Anda di halaman 1dari 8

KWN

1. Korupsi
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Contoh kasus korupsi :
Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998.
Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam
berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara
Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan
dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang
Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan
lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan
Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Kolusi
Berdasarkan UU RI No. 28 Tahun 1999 pasal 1.Pengertian kolusi adalah permufakatan atau
kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggaraan negara dan pihak lain,masyarakat
dan atau negara.
Contoh kolusi :
Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa
perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara
keseluruhan.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya
bukan berdasarkan kemampuannya.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang
saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer
tersebut akan bersalah karena nepotisme.
2. Pemilu pada masa orde baru menggunakan asas langsung, umum, bebas dan rahasia
berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Namun, dalam kenyataannya banyak terdapat
penyimpangan, seperti:
Banyak pemilih yang hak suaranya diberikan pada calon atau partai tertentu
karena terdapat unsure paksaan dan biasanya melalui orang lain (perantara)
Meniadakan hak memilih maupun dipilih bagi bekas anggota organisasi
terlarang yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI)
Kebebasan dalam memilih untuk menentukan pilihan dipengaruhi oleh
beberapa hal dengan cara apapun. Namun, dapat dilihat bahwa terdapat
banyak orang yang memilih karena tekanan atau paksaan dari seseorang
dengan ancaman
Kerahasiaan tidak berjalan dengan baik karena dengan cara tertentu ada pihak-
pihak yang mengetahui apa yang dipilih oleh seseorang/ masyarakat. Sehingga
dapat diketahui tokohh yang dipilihnya .

3.
4. PELANGGARAN HAM BERAT ANTAR SUKU DI SAMBAS, KALIMANTAN
BARAT
Pengertian HAM Berat Yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat menurut penjelasan dalam UU No. 39 Th 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam
pasal 104 ayat (1) adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang
atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan
orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
(systematic diserimination).
Contoh :
Kerusuhan dengan latar belakang agama dan suku terjadi di Sambas, Kalimantan
Barat. Dimana telah terjadi kerusuhan besar antar suku yang menyebabkan banyaknya
jatuh korban jiwa di Sambas (1970-1999). Sekali lagi HAM telah dinodai. Kerusuhan
Sambas merupakan peristiwa pecahnya pertikaian antar etnis pribumi dengan
pendatang, yakni suku Dayak dengan Madura yang mencapai klimaks pada tahun
1999.
Akibat pertikaian tersebut, data menyebutkan terdapat 489 orang tewas, 202 orang
mengalami luka berat dan ringan, 3.833 pemukiman warga diobrak-abrik dan
dimusnahkan, 21 kendaraan dirusak, 10 rumah ibadah dan sekolah dirusak, dan
29.823 warga Madura mengungsi ke daerah yang lebih aman.
http://www.mediaberita.net/2012/05/contoh-pelanggaran-ham-berat-di.html

5. Ada di makalah

6. Operasi Woyla dan Operasi Petrus -ada di makalah-


7. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru:
1. Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada
1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
2. Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor
Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai
kasus sukses pembangunan ekonomi.

Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu
berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan
pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal
ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi
partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru memang
dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun
1960. Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat
dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan
Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
3. Swasembada beras
Saat itu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini
dijadikan motivasi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya
adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi
kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik kenyataan, dari
negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu mencukupi kebutuhan
pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta
ton beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
4. Sukses transmigrasi
5. Sukses Program KB
6. Sukses memerangi buta huruf
7. Sukses swasembada pangan
8. Pengangguran minimum
9. Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
10. Sukses Gerakan Wajib Belajar
11. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12. Sukses keamanan dalam negeri
13. Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
14. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada
akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah
mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September
1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan
PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima
pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa
modal asing.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-
orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan
menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan
Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali
dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga
kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta,
sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966
dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik
pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar,
TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber
daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan
besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah
warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa
Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan
sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis
dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa
Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu
mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang
dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan
dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi
memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap
hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan
kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan
transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar
Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak
semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam
bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di
Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat, munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat
dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada
tahun-tahun pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai
oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan
keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya.


8.

9. Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (lahir di Bantul, Yogyakarta,
18 Februari 1964 meninggal di Yogyakarta, 16 Agustus 1996 pada umur 32 tahun)
adalah wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal,
dan kemudian meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel
kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di
Harian Bernas sejak 1986.
Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di
depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13
Yogyakarta. Udin, yang sejak malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaan
koma dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi
otak di rumah sakit tersebut. Namun, dikarenakan parahnya sakit yang diderita akibat
pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin meninggal dunia pada Jumat,
16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.
10. Marsinah (lahir 10 April 1969 meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun) adalah seorang
aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang
diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga
hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, dengan
tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Hal ini membuktikan bahwa Marsinah telah mengalami
pelanggaran HAM berat.
11. Sektor penerimaan terbesar pada masa itu adalah pada sector pertanian yaitu pada saat
swasembada beras. Hal itu terbukti ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu
mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan.
Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini
Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969
Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras tetapi tahun 1984 bisa
mencapai 25,8 juta ton.

Anda mungkin juga menyukai