Bagi para Perokok

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

Bagi para perokok, secangkir kopi panas biasanya belum cukup menghangatkan tubuh di

daerah ketinggian yang berhawa dingin. Rasa menggigil seolah baru benar-benar sirna ketika
merokok. Namun, sugesti itu mentah di kalangan warga Desa Bone-Bone, Kecamatan
Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang berlokasi di kaki Gunung Latimojong,
1.500 meter dari permukaan laut.
Suasana antirokok begitu terasa saat memasuki desa yang berpenduduk 801 jiwa tersebut.
Tanda larangan merokok langsung terpampang pada baliho besar tepat di gerbang masuk
Desa Bone-Bone, sekitar 300 kilometer sebelah utara Kota Makassar. Sejumlah papan berisi
larangan merokok dan imbauan untuk menjaga kesehatan juga menghiasi sudut-sudut desa
seluas sekitar 800 hektar itu.
Welly P (67), warga Dusun Buntu Billa, sudah 10 tahun terakhir tidak lagi merokok.
Kebiasaan itu ia tinggalkan seiring diberlakukannya larangan merokok di Desa Bone-Bone
tahun 2000. Meskipun awalnya tersiksa karena mengaku sulit berkonsentrasi, lambat laun
Welly mulai menuai manfaat berhenti merokok.
Kakek dari empat orang cucu itu tak lagi ngos-ngosan ketika harus berjalan kaki menuju
kebun kopi yang terletak sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya. Jalan terjal dan berbatu mampu
dilalui Welly tanpa harus mengaso sejenak. Sama halnya ketika ia pulang dengan memanggul
40-50 kilogram (kg) biji kopi yang dipetiknya dari kebun seluas 1 hektar peninggalan kedua
orangtuanya.
Kondisi tersebut kontras dengan yang dialami Welly saat masih menghabiskan tiga bungkus
rokok sehari. Kala itu, suami dari Hanaki (47) ini harus berulang kali beristirahat untuk
mencapai kebun. Dada yang terasa sakit karena batuk membuat Welly cepat merasa lelah.
Saat pulang dari kebun pun, ia hanya mampu memanggul paling banyak 20 kg biji kopi.
Pengaruh negatif merokok juga dirasakan Darwis (39), warga Dusun Bungin-Bungin. Ayah
dua orang putra itu hanya 2-3 kali memetik biji kopi di kebun dalam sepekan karena sering
sakit dan didera rasa malas. Badan rasanya ngilu kalau bekerja keras, tutur lelaki yang
sudah merokok sejak usia 6 tahun ini.
Sejak meninggalkan kebiasaan merokok 10 tahun silam, semangat kerja Darwis perlahan
tumbuh kembali. Ia memerah susu kerbau sebelum berangkat ke kebun pada pukul 08.00
Wita. Perahan susu kerbau dimanfaatkan warga setempat untuk membuat dange, penganan
khas Desa Bone-Bone. Sepulang dari kebun pada sore harinya, Darwis mengisi waktu dengan
membelah kayu bakar untuk memasak.
Rutinitas itulah yang membuat mayoritas dari 140 keluarga di Desa Bone-Bone mampu
meninggalkan kebiasaan merokok. Berbagai kesibukan tersebut cukup efektif menjauhkan
mereka dari godaan merokok.
Dilarang jual rokok
Acara kumpul-kumpul pada malam hari yang biasa dihadiri pemuda dan bapak-bapak juga
tetap berlangsung guyub meskipun tanpa kepulan asap rokok. Mereka hanya mengenakan
kain sarung untuk menangkal hawa dingin sambil menyeruput kopi hangat yang disajikan
bersama pisang goreng.
Pencanangan kawasan bebas asap rokok merupakan inisiatif Kepala Desa Bone-Bone
Muhammad Idris (45) pada tahun 2000. Kala itu, ia prihatin dengan banyaknya anak-anak
usia SD hingga remaja yang merokok. Pemahaman tentang bahaya merokok minim mereka
dapatkan mengingat kebiasaan tersebut dilakukan orangtua pada umumnya.
Mantan loper koran yang lulusan IAIN Alauddin itu pun menuangkan program kawasan
bebas asap rokok dalam peraturan dusun (Status Bone-Bone baru berubah menjadi desa pada
tahun 2008). Meskipun secara tegas telah melarang penjualan rokok di dusunnya, ia masih
mengizinkan warga merokok di dalam rumah. Hal ini untuk mengompromi permintaan
warga yang keberatan jika larangan merokok langsung diberlakukan di seluruh wilayah.
Setelah tahun 2003, warga tidak boleh lagi merokok di kawasan desa termasuk di rumah.
Dalam kurun itu pula, setiap bulan, Idris bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten
Enrekang mengadakan penyuluhan tentang bahaya merokok bagi kesehatan.
Di sisi lain, toleransi juga berlaku bagi para pendatang saat awal mula penetapan kawasan
tanpa rokok. Warga dari luar dusun diperbolehkan merokok selama tiga hari. Namun, mereka
akan diminta pulang jika melanggar aturan tersebut. Saat ini pendatang sama sekali tak
diperkenankan merokok jika berkunjung ke Desa Bone-Bone.
Secara bertahap, aturan larangan merokok juga disertai dengan sanksi. Warga yang ketahuan
merokok di kawasan desa wajib terlibat dalam kegiatan untuk kepentingan umum, seperti
pembenahan jalan rusak, pembangunan fasilitas umum, dan pembersihan jalan. Sanksi ini
dinilai cocok untuk mendidik warga ketimbang denda berupa uang tunai.
Bahaya merokok kian mendapat perhatian dari warga ketika Hanaki harus menjalani
katerisasi jantung pada tahun 2005 di Malaysia. Menurut analisis dokter, penyakit Hanaki
yang saat itu berprofesi sebagai tenaga kerja wanita terjadi akibat menjadi perokok pasif
selama bertahun-tahun.
Kejadian yang menimpa Hanaki ternyata mengubah pola hidup warga secara signifikan.
Selama tiga tahun terakhir, Desa Bone-Bone benar-benar bebas dari asap rokok. Warga mulai
dari anak-anak hingga dewasa tak segan menegur siapa pun yang merokok di kawasan desa.
Menurut Idris, upaya mengawasi perilaku warga desa sejauh ini relatif lancar. Kondisi
geografis desa yang terletak di dataran tinggi membuat bau asap rokok dapat tercium hingga
radius sekitar 200 meter. Saya juga tidak khawatir jika ada warga yang nekat merokok di
dalam rumah karena anggota keluarga ikut mengontrol, ungkapnya.
Aturan bebas asap rokok turut memperbaiki kondisi kesehatan warga. Rahmatia, pegawai
kesehatan di Desa Bone-Bone, mengatakan, dalam setahun terakhir tidak ada lagi warga yang
menderita batuk berdahak akibat kebiasaan merokok. Penyakit influenza yang masih terjadi
saat ini pada umumnya dipicu anomali cuaca.
Idris bersama warga juga menyepakati sejumlah aturan lain yang dibuat demi kemajuan desa.
Sejak tiga tahun lalu, warga yang ingin menikah wajib menanam minimal lima bibit
pohon surian (Toona sureni) di lahan masing-masing. Hal ini bertujuan menjaga
kelestarian kayu surian yang biasa digunakan warga setempat sebagai bahan bangunan
rumah.
Bahan pengawet
Dua tahun berselang, muncul aturan yang melarang warga memelihara atau mengonsumsi
ayam broiler. Kebijakan itu dipicu wabah flu burung yang menyebabkan puluhan ayam di
Bone-Bone mati. Sejak itulah warga mulai mengembangkan peternakan ayam kampung
untuk memenuhi kebutuhan pangan saat bergotong royong membangun rumah ataupun acara
syukuran.
Adapun aturan yang membatasi konsumsi makanan berbahan pengawet baru diterapkan
mulai tahun ini. Toko kelontong milik koperasi desa tidak menjual penganan yang
mengandung bahan kimia untuk penyedap rasa atau Mono sodium glutamat (MSG). Jajanan
untuk anak-anak hanyalah cokelat, biskuit, dan kue buatan warga setempat, seperti wajik,
donat, dan dange.
Masing-masing keluarga juga sepakat menyumbangkan uang Rp 3.000 untuk pembuatan
bubur kacang hijau setiap bulan. Konsumsi bubur kacang hijau secara teratur diharapkan
membantu perkembangan sel otak anak-anak dan menjaga stamina warga yang telah
berumur.
Upaya yang telah dilakukan warga Desa Bone-Bone mulai menginspirasi beberapa desa di
Enrekang, seperti Kendenan dan Kadinge. Kedua desa itu sudah mengukuhkan diri sebagai
kawasan tanpa rokok sejak beberapa bulan lalu. Bupati Enrekang, La Tinro La Tunrung, juga
berencana memunculkan desa bebas asap rokok lain di Kecamatan Ala dan Anggeraja mulai
tahun depan.
Saya berharap desa lain mengikuti apa yang telah dilakukan warga Desa Bone-Bone, ujar
bupati yang berhenti merokok sejak tiga tahun lalu ini. Pencapaian warga Bone-Bone ini
terpilih sebagai salah satu praktik cerdas yang ditampilkan yayasan Bursa Pengetahuan
Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) dalam Forum KTI V awal November lalu di Ambon,
Maluku.
Apa yang telah dilakukan Idris dan kawan-kawan sebenarnya bukan hal baru. Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Surabaya sudah lama mendambakan kawasan
tanpa rokok di wilayah masing-masing. Namun, warga Desa Bone-Bone menunjukkan bahwa
itu hanya dapat dicapai dengan kepemimpinan yang kuat dan komitmen bersama.
Sehaki yake eda ta mappelo mane (Tidak merokok itu sehat, Saudara)!
(ASWIN RIZAL HARAHAP)


Desa Bone, Desa Bebas Rokok
DESA Bonebone, Kecamatan Baraka, di Kabupaten Enrekang (Sulsel) sudah layak masuk
MURI, bahkan patut masuk museum Rekor Dunia. Betapa tidak. Mungkin inilah desa
pertama di dunia yang menyatakan diri sebagai kawasan bebas rokok. Padahal desa yang
terletak di lereng Gunung Latimojong pada ketinggian 1300 1500 meter dari permukaan
laut tersebut tentulah daerah dingin. Biasanya orang merokok untuk mengatasi udara dingin
itu.

Menurut Kepala Desa, Muhammad Idris, 44, larangan merokok itu kesepakatan warga desa
sejak 2001. Meski 100 persen tidak diundangkan secara tertulis, tetapi aturan itu sudah jadi
baku dengan sendirinya, karena sejak awal merupakan norma.

Para warga merasakan betapa buruknya kebiasaan merokok itu. Seorang pemuka desa,
Burhan Paga, 53, menimpali : Kala itu anak saya yang masih kelas satu SD mencuri uang
ibunya untuk membeli rokok. .

Tokoh masyarakat lainnya, Firdaus, 51, mengisahkan, belasan tahun lampau, murid laki-laki
banyak yang bodoh di kelas, dan tidak ada yang ranking. Tapi, kini prestasi dan prestige telah
kembali direbut kaum Adam, sehingga anak laki-laki dari Bonebone sudah mampu bersaing
dengan anak wanita di desanya, bahkan juga antar desa se-Kabupaten Enrekang.

Larangan merokok di desa tersebut bukan cuma berlaku untuk warga desa. Orang luar yang
masuk desa, tidak boleh mengepulkan asap rokok di Bonebone. Menteri Kesehatan dan
Bupati Enrekang ketika masuk desa ini, menghormati aturan desa, dan mereka tidak
merokok. Maaf kepada para perokok dan terutama para produsen rokok, setelah kami kaji,
rokok ini tidak ada gunanya. Aku punya otoritas mengatakan itu. Sebab, sejak usia SD saya
sudah merokok dan berhenti setelah saya menyelesaikan studi S-1 pada 1990. Demikian
Idris.

Betapa takjubnya kami saat memasuki wilayah Desa Bone Bone di Kecamatan Baraka,
Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, bahkan dalam perjalanan menuju kesanapun tak
henti-hentinya kami menikmati indahnya pemandangan alam yang terhampar luas,
membentuk lukisan hidup Sang Maha Karya. Pejalanan dari Kota Makassar ke Kabupaten
Enrekang memerlukan waktu sekitar 6 jam, sebuah perjalanan yang melelahkan namun
memberikan kepuasan tersendiri bagi kami yang haus akan udara segar dan pemandangan
indah yang tidak didapatkan di Kota Metropolitan, Jakarta.

Sebuah billboard bertuliskan Nikmati indahnya pemandangan dan segarnya udara dusun
kami yang dipasang oleh Pusat Promosi Kesehatan pada tahun 2007 menandakan bahwa
kami telah memasuki kawasan Desa Sehat, Desa Bone Bone. Kamipun segera disambut oleh
Bapak Idris selaku Kepala Desa seluruh warga Desa Bone Bone. Rasa haru meliputi hati
kami di saat anak-anak SDN No. 159 Bone Bone berdiri menyambut kami di sepanjang jalan
menuju ruang pertemuan yang memakai ruang kelas SD tersebut.

Tak Boleh Merokok di Kecamatan Baraka

ENREKANG, TRIBUN Salah satu kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Enrekang,
yaitu Kecamatan Baraka akan dijadikan sebagai kawasan tanpa rokok oleh pemerintah
setempat.

Pencanangan Kecamatan Baraka tanpa rokok akan dilakukan secara resmi pada puncak
peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) tingkat Kabupaten Enrekang besok, Senin
(23/11) di Halaman Kantor Bupati Enrekang..

Staf Humas Pemkab Enrekang Eka Febrianzah dalam rilisnya menyebutkan, Minggu (22/11),
pencanangan akan ditandai dengan pembubuhan tandatangan pada spanduk berukuran 8 x 2
meter oleh Bupati, Ketua DPRD, muspida, para kepala SKPD serta seluruh PNS Lingkup
Pemkab Enrekang.

Dipilihnya Kecamatan Baraka sebagai daerah pencanangan tanpa rokok karena di kecamatan
tersebut terdapat sebuah desa yang bebas rokok yaitu Desa Bone-Bone. Desa Bone-bone
bahkan sudah menjadi percontohan oleh Departemen Kesehatan RI .

Selain pembubuhan tandatangan, Bupati La Tinro La Tunrung juga akan memberikan
penghargaan kepada masing-masing kepada Kepala Desa Bone-Bone dan Camat Baraka
sebagai pelopor kawasan tanpa rokok.

Selain itu, diberikan juga penghargaan terhadap Puskesmas Baraka sebagai pelopor kawasan
tanpa rokok memfasilitasi pelayanan kesehatan sebagai pusat pelayanan kesehatan
masyarakat


Sebuah papan bertuliskan Anda Memasuki Desa Sehat menyambut kedatangan siapa saja
yang berkunjung ke Desa Bone-Bone, di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi
Selatan. Panorama alam pegunungan yang indah dan udara yang segar di desa yang terletak
di lereng Gunung Latimojong ini seolah membenarkan tulisan tersebut.

Berada pada ketinggian 1.300-1500 meter dari permukaan laut, membuat kabut tebal yang
dingin selalu menyelimuti Bone-Bone. Hal ini menjadikan rokok sebagai pilihan yang
menyenangkan bagi masyarakat desa ini untuk menghangatkan diri dan melengkapi
perbincangan sehari-hari di tengah keluarga maupun pertemuan resmi desa yang dihadiri
puluhan orang. Apalagi desa ini juga merupakan daerah penghasil kopi Arabika, kopi terbaik
tingkat nasional. Adalah sangat sulit bagi warga Desa Bone Bone untuk menghentikan
kebiasaan merokok.

Awal tahun 2001, Muhammad Idris, Kepala Desa Bone Bone, merasa sangat prihatin melihat
banyak hal negatif yang dialami warganya karena kebiasaan merokok. Banyak uang yang
terbuang hanya untuk membeli rokok. Apalagi semakin lama, semakin banyak anak yang
mengikuti kebiasaan orang tua mereka merokok saat ada acara atau pertemuan desa.

Saat itu kami mulai mengeluarkan aturan untuk tidak merokok di kantor desa dan sarana
publik lainnya. Kami juga mengumpulkan semua tokoh dan warga yang mendukung aturan
ini untuk membicarakan bagaimana menjadikan desa ini benar-benar bebas rokok, ujarnya.
Selanjutnya kami menganjurkan para pemilik warung di desa untuk tidak menjual rokok,
jelas ayah dari delapan orang anak ini.

Muhammad Idris mengakui upaya menghentikan kebiasaan merokok tidaklah mudah
dilakukan. Saat aturan mulai dijalankan, banyak warga yang merasa tidak puas. Bahkan ada
seorang warga yang menyatakan tidak bisa menjadi tukang kayu lagi kalau ia tidak
merokok, tutur Idris. Dengan sabar ia menjelaskan kepada warganya bahwa keahlian mereka
tidak akan hilang walaupun berhenti merokok.

Kepala Desa berumur empatpuluh tahun ini telah membulatkan tekad untuk terus
menerapkan aturan tidak merokok sebagai langkah awal menuju desa sehat. Setiap hari Idris
berjalan mengeliling desa, menyapa warganya dan bertanyapa apakah mereka sudah berhenti
merokok atau masih dalam proses berhenti merokok. Saya tidak pernah memaksa, hanya
setiap kali saya bertemu dengan warga desa saya selalu mengajak mereka ngobrol seperti
biasa sambil terus mengingatkan bahwa merokok tidak ada gunanya bahkan berbahaya bagi
kesehatan, jelas Idris.

Anjuran untuk berhenti merokok tidak hanya dilakukan melalui pendekatan personal Kepala
Desa kepada warganya, namun juga diteruskan dalam pertemuan desa, dan dalam ibadah
sembahyang Jumat dan acara pengajian desa. Selain cara persuasif, aturan untuk tidak
merokok juga diikuti dengan sanksi. Jika ada warga desa yang kedapatan merokok di jalan,
maka warga tersebut harus membersihkan masjid dan jalan-jalan desa. Sanksi ini terbukti
efektif membantu warga desa dalam mengurangi kebiasaan merokok.

Jerih payah Idris tidak sia-sia, semakin banyak warga desa menyadari dampak buruk
merokok bagi kesehatan. Mereka yang telah berhenti merokok juga mulai merasakan
manfaatnya terhadap perekonomian keluarga. Uang yang tadinya kami pakai membeli
rokok, sekarang sudah bisa digunakan untuk membeli kebutuhan sekolah anak-anak, membeli
bibit, dan pupuk, tutur seorang ibu.

Perubahan yang paling menggembirakan adalah menurunnya jumlah penderita penyakit ISPA
dan paru-paru berkurang di daerahnya. Sekarang ini semakin sedikit warga yang memiliki
penyakit ISPA, kata perawat yang bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat Desa Bone-
Bone. Memang sejak tahun 2007 sudah tidak ada lagi warga Desa Bone Bone yang merokok.
Kini kebiasaan yang membahayakan kesehatan itu sudah tidak lagi dijumpai di sana.

Bupati Enrekang, Haji La Tinro La Tunrung, sangat mengapresiasi upaya Pak Idris dan
warga Desa Bone-Bone. Selain memberi penghargaan kepada Pak Idris, Bupati juga
mereplikasi program Kawasan Tanpa Rokok di Desa Bone Bone ke dua desa tetangga yaitu
Desa Kadinge dan Desa Kendena. Pada dua desa tersebut Bupati mengajak Kepala Desa,
tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk membuat Memorandum of Understanding (MoU)
sebagai payung hukum penerapan Kawasan Tanpa Rokok disana.

Jika di Desa Bone Bone seluruh aktivitas yang berhubungan dengan rokok dilarang, maka di
dua desa yang baru mereplikasi inisiati ini baru diterapkan pembatasan daerah merokok pada
sarana publik serta gedung pemerintahan dan disediakan daerah khusus untuk merokok.

Saya sangat menghargai inisiatif ini. Bahkan sekarang saya juga sudah berhenti merokok,
kata Pak Bupati yang kini turut menganjurkan jajarannya staff Pemerintah Kabupaten
Enrekang untuk mengurangi dan menghentikan kebiasaan merokok rokok. Menyambut baik
inisiatif Desa Bone-Bone untuk menjadi desa sehat, Bupati La Tinro La Tunrung kemudian
memasukkan program Kawasan Tanpa Rokok kedalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah tahun 2009-2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang juga telah
mencanangkan seluruh desa di Kecamatan Baraka sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
pada tahun 2011. Enam Kecamatan lain di Kabupaten Enrekang ditargetkan menjadi kawasan
tanpa rokok pada tahun 2012 dan seluruh Kecamatan pada akhir tahun 2013.

Setelah berhasil menginisiasi Kawasan Tanpa Rokok, Muhammad Idris melanjutkan langkah
menuju desa sehat dengan membuat dua aturan baru, yakni larangan memperdagangkan dan
memelihara ayam yang disuntik hormon dan larangan mengonsumsi makanan dan minuman
berbahan pengawet dan pewarna.

Saya lihat banyak ayam yang disuntik hormon mati mendadak karena sakit. Saya kuatir
banyak ayam tersebut terkena flu burung dan menularkan pada ayam-ayam di desa kami. Ini
sangat berbahaya, kata Idris dengan wajah serius. Begitu juga dengan makanan dan
minuman yang berwarna-warni. Rasanya mungkin enak, tapi pengaruhnya buruk bagi anak-
anak kami. Gigi-gigi mereka banyak yang rusak. Selain itu anak-anak jadi malas makan sayur
dan buah. Bagaimana mereka bisa jadi generasi penerus yang cerdas dan sehat kalau kurang
gizi?, lanjut Idris

Banyak tempat di berbagai belahan bumi menyatakan diri sebagai kawasan sehat, kota sehat,
atau desa sehat. Tidak sedikit di antaranya yang kemudian sekedar menjadi wacana namun
Bone-Bone berhasil membuktikan diri sebagai kawasan yang benar-benar sehat. Pemikiran
saya sederhana saja. Saya hanya ingin warga desa saya sehat agar desa ini maju, ulang Pak
Idris dengan senyum yang tulus. Mungkin pak Idris belum tau bahwa pemikirannya ini
sejalan dengan pemikiran Winston Churchill, seorang negarawan dan satu-satunya
perdana menteri Inggris yang meraih penghargaan nobel untuk literatur, Masyarakat
yang sehat adalah aset terbesar bagi suatu negara. Healthy citizens are the greatest
asset any country can have


KETIKA para pejabat Kabupaten Enrekang meninggalkan Desa Bone-Bone di kaki Gunung
Latimojong, Sulawesi Selatan, beberapa anak menemui Kepala Desa Idris, menyerahkan lima
puntung rokok. Sejak 2000, merokok haram di desa berjarak 100 kilometer dari pusat
kabupaten di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut itu.
Idris tercenung. Para pejabat itu datang ke desanya, awal Juli lalu, untuk berceramah tentang
pentingnya menjauhi rokok. Bone-Bone masuk nominasi desa terbaik tingkat nasional karena
punya aturan tentang larangan merokok dan makanan berpewarna serta kewajiban menanam
sepuluh pohon bagi yang akan menikah. Idris memutar nomor seluler Bupati Enrekang La
Tinro La Tunrung.
Ia menceritakan temuan puntung dari kolong sebuah rumah panggung. Bagaimana mau
membina warga desa menjauhi rokok kalau bapak-bapak ini merokok? kata Idris. Begitu?
Biar nanti saya bereskan, jawab La Tinro. Ia memanggil semua kepala dinas dan pejabat
yang baru tiba dari Bone-Bone itu ke ruang kerjanya.
La Tinro meminta mereka jujur: siapa saja yang merokok di Bone-Bone? Ada tiga yang
mengaku dengan alasan tak kuat dingin. Kalau begitu, bayar dendanya dan kembali ke sana
meminta maaf, ujarnya. Dalam peraturan desa yang dibuat Idris, yang merokok di Bone-
Bone didenda Rp 100 ribu atau dua hari kerja sosial: membersihkan got dan jalan serta
mengepel masjid.
Karena mereka pejabat, La Tinro menetapkan denda minimal Rp 500 ribu. Idris menerima Rp
1,5 juta dan jalan beton sepanjang 30 meter dari seorang kepala dinas. Mereka juga datang
ke sini meminta maaf di depan semua warga desa, kata Idris pekan lalu.
Kebijakan bebas asap rokok dimulai pada 2000, ketika Idris diangkat jadi kepala dusun. Tapi
keinginan itu sudah ada sejak 1986, ketika ia baru masuk Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Alauddin Makassarsepuluh jam perjalanan dari desanya. Dari lima
mahasiswa asal Bone-Bone, tiga berhenti kuliah di tahun kedua. Semuanya perokok,
katanya.
Pulang ke Bone-Bone, pada 1991, setelah empat kali gagal tes pegawai negeri sipil di
Makassar, Idris mendapati dusunnya kian terpuruk. Anak-anak kian banyak yang tak lulus
sekolah dasar. Mereka ke kebun menggembalakan kerbau atau sapisambil merokok.
Padahal orang-orang tua mereka beralasan tak punya uang untuk membayar sekolah.
Sebermula, Idris mendatangi warung yang menjual rokok. Ia mengadu hitung untung-rugi
menjual rokok dengan pemiliknya. Ternyata, jualan tembakau malah rugi karena untung yang
sedikit habis diisap penjualnya, yang rata-rata merokok juga. Mereka yang sadar dengan
perhitungan itu tak menyertakan rokok dalam daftar belanja esoknya.
Tapi protes tak berhenti. Pekerjaan utama sekitar 200 kepala keluarga Bone-Bone adalah
bertani kopi. Menurut mereka, tak afdal menghidu kopi tanpa rokok, atau tak bisa
berkonsentrasi kerja tanpa asap. Ah, yang tak merokok tetap bisa bekerja, tuh, kata Idris.
Warga desa kehabisan akal menentang peraturan kepala dusun ini. Mereka tak lagi merokok,
bahkan dalam sembunyi sekalipun.
Pernah Idris mencium asap dari sebuah rumah. Ia mendatangi dan meminta tetangganya itu
mematuhi ketentuan denda dan kerja sosial. Dia memilih minta maaf di masjid dan kerja
sosial, ujarnya. Itulah satu-satunya pelanggaran yang tercatat dilakukan warga Bone-Bone.
Mereka sangat menghormati Idris karena dampak berhenti merokok langsung terasa. Orang-
orang tua ahli isap yang tak sanggup menyekolahkan anaknya kini punya uang untuk
membayar dan membeli perlengkapan sekolah. Maka, ketika Bone-Bone menjadi desa pada
2007, Idris terpilih menjadi kepalanya.
Setahun kemudian, ia menuangkan larangan itu dalam peraturan desa. Idris mengancam
mundur dari jabatan bergaji Rp 1 juta itu jika ada satu saja warganya yang merokok. Bupati
La Tinro mendukungnya. Ia, yang merokok dua bungkus sehari, berhenti ngebul setelah
menengok Bone-Bone tiga tahun lalu. La Tinro mengadopsi larangan itu di kantornya melalui
peraturan yang ditekennya pekan lalu. Kini tiga desa lain mengikuti Bone-Bone, desa teladan
tingkat nasional 2012.

Anda mungkin juga menyukai