Apalagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan Muhammad. Apa lagi yang tersisa dari kecantikan setelah habis oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad saw? Apa lagi yang tersisa dari kebajikan hati setelah ia direbut Utsman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari kehalusan setelah ia direbut habis oleh Aisyah?
Kita hanya berbagi dari sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang direguk habis oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta kita selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh dan sempurna dalam diri kita. Pilhan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada lelaki shalih yang tidak menawan atay perempuan yang shalihah yang tidak cantik. Pesona kita selalu tunggal. Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam waktu yang lama. Maka tentang pesona fisi itu Imam Ghazali mengatakan: Pilihlah istri yang cantik agar kamu tidak bosan. Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah saw bersabda, Tapi pilihlah calon istri yangt taat beragama niscaya kamu pasti beruntung.
Persoalan kita dalam ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi cinta Putri Diana dan Pangeran Charles. Dua setengah milyar menusia menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis. Putrei yang pernah menjadi trensetter kecantikan dunia dekade 80-an itu rasanya terlalu cantik untuk di sia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana. Tapi tidak ada yang secara objektif mau bertanya ketika itu. Kenapa akhirnya Charles lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan lebih tua, ketimbang diana, gadis cantik berwajah boneka itu? Jawaban Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta, Karena saya lebih bisa berbicara dengan Camila.
Kekuatan budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan. Begitu masa uji cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak gelombang magnetik fisik berkurang atau hilang bersama waktu. Bukan karena kecantikan atau ketampanan berkurang. Yang berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibatnya sentuhan terus menerus yang mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang magnetik tersebut.
Apa yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran. Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu. Fisik mungkin tidak bisa diubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketika hal itu biasanya termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman tatapan mata serta gerak refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak perlu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.
Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pecinta pembelajar. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itulah pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah, kata Malik bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.[]
*Buku Serial Cinta
Menilai Diri Sendiri Kamis, 10 Februari 2011
Oleh: Anis Matta Para pahlawan mukmin sejati selalu mengetahui kadar kepahlawanan dari setiap perbuatan dan karyanya. Maka tidak bisa membesar-besarkan nilai perbuatan dan karya mereka jika kadar kepahlawanan dalam perbuatan dan karyanya itu secara objektif memang tidak ada atau sedikit. Demikian pula sebaliknya.
Mereka juga mengetahui letak sisi kepahlawanan mereka. Sebab, tidak ada orang yang bisa menjadi pahlawan dalam segala hal. Maka, mereka menempatkan diri pada sisi dimana mereka bisa menjadi pahlawan. Mereka tidak pernah memaksakan kehendak dan juga tidak pernah melawan kodrat mereka. Mereka yang merasa hanya bisa menjadi pahlawan dalam perang, tidak akan pernah memaksakan diri menjadi pahlawan dalam ilmu pengetahuan.
Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dari sekian banyak keterampilan jiwa yang harus dimiliki seorang pahlawan. Sebab, inilah saat-saat yang paling menentukan sejarah kepahlawanan mereka, sekaligus menentukan jalan masuk mereka kepada sejarah sebagai pahlawan.
Seni ini dimulai dari pengamatan yang mendalam tentang peta diri sendiri. Setelah itu, berlanjut pada penemuan letak kepahlawanan mereka. Setiap ditahap ini, seni itu belum terlalu rumit. Seni itu akan menjadi rumit menakala memasuki penilaian tentang karya dan perbuatan mereka. Sebab, setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk membesarkan dirinya sendiri melampaui kadar yang sebenarnya. Karenanya, letak kerumitan dari seni penilaian ini ada pada pertarungan antara kecenderungan membesarkan diri sendiri dengan keharusan bersikap objektif yang sudah menjadi sifat sejarah yang niscaya dalam menilai para pahlawan. Inilah pertarungan antara megalomania dengan objektivitas. Simaklah firman Allah tentang kecenderungan ini, Jangan sekali - kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dan siksa, dan bagi mereka siksaan yang pedih. (Ali Imran: 188).
para ilmuwan mengalami pertarungan ini, ketika menilai manakah dari karya-karya mereka yang paling monumental dan dimanakah letak kedudukan karya-karya ilmiah mereka itu dihadapan para ilmuan lain yang sejenis. Para sastrawan mengalami pertarungan ini, ketika mereka menilai manakah karya-karya sastra mereka yang paling abadi dan dimanakah letak kedudukan karya sastra itu diantara karya-karya para sastrawan lainnya? Para pemimpin perang juga mengalami pertarungan ini, ketika menilai manakah pertarungan yang dimenangkannya yang paling monumental, dan dimanakah letak kehebatannya, jika dibanding kehebatan para pemimpin perang lainnya dalam jenis perang yang mereka menangkan? Para pemimpin politik dan dakwah juga mengalami pertarungan ini ketika mereka menilai jejak-jejak kepemimpinan mereka tentang dimanakah letak kehebatannya dan seperti apa nilai kehebatan itu dibanding jejak-jejak para pemimpin lain dalam bidang politik dan dakwah?
Mempertahankan objektifitas di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa yang paling rumit yang senantiasa akan dirasakan oleh para pahlawan. Cobalah simak cara seorang khalifah dari Zaman Abbasiyah menilai dirinya, Saya tidak akan pernah bangga pada prestasi yang saya capai, tapi sebenarnya tidak saya rencanakan. Tapi saya juga tidak akan menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya.
Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian fitrah maupun melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan kuat pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, serta kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meski kondisi fisiknya tak terlalu mendukungya, seperti jenis keberanian Ibnu Mas'ud dan Abu Bakar. Tapi menjadi lebih berani dengan dukurigan fisik, seperti keberanian Umar, Ali, dan Khalid.
Tapi Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka beruntunlah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda, dan memanah. Dengarlah sabda Rasulullah SAW, "Ajarilah anakmu berenang sebelum menu lis. Karena ia bisa diganti orang lain jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika tak mampu berenang." Dengar lagi sabdanya, "Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah." Itu semua sekelompok keterampilan fisik yang mendukung munculnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keberanian iman. Maka dengarlah nasehat Umar, "Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani."
Kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinnasrin, Khalid bin Walid berkata, "Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian. Andaikata kalian berada di perut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian." Dan, roh keberanian itu memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk.