Anda di halaman 1dari 3

Museum Tsunami, Surat dari Rakyat ke

Rakyat
Oleh Herman RN

Aku rakyat biasa yang dilahirkan di Tanoh Aceh. Hari ini,


kusematkan tinta di kertas yang mungkin belum berubah warna, lalu
menjadikannya sepucuk surat yang tertuju kepada rakyat pula.

Mengapa aku harus mengirim surat kepada rakyat yang tak


biasanya dilakukan orang? Bukankah seharusnya surat ini tetuju
kepada penguasa atau pejabat? Keniscayaanlah yang membuat
warkah ini usai. Bukan karena kutakberani menyurati penguasa atau
pejabat—karena telah pernah itu kuperbuat—tetapi memang ingin
sekali kuberbagi kesah dengan rakyat, yang aku sendiri dari
golongan melarat. Bukan, bukan karena kemelaratan membuat aku
menulis surat, tetapi ini hanya sekelumit pekat yang laun-lamat
mungkin tak perlu diingat oleh musabab kita memang dimungkinkan
sudah lupa ingat setelah berlalu gelumbang pekat.

Ya, usai gelumbang dahsyat, banyak hal yang membuat rakyat jua
pejabat lupa ingat bahwa segala kebangkitan di tanah ini bermula
dari rakyat, baik yang selamat maupun yang terjerambab dalam
amuk ie peukat. Kemudian dari yang selamat mengirim surat ke
pusat dan luar pusat hingga dibalas sumbangan ‘demi rakyat’.
Rumah-rumah melebat, gedung dijadikan bertingkat, mobil kembali
mengkilat, lembaran dolar yang jadi rupiah tambah berlipat, jalan-
jalan ditambat, semua disedekahkan untuk rakyat sehingga
sebagian masyarakat menyebutnya itu “uang takziah” dari dalam
dan luar daerah.

Lalu, di tepi sebuah limbah menuju pelabuhan Ulee Lheu megah


dibangun sebuah rumah, putih warnanya, menamsilkan bersih
perangai pembuat dan kelak juga penghuninya. Rumah yang
dibangun dengan dana miliaran rupiah itu terlebih dahulu
dilombakan desainnya. Lantas “Rumoh Aceh Escape Building”
tersebut disebut-sebut sebagai museum stunami, yang kelak akan
menyimpan segala ingat tentang segenap kejadian pasca-laut pekat.
Katanya, ruang itu akan menjadi catatan sejarah dan pusat
penelitian sekaligus simbol kejadian bahwa laut pernah menjilat
darat.

Wahai rakyat, kini usai sudah panteue tsunami itu didirikan. Pun
serah-terima dan peresmian juga telah dilakukan 23 Februari silam.
Sayangnya, rakyat biasa yang hendak melihat-lihat ke dalam
dilarang, dengan alasan pengelolaan. Di lain sisi, tak ada isi sama
sekali di dalamnya. Para pihak yang disebut-sebut punya hak dan
tanggung jawab pun mulai saling ‘lempar handuk’ dalam hal
pengelolaan. Si induk semang “rumah aib” (baca: BRR) berlantang
pukang bahwa ia sebatas mendirikan, sedang pengelolaan,
pemerintah daerah jadi patokan, dalam hal ini diserahkan kepada
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tukang
omong (jubir) BRR mengatakan bahwa kunci panteue tsunami itu
sudah diserahkan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi
negeri ini. Kelihatan jelas bahwa ini bagian dari melepas kepiawaian.
Sedang dalamnya penuh sampah berserakan, kunci malah
dilemparkan.

Wahai rakyat, bagaimana seterusnya panteue yang dibangun dari


uang rakyat dengan kontrak awal sebesar Rp60.417.000.000 serta
nilai kontrak addendum Rp66.445.000.000 dan biaya konsultan
manajemen konstruksi senilai Rp1.387.000.000 dari DIPA 2008 itu
setelah di tangan pemerintah daerah? “Kemungkinan
pengelolaannya akan diserahkan kepada Pemerintah Kota Banda
Aceh,” kata salah seorang kepala bidang di Dinas Pariwisata Provinsi
(Serambi Indonesia, 9 April 2009).
Dengarlah rakyat, demikianlah jika uang rakyat digunakan untuk
kepentingan pejabat dengan tanpa melibat rakyat. Semua bisa
diperlambat. Apalagi, stok uang rakyat sudah habis mandat. Kelola
panteu akhirnya lempar sana-lempar sini. Padahal, tatkala panteue
bertingkat empat itu hendak didirikan, dalam sebuah pengumuman
sayembara diutarakan, sekurang-kurangnya ia akan diisi dengan
Entrance Hall, Ruang Pamer Tetap (material, miniatur, foto, dll.),
Ruang Pamer Temporer (material, miniatur, foto, pertunjukan dll.),
Kantor Administrasi, Perpustakaan, Ruang Simpan, Ruang Seminar,
Ruang Audiovisual (diorama, simulasi, dan film), Ruang
Pembelajaran dan Pojok Tukar Pengalaman, Ruang Konferensi,
Ruang Kontrol, Ruang Reparasi, Musalla, Restoran, Penjualan
Souvenir, Kamar Mandi/Toilet dan Ganti, Ruang makanikal, dan
Elektrikal. Mungkin karena kata “ruang-ruang” tersebutlah, panteue
tersebut benar-benar hanya berupa ruang—kosong melompong
tanpa sibiji lukisan jua.
Wahai rakyat, ini surat mesti kupersingkat walau belum habis kata di
ujung sekat, karena ruang ini memang secukup tambat sekedar
melepas niat. Maka itu, sebelum kuusaii kalimat, mari sekali lagi
meninjau sesaat bahwa bangkai kucing mati di kolam tepi jalan
masuk ke panteue tersebut mungkin belum dicampak. Setelah itu,
barulah kita kembali menulis surat, mungkin dengan tujuan kepada
para pejabat, baik yang dulu menjabat maupun yang akan
berpangkat, bahwa panteue bertingkat dibangun dengan uang
rakyat, uang para pelayat, bukan uang pejabat. Kalau hanya dibiar
untuk bermegah yang lalu akan menjadi onggokan besi berkarat,
lebih baik lokasi yang bersebelahan dengan kerkhoff itu dijadikan
tempat menyimpan mayat, kalau bukan rakyat, mungkin pejabat.
Karena terlalu mahal sudah tanah kuburan selama ada pelebaran
jalan. Demikian rakyat, surat tak berkepala ini yang dirangkai oleh
seorang rakyat.
Penulis adalah rakyat, sisa amuk laut pekat

Anda mungkin juga menyukai