membedakan kuman
Gramnegatif atau
positif
dapat digunakan
pada fasilitas lab
yang terbatas
bermanfaat pada
awal pengobatan

terdapat
kesalahan baca
pada 0,7% kasus

Hitung trombosit
5

dapat
mendeteksi
dalam 2-3 hari
pertama
kehidupan.
mudah dilakukan
biaya murah

Hitung leukosit dan
hitung jenis leukosit
5

mudah dilakukan
biaya murah
pemeriksaan
tidak spesifik


62

IT ratio menghitung rasio
neutrofil imatur dan
neutrofil total
60-90%
D-dimer
64,65,66,67,68
hasil pemecahan
cross-linked fibrin
tidak spesifik
untuk sepsis
CRP
72
protein yang disintesis
di hepatosit dan
muncul pada fase akut
bila terdapat kerusakan
jaringan
60%

78,94%

48,77%

66,66%
99,7%
(serial pada
SAD)
98,7%
(serial pada
SAL)
biaya murah tidak
direkomendasika
n sebagai
indikator tunggal
dalam
mendiagnosis
sepsis
Procalcitonin Merupakan protein
yang disusun oleh 116
asam amino, memiliki
berat 13 kDa,
merupakan prohormon
dari kalsitonin yang
diproduksi oleh sel
parafolikuler kelenjar
tiroid, yg dalam
keadaan normal tidak
akan terdeteksi dalam
darah.
92,6% (SAD)
100% (SAL)
97,5% (SAD)
100% (SAL)
bereaksi lebih
cepat daripada
CRP
biaya mahal
Interleukin
IL6, IL8

petanda infeksi yang

100%


tidak direkomen-
dasikan sebagai


63




disintesis oleh sel
monosit, endotel dan
imunitas


indikator tunggal
dalam
mendiagnosis
sepsis
PCR 96% 94% 88,9% 99,8% mampu
memberi-kan
informasi jenis
kuman secara
cepat
dapat
mendeteksi
infeksi jamur
invasif
hanya dapat
dilakukan di RS
Rujukan/
Pendidikan


64

BAB V
ANALISIS BIAYA

Penyusunan suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost,
indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan
Sepsis Neonatorum di rumah sakit, meliputi:
1. Komponen Diagnostik
Pemeriksaan kultur darah
Pemeriksaan kultur urin
Pemeriksaan kultur LCS
Pewarnaan Gram
Pemeriksaan Hematologi (darah perifer lengkap, IT ratio, D-dimer, Fibrinogen,
Thrombin-antithrombin III complex (TAT), PT, APTT, Analisis Gas Darah dan
elektrolit)
Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins (C Reactive Protein,
Procalcitonin)
Chemokines, cytokines and adhesion molecules (Interleukin 6 dan
Interleukin 8)
Laktat
Gula darah
Pemeriksaan Radiografi Thorax
USG Abdomen
CT Scan
Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi
2. Komponen Terapi
Pemberian Antibiotik
Terapi Suportif (Intravenous immunoglobuline, transfusi tukar, pemberian fresh
frozen plasma, pemberian kortikosteroid pada kepsis neonatorum)
3. Jasa Tindakan Medik
Saat ini sedang disusun Sistem Case-mix dalam INA DRG (Indonesian
Diagnosis Regiment Group) oleh Departemen Kesehatan RI untuk Rumah Sakit
Pemerintah sehingga diharapkan di masa depan akan ada kesamaan biaya untuk
suatu penyakit tertentu dengan kategori atau kriteria yang sama.


65

BIAYA PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM DI RS CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA DAN RS KARIADI SEMARANG.


NO JENIS KEGIATAN RSUPN CM
RSUP Kariadi
III II / I / UTAMA PRIVATE / VIP
1
KOMPONEN DIAGNOSTIK

- Pemeriksaan kultur darah Rp 180.000 Rp 122.500 Rp 145.000 Rp 152.000

- Pemeriksaan kultur urin Rp 180.000 Rp 88.000 Rp 125.000 Rp 132.000

- Pemeriksaan kultur jamur Rp 310.000 Rp 53.000 Rp 63.000 Rp 70.000

- Pewarnaan Gram Rp 26.000 Rp 20.500 Rp 31.000 Rp 32.500

- Pemeriksaan Hematologi

a. Darah perifer lengkap Rp 25.000 Rp 48.250 Rp 59.500 Rp 63.000

b. D-dimer Rp 134.000 Rp 218.000 Rp 237.000 Rp 245.000

c. Fibrinogen Rp 51.000 Rp 63.500 Rp 70.000 Rp 75.000

d. Thrombin-antithrombin III complex (TAT) Rp 220.000 Rp. 138.500 Rp 167.000 Rp 175.000

e. PT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000

f. APTT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000

g. Analisis gas darah dan elektrolit Rp 150.000 Rp 142.500 Rp 165.000 Rp 173.500

h. IT ratio Rp 10.000


66



- Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins

a. C Reactive Protein Rp 30.000 Rp 27.000 Rp 42.000 Rp 49.000

b. Procalcitonin Rp 500.000

- Chemokines, cytokines and adhesion molecules

a. Interleukin 6 224 USD

b. Interleukin 8 224 USD

- Laktat Rp 225.000 Rp 67.000 Rp 73.500 Rp 75.000

- Pemeriksaan rdiografi torax Rp 65.000 Rp 75.000 Rp 90.000 Rp 107.000

- USG kepala Rp 190.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000

- USG Abdomen Rp 210.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000

- CT Scan

a. Tanpa kontras Rp 450.000 Rp 500.000 Rp 600.000 Rp 650.000

b. Dengan kontras Rp 600.000 Rp 868.000 Rp 1.007.000 Rp 1.115.000

- Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi Rp 100.000 Rp 132.000 Rp 155.000 Rp 190.000


KOMPONEN TERAPI
2
- Pemberian Antibiotik

a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp 90.000 Rp 85.021 Rp 85.021 Rp 85.021

b. Garamycin vial

- 20 mg Rp 28.000


67


- 60 mg Rp 58.000

- 80 mg Rp 70.000

c. Ceftazidim vial 1 gram Rp 18.500 Rp 32.604 Rp 32.604 Rp 32.604

d. Piperacillin vial 4,5 gram Rp 363.000
- Terapi Suportif

a. Intravenous immune globulin Rp 750.000

b. Transfusi Tukar Rp. 1.142.400 Rp. 343.902 Rp. 343.902 Rp. 343.902

c. Pemberian Fresh Frozen Plasma Rp. 84.500 Rp. 44.056 Rp. 44.056 Rp. 44.056



JASA TINDAKAN MEDIK

- Untuk tindakan Transfusi tukar Rp 500.000 Rp 134.000 Rp 134.000 Rp 134.000

- Untuk tindakan transfuse Rp 25.000




68

Perhitungan biaya untuk penderita sepsis neonatorum didasarkan pada
berat ringannya penyakit yang diderita. Untuk biaya perawatan dan jasa tindakan
medik, tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah masing-masing. Perkiraan
biaya yang akan dikeluarkan oleh penderita sepsis neonatorum yaitu :
Sepsis Neonatorum Ringan / Suspek Neonatal Sepsis
pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2 x Rp.180.000) = Rp. 360.000
pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000
pewarnaan Gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000
pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) = Rp. 25.000
pemeriksaan C-Reactive Protein (rutin) = Rp. 30.000
pemeriksaan IT Rasio
(untuk nutrisi : pasien dapat minum biasa rutin )
untuk pemeriksaan radiologi dan USG : tidak diperlukan
= Rp. 10.000
pemberian antibiotik selama 3 - 7 hari
Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000
Garamycin vial
- 20 mg Rp. 28.000
- 60 mg Rp. 58.000
- 80 mg Rp. 70.000
Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500
Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000

Sepsis Neonatorum Sedang
infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah (selama 4 hari)
hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol
hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol

pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2 x Rp.180.000) = Rp. 360.000
pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000
pewarnaan gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000
pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) 2 x 25.000 = Rp. 50.000
pemeriksaan C-Reactive Protein (rutin) 2 x 30.000 = Rp. 60.000
pemeriksaan IT Ratio (rutin) 2 x 10.000 = Rp. 20.000
pemberian antibiotik selama 14 hari
Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000
Garamycin vial
- 20 mg Rp. 28.000
- 60 mg Rp. 58.000



69

- 80 mg Rp. 70.000
Ceftazidim vial 1 GramRp. 18.500
Piperacillin vial 4,5 GramRp. 363.000
Pemeriksaan radiologi thorax = Rp. 65.000
Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp. 100.000
Pemeriksaan USG kepala = Rp. 190.000

Sepsis Neonatorum Berat
infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah (selama 7 hari)
hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol
hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2
botol

pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2x Rp.180.000) = Rp. 360.000
pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000
pewarnaan gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000
pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) 2 x 25.000 = Rp. 50.000
pemeriksaan C Reactive Protein (rutin) 2 x 30.000 = Rp. 60.000
pemeriksaan IT Ratio (rutin) 2 x 10.000 = Rp. 20.000
pemberian antibiotik selama 14 hari
Amoxiclav vial @ 1 GramRp. 90.000
Garamycin vial
- 20 mg Rp. 28.000
- 60 mg Rp. 58.000
- 80 mg Rp. 70.000
Ceftazidim vial 1 GramRp. 18.500
Piperacillin vial 4,5 GramRp. 363.000

Pemeriksaan radiologi thorax = Rp. 65.000
Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp. 100.000
Pemeriksaan USG kepala = Rp. 190.000
Pemeriksaan kultur jamur = Rp. 310.000
Pemeriksaan PT = Rp. 86.500
Pemeriksaan APTT = Rp. 86.500

Terapi Suportif
- Intravenous immune globulin = Rp. 750.000
- Transfusi Tukar = Rp. 1.141.560


70

- Pemberian Fresh Frozen Plasma = Rp. 223.000

KONDISI DI INDONESIA
Sepsis neonatorum merupakan masalah kesehatan neonatal dengan angka
kematian yang masih cukup tinggi dengan biaya yang masih cukup mahal
Sistem rujukan neonatal sangat memegang peran penting dalam tinggi
rendah nya angka morbiditas dan mortalitas neonatal. Sistem ini belum
terwujud dan terlaksana dengan baik
Fasilitas Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan neonatal dan
pemeriksaan penunjang sangat berbeda di beberapa daerah atau Rumah
Sakit.
Penggunaan antibiotik secara rasional masih belum memuaskan.
Dukungan nutrisi merupakan salah satu komponen yang penting dalam
menunjang tatalaksana sepsis neonatorum namun kadang justru menambah
infeksi nosokomial karena pemberian total parenteral nutrisi yang tidak tepat.
Salah satu hal yang dapat meninggikan angka infeksi dan sepsis neonatorum
adalah kemasan cairan dalam volume besar (500 cc) yang terlalu besar untuk
kebutuhan harian bagi bayi dengan infeksi atau sepsis neonatorum sehingga
sering dalam memenuhi kebutuhan cairan sering dilakukan penusukan botol
infus yang berulang kali yang menyebabkan infeksi.



71

BAB VI
REKOMENDASI

I. Bahwa sepsis neonatorum masih merupakan masalah pada bayi baru lahir
dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka
Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek
promotif, kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B]
II. HTA (Health Technology Assessment) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai mitra bestari (stake holder) berusaha
untuk melakukan penilaian dan kajian dari berbagai aspek terutama aspek
teknologi kedokteran sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia yang
diharapkan dapat memberi manfaat dalam penanggulangan masalah sepsis
neonatorum, meliputi :
1. Penegakan diagnosis
2. Penatalaksaan
3. Pencegahan
2.1. Penegakan diagnosis :
Penegakan diagnosis sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan
standar klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor
risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor.
Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan
penunjang.
Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria
diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis
sepsis didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi.
Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel,
yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan
variabel inflamasi.
Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis
atau dugaan sepsis sangat penting.
Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di
tempat pelayanan kesehatan:
Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang
konvensional dianjurkan untuk melakukan :
Skrining Infeksi maternal


72

Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer
lengkap, pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio.
Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk pemeriksaan
penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan penunjang
konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat indikasi dapat
melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan fasilitas
yang ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin, PCR,
prokalsitonin, dan lain-lain.
2.2. Penatalaksanaan
Mengingat bahwa fasilitas sarana kesehatan dan sumber daya yang bervariasi di
Indonesia maka penatalaksanaan sepsis neonatorum sebaiknya sebagai berikut :
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus
menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:

Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB).
Beberapa mikroorganisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi
mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).
Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya
menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).
Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga
diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan
dampak positif antara lain :
Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT),
pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A]
Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola
resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal
berikut:
1. Usia saat awitan penyakit, karena mikroorganisme penyebab SAD dan SAL
berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.
2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.
3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik
memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan.
Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan
menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi
silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan. Oleh karena


73

itu, diharapkan setiap sarana kesehatan dapat melakukan pemeriksaan
mikroorganisme secara berkala untuk mengetahui pola resistensi kuman.
4. Farmakokinetik antibiotik.
Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan
terapi antibiotik terdahulu).
2.3. Pencegahan
Mengingat penyebab sepsis neonatorum adalah multifaktoral maka perlu
dipikirkan pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan,
persalinan dan beberapa saat setelah persalinan.
Pencegahan secara umum :
o
Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur.

o
Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi
TORCH, infeksi saluran kemih, dll.

o
Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan.

o
Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan
anemia.

o
Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan
ancaman persalinan kurang bulan.

o
Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda.

o
Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :

Persalinan yang bersih dan aman


Stabilisasi suhu

Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi


yang baik dan benar sesuai dengan kompetensi penolong

Pemberian ASI dini dan eksklusif


Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi



o
Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi

Pencegahan secara khusus
Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan
lambat (SAL).
a. Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik.
Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal
persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko
terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir
prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB
sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin
dan gentamisin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis


74

neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%. [Rekomendasi
B]
b. Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara
lain:
1. Pemantauan yang berkelanjutan
2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
3. Bentuk ruang perawatan
4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
8. Pemakaian antibiotik yang rasional
9. Program pendidikan
10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.
[Rekomendasi A]
III. Departemen Kesehatan RI diharapkan sekuat daya dan tenaga untuk:
Memasukkan Sistem Rujukan dan Transportasi Perinatal ke dalam Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) sehingga secara sentral masalah kesehatan
neonatal dapat ditangani secara terpadu dan tuntas.
Membantu melengkapi sumber daya: manusia, fasilitas, sarana, mulai dari
tingkat komunitas, puskesmas, rumah sakit rujukan tingkat kabupaten dan
propinsi.
Melaksanakan program-proGramdi bidang kesehatan neonatal secara
terpadu, kontinyu dan komprehensif untuk kesehatan neonatal.
Bersama-sama dengan mitra bestari (stake holder) memperbaiki Sistem
Rujukan Perinatal termasuk melengkapi infrastruktur, sarana dan lain-lain.
Melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi agar mengupayakan
sediaan cairan infus yang digunakan untuk Nutrisi Parenteral Total pada
bayi baru lahir yang dapat dibuat dalam bentuk dan volume yang kecil : 100
125 cc. Hal ini selain berdampak pada efisiensi biaya karena tidak banyak
cairan yang terbuang, juga mempunyai dampak dalam mencegah infeksi
nosokomial dan sepsis neonatorum akibat pemberian infus atau nutrisi
parenteral total.




75

DAFTAR PUSTAKA


1 WHO. Perinatal mortality. Report No.: WHO/FRH/MSM/967. Geneva: WHO, 1996.
2 Darmstadt GL, Bhutta ZA, Cousens S, Adam T, Walker N, Bernis L. Evidence-
based, cost-effective interventions: how many newborn babies can we safe?.
Lancet 2005; 365: 977-88. [Tingkat Pembuktian IV]
3 WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development.
www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_
world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb]
4 Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal
mortality, Report of a meeting, Baltimore, Maryland, 1999; 3(1):6-12.
5 Andersen-Berry, AL. Neonatal Sepsis. Diunduh dari: www.emedicine.com. Last
updated August 18
th
2006. cited at December 13
th
2006. [Tingkat Pembuktian
IV]
6 Shattuck KE, Chonmaitree T. The changing spectrum of neonatal meningitis over
a fifteen-year period. Clin Pediatr 1992, 31:130-136.
7 Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J. The
epidemiology of severe sepsis in children in the United States. Am J Respir Care
Med 2003;167:695-701.
8 Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. Dalam: Update in
neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 32-
43. [Tingkat Pembuktian IV]
9 Modul Sepsis
10 Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No.
1202/MENKES/SK/VIII/2003. Dalam: Indikator Indonesia Sehat dan Pedoman
Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. 2003.
11 Magudumana MO, Ballot DE, Cooper PA, et al. Serial interleukin 6 measurement
in the early diagnosis of neonatal sepsis. J Trop Pediatr 2000; 46: 267-71.
12 Kuster H, Weiss M, Willeitner AE, et al. Interleukin-1 receptor antagonist and
interleukin-6 for early diagnosis of neonatal sepsis 2 days before clinical
manifestation. Lancet 1998;352:1271-1277.


76


13 Fisher CJ, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock with the tumour
necrosis factor: Fc fusion protein. N Engl J Med 1996; 334:1697702. [Tingkat
Pembuktian Ib]
14 Aminullah A, Rohsiswatmo R, Amir I, Situmeang E, Suradi R,: Etiology of Early
and Late Sepsis in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Preliminary Report).
Abstract 12
th
National Congress of Child Health and 11
th
Asean Pediatric
Federation Conference, Bali, 2002; p. 125.
15 Remington, Klein. Bacterial Sepsis and Meningitis. In: Infectious Diseases of the
Fetus and Newborn, Infant. 4
th
Edition. W. B. Saunders. 1995. h: 836-90.
16 Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Care
Med 2005; 6: S45-9.
17 Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn
infants. Available at: URL:
http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian
Ia]
18 Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33.
[Tingkat Pembuktian IV]
19 Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, OSullivan MJ, et
al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis:
A Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat
Pembuktian IIb]
20 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,
Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology.
Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6.
21 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,
Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology.
Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 147-150.
22 Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 2002;
31: 3-8.
23 Moodi N, Carr R. Promising stratagems for reducing the burden of neonatal sepsis.
Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 83:F150-F153.
24 Osrin D, Vergnano S, Costello A. Serious bacterial infections in newborn infants in
developing countries. Curr Opin Infect Dis 2004.17:217-224.


77


25 Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam: Update in neonatal
infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 17-31.
[Tingkat Pembuktian IV]
26 Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat. Pidato
pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI, 28 Januari 2004.
27 Bellig LL, Ohning BL. Neonatal sepsis. Diunduh dari:
http://www.emedicine.com/ped/topic2630.htm
28 D Kaufman et al. clinical microbiology of bacterial and fungal sepsis in vey-low-
birth-weight infants. Clin Microb Rev 2004, 641.
29 Goldstein B, Giroir B, Randolph A. Members of the International Consensus
Conference on Neonatal Sepsis. Definitions for Sepsis and Organ Dysfunction in
Pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
30 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis.
Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60.
31 Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs
2003;5:723.
32 Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the future.
Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future treatment. BMJ
2003;326:262-266.
33 Short MA. Linking The Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation and Suppressed
Fibrinolysis to Infants. Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73.
34 Gauser, Crit Care Med 2000.
35 Bone RC. A Continuing evolution in our understanding of the systemic
inflammatory response syndromes (SIRS) and the multiple organ dysfunction
syndromes (MODS). Ann Intern Med 1996; 125: 80-7.
36 Carrigan SD, Scott G, Tabrizian M. Toward resolving the challenges of sepsis
diagnosis. Clinical Chemistry 2004; 50:8:1301-14. [Tingkat Pembuktian IV]
37 Bernard GR. The pathophysiology and treatment of sepsis: a review of current
information CME. Diunduh dari : http://www.medscape.com/viewprogram/1890.
38 Bone RC. Pathogenesis of disseminated intravascular coagulation in sepsis.JAMA
1993;270:975-9.
39 Mathay MA. Severe sepsis: a new treatment with both anticoagulant and anti-
inflammatory properties. N Engl J Med 2001; 44:759-61.


78


40 Levi M. Current understanding of disseminated intravascular coagulation. Br J
Haem 2004;124:567-76.
41 Nystrom P.O. The systemic inflammatory response syndrome: definitions and
aetiology. J Antimicrob Chemother 1998; 41:Suppl A 1-7.
42 Gomella TL. Neonatal Sepsis. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG,
Zenk KE, penyunting. Neonatology management procedures on call problem
diseases drugs. Edisi ke-4. New York: Lange Medical Books/McGrawHill; 1999.
h.408-14.
43 Monintja HE. Infeksi sistemik pada neonatus. Dalam: Yu VY, Monintja HE,
penyunting. Beberapa Masalah Perawatan Intensif Neonatus. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h. 217-30.
44 Gotoff SP. Infections of the neonatal infant. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB
Saunders; 2000. h.538-52.
45 Mc Cracken GH. Bacterial and viral infections of the newborn. Dalam: Avery GB,
penyunting. Toronto: JB Lippincott Company; 1981. h.723-33.
46 Speck WT, Aronoff SC, Fanaroff AA. Neonatal infections. Dalam: Klaus MH,
Fanaroff AA, penyunting. Care of the high risk neonates. Edisi ke-3. Philadelphia:
WB Saunders; 1986. h.262-85.
47 Yancey MK, Duff P, Kubilis P, Clark P, Frentzen BH. Risk factors for neonatal
sepsis. Obst Gynecol 87:188-94. 1996.
48 Orlando Regional Health Care, Education & Development. Neonatal sepsis self-
learning packet 2002. Diunduh dari:
http://www.orhs.org/classes/nursing/sepsis02pdf.
49 Saez-Lorenz X, McCracken GH,Jr. Perinatal bacterial disease. Feigin RD, Cherry
JD eds. Textbook of Pediatrics Infectious Diseases. 1998: 892-926. WB Saunders
Philadelphia.
50 Pusponegoro TS. Sepsis pada neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatri 2000;
2:96-102.
51 Mahieu LM, Muynck AO, Dooy JJ, Laroche SM, Acker KJ. Prediction of
nosocomial sepsis in neonates by means of a computer-weighted bedside scoring
system (NOSEP Score). Crit Care Med 2000;28:2026-33.


79


52 Pong A, Bradley JS. Bacterial meningitis and the newborn infant. Infect Dis Clin
North Am. 1999; 13:711-33.
53 Isaacs D. Neonatal sepsis: the antibiotic crisis. Indian J Pediatr 2005; 42: 9-13.
[Tingkat Pembuktian IV]
54 Tantalen JA, Len RJ, Santos AA, Snchez E. Multiple organ dysfunction
syndrome in children. Pedatr Crit Care Med 4(2), 2003. [Tingkat Pembuktian
IIIa]
55 Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000.
56 Departemen Kesehatan RI UKK Perinatologi IDAI MNH-JHPIEGO. Buku
panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, perawat, bidan di
rumah sakit. Kosim MS, Surjono A, Setyowireni D, penyunting. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2004.
57 Vergnano S, Sharland M, Kazembe P, Mwansambo C, et al. Neonatal sepsis: an
international perspective. Archives of disease in childhood fetal and neonatal
edition 2005;90:F220-FF224. [Tingkat Pembuktian IV]
58 Kumar Y, Qunibi M, Neal TJ, Yoxall CW : Time to positivity of neonatal blood
cultures Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;85:F182-F186 ( November ).
59 Schelonka et al. Volume of blood needed to detect common neonatal pathogens.
J. Pediatr. 129: 275-8, 1996.
60 Kuschel C. National womens newborn services clinical guidelines. Antibiotics for
neonatal sepsis. August 2003. [Tingkat Pembuktian IV]
61 Rand KH, Tillan M. Errors in interpretation of Gramstains from positive blood
cultures. Am J Clin Pathol.2006;126(5): 686-690.
62 Ng PC. Diagnostic markers of infection in neonates. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed 2004; 89: F229-F235. doi: 10. 1136/adc.2002.023838.
63 Bauer KA, Weitz JI. Laboratory markers of coagulation and fibrinolysis. In: Colman
RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis: Basic
Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins
2001 p. 1113- 29.
64 Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF. Abnormalities of hemostasis in malignancy.
In: Colman RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and
thrombosis: Basic Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott
Williams & Wilkins 2001. p. 1132- 52.


80


65 Kolde HJ. Haemostasis: physiology, pathology, diagnostics. 2
nd
ed. Basel:
Pentapharm Ltd. 2004 p130.
66 Muller-Berghaus G, ten Cate H, Levi M. Disseminated intravascular coagulation:
clinical spectrum and established as well as new diagnostic approach. Thromb
Haemost 1999; 82(2): 706-12.
67 Wells PS, Hirsh J, Anderson DR, et al. Accuracy of clinical assessment of deep
vein thrombosis. Lancet 1995; 345: 1326.
68 Berger C, Uehlinger J, Ghelfi D et al. Comparison of C-reactive protein and white
cell count with differential in neonates at risk for septicaemia. Europ J Pediatr
1995; 154(2) : 138-144.
69 Kawamura M, Nishida H. The usefulness of serial C-reactive protein
measurements in managing neonatal infection. Acta Paediatr 1995; 84: 10-13.
70 Mustafa S, Farooqui S, Waheed S, Mahmood K. Evaluation of C-reactive protein
as early indicator of blood culture positivity in neonates.Pak J Med Sci
2005;21(1):69-73.
71 Weitkamp JH, Aschner JL. Diagnostic use of C-reactive protein (CRP) in
assessment of neonatal sepsis. Amer Acad Ped. 2005;6(11).
72 http://neoreviews.aappublications.org/sub-
journals/neoreviews/html/content/vol6/issue11/images/large/zni0110523810003.jp
eg
73 Kruger M, Nauck MS, Sang S, Hentschel R, Wieland H, Berner R. Cord blood level
of interleukin-6 and interleukin-8 for the immediate diagnosis of early-onset
infection in premature infants. Biol Neonate 2001; 80: 118-123.
74 Franz AR, Steinbach G, Kron M, Pohlandt F. Reduction of unnecessary antibiotic
therapy in newborn infants using interleukin-8 and C-reactive protein as markers of
bacterial infections. Pediatrics 1999; 104 (3): 447-453.
75 Yadav K, Wilson CG, Prasad PL, Menon PK. Polymerase chain reaction in rapid
diagnosis of neonatal sepsis. Indian pediatric 2005; 42: 681-5. [Tingkat
Pembuktian IIIa].
76 Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis
neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90.


81


77 Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Study of The usefulness of clinical and
hematologic findings in the diagnosis of neonatal bacterial infections. Clin Pediatr
1981; 95: 803-6.
78 Philip AG, Hewitt JR. Early diagnosis of neonatal sepsis. Pediatrics 1980; 65:1036-
41.
79 Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. Early diagnosis of neonatal sepsis.using a
hematologic scoring system. J Pediatr 1998; 112: 761-7.
80 Rahman S, Hmeed A, Roghani MT, Ullah Z. Multidrug resistent neonatal sepsis in
Peshawar, Pakistan. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002; 87: F52-4. [Tingkat
Pembuktian IIIa]
81 Gould IM. A review of the role antibiotics policies in control of antibiotic resistance.
J Antimicrob Chemother 1999; 43: 459-65.
82 Rohsiswatmo R. Multidrug resistant in a neonatal unit the therapeutic implications.
Paedtr Indones.
83 R Kee TK, Nachal N, Hong MS, Jazilah W, Zakaria SZS, Taib CHM. Rational
antibiotic utilization in selected pediatric condition. Sivatal S, penyunting. Diunduh
dari: http://www.acadmed.org.my/cpg/CPG-RAUP.nachal.pdf.
84 Deorari A. Neonatal Sepsis Update. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, Alam A,
penyunting. Proceedings book 13
th
National Congress of Child Health KONIKA
XIII, Bandung: Hasan Sadikin General Hospital, 2005.h.61-9.
85 Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Intrapartum antibiotics prophylaxis
increases the incidence of Gramnegative neonatal sepsis. Infect Dis Obstet
Gynecol 1999; 7: 210-3.
86 Garges HP, Alexander KA. Newer antibiotics: imipenem/cilastatin and meropenem.
Neo Rev 2003; 4: e364-8.
87

Isaacs D. Rationing antibiotics use in neonatal units. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed 2000; 82: F1-2.
88 Perez MM, Weisman LE. Novel Approaches to the prevention and therapy of
neonatal bacterial sepsis. Clin Perinatol 1997; 24: 213-29.
89 Weiss MD.;. Burchfield DJ. Adjunct therapies to bacterial sepsis in the neonate.
NBIN 2004; 4(1):46-50.
90 Carcillo JA . New developments in the management of newborn sepsis, shock and
multiple organ failure. Ital J Pediatr 2004; 30: 383-392. [Tingkat Pembuktian IV]


82


91 Boehme U, Sidiropoulos, Muralt GV, et al. Immunoglobulin supplementation in
prevention and treatment of neonatal sepsis. Pediatr Infect Dis J 1986; 5 : S193-
95.
92 Weisman LE, Stoll BJ, Kueser TJ, et al. Intravenous immune globulin therapy for
early onset sepsis in premature neonates. J Pediatr 1992; 121 : 431-43.
93 Ohlsson A, Lacy JB. Intravenous Immunoglobulin for Suspected or Subsequently
Proven Infection in Neonates. The Cohcrane Library 2000; issue 2.
94

Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBV. Intravenous Imunoglobulin
for treating Sepsis and Septic Shock. The Cochrane Library 2000; issue 2.
95

Jenson HB, Pollock BH. Meta-analyses of the effectiveness of intravenous immune
globulin for prtevention and treatment of neonatal sepsis. American Academic of
Pediatrics 1997; 99(2). [Tingkat Pembuktian Ia]
96 Acunas BA, Peakman M, Liossis G, et al. Effect of fresh frozen plasma and
gammaglobulin on humoral immunity in neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 1994;70:F182-F187.
97 Mathur NB, Singh A, Sharma VK, et al. Evaluation of risk factors for fatal neonatal
sepsis. Indian Pediatr 1996;33:817-822.
98 Mohan P, Brocklehurst P. Granulocyte transfusions for Neonates with confirmed or
suspected sepsis and neutropaenia (Cochrane Review). The Cochrane Library
2003; issue 4. [Tingkat Pembuktian Ia]
99

Miura E, Procianoy RS, Bittar C, Miura CS, Melo C, Miura MS. Assessing the
efficacy of the recombinant human granulocyte colony-stimulating factor in the
treatment of early neonatal sepsis in premature neonates. Journal de Pediatria
2000; 76(3): 193-9. [Tingkat Pembuktian Ib]
100 Murray JC, McClain KL, Wearden ME, et al. Using granulocyte colony-stimulating
factor for neutropenia during neonatal sepsis. Arch Pediatr Adolesc Med
1994;148:764-766.
101 Bedford Russel AR, Emmerson AJ, Wilkinson N. A trial of recombinant human
granulocyte colony stimulating factor for the treatment of very low birthweight infant
with presumed sepsis and neutropenia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;
84: F172-6.


83


102 Jones LL, Schwartz AL, Wilson DB. Blood component therapy for the neonate.
Dalam: Fanaroff AA, Martin RJ, penyunting. Neonatal-perinatal medicine: disease
of the fetus and infant. Edisi kelima. St.Louis: Mosby, Inc; 2002. h. 1239-47.
103 Pearson AH. The Rise and fall of exchange transfusion. Neo Rev 2003; 4: 169-
74e.
104 Olewnik AB. Exchange transfusion. Dalam: Spitzer AR, Penyunting Intensive Care
of The Fetus and Neonates. Edisi ke-2. St.Louis: Mosby,inc;1991.h.1192-4.
105 Murray NA, Roberts IAG. Neonatal transfusion practice. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2004; 89:F101-7.
106 Rohsiswatmo R. Indikasi transfusi tukar pada sepsis neonatorum. Dalam: Update
in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm
92-98. [Tingkat Pembuktian IV]
107 Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. Presentation at the Fifth
National Conference of Pediatric Infectious Diseases, Surat, Nov 29 to Dec 1,
2002 Available in : http//www. \Meta nalysis Prematurity and infection in newborns
-- Indian Academy of Pediatrics, Surat CME.htm
108 Haque K, Mohan P. Pentoxifylline for neonatal sepsis. Reviewed by Vogin GD.
Pediatr Infect Dis J. 2004; 23: 346-9. [Tingkat Pembuktian Ia]
109 Gitto E, Karbownik M, Reiter RJ, TanDX, Cuzzocrea S, Chiurazzi P, et al. Effects
of melatonin treatment in septic newborns. Pediatric Research 2001; 50: 756-60.
[Tingkat Pembuktian IIb]
110 Gerard C, Bruyns C, Marchant A, et al. Interleukin 10 reduces the release of tumor
necrosis factor and prevents lethality in experimental endotoxemia. J Exp
Med1993;177:54750.
111 Howard M, Muchamuel T, Andrade S, et al. Interleukin 10 protects mice from lethal
endotoxemia. J Exp Med 1993;177:12058.
112 Akib AAP. Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan sepsis. In: Update in
Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm
117-122. [Tingkat Pembuktian IV]
113 Keh D. Corticosteroid therapy in sepsis: where are we? Adv Sepsis 2006; 5(4):
138-40. [Tingkat Pembuktian IV]
114

Seri I, Tan R, Evans J, et al. Cardiovascular effects of hydrocortisone in preterm
infants with pressor-resistant hypotension. Pediatrics 2001;107:1070-1074.


84


115 Annane D, Sebille V, Charpentier C etal. Effect of treatment with low doses of
hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA
2002; 288: 862-71.
116 Hendarto A, Prawitasari T. Dukungan nutrisi pada sepsis neonatorum. In: Update
in Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm
111-6. [Tingkat Pembuktian IV]
117 Lancet Neonatal Survival Series, Series 2. Diunduh dari http://www.thelancet.com.
Maret. 2005.
118 Benitz WE, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial prevention of early-onset group b
streptococcal sepsis: estimates of risk reduction based on a critical literature
review. Pediatrics 1999; 103; 78. [Tingkat Pembuktian IIa]
119 Clark R. Power R, White R, bloom B, Sanchez P, Benjamin DK. Prevention and
treatment of nosocomial sepsis in the NICU. Journal of perinatology 2004; 24: 446-
53. [Tingkat Pembuktian Ia]
120 Craft AP, Finer NN, Barrington KJ. Vancomycin for Prophylaxis against sepsis in
preterm neonates: meta-analysis. The Cohcrane Lybrary, issue 1, 2000. [Tingkat
Pembuktian Ia]
121 Short MA. Guide to a systematic physical assessment in the infant with suspected
infection and/or sepsis. Adv Neonat Care 2004 ; 4(3):141-153.
122 Larson EL. APIC guideline for handwashing and hand antisepsis in healthcare
setting. AJIC AM J InfectControl 1995; 23: 251-69.
123 Furtado GHC, Santana SL, Coutinho AP, Perdiz LB, Wey SB, Medeiros EAS.
Compliance with handwashing at two intensive care units in Sao Paulo. Braz J
Infect Dis 2006; 10 (1).
124 Doebbeling BN, Stanley GL, Sheetz CT, Pfaller MA, Houston AK, Annis L, et al.
Comparative efficacy of alternative hand-washing agents in reducing nosocomial
infections in intensive care units. NEJM 1992 ; 327(2) :88-93.
125 Parienti JJ, Thibon P, Heller R, et al. Hand-rubbing with an aqueous alcoholic
solution vs traditional surgical hand-scrubbing and 30-day surgical site infection
rates: a randomized equivalence study. JAMA 2002 ; 288 : 722-7. [Tingkat
Pembuktian IIa]
126 Girou E, Loyeau S, Legrand P, et al. Efficacy of handrubbing with alcohol based
solution versus standard handwashing with alcohol based solution versus standard


85


handwashing with antiseptic soap: randomized clinical trial. BMJ 2002; 325 : 362-
5. [Tingkat Pembuktian IIa]
127 Sharek PJ, Benitz WE, Abel NA, Freeburn MJ, Mayer ML, Bergman DA. Effect of
an evidence-based hand washing policy on hand washing rates and false-positive
coagulase negative staphylococcus blood and cerebrospinal fluid culture rates in a
level iii nicu. Journal of Perinatology 2002 ; 22(2) : 137-43.
128 Gunawan C. Efficacy of ethyl alcohol glycerin 69% in neonatal ward Dr.Sutomo
Hospital. ISSN 0303-7932 . 2004 ; 40(3):121-31.
129 Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Update in neonatal infections. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Cetakan Pertama 2005.
130 Kaban RK. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. In: Update in
Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 49-
58. [Tingkat Pembuktian IV]
131 Lucia

P.R.

Pengaruh Pemberian Probiotik Terhadap Kadar Imunoglobulin A
Sekretori Feses Bayi Prematur [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2007.
132 AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics
2004;114:13411347.
133 Paterson RL,Webster NR. Sepsis and the systemic inflammatory response
syndrome. J.R.Coll.Surg.Edinb.2004:45:178-82.
134 Hotchkiss RS, Karl IE. Tha pathophysiology and treatment of sepsis. N Eng J Med
2003;384:138-50.

Anda mungkin juga menyukai