Anda di halaman 1dari 17

PRESENTASI KASUS

TINEA KRURIS









Moderator :
dr. Widyanto, SpKK



Disusun Oleh :
Dessi Natalia
FK UKRIDA 11.2012.046




KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT KELAMIN
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 17 Maret 2014 19 April 2014
JAKARTA
2014

1

STATUS MEDIK

I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny. SR Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 60 tahun Pendidikan : -
Tanggal Lahir : 11 Juli 1954 Pekerjaan : -
Status Perkawinan : Menikah No. RM : 039911
Alamat : Komp. Pomad RT 13/ 6, Jakarta Selatan

II. ANAMNESIS
Diambil Autoanomnesis, tanggal 24 Maret 2014, Jam 11.00 WIB.
1. Keluhan Utama
Gatal dengan bercak kemerahan di kedua lipat paha.

2. Keluhan Tambahan
Gatal dirasakan terutama saat berkeringat.

3. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 1 Minggu SMRS pasien mengaku gatal di kedua lipat pahanya. Gatal
disertai dengan bercak kemerahan di sekitar kedua lipat paha. Gatal dirasakan
terutama saat berkeringat. Karena gatal yang dirasakan semakin hebat, pasien sering
menggaruk lipatan pangkal paha kanan dan kirinya hingga kulit didaerah tersebut
terkelupas dan terasa perih.
Pasien mengobati gatal di kedua lipat pahanya dengan menggunakan salep
Desoximetasone pada siang hari dan salep Fusicid Acid pada malam hari dan
mengatakan gatal terasa berkurang setelah menggunakan salep, namun setelah itu
gatal akan timbul lagi.

4. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada.

5. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien, tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan pasien.
2

III. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 160 cm
Tanda tanda vital :
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : afebris
RR : 22 x/menit
Kepala : Normochepali
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Tenggorok : faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang
Leher : tidak teraba pembesaran KGB dan tiroid
Thorak :
Pulmo : Suara nafas dasar vesikuler, Ronkhi -/-, Whezzing -/-
Cor : BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen : dinding perut supel, turgor kulit baik. Hepar dan Lien tidak teraba
membesar, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (-)

STATUS DERMATOLOGIKUS

Lokasi pada kedua lipat paha
3


Lokasi : Lipat paha kanan
Efloresensi : Gambaran bercak hiperpigmentasi dengan ukuran plakat disertai tepi
lesi eritematosa, bentuk tidak teratur, batas tegas dan terdapat papul
papul dan skuama halus di sekitar tepi lesi.


Lokasi : Lipat paha kiri
Efloresensi : Gambaran bercak hiperpigmentasi dengan ukuran plakat disertai tepi
lesi eritematosa, dengan tepi lebih gelap dibandingkan bagian
tengahnya, ukuran plakat, bentuk tidak teratur, batas tegas dan
terdapat papul papul dan skuama halus di sekitar tepi lesi. Terdapat
ekskoriasi dibagian tengah lesi.

4

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan KOH 10% diambil dari tepi lesi kulit lipat paha kanan dan kiri.
Hasil : hifa sejati (+), artospora (-).

V. RESUME
Wanita 60 tahun datang dengan keluhan gatal dengan bercak kemerahan di sekitar
kemaluan dan di kedua lipat paha sejak 1 minggu SMRS. Gatal disertai dengan bercak
kemerahan di sekitar kedua lipat paha. Gatal dirasakan terutama saat berkeringat.
Karena gatal yang dirasakan semakin hebat, pasien sering menggaruk lipatan pangkal
paha kanan dan kirinya hingga kulit didaerah tersebut terkelupas dan terasa perih.
Pada pemeriksaan dermatologikus didapatkan pada lipat paha kanan dan kiri
terdapat gambaran bercak hiperpigmentasi disertai eritematosa, ukuran plakat, bentuk
tidak teratur, batas tegas dan terdapat papul papul di sekitar tepi lesi. Terdapat skuama
halus pada tepi lesi, dan di bagian lipat paha kiri terdapat ekskoriasi dibagian tengah
lesi. Pada pemeriksaan laboratorium KOH 10% dengan mengambil dari lesi di kedua lipat
paha, ditemukan hifa sejati.

VI. DIAGNOSIS KERJA
Tinea Kruris

VII. DIAGNOSIS BANDING
Tidak ada

VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
Biakan agar Sabouraud dekstrosa.
5

IX. TATALAKSANA
NON MEDIKA MENTOSA
a. Menjaga agar daerah lesi tetap kering dan menjaga kebersihan diri.
b. Menggunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat
seperti katun, tidak ketat, dan diganti setiap hari.
c. Untuk menghindari penularan penyakit, jangan menggunakan handuk bersama
dengan anggota keluarga yang lain.
d. Menurunkan berat badan hingga mencapai berat badan ideal.

MEDIKA MENTOSA
a. Sistemik
- Itrakonazole 100 mg, 2 x sehari
b. Topikal
- Miconazole Nitrat Krim 2%, 2 x sehari setiap habis mandi, pagi dan sore

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam










6

TINJAUAN PUSTAKA
TINEA CRURIS

A. Pendahuluan

Tinea cruris termasuk dalam penyakit dermatofitosis tersering kedua. Dermatofitosis
adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum
pada epidermis, rambut dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita.
1

Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun atau dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genital krural saja atau
meluas kedaerah sekitar anus, daearah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian yang
lain.
1

Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas dan
peradangan pada tepi lebih nyata dari pada tengahnya. Efloresensi terdiri atas berbagai
macam bentuk yang sekunder dan primer (polimorf). Bila penyakit ini menjadi menahun
dapat berupa bercak hitam disertai sisik. Tinea kruris mempunyai nama lain eczema
marginatum, jockey itch, ringworm of the groin.
1


B. Epidemiologi
Tinea cruris dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara beriklim hangat dan
lembab. Tinea cruris lebih sering mengenai laki-laki daripada perempuan dengan ratio
3:1. Dewasa dan remaja paling sering terkena infeksi terutama dengan faktor prevalensi
seperti obesitas dan diabetes melitus.
2


C. Etiologi
Penyebab tersering dari tinea cruris adalah Trichopyhton rubrum dan
Epidermophython fluccosum. Epidermophyton fluccosum paling sering menyebabkan
epidemi. Selain itu Trichophyton mentagrophytes dan Trichopyhton verrucosum juga bisa
menjadi penyebab walaupun jarang.
3


7

D. Patogenesis
Tinea cruris adalah infeksi menular yang ditularkan oleh fomites, seperti handuk yang
terkontaminasi atau sprei tempat tidur, atau dengan autoinokulasi dari reservoir pada
tangan atau kaki (tinea manum, tinea pedis, tinea unguium). Jamur dalam tinea cruris
menghasilkan keratinases, yang memungkinkan invasi dari lapisan korneum dari
epidermis. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang cabangnya didalam
jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke
jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan.
4

Respon kekebalan tubuh dapat mencegah invasi lebih dalam. Faktor risiko infeksi
awal tinea cruris atau infeksi ulang termasuk mengenakan pakaian ketat atau basah.
Pertumbuhan dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit
dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula
yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.
4

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
a. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik,
geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang
lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh
misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython
fluccosum paling sering menyerang lipat paha bagian dalam.
4

b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
4

c. Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela sela
jari paling sering terserang penyakit jamur.
4


8

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering
ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik.
4


E. MANIFESTASI KLINIS
Tinea cruris biasanya muncul sebagai beberapa papulovesikel eritematosa dengan
batas tegas, dan tepi yang meninggi. Pruritus umum terjadi, nyeri biasanya terjadi karena
infeksi sekunder. Infeksi E. floccosum sering muncul dengan lesi khas yaitu central
healing, dan yang paling sering terbatas pada lipatan genitocrural dan paha atas bagian
medial. Sebaliknya, infeksi T. rubrum sering muncul dengan ekstensi ke pantat,
kemaluan, perianal, dan daerah perut bagian bawah.
3


Penampakan lesi diambil dari Klauss
Wolf, (2008). Fitzpatrick's Dermatology
in General Medicine.
3





Bercak eritema besar dengan central healing yang berpusat pada lipatan inguinal dan
memanjang ke bawah distal aspek medial paha dan proksimal ke perut bagian bawah dan
daerah kemaluan.
3

Sisik berbatas tegas di tepi. Pada infeksi akut tinea cruris, ruam mungkin lembab dan
eksudatif. Infeksi kronis biasanya kering dengan papular annular dengan batas tidak
tegas. Penis dan skrotum biasanya tidak terkena di tinea cruris, namun infeksi dapat
meluas ke perineum dan bokong. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, lichenifikasi, dan
impetiginasi mungkin ada sebagai akibat pruritus.Infeksi kronis yang sudah diterapi
dengan kortikosteroid topikal lebih eritematosa, kurang bersisik, dan mungkin memiliki
pustula folikular.
3

9

F. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis dapat ditegakkan melalui penampakan klinis dan dengan pemeriksaan
KOH untuk memastikan adanya jamur.
5

Diagnosis banding untuk tinea cruris antara lain kandidiasis, eritrasma, seboroik
dermatitis dan psoriasis. Kandidiasis biasanya berwarna merah terang seperti daging
dengan batas yang tidak tegas dan papul pustula satelit. Eritrasma yang berupa infeksi
oleh Corynobacterium minutissimum tampak berwarna kemerahan dengan sisik-sisik
halus yang akan menyala merah muda bila disinari Woods lamp. Seboroik dermatitis
biasanya jarang terjadi pada lokasi ini dan terutama hanya pada orang dengan obesitas
atau diabetes melitus. Psoriasis akan nampak sebagai sisik-sisik mengkilat berwarna abu-
abu dengan gambaran seperti tetesan lilin.
5

Dengan pemeriksaan KOH dapat dilihat penyebab lesi, walaupun tidak dapat sepsifik
sampai ke jenis/spesies. Pada tinea akan tampak hifa sejati yaitu filamen panjang
bercabang bersekat double contour, sedangkan pada kandidiasis tampak sel-sel ragi,
blastospora, dan hifa semu yang sebenarnya hanya spora yang berderet di mana lebar hifa
lebih atau sama dengan panjang hifa.
5


G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya
dibersihkan dengan alkohol 70%.
4

1. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok dari bagian tepi lesi (sisik dan kulit)
hingga sedikit di luar lesi dengan scalpel tumpul steril taruh di obyek glass
tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan atau
dilewatkan di atas api kecil lihat di mikroskop dengan pembesaran 10x kemudian
40x, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang, atau spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah
diobati, dan miselium.
4





10

2. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud
dengan ditambahkan kloramfenikol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk
menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur
biasanya antara 3-6 minggu.
4

3. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan
spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc AcidSchiff, jamur akan tampak
merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak
coklat atau hitam.
4

4. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma
dimana akan tampak floresensi merah bata.
3,6


H. Penatalaksanaan
Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam empat golongan
yaitu: golongan azol, golongan alynamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti
siklopiros, tolnaftan, haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol
14 alpha demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol),
dimana truktur tersebut merupakankomponen penting dalam dinding sel jamur. Goongan
Alynamin menghambat keja dari squalen epokside yang merupakan enzim yang
mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel
dan menyebabkan kematian sel. Dengan penghambatan enzim enzim tersebut
mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan
benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan
golongan lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam
bentuk pemberian topikal dan sistemik.
2





11

MEDIKA MENTOSA secara topikal
1. Golongan Azol
a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena
bersifat broadspektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi
dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis.
Penggunaan pada anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1%,
solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Kontraindikasi tidak ada,
namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan reaksi hipersensitivitas,
peradangan infeksi yang luas dan hindari kontak mata.
2

b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm)
Mekanisme kerja dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akan menghambat
biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati.
2

Penggunaan pada anak sama dengan dewasa. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution,
lotio, bedak. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan reaksi hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
2

c. Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerja: efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu
menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas
dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati.
2

Pengobatan dengan ecnazole dapat dilakukan dalam 2 4 minggu dengan cara dioleskan
sebanyak 2 kali atau 4 kali dalam sediaan cream 1%. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
2


12

d. Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum
akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati.
2

Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2 4 minggu. Tidak dianjurkan
pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
2

e. Oxiconazole (Oxistat)
Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis
ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
2

Penggunaan pada anak anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa.
Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2 4 minggu. Tersedia dalam
bentuk cream 1% atau bedak kocok. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan
hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.
2

f. Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu
menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel,
sehingga menyebabkan kematian sel jamur.
2

Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa Tersedia
dalam bentuk cream 1% dan solutio. Dioleskan pada daerah yang terkena selama 2 4
minggu sebanyak 4 kali sehari.
2

2. Golongan alinamin
a. Naftifine (Naftin)
Merupakan derivat sintetik dari alinamin, bersifat broad spektrum antijamur. Mekanisme
kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel
jamur terhambat.
2

13

Penggunaan pada anak sama dengan dewasa. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan
lotion. Dioleskan 4 kali sehari selama 2 4 minggu. Pengobatan dengan naftitine
dievaluasi setelah 4 minggu jika tidak ada perbaikan klinis.
2

b. Terbinafin (Lamisil)
Merupakan derivat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang
merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan
ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian
melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi
penggunaanya pada anak anak. Digunakan selama 1 4 minggu.
2

3. Golongan Benzilamin
a. Butenafine (mentax)
Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur
menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,
diberikan selama 2 4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan
sebanyak 4 kali sehari.
2

4.Golongan lainnya
a. Siklopiroks (Loprox)
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesis DNA.
2

b. Haloprogin (halotex)
Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2 4 minggu
dan dioleskan sebanyak 3 kali sehari.
2

c. Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2 kali sehari selama 2 4 minggu.
2



14

MEDIKA MENTOSA secara sistemik
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk lesi yang luas atau gagal dengan
pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan
tinea cruris:
2

a. Ketokonazole
Turunan imidazole. Merupakan obat antijamur oral yang berspektrum luas.
Mekanisme kerja: fungistatik. Pemberian 200 mg/ hari selama 2 4 minggu.
2

b. Itrakonazole
Turunan triazole. Merupakan obat antijamur oral yang berspektrum luas. Mekanisme
kerja: menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450
dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel
jamur. Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin
dengan hasil terbaik 2 3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200 mg p.o
selama 1 minggu dan dosis dapat dinaikkan 100 mg jika tidak ada perbaikan tetapi
tidak boleh melebihi 400 mg/ hari. Untuk anak anak 5 mg/ hari p.o selama 1
minggu. Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan
bersama dengan cisapride karena berhubungan dengan aritmia jantung.
2

c. Griseofulvin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan
mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya
dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500 mg microsize (330 375
mg ultramicrosize) p.o selama 2 4 minggu, untuk anak 10 25 mg/ kg/ hari p.o atau
20 mg microsize/ kg/ hari.
2




15

d. Terbinafine
Pemberian secara oral pada dewasa 250g /hari selama 2 minggu). Pada anak
pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan:
2

- 12-20kg : 62,5mg/ hari selama 2 minggu
- 20-40kg : 125mg/ hari selama 2 minggu
- >40kg : 250mg/ hari selama 2 minggu

NON MEDIKA MENTOSA
a. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering.
b. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
c. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan
mengganti pakaian yang lembap.
d. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti
katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.
e. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan
penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.
f. Dianjurkan menurunkan berat badan pada penderita obesitas.

H. Komplikasi
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada
infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.
1


I. Prognosis
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan
kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.
2



16

DAFTAR PUSTAKA

1. Unandar, Budimulja.Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 6
th
ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. h. 89 100.
2. Wiederkehr, Michael. Tinea Cruris. MedScape Reference. [Online] Januari 2012, 24.
Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1091806-overview.
3. Wolff K. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatricks
dermatology in general medicine. 7
th
edvol 2. USA :Mcgraw hill companies; 2008.
h.1807 22.
4. James Mark, Jeffrey Miller. Principles of Dermatology. 4
th
ed. USA; Elsevier, 2006.
h. 59 60.
5. Richard Aston, Barbara Leppard. Differential Diagnosis in Dermatology. United
Kingdom; Radcliffe, 2005. h. 66 8.
6. David V. Understanding the main principles of skin care in older adults. Nursing
Standard 27. [Online] Januari 2012, 24. Diunduh dari
http://search.proquest.com/docview/1178959349?accountid=50673.

Anda mungkin juga menyukai