Anda di halaman 1dari 5

A.

BEDAH MAYAT
Ditinjau dari aspek tujuannya, bedah mayat (autopsi) dapat bagi dalam tiga kelompok,yaitu:
1.Autopsi Anatomis
adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yangdiperoleh mahasiswa kedokteran atau
peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahanpraktikum tentang teori ilmu urai tubuh manusia
(anatomi).2.
Autopsi Klinis
adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakitsetelah mendapat perawatan yang
cukup dari para dokter. Pembedahan ini dilakukandengan tujuan mengetahui secara mendalam sifat
perubahan suatu penyakit setelahdilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu serta untuk
mengetahui secarapasti jenis penyakit yang belum diketahui secara sempurna selama ia sakit.3.
Autopsi Forensik
adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan mencarikebenaran hukum dari suatu peristiwa
yang terjadi, misalnya dugaan pembunuhan,bunuh diri, kecelakaan, dan lain-lain. Pembedahan seperti
ini biasanya dilakukan ataspermintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab
kematianseseorang. Hail visum dokter (visum et repertum) ini akan mempengaruhi keputusanhakim
dalam menentukan suatu perkara.
Pandangan Islam Tentang Bedah Mayat (Autopsi) :
Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat.
1. Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi hukumnya haram.
Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dangan mematahkannya pada waktu
hidupnya.
(HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
2. Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah (boleh).
Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prinsip-prinsip yangditetapkan Rasulullah
SAW. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Baduimendatangi Rasulullah SAW seraya
bertanya,
Apakah kita harus berobat?
RasulullahSAW menjawab
, Ya hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya
Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit,
yaitu penyakit
tua.
(HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad).Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit,
berarti secara implisit(tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan jenis-jenis
penyakit dancara pengobatannya. Autopsi anatomis dan klinis merupakan salah satu media atau
perangkat penelitianuntuk mengembangkan keahlian dalam bidang pengobatan. Tujuan autopsi forensik
sejalandengan prisip Islam untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam penetapan
hukum,sebagaimana firman-Nya,
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara man
usia supaya kamu menetapkan dengan adil
(QS. An-Nisa 4:58)

Seorang hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil. Untukdapat menentukan
hukum secara benar dan adil diperlukan bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsi forensik merupakan
salah satu cara atau media untuk menemukan bukti.Mencermati alasan-alasan yang dikemukakan di
atas, bisa disimpulkan bahwa autopsianatomis, klinis dan forensik hukumnya
mubah
(boleh) karena tujuannya tidak bertentangandengan ajaran Islam. Adapun bedah mayat yang dilakukan
tanpa tujuan yang benar,hukumnya
haram
sebagaimana dijelaskan keterangannya oleh pendapat pertama.Tema penggunaan jenazah sebagai
objek penelitian termasuk kasus baru yang jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Quran dan hadis
(nash). Padanan eksplisitdalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai metode qiyas
(analogi). Kasusdemikian, dalam kajian fikih, dicari solusinya dengan metode takhrij. Yakni, dicari
analogipada norma hukum yang dihasilkan lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung
olehnash.Dalam literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat.
Pertama
, pandangan muftiMesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek demikian itu boleh (
jawaz
).
Kedua
, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-
Mithi
, bahwa bedah jenazahhanya boleh untuk dua keperluan: mengambil harta orang, misalnya permata,
yangtersimpan di perut jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bilauntuk
penelitian, katanya, tidak boleh (
la yajuuz
).Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupabahasan tentang
hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil permata yang tersimpandi perut jenazah dan
menyelamatkan janin. Dalam kasus mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi
berpendapat boleh bila almarhum atau almarhumah tidakmeninggalkan harta yang dapat dijadikan
ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan diatas hak Allah.
Dalam mazhab Syafii, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat dilaku
kansecara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Ahmad bin Hanbal
tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafii
berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hanbali melarang.Perbedaan itu berpangkal pada
perbedaan memahami hadis Nabi kepada penggalikubur agar tidak merusak tulang-belulang yang
didapatkan dari kuburan.
Engkau jangan
merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama denganmerusak tulang
seseorang
yang masih hidup,
sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibnu Majah,dan Abu Daud dengan sanad yang sahih.Pendapat yang
melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadist itusecara mutlak, dalam kondisi apapun.
Sedangkan alasan pendapat yang membolehkanadalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan
mengambil harta.Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-
Islamiyah,berkomentar terhadap hadist tadi. Menurutnya, hadis itu berlaku bila tidak ada
kemaslahatanlebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih krusial yang ingin
diraih,seperti menyelamatkan janin, maka termasuk pengecualian.


Fatwa MUI Nomor 19, tanggal 5 Februari 1988, menyebutkan bahwa penyelidikanilmiah terhadap mayat
tidak dilarang oleh Islam. Setelah dipakai penyelidikan, mayat ituwajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20
tahun silam, itu sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan
beberapa klausul:
Pertama
, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia ituterhormat, sekalipun sudah
meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah.Salah satunya, menyegerakan jenazah
dikuburkan.
Kedua,
pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Denganketentuan,
penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkanmaslahat lebih besar:
memberikan perlindungan jiwa. Bukan untuk praktek semata.
Ketiga,
sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnyadimandikan, dikafani, dan
disalati. Pengawetan jenazah untuk penelitian harus dilakukandalam batas proporsional, hanya untuk
penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazahharus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat
Islam.
Keempat,
negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan mekanismenya.Kaidah dalam agama
Islam, ulas Masdar F Mas'udi dari Pengurus Besar NahdlatulUlama (PBNU), segala sesuatu pada
dasarnya diperbolehkan sampai ada dalil yangmenyatakan terlarang.Organ tubuh dalam hukum Islam
menyangkut manusia hidup karena terkait dengan jiwa. Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi
tubuh manusia setelah meninggal, karenaitu boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk
menyelamatkan jiwa manusia. Halini dihargai dan dinilai sebagai amal jariah.Izin penggunaan mayat bisa
diberikan oleh pemilik tubuh saat masih hidup atau izinkeluarga jika telah meninggal. Untuk mayat yang
tak teridentifikasi, izin diberikan olehpemerintah.Hal senada dikemukan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
dari Universitas Islam NegeriSyarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, sesungguhnya tidak perlu ada
kekhawatiran jikamendonorkan tubuh maka tubuh menjadi tidak lengkap saat menghadap Tuhan."Saat
seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk menghadapTuhan, sedang tubuh hancur
bersama tanah. Jika disumbangkan untuk riset dan pendidikanyang bermanfaat bagi kemanusiaan, si
pemilik akan mendapat pahala," ujarnya.Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan
Dokter Indonesia dr. Agus Purwadianto, SpF, SH, MSi, Indonesia telah memiliki peraturan dan fatwa
mengenaibedah mayat, antara lain Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara'
KementerianKesehatan No 4/1955, yang menyatakan bedah mayat hukumnya mubah (tidak
diharamkandan tidak dihalalkan).Dalam Fatwa No 7/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat untuk
kepentinganpendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis
dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia
http://id.scribd.com/doc/152063916/Hukum-Bedah-Mayat
http://digilib.uin-suka.ac.id/3451/1/BAB%20I,V.pdf
http://muijatim.org/images/fatwa2/Otopsi%20jenasah.pdf

Anda mungkin juga menyukai