Anda di halaman 1dari 5

Mengelola Ketidaksempurnaan

Sabtu, 10 Maret 2012


Oleh Anis Matta


Apalagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan
Muhammad. Apa lagi yang tersisa dari kecantikan setelah habis oleh Sarah, istri
Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad saw? Apa lagi yang tersisa dari
kebajikan hati setelah ia direbut Utsman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari
kehalusan setelah ia direbut habis oleh Aisyah?

Kita hanya berbagi dari sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang direguk habis
oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta kita selalu
permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh dan sempurna
dalam diri kita. Pilhan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada lelaki ganteng
atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada lelaki shalih yang tidak
menawan atay perempuan yang shalihah yang tidak cantik. Pesona kita selalu
tunggal. Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam
waktu yang lama. Maka tentang pesona fisi itu Imam Ghazali mengatakan: Pilihlah
istri yang cantik agar kamu tidak bosan. Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah
saw bersabda, Tapi pilihlah calon istri yangt taat beragama niscaya kamu pasti
beruntung.

Persoalan kita dalam ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi
cinta Putri Diana dan Pangeran Charles. Dua setengah milyar menusia menyaksikan
pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis. Putrei yang pernah
menjadi trensetter kecantikan dunia dekade 80-an itu rasanya terlalu cantik untuk di
sia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap
sang pangeran saat itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana. Tapi tidak
ada yang secara objektif mau bertanya ketika itu. Kenapa akhirnya Charles lebih
memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan lebih tua,
ketimbang diana, gadis cantik berwajah boneka itu? Jawaban Charles mungkin
memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta, Karena saya lebih bisa berbicara dengan
Camila.

Kekuatan budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di
tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan. Begitu masa uji cinta
selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya yang
menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak gelombang
magnetik fisik berkurang atau hilang bersama waktu. Bukan karena kecantikan atau
ketampanan berkurang. Yang berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibatnya
sentuhan terus menerus yang mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang
magnetik tersebut.

Apa yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses
pembelajaran. Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih
baik dan sempurna dari waktu ke waktu. Fisik mungkin tidak bisa diubah. Tapi
pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih ditentukan oleh aura yang dibentuk dari
gabungan antara kepribadian bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketika
hal itu biasanya termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman tatapan mata serta
gerak refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak
perlu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.

Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pecinta pembelajar.
Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita
tampak matang. Dan kematangan itulah pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan
kita bertambah, kata Malik bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan
bercahaya.[]


*Buku Serial Cinta








Menilai Diri Sendiri
Kamis, 10 Februari 2011

Oleh: Anis Matta
Para pahlawan mukmin sejati selalu mengetahui kadar kepahlawanan dari setiap
perbuatan dan karyanya. Maka tidak bisa membesar-besarkan nilai perbuatan dan
karya mereka jika kadar kepahlawanan dalam perbuatan dan karyanya itu secara
objektif memang tidak ada atau sedikit. Demikian pula sebaliknya.

Mereka juga mengetahui letak sisi kepahlawanan mereka. Sebab, tidak ada orang
yang bisa menjadi pahlawan dalam segala hal. Maka, mereka menempatkan diri
pada sisi dimana mereka bisa menjadi pahlawan. Mereka tidak pernah memaksakan
kehendak dan juga tidak pernah melawan kodrat mereka. Mereka yang merasa
hanya bisa menjadi pahlawan dalam perang, tidak akan pernah memaksakan diri
menjadi pahlawan dalam ilmu pengetahuan.

Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dari sekian banyak keterampilan
jiwa yang harus dimiliki seorang pahlawan. Sebab, inilah saat-saat yang paling
menentukan sejarah kepahlawanan mereka, sekaligus menentukan jalan masuk
mereka kepada sejarah sebagai pahlawan.

Seni ini dimulai dari pengamatan yang mendalam tentang peta diri sendiri. Setelah
itu, berlanjut pada penemuan letak kepahlawanan mereka. Setiap ditahap ini, seni
itu belum terlalu rumit. Seni itu akan menjadi rumit menakala memasuki penilaian
tentang karya dan perbuatan mereka. Sebab, setiap manusia mempunyai
kecenderungan untuk membesarkan dirinya sendiri melampaui kadar yang
sebenarnya. Karenanya, letak kerumitan dari seni penilaian ini ada pada
pertarungan antara kecenderungan membesarkan diri sendiri dengan keharusan
bersikap objektif yang sudah menjadi sifat sejarah yang niscaya dalam menilai para
pahlawan. Inilah pertarungan antara megalomania dengan objektivitas. Simaklah
firman Allah tentang kecenderungan ini, Jangan sekali - kali kamu menyangka
bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang mereka kerjakan; janganlah
kamu menyangka bahwa mereka terlepas dan siksa, dan bagi mereka siksaan yang
pedih. (Ali Imran: 188).

para ilmuwan mengalami pertarungan ini, ketika menilai manakah dari karya-karya
mereka yang paling monumental dan dimanakah letak kedudukan karya-karya
ilmiah mereka itu dihadapan para ilmuan lain yang sejenis. Para sastrawan
mengalami pertarungan ini, ketika mereka menilai manakah karya-karya sastra
mereka yang paling abadi dan dimanakah letak kedudukan karya sastra itu diantara
karya-karya para sastrawan lainnya? Para pemimpin perang juga mengalami
pertarungan ini, ketika menilai manakah pertarungan yang dimenangkannya yang
paling monumental, dan dimanakah letak kehebatannya, jika dibanding kehebatan
para pemimpin perang lainnya dalam jenis perang yang mereka menangkan? Para
pemimpin politik dan dakwah juga mengalami pertarungan ini ketika mereka
menilai jejak-jejak kepemimpinan mereka tentang dimanakah letak kehebatannya
dan seperti apa nilai kehebatan itu dibanding jejak-jejak para pemimpin lain dalam
bidang politik dan dakwah?

Mempertahankan objektifitas di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa
yang paling rumit yang senantiasa akan dirasakan oleh para pahlawan. Cobalah
simak cara seorang khalifah dari Zaman Abbasiyah menilai dirinya, Saya tidak
akan pernah bangga pada prestasi yang saya capai, tapi sebenarnya tidak saya
rencanakan. Tapi saya juga tidak akan menyesali setiap kegagalan yang saya
alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum
melakukannya.



Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian
yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian fitrah maupun melalui latihan,
selalu mendapatkan pijakan kuat pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan
cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, serta
kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Semua itu adalah mata air yang
mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meski kondisi fisiknya tak
terlalu mendukungya, seperti jenis keberanian Ibnu Mas'ud dan Abu Bakar. Tapi menjadi
lebih berani dengan dukurigan fisik, seperti keberanian Umar, Ali, dan Khalid.

Tapi Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka
beruntunlah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang,
berkuda, dan memanah. Dengarlah sabda Rasulullah SAW, "Ajarilah anakmu berenang
sebelum menu lis. Karena ia bisa diganti orang lain jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak
dapat diganti orang lain jika tak mampu berenang." Dengar lagi sabdanya, "Kekuatan itu
pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah." Itu semua
sekelompok keterampilan fisik yang mendukung munculnya keberanian fitrah. Tinggal lagi
keberanian iman. Maka dengarlah nasehat Umar, "Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu,
karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani."

Kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinnasrin, Khalid bin
Walid berkata, "Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan
memanjat langit untuk membunuh kalian. Andaikata kalian berada di perut bumi, niscaya
kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian." Dan, roh keberanian itu memadai
untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk.

Anda mungkin juga menyukai