Disusun Oleh : Iis Solihat (F34110045) Bella Illona S (F34110048) Fauzan Alhakim (F34110051) M. Basyir Utomo (F34110055) Riska Kristina (F34110056) Imam Muharram A (F34110062)
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu lingkungan dalam pengelolaan pertanian, memberikan dampak pada upaya yang serius untuk memproduksi biopestisida hayati, sebagai pengganti pestisida kimia sintetik yang saat ini digunakan. Pemanfaatan mikrobia pengendali hayati hama serangga dapat digunakan sebagai cara yang tepat dan efektif untuk mengendalikan hama pertanian. Biopestisida merupakan pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Biopestisida yang saat ini banyak dipakai dan diperdagangkan secara luas adalah jenis bioinsektida yang berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai bioinsektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis- jenis lainnya. Salah satu mikroba patogen yang berpotensi sebagai insektisida biologi adalah Bacillus thuringiniensis. Bioinsektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap. Bioinsektida memliki beberapa keuntungan diantaranya dapat menjaga kesuburan tanah dan mempertahankan hidupnya dengan meningkatkan bahan organik tanah, serta tidak mencemari lingkungan. Oleh karena itu, Indonesia yang merupakan negara agraris, yang mayoritas matapencaharian penduduknya sebagai petani disarankan untuk menggunakan bioinsektisaida agar kesuburan tetap terjaga dan tidak mencemari lingkungan. Oleh karena itu, pada praktikum kali ini untuk mengetahui cara pembuatan bioinsektisida alami praktikum ini dilakukan.
1.2 Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui cara pembuatan bioinsektida menggunakan substrat padat dan substrat cair dengan mengamati beberapa parameter seperti kadar gula pereduksi, pH, VSC (Viable Spora Count), dan biomassa sel yang dihasilkan dengan perbedaan perlakuan waktu inkubasi untuk setiap kelompok.
2 METODOLOGI 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu otoklaf, Erlenmeyer, incubator goyang, kulkas, alat sentrifugasi, spektrofotmeter, pH meter, gelas piala, penangas air dan petri dish.
2.2 Metode 1. Pembuatan Media
Media Propagasi Formula media Diatur pH hingga 7 & disterilkan di otoklaf selama 15 menit Dicampurkan glukosa dan urea secara aseptis, diambil 50 ml sebelum diinokulasikan Diinokulasi dan diinkubasi pada suhu kamar, kemudian diamati selama 4 hari Media fermentasi Nutrient Broth Dimasukkan dalam Erlenmeyer dan disterilkan di otoklaf selama 15 menit Didinginkan & diinokulasikan 1 lup B. thuringiensis secara aseptis Diinkubasikan pada inkubasi goyang 150 rpm selama 12 jam 2. Pengambilan sampel dan pengamatan Pengamatan pH Larutan Nilai pH Dihitung pH dengan pHmeter Pengamatan OD 660nm
Larutan Nilai OD Dipanaskan dan dihitung dengan spektrofotometer Pengamatan Biomassa Kering
Endapan dipindahkan Dikeringkan pada suhu 70 o C Timbang sel kering Hitung biomassa Dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse (timbang) Disentrifuse dengan kecapatan 500 rpm selama 10 menit (filtrate dibuang) Diresupensi endapan sel dengan 10 ml aquades 50 ml sampel Biomassa kering
Viable Spore Count (VSC)
Diinkubasi selama 24 & 48 jam Diamati dan dihitung jumlah koloni yang terbentuk Direnjatan panas 70 0 C selam 15 menit Dilakukan pengenceran berseri Diinokulasikan 0.1 ml ke dalam agar steril pada petri dish 1 ml sampel Jumlah koloni Diinkubasi pada suhu ruang Dipanen pada jam ke 0, 24, 48, 72, & 96. Serta diamati VSC Dikeringkan dalam oven Dihaluskan dengan alat penumbuk Diatur pH dan media diratakan dalam Erlenmeyer & ditutup Diotoklaf 15 menit dan didinginkan Diinokulasikan dengan 10% media propagasi secara merata Onggok + limbah cair + kapur Produk kering bioinsektisida Produksi bioinsektisida dengan teknik kultivasi substrat padat
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil [terlampir] 3.2 Pembahasan Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat membunuh serangga, hama dan vektor pembawa penyakit. Insektisida mikrobial didefinisikan sebagai racun biologis yang dihasilkanoleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga(entomopatogen). Penggunaan bioinsektisida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak digunakan selama ini. Adapun keuntungan penggunaan bioinsektisida adalah tidak menimbulkan kekebalan terhadap serangga, cukup aman karena tidak meninggalkanresidu pada lingkungan dan cukup aman bagi manusia, binatang, tanaman serta serangga-serangga lainnya yang bukan merupakan serangga target.Penggunaan insektisida kimia jelas tidak menguntungkan, karena disamping harganya mahal, juga dapatmembahayakan jiwa manusia dan binatang yang justru bermanfaat bagi manusia. Selain itu, penggunaan insektisida kimia yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resistensi serangga vektor pembawa penyakit,dalam hal ini adalah serangga dan hama yang menyerang tanaman. Bahkan lebih dari 500 spesies serangga telah menjadi resisten terhadap semua jenis insektisida kimia. Bioinsektisida adalah jenis pestisida yang bahan aktifnya merupakan mikroorganisme seperti bakteri Bacillus thuringiensis, cendawan Beaveria sp, Metarrhizium sp, dan virus Spodotera lituranuclea polyhidrosis. Bioinsektisida merupakan bahan yang mengandung senyawa toksik yang berfungsi untuk membunuh atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkanoleh tumbuhan maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Sifatinsektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia dan lingkungan. Sampai saat ini telah banyak penelitian untuk memperoleh bioinsektisida yang ampuh dan ramah lingkungan, salah satunya bioinsektisida mikrobial yang diperoleh dari Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman karenamemiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) padaserangga hama. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida microbial (Behle et al. 1999). Mikroba yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida adalah Bacillus thuringiensis (B.t yaitu bakteri bersel vegetatif berbentuk batang, gram positif, bersifat aerob tapi umumnya anaerobfakultatif, ciri dari mikroba ini yaitu mempunyai flagela dan membentuk spora. Koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulatdengan tepian berkerut, memiliki diameter 5 10 milimeter, berwarna putih, elevasi timbul dan permukaan koloni kasa. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagiserangga. Spora yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval, berwarna hijau kebiruandan berukuran 1.0-1.3 mikrometer dan Bacillus thuringiensismembentuk kristal protein (-endotoksin) bersamaan dengan terbentuknya spora. Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya (Gill et al .1992). Berbagai isolat Bacillus thuringiensisdengan berbagai jenis kristal protein yangdikandungnya telah teridentifikasi setelah diketahui besarnya potensi dari protein kristal Bacillusthuringiensissebagai agen pengendali serangga. Sampai saat ini telah diidentifikasi kristal proteinyang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangandan hortikultura. Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyaitarget yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehinggatidak menumpuk dan mencemari lingkungan. Bacillus thuringiensis aizawai termasuk salah satu bakteri yang telah banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis aizawai sangat efektif mengendalikan larvaordo Lepidoptera dan Diptera,terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya (Lerecluset al. 1993). Salah satu hama ordo Lepidoptera yang banyak menyebabkan kerusakan pada pertanian adalah Croccidolomia pavonana, yang merupakan hama utama pada tanaman kubis yang juga menyerang tanaman Brassicaceae lainnya. Serangan C. Pavonana dapat menyebabkan kehilanganhasil kubis sebesar 65%. Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop kubistidak dikendalikan (Kementrian Pertanian RI 2010). Bacillus thuringiensis aizawai menghasilkan protein yang bersifat insektisida yaitu -endotoksin atau kristal protein yang akan berikatan dengan reseptor spesifik dalam sel larva Crocidolomia pavonana, sehingga terjadi lisis sel yang dapat menyebabkan kematian pada serangga target.Proses produksi bioinsektisida memerlukan suatu media sebagai tempat hidup bagi bakteri yang akan digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Media untuk memproduksi bioinsektisida terdiri dari dua bentuk yaitu media padat dan media cair. Pada proses produksi bioinsektisida ini digunakan media padat berupa onggok yang bergunasebagai sumber karbon karena pada onggok masih mengandung pati yang berkisar 60 70% beratkering onggok. Onggok sendiri merupakan limbah padat yang berasal dari proses pengolahan ubikayu menjadi tapioka. Onggok merupakan limbah utama hasil proses pengepresan (Abbaset al.dalam Winarno 1985). Onggok memiliki daya tahan yang relatif lama pada saat keadaan keringdibandingkan pada saat keadaan basah. Hal ini dikarenakan pada saat keadaan basah onggok mudahsekali ditumbuhi oleh kapang dan terjadi pembusukan. Pemanfaatan onggok masih terbatas dan umumnya digunakan sebagai makanan ternak (Damarjati 1985). Onggok juga dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi selulase, amilase, amiloglukosidase dan angkak (Jenie dan Fachda 1991).
Komponen (%) Tjiptadi (1982) Anonim (1984) Air 16,86 13,39 Abu 8,50 4,90 Serat Kasar 8,14 11,02 Lemak 0,25 0,15 Protein 6,42 0,58 Pati 62,97 68,79 Karbohidarat 71,11 79,81 Tabel 1. Komposisi Onggok
Berdasarkan fakta ini onggok tapioka dijadikan sebagai salah satu alternatif substrat untuk memproduksi bioinsektisida dengan teknologi sederhana namun memiliki sifat toksisitas yang baik terhadap hama.Onggok tapioka digunakan sebagai sumber karbon. Sedangkan media cair yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida ini adalah limbah tahu. Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu dapat menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungansekitar.Limbah cair tahu mengandung protein, glukosa dan komponen lainnya dengan kadar yangrelatif tinggi. Kandungan nutrisi tersebut menyebabkan limbah cair tahu mempunyai potensi sebagai media untuk memproduksi spora Bacillus thuringiensis. Mengingat bahwa limbah cair tahu umumnyadibuang ke sungai, maka pemanfaatan ini sekaligus akan memberikan manfaat dalam mengurangi pencemaran lingkungan.Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif untuk memacu pertumbuhan toksin Bacillus thuringiensis dengan harga yang lebih murah. Penggunaan media limbah cair tahu iniakan membuat biaya pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan mediasintesis lagi. Limbah cair tahu digunakan sebagai sumber nitrogen (Silvina et al. 2012). Biokontrol dari Bacillus thuringiensis merupakan biokontrol yang efektif untuk membunuh jentik nyamuk tetapimemiliki harga yang cukup mahal untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Substansi aktif dari Bacillus thuringiensis adalah spora yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis dibuat dengan menggunkan media yang relatif mahal oleh karena itu dalam praktikum ini digunakan media yangrelatif murah, salah satunya dengan menggunakan media limbah cair tahu. Adapun keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu yakni : 1. Bahan Media yang Murah.Saat ini biokontrol Bacillus thuringiensis dibuat dengan menumbuhkan strain Bacillusthuringiensis pada media sintetis yang biayanya relatif mahal. Sedangkan, jika produksiBacillus thuringiensis dengan menggunakan media Nutrient Broth (NB), yang dalam satu liternya mengandung 3 gr beef extract dan 5 gr tryptonemaka perincian biaya yang dihabiskan relative murah. Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif untuk memacu pertumbuhan toksin Bacillus thuringiensis yang lebih murah. Dengan menggunakan media limbah cair tahu ini biaya pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan media sintetis lagi. Sehinggadapat terjangkau oleh masyarakat. 2. Mengurangi Pencemaran Lingkungan PerairanPemerintah akhir-akhir ini sangat menekankan era "sadar lingkungan" dan mengharuskan semuaindustri membuat analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan SK Menteri KLH No.52 Tahun 1986 dan SK Menteri KLH No.29 Tahun 1986 serta SK Menteri KLH No.03 Tahun1991 Tentang Peraturan Pembuangan Limbah. Bagi industri baik yang sudah beroperasi maupunyang akan dibangun serta yang air limbahnya dibuang ke perairan harus memenuhi standar bakumutu limbah yang telah ditentukan. Berdasarkan data dari statistik yang ada industri pengolahantahu di Indonesia sebanyak 4.000 unit yang tersebar di Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya.Jika ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata air limbah cair tahu mengandung nutrien-nutrien(protein, karbohidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan pencemaran perairan. Selama ini limbah industri tahu dibuang begitusaja tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Limbah cair tahu ternyata bisa digunakan sebagai media pertumbuhan Bacillus thuringiensis yang bermanfaat sebagai bioinsektisida larva nyamuk. Dengan ditemukannya manfaat limbah cair tahu tersebut maka diharapkan nantinya limbah tersebut dapatdigunakan dan tidak lagi mencemari lingkungan sekitar. 3. Mudah untuk MendapatkannyaPertumbuhan industri tahu sebagai industri rumah tangga cukup banyak. Banyaknya industri pengolahan tahu tersebut menjadi cukup mudah untuk mendapatkan limbah buangannya. Sehinggadalam proses produksinya tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mencari bahan sebagai media pertumbuhan Bacillus thuringiensis. Proses produksi bioinsektisida dikenal dengan nama fermentasi. Fermentasi adalah suatu proses biokimia yang menghasilkan energi dimana komponen organiknya bertindak sebagai penerima elektron (Fardiaz 1988). Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan hidup mikroba.Sebaliknya fermentasi cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi dalam fasecair (Chalal 1985). Teknik kultivasi secara terendam dapat dilakukan dengan sistem tertutup pada fermentor.Pada umumnya, jenis fermentor yang digunakan adalah fermentor tangki berpengaduk karenamerupakan jenis fermentor yang paling sederhana. Fermentor ini digunakan untuk substrat yangmempunyai viskositas tinggi dan berbentuk koloid tanpa mengakibatkan penyumbatan, serta enzimterimobilisasi dengan aktivitas rendah (Machfud et al. 1989). Proses fermentasi terendam dapatdilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch process), fermentasi kontinyu, danfermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu atau semi kontinyu( fed batch process). Bernhard dan Utz (1993), menyatakan bahwa produksi bioinsektisida Bacillusthuringiensis pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup karena hasil akhir yangdiharapkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi. Menurut Dulmage(1990), faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi Bacillus thuringiensis adalah komposisimedia dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur. Selanjutnya adalah fermentasi dengan substrat padat. Fermentasi substrat padat berkaitandengan pertumbuhan mikroorganisme pada bahan padat dalam ketiadaan atau hampir ketiadaan air bebas. Tingkat lebih atas dari fermentasi substrat padat (yaitu sebelum air bebas tampak) merupakanfungsi penyerapan (absorbancy), dan dengan demikian kadar airnya pada gilirannya tergantung pada jenis substrat yang digunakan. Aktivitas biologis menurun bila kandungan air substrat sekitar 12% dan semakin mendekati nilai ini, aktivitas mikrobiologis semakin tertahan. Fermentasi substrat padattidak memperhatikan fermentasislurry (yaitu cairan dengan kandungan zat padat taklarut yang tinggi) ataupun fermentasi substrat padat dalam media cair. Substrat yang paling banyak digunakan dalam fermentasi substrat padat adalah biji-bijian serealia, kacang-kacangan, sekam gandum, bahan yangmengandung linoselulosa (seperti kayu dan jerami), dan berbagai bahan lain yang berasal daritanaman dan hewan. Senyawaan tersebut selalu berupa molekul primer, tak larut atau sedikit larutdalam air, tetapi murah, mudah diperoleh dan merupakan sumber hara yang tinggi (Prawira 2007). Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi cair lebih disukai karena menjagakesterilan kultur serta proses pemanenan dan pengaturan parameter proses produksi atau fermentasiyang lebih sederhana dan dapat menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Selain itu, produk hasilfermentasi cair dapat langsung digunakan dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulitdisuspensikan karena ada kecenderungan menggumpal. Akan tetapi penggunaan media cair ini relatif lebih mahal. Sedangkan untuk media padat memiliki kelebihan harga lebih murah dan bahan lebihmudah didapatkan. Namun penggunaan media padat menghasilkan rendemen produk yang lebihrendah, dan lebih sulit dalam memisahkan hasilnya. Faktor faktor yang mempengaruhi kultivasi dari Bacillus thuringiensis sangat beragam.Berikut ini akan dijelaskan faktor faktor yang mempengaruhinya. Pada komposisi media merupakanfaktor yang sangat mempengaruhi kultivasi Bacillus thuringiensis selain kondisi pertumbuhan seperti pH, oksigen, dan temperatur (Dulmage dan Rhodes 1971). Sikdar et al.(1993), mengatakan bahwa Fe, Mn dan Cu diperlukan untuk memproduksi toksin sedangkan Mn diketahui dapat menghambat produksi -endotoksin. Penambahan CaCO3 dalammedia berfungsi sebagai sumber kalsium, bahan penetral media, pertumbuhan sel, pembentukan protein dinding sel dan produksi endotoksin (Moo- Younget al.1985). Penambahan urea padakultivasi cair dan limbah cair tahu pada kultivasi padat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen Bacillus thuringiensis. Kemudian, Faktor yang mempengaruhi proses produksi bioinsektisida adalah komposisimedium dan kondisi pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan suhu (Dulmage dan Rhodes1971). Kondisi kultivasi Bacillus thuringiensis yang optimal dilakukan pada suhu 28 32oC, pH awal medium diatur sekitar 6.8 7, agitasi 142 340 rpm dan dipanen pada waktu inkubasi 24 48 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Mummigatti dan Raghunathan 1990). Bacillus thuringiensis tumbuh optimum pada pH 6.5 7.5 (Bernhard dan Utz 1993). Perkembangan produksi bioinsektisida di Indonesia belum berkembang pesat karena biayainvestasi awal yang tidak murah dengan tingkat pengembalian modal yangcukup lama, meskipun harga jual bioinsektisida dua hingga tiga kali lebih tinggi jika dibandingkandengan insektisida kimia. Bioinsektisida yang beredar di Indonesia diimpor dari industri-industri penghasil bioinsektisida di Amerika Serikat dan negara- negara lain di Eropa Produksi bioinsektisidadi Indonesia saat ini hanya sebatas industri kecil dan rumahan (Hilwanet al 2006).Kendala utama dalam memproduksi bioinsektisida adalah bahan baku fermentasi yang masihimpor. Pada umumnya, fermentasi Bacillus thuringiensis menggunakan dekstrosa karena dekstrosakaya akan sumber karbon. Solusinya yaitu dari dekstrosa dapat digunakan bahan-bahan yang memilikikadar pati yang cukup tinggi, misalkan pati singkong. Berbagai isolat Bacillus thuringiensis dengan berbagai jenis kristal protein yang dikandungnya telah teridentifikasi setelah diketahui besarnya potensi dari protein kristal Bacillus thuringiensis sebagai agen pengendali serangga. Sampai saat ini telah diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari lingkungan. Faktor faktor yang mempengaruhi kultivasi dari Bacillus thuringiensis sangat beragam. Berikut ini akan dijelaskan faktor faktor yang mempengaruhinya. Pada komposisi media merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kultivasi Bacillus thuringiensis selain kondisi pertumbuhan seperti pH, oksigen, dan temperatur (Dulmage dan Rhodes 1971). Glukosa dan onggok tapioka digunakan untuk sintesis sel baru atau produksi sel karena merupakan sumber karbon. Konsentrasi sumber karbon yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pH media turun menjadi 5.6 5.8. Kondisi ini dapat menghambat atau menghentikan pertumbuhan Bacillus thuringiensis demikian pula halnya dengan konsentrasi glukosa yang terlalu rendah (Vandekar dan Dulmage 1982). Pada proses produksi bioinsektisida dengan kultivasi cair dilakukan penambahan lima ion logam yaitu, Mg ++ , Mn ++ , Fe ++, Zn ++ , dan Ca ++ melalui penambahan 0.3 g/L MgSO 4 .7H 2 O, 0.02 g/L FeSO 4 .7H 2 O, 0.02 g/L ZnSO 4 .7H 2 O, 0.02 g/L MnSO 4 .7H 2 O, dan 1 g/L CaCO 3 . Penambahan ion ini dapat memperbaiki pertumbuhan Bacillus thuringiensis. Penambahan ion ini tidak akan membahayakan kultivasi karena konsentrasi yang digunakan cukup rendah (Dulmage dan Rhodes 1981). UnsurC, O, N, H, P dan S menyusun 96% dari berat kering sel dan unsur-unsur mikro seperti K, Ca, Cl, Fe, Mn, Co, Cu, Zn dan Mo diperlukan oleh hampir semua mikroorganisme (Fardiaz 1998). Sikdar et al. (1993), mengatakan bahwa Fe, Mn dan Cu diperlukan untuk memproduksi toksin sedangkan Mn diketahui dapat menghambat produksi -endotoksin. Penambahan CaCO3 dalam media berfungsi sebagai sumber kalsium, bahan penetral media, pertumbuhan sel, pembentukan protein dinding sel dan produksi endotoksin (Moo-Young et al. 1985). Penambahan urea pada kultivasi cair dan limbah cair tahu pada kultivasi padat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen Bacillus thuringiensis. Kemudian, faktor yang mempengaruhi proses produksi bioinsektisida adalah komposisi medium dan kondisi pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan suhu (Dulmage dan Rhodes 1971). Kondisi kultivasi Bacillus thuringiensis yang optimal dilakukan pada suhu 28 32 o C, pH awal medium diatur sekitar 6.8 7, agitasi 142 340 rpm dan dipanen pada waktu inkubasi 24 48 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Mummigatti dan Raghunathan 1990). Bacillus thuringiensis tumbuh optimum pada pH 6.5 7.5 (Bernhard dan Utz 1993). Dalam praktikum ini dilakukan perhitungan biomassa sel yang dipisahkan dari cairan fermentasi menggunakan sentrifugasi karena ukuran bakteri yang digunakan sangat kecil yaitu bakteri Bacillus thuringiensis aizawai pada substrat cair. Berdasarkan hasil praktikum kelompok 1 dengan tanpa inkubasi (0 hari) tidak ada biomassa yang dihasilkan. Kelompok 2 dengan waktu inkubasi 1 hari memperoleh biomassa 68 g/l. Kelompok 3 dengan waktu inkubasi 2 hari memperoleh biomassa sebanyak 49.5 g/l. Kelompok 4 dengan waktu inkubasi 3 hari memeproleh biomassa sebanyak 21 g/l. Kelompok 5 dengan waktu inkubasi 4 hari memperoleh biomassa sebanyak 9.5 g/l. Biomassa tertinggi diperoleh pada waktu inkubasi 1 hari oleh kelompok 1. Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Sikdar (1993), bahwa waktu pertumbuhan sel maksimum terjadi pada inkubasi 24-48 jam sehingga biomassa sel yang dihasilkan semakin banyak. Biomassa sel juga dipengaruhi oleh konsentrasi gula. Konsentrasi yang terlalu rendah, menurut Dulmage (1982), akan dapat menghentikan pertumbuhan B.t dengan segera, sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena dapat memperlambat proses sporulasi yang menyebabkan proses inkubasi yang diperlukan lebih lama. Menurut Marshall (2007), hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk tersebut dalam metabolisme sel. Pertumbuhan sel Bacillus thuringiensis azawai dapat dicirikan dengan waktu yang digunakan untuk menggandakan jumlah atau massa sel dan konversi substrat menjadi biomassa, kinetika pertumbuhan sel Bacillus thuringiensis azawai maksimum dicapai pada inkubasi 24-48 jam. Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian VSC atau viable spore count terhadap kultivasi padat maupun kultivasi cair. VSC ini sendiri adalah metode untuk menghitung viabilitas dari sampel, yaitu jumlah spora yang dihasilkan oleh kultivasi itu sendiri. VSC ini dilakukan dengan cara memanaskan sampel sel hidup pada suhu 70o C selama 15 menit untuk membunuh sel hidup, dan kemudian sampel tersebut diuji total kandungan sporanya. Spora sendiri dapat bertahan pada suhu tinggi sehingga dapat dihitung jumlahnya berdasarkan jumlah koloni sel Bacillus thuringensis yang terbentuk pada total plate count. (Sumarsih 2003). Data yang didapatkan pada praktikum kali ini untuk kultivasi cair kelompok 1 (jam ke-0), tidak ada spora yang terbentuk. Hal ini sudah jelas karena pada jam ke-0 fermentasi belum ada bakteri yang menghasilkan spora. Untuk jam ke-24, koloni yang terbentuk pada pengenceran 10-5 adalah 103 koloni, dan TBUD (terlalu banyak untuk dihitung) pada pengenceran 10-6 dan 10-7. Untuk jam ke-48 terapat 218 koloni pada tingkat pengenceran 10-5, TBUD pada 10-6, dan 294 koloni pada 10-7. Untuk jam ke-72 terdeteksi 257 koloni pada 10-6, dan TBUD pada 10-5 dan 10-7. Terakhir untuk kultivasi cair pada fermentasi sampel jam ke-96, koloni yang terdeteksi adalah TBUD pada 10-5 dan 10-6, dan 140 koloni pada 10-7. Untuk kultivasi padat, jam pengamatan ke-0 terdapat 10 koloni pada 10-5, 48 koloni pada 10-6, dan 255 koloni pada 10-7. Untuk jam ke-24, 10-5 137 koloni, 10-6 dan 10-7 TBUD. Jam ke-48 memiliki 100 koloni pada 10-5, dan TBUD pada10-6 dan 10-7. Jam ke-72 semua tingkat pengenceran TBUD. Sedangkan untuk jam ke-96, TBUD untuk 10- 5 dan 10-6,serta 117 koloni pada 10-7. Hasil yang didapatkan pada praktikum kali ini sebenarnya tidak sesuai dengan literatur, salah satunya hasil penelitian Fardedi pada 2007. Bila proses fermentasi dan isolasi spora berhasil, seharusnya koloni yang terdeteksi pada tingkat pengenceran 10-5 hingga 10-7 tidak terdeteksi sebagai TBUD. Hasil praktikum yang tidak sesuai literatur disebabkan proses isolasi spora yang tidak berhasil, yaitu proses pemanasan sampel sebelum pengenceran yang gagal dilakukan sehingga pada saat penghitungan koloni masih banyak sel vegetatif yang berkembang menjadi koloni dan menyebabkan hasil TBUD. Selain dilakukan pengujian VSC atau viable spore count, juga dilakukan pengujian pH pada substrat padat maupun cair. Perhitungan pH yang diperoleh oleh kelompok 1 sampai kelompok 5 berturut turut pada substrat cair adalah 8,9 ; 8,2 ; 8,2 ; 7,6 ; dan 8,2. Hal ini menunjukkan bahwa pH pada kondisi antara netral dan basa. Sedangkan pada substrat padat sebagai media pertumbuhannya, kelompok 1 sampai kelompok 5 memperoleh nilai pH berturut-turut sebesar 6 ; 7 ; 7 ; 7 ; dan 7. Terjadi peningkatan pH dari 6 ke 7. Berdasarkan literatur, penurunan pH disebabkan adanya akumulasi asam-asam seperti asam laktat, asam piruvat, asam asetat, dan asetoin. Kemudian pH mengalami peningkatan kembali selama fermentasi disebabkan oleh pemanfaatan kembali asam asetat yang terakumulasi dalam medium untuk memproduksi poli-betha-hidroksibutirat (PHB). Kenaikan pH juga dapat disebabkan adanya akumulasi bahan-bahan alkali hasil metabolism urea.
4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Bioinsektisida adalah produk yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat membunuh serangga, hama dan vektor pembawa penyakit. Keuntungan penggunaan bioinsektisida adalah tidak menimbulkan kekebalan terhadap serangga, cukup aman karena tidak meninggalkanresidu pada lingkungan dan cukup aman bagi manusia, binatang, tanaman serta serangga-serangga lainnya yang bukan merupakan serangga target. Mikroorganisme yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida yaitu Bacillus thuriengensis. Bahan yang digunakan dalam pembuatan media nutrisi mikroba ini yaitu limbah cair tahu dan onggok. Keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu yaitu bahan media mudah didapatkan, dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan relative murah.Onggok tapioka yang digunakan sebagai bahan baku media substrat padat digunakan mikroba sebagai sumber karbon. Sedangkan, limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi dan digunakan sebagai sumber nitrogen. Pengamatan yang dilakukan pada praktikum kali ini yaitu pH, biomassa dan Viable Spore Count (VSC). Hasil yang didapat dari biomassa yaitu Biomassa tertinggi diperoleh pada waktu inkubasi satu hari oleh kelompok 1, hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan waktu pertumbuhan sel maksimum terjadi pada inkubasi 24-48 jam sehingga biomassa sel yang dihasilkan semakin banyak. Sedangkan, hasilViable Spore Count (VSC)yang didapat dari praktikum dan pengamatan tidak sesuai dengan yang terdapat di dalam literatur yang adahal ini disebabkan proses isolasi spora yang tidak berhasil, yaitu proses pemanasan sampel sebelum pengenceran yang gagal dilakukan sehingga pada saat penghitungan koloni masih banyak sel vegetatif yang berkembang menjadi koloni dan menyebabkan hasil TBUD. Untuk pengujian pH, diperoleh nilai yang semakin menurun pada subsrat cair dan nilai pH yang meningkat pada substrat padat. Penurunan pH disebabkan adanya akumulasi asam-asam seperti asam laktat, asam piruvat, asam asetat, dan asetoin. Sedangkan kenaikan pH dapat disebabkan adanya akumulasi bahan-bahan alkali hasil metabolism urea.
4.2 Saran Kegiatan pada praktikum ini kurang efektif sehingga kesalahan dari hasil yang didapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, S., Halim dan S. T. Amidarmo. 1985. Limbah Tanaman Ubi kayu. Di dalam F.G Winarno (editor). Monografi Limbah Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta. Behle, et all. 1999. Makalah Formulations Forum 99. Formulating Bionsecticides To Improve Residual Activity. University Peoria. Illinois. Benoit, L., G. R. Wilson and C. L. Baugh. 1990. Fermentation during growth and sporulation ofBacillus thuringiensis HD-1. Lett. Appl. Microbial. Vol 10. Bernhard, K. dan R. Utz. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticide for Experimental and Commercial Uses. Di dalam P. F. Enwistle, J. S. Cory, M. J. Bailey dan S. Higgs (editor). Bacillus thuringiensis, An Enviromental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Son, Chichester : 255-266. Chalal, D.S. 1985. Solid State Fermentation with Trichoderma ressei. Application Environment. Microbiology 49(1):205-210. Damardjati, D. S. 1985. Strategi Penelitian Limbah Ubi Kayu di Indonesia. Di dalam F. G. Winarno (ed). Monografi Limbah Pertanian. Kantor Mentri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta. Darwis AA, Khaswar S, Ummi S.2012.Kajian Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp israelensis Pada Media Tapioka.Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 14(1) hal 1-5. Departemen Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Dulmage, H. T. And Rhodes, R.A. 1971. Production of Pathogens in Artificial Media, pp.507-540 In : Burges, H.D. (ed). Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970-1980. New York : Acad press. Dulmage, H. T. 1981. Insecticidal activity of isolates of Bacillus thuringiensis and their potential for pest control In H.D Burges (ed). Microbial Control of Pest and Plant Diseases. New York : Acad press. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Fardiaz, S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Bogor : PAU IPB. Putrina F & Fardedi. 2007. Pemanfaatan Air kelapa dan Air Rendaman Kedelai Sebagai Media Perbanyakan Bakteri Bacillus thuriengensis Barliner. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. Politeknik Pertanian Negeri. Gill, S. S., E. A. Cowles, dan P. V, Pietrantonio. 1992. The Mode of Action of Bacillus thuringiensis. Endotoxin. Annu, Rev. Entomol. 37 : 615 636. Hilwan MR, Khaswar S, dan Rini P.2006. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi XII Tahun Anggaran 2006 : Kajian Produksi Bionsektisida Oleh Bacillus thuringiensis var.israelensis Untuk Pencegahan Wabah Demam Berdarah.IPB : Bogor. Jenie, B.S. L. dan Fachda. 1991. Pemanfatan Onggok dan Dedak Padi Untuk Produksi Pigmen Angkak Oleh Monescus purpureus. Pertemuan Ilmiah Tahunan. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Bogor Lereclus D, A Delecluse, MM Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis toxins and genes. Bacillus thuringiensis, an environmental biopesticides:theory and practices. John Willey and Sons. Marshall. 2007. Pesticide. US.Patent No. 7,179,455 B2,Feb.20,2007. Moo-young, M. 1985. Comprehensive Biotechnology. Di dalam A. T Bull and H. Dalton (eds). Pergamin Press. Oxford. Machfud et al. 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut pertanian Bogor. Moo-young, M. 1985. Comprehensive Biotechnology. Di dalam A. T Bull and H. Dalton (eds). Pergamin Press. Oxford. Mummigatti, S. G. and Raghumanathan. 1990. Influence of media composition on the production of deltaendotoksin by Bacillus thuringiensis var Israelensis J. Invertebr. Pathol. Vol 55. Prawira, Y. 2012. Fermentasi Substrat Padat. http://www.yprawira.com [28 April 2013] Sikdar, D. D, M. K. Majumbar and S. K. Majumbar. 1993. Optimization of process for production of -endotoksin by Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis in a five litre fermentor. Biochemical archives. Vol 9.
Silvina, Det al.2012.Pemanfaatan Limbah Cair Industri Pengolahan Tahu Untuk Memproduksi Spora Bacillus thuringiensisSerovar IsraelensisDan Aplikasinya Sebagai Biokontrol Larva Nyamuk (karya tulis PKM). Universitas Udayana, Denpasar. Sumarsih S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Yogyakarta: Fakultas Pertanian UPN. Vendekar, M and H. T. Dulmage. 1982. Guidelines for Production Bacillus thuringiensis H-14. Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases. Geneva, Switzerland.