Anda di halaman 1dari 22

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Abortus
a. Pengertian
Keguguran atau abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang
sedang berlangsung sebelum mencapai umur 28 minggu atau berat
janin sekitar 500 gram (Manuaba, 2007).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin
mencapai berat 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 22 minggu
atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan
(Sarwono, 2008).
Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun,
spontan maupun buatan, sebelum janin mampu bertahan hidup.
Batasan ini berdasar umur kehamilan dan berat badan. Dengan lain
perkataan abortus adalah terminasi kehamilan sebelum 20 minggu atau
dengan berat kurang dari 500 gr (Handono, 2009).
Klasifikasi Abortus (Sarwono, 2008)
1) Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk
mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus
9



spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran
(Miscarriage).
Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara abortus
imminens, abortus insipiens, abortus inkompletus, abortus
kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed abortion, abortus
habitualis, abortus infeksiosus dan aborrtus septik.
a) Abortus imminens (keguguran mengancam)
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus,
dan tanpa adanya dilatasi serviks.
Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita
hamil terjadi perdarahan melalui ostium uteri eksternum,
disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar
sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes
kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi
perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika
tidak terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh penembusan
villi koreales ke dalam desidua, pada saat implantasi ovum.
Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya merah, cepat
berhenti, dan tidak disertai mules-mules.
b) Abortus incipiene (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat,
10



tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa
mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah.
c) Abortus incomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan
sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam
uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka
dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-
kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.
d) Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil
konsepsi telah di keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah
kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Pada penderita
ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan
uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat di permudah
apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan
bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
e) Abortus infeksiosa dan Abortus septik
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada
genitalia, sedangkan abortus septik adalah abortus infeksiosa
berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam
peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau
sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya
ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering
11



ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa
memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada
desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi, dan
infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan
peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah
peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh
syok.
Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya
abortus yang disertai gejala dan tanda infeksi genitalia, seperti
panas, takikardi, perdarahan pervaginam berbau, uterus yang
membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila
terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-kadang
menggigil, demam tinggi dan tekanan darah menurun.
f) Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin
yang mati tertahan di dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan
selama 8 minggu atau lebih.
Missed abortion biasanya didahului oleh tanda-tanda
abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan
atau setelah pengobatan. Gejala subyektif kehamilan
menghilang, mammae agak mengendor lagi, uterus tidak
membesar lagi malah mengecil, dan tes kehamilan menjadi
12



negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah
janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.
g) Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-
turut tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar
menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28
minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis
pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman
kemungkinan terjadi abortus lagi pada seorang wanita
mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%.
Sebaliknya, Warton dan Fraser dan Llwellyn-Jones memberi
prognosis lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Sarwono, 2008).
2) Abortus provokatus
Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis
atau bedah sebelum janin mampu hidup. Pada tahun 2000, total
857.475 abortus legal dilaporkan ke Centers for Disease Control
and Prevention (2003). Sekitar 20% dari para wanita ini berusia 19
tahun atau kurang, dan sebagian besar berumur kurang dari 25
tahun, berkulit putih, dan belum menikah. Hampir 60% abortus
terinduksi dilakukan sebelum usia gestasi 8 minggu, dan 88%
sebelum minggu ke 12 kehamilan (Centers for Disease Control and
Prevention, 2000).
13



Manuaba (2007), menambahkan abortus buatan adalah
tindakan abortus yang sengaja dilakukan untuk menghilangkan
kehamilan sebelum umur 28 minggu atau berat janin 500 gram.
Abortus ini terbagi lagi menjadi:
a) Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)
Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila
kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu
(berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat
persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
b) Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak
legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
c) Unsafe Abortion
Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana
tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur
standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan
jiwa pasien.
c. Etiologi
Penyebab abortus ada berbagai macam yang diantaranya adalah
(Mochtar, 2002):
1) Faktor maternal
a) Kelainan genetalia ibu
Misalnya pada ibu yang menderita:
14



(1) Anomali kongenital (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan
lain-lain).
(2) Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata.
(3) Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi
dari ovum yang sudah dibuahi, seperti kurangnya
progesteron atau estrogen, endometritis, dan mioma
submukosa.
(4) Uterus terlalu cepat teregang (kehamilan ganda, mola
hidatidosa).
(5) Distorsia uterus, misalnya karena terdorong oleh tumor
pelvis.
b) Penyakit-penyakit ibu
Penyebab abortus belum diketahui secara pasti penyebabnya
meskipun sekarang berbagai penyakit medis, kondisi
lingkungan, dan kelainan perkembangan diperkirakan berperan
dalam abortus. Misalnya pada:
(1) Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi seperti
pneumonia, tifoid, pielitis, rubeola, demam malta, dan
sebagainya. Kematian fetus dapat disebabkan karena toksin
dari ibu atau invasi kuman atau virus pada fetus.
(2) Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alkohol, dan lain-lain.
(3) Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis,
penyakit paru berat, anemi gravis.
15



(4) Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme,
hipotiroid, kekurangan vitamin A, C, atau E, diabetes
melitus.
c) Antagonis rhesus
Pada antagonis rhesus, darah ibu yang melalui plasenta merusak
darah fetus, sehingga terjadi anemia pada fetus yang berakibat
meninggalnya fetus.
d) Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi
Misalnya, sangat terkejut, obat-obat uterotonika, ketakutan,
laparatomi, dan lain-lain. Dapat juga karena trauma langsung
terhadap fetus: selaput janin rusak langsung karena instrument,
benda, dan obat-obatan.
e) Gangguan sirkulasi plasenta
Dijumpai pada ibu yang menderita penyakit nefritis, hipertensi,
toksemia gravidarum, anomali plasenta, dan endarteritis oleh
karena lues.
f) Usia ibu
Usia juga dapat mempengaruhi kejadian abortus karena pada
usia kurang dari 20 tahun belum matangnya alat reproduksi
untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun
pertumbuhan dan perkembangan janin, sedangkan abortus yang
terjadi pada usia lebih dari 35 tahun disebabkan berkurangnya
fungsi alat reproduksi, kelainan pada kromosom, dan penyakit
16



kronis (Manuaba, 1998).
2) Faktor janin
Menurut Hertig dkk, pertumbuhan abnormal dari fetus sering
menyebabkan abortus spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari
1000 abortus spontan, maka 48,9% disebabkan karena ovum yang
patologis; 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio; dan 9,6%
disebabkan karena plasenta yang abnormal.
Pada ovum abnormal 6% diantaranya terdapat degenerasi
hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena kelainan
dari ovum berkurang kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih
dari satu bulan, artinya makin muda kehamilan saat terjadinya
abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum
(50-80%).
3) Faktor paternal
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam
terjadinya abortus. Yang jelas, translokasi kromosom pada sperma
dapat menyebabkan abortus. Saat ini abnormalitas kromosom pada
sperma berhubungan dengan abortus (Carrel, 2003).
Penyakit ayah: umur lanjut, penyakit kronis seperti TBC,
anemi, dekompensasi kordis, malnutrisi, nefritis, sifilis, keracunan
(alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis
(Muchtar, 2002).

17



d. Patologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam decidua basalis,
diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan
hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan
benda asing didalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus
berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsi biasanya
dikeluarkan seluruhnya, karena vili koreales belum menembus desidua
terlalu dalam, sedangkan pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, telah
masuk agak tinggi, karena plasenta tidak dikeluarkan secara utuh
sehingga banyak terjadi perdarahan.
Pada kehamilan 14 minggu keatas, yang umumnya bila kantong
ketuban pecah maka disusul dengan pengeluaran janin dan plasenta
yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak terjadi jika
plasenta terlepas dengan lengkap.
Hasil konsepsi pada abortus dikeluarkan dalam berbagai bentuk.
Ada kalanya janin tidak tampak didalam kantong ketuban yang disebut
blighted ovum, mungkin pula janin telah mati lama disebut missed
abortion. Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu
singkat, maka ovum akan dikelilingi oleh kapsul gumpalan darah, isi
uterus dinamakan mola kruenta. Bentuk ini menjadi mola karneosa
apabila pigmen darah diserap sehingga semuanya tampak seperti
daging.
18



Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat
terjadi proses mumifikasi: janin mengering dan menjadi agak gepeng
atau fetus compressus karena cairan amnion yang diserap. Dalam
tingkat lebih lanjut janin menjadi tipis seperti kertas perkamen atau
fetus papiraseus.
Kemungkinan lain yang terjadi apabila janin yang meninggal tidak
dikeluarkan dari uterus yaitu terjadinya maserasi, kulit terkupas,
tengkorak menjadi lembek, dan seluruh janin berwarna kemerah-
merahan (Sarwono, 2008).
e. Komplikasi abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan,
perforasi, infeksi, syok, dan gagal ginjal akut.
1) Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-
sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah.
Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak
diberikan pada waktunya.
2) Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada
uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini,
penderita pelu diamati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu
segera dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk
perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi.
19



Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam
menimbulkan persolan gawat karena perlukaan uterus biasanya
luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus.
Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi,
laparotomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya
cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya
guna mengatasi komplikasi.
3) Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap
abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan
lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa
memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar
lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan
kemungkinan diikuti oleh syok.
4) Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok
hemoragik) dan infeksi berat (syok endoseptik).
5) Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang persisten pada kasus abortus biasanya
berasal dari efek infeksi dan hipovolemik yang lebih dari satu.
Bentuk syok bakterial yang sangat berat sering disertai dengan
kerusakan ginjal intensif. Setiap kali terjadi infeksi klostridium yang
disertai dengan komplikasi hemoglobenimia intensif, maka gagal
20



ginjal pasti terjadi. Pada keadaan ini, harus sudah menyusun
rencana untuk memulai dialysis yang efektif secara dini sebelum
gangguan metabolik menjadi berat (Cunningham, 2005).

2. Usia Ibu Hamil
a. Pengertian
Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur
dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal
yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik
sama (Nuswantari, 1998).
Usia adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau
diadakan) (Hoetomo, 2005). Sedangkan usia ibu hamil adalah usia ibu
yang diperoleh dengan melihat catatan medik pasien.
Penyebab kematian maternal dari faktor reproduksi diantaranya
adalah maternal age/usia ibu. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal
bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun.
Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di
bawah 20 tahun ternyata 2 sampai 5 kali lebih tinggi dari pada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20 sampai 29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30 sampai 35 tahun (Sarwono, 2008).
Usia seorang wanita pada saat hamil sebaiknya tidak terlalu muda
dan tidak terlalu tua. Umur yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun, berisiko tinggi untuk melahirkan. Kesiapan seorang perempuan
21



untuk hamil harus siap fisik, emosi, psikologi, sosial dan ekonomi
(Ruswana, 2006).
b. Usia ibu kurang dari 20 tahun
Remaja adalah individu antara umur 10-19 tahun. Penyebab utama
kematian pada perempuan berumur 15-19 tahun adalah komplikasi
kehamilan, persalinan, dan komplikasi keguguran. Kehamilan dini
mungkin akan menyebabkan para remaja muda yang sudah menikah
merupakan keharusan sosial (karena mereka diharapkan untuk
membuktikan kesuburan mereka), tetapi remaja tetap menghadapi
risiko-risiko kesehatan sehubungan dengan kehamilan dini dengan
tidak memandang status perkawinan mereka.
Kehamilan yang terjadi pada sebelum remaja berkembang secara
penuh, juga dapat memberikan risiko bermakna pada bayi termasuk
cedera pada saat persalinan, berat badan lahir rendah, dan
kemungkinan bertahan hidup yang lebih rendah untuk bayi tersebut.
Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu
maupun pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum
matangnya alat reproduksi untuk hamil. Penyulit pada kehamilan
remaja (<20 tahun) lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi
sehat antara 20-30 tahun. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan
bila ditambah dengan tekanan (stress) psikologi, sosial, ekonomi,
sehingga memudahkan terjadinya keguguran (Manuaba, 1998).
Manuaba (2007), menambahkan bahwa kehamilan remaja dengan
22



usia di bawah 20 tahun mempunyai risiko:
1) Sering mengalami anemia.
2) Gangguan tumbuh kembang janin.
3) Keguguran, prematuritas, atau BBLR.
4) Gangguan persalinan.
5) Preeklampsi.
6) Perdarahan antepartum.
Para remaja yang hamil di negara-negara berkembang seringkali
mencari cara untuk melakukan aborsi. Di negara-negara di mana aborsi
adalah ilegal atau dibatasi oleh ketentuan usia, para remaja ini
mungkin akan mencari penolong ilegal yang mungkin tidak terampil
atau berpraktik di bawah kondisi-kondisi yang tidak bersih. Aborsi
yang tidak aman menempati proporsi tinggi dalam kematian ibu di
antara para remaja.
c. Usia ibu lebih dari 35 tahun
Risiko keguguran spontan tampak meningkat dengan
bertambahnya usia terutama setelah usia 30 tahun, baik kromosom
janin itu normal atau tidak, wanita dengan usia lebih tua, lebih besar
kemungkinan keguguran baik janinnya normal atau abnormal
(Murphy, 2000).
Semakin lanjut usia wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada,
indung telur juga semakin kurang peka terhadap rangsangan
gonadotropin. Makin lanjut usia wanita, maka risiko terjadi abortus,
23



makin meningkat karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan
meningkatnya risiko kejadian kelainan kromosom (Samsulhadi, 2003).
Pada gravida tua terjadi abnormalitas kromosom janin sebagai
salah satu faktor etiologi abortus (Friedman, 1998).
Sebagian besar wanita yang berusia di atas 35 tahun mengalami
kehamilan yang sehat dan dapat melahirkan bayi yang sehat pula.
Tetapi beberapa penelitian menyatakan semakin matang usia ibu
dihadapkan pada kemungkinan terjadinya beberapa risiko tertentu,
termasuk risiko kehamilan.
Para tenaga ahli kesehatan sekarang membantu para wanita hamil
yang berusia 30 dan 40an tahun untuk menuju ke kehamilan yang lebih
aman. Ada beberapa teori mengenai risiko kehamilan di usia 35 tahun
atau lebih, di antaranya:
1) Wanita pada umumnya memiliki beberapa penurunan dalam hal
kesuburan mulai pada awal usia 30 tahun.
Hal ini belum tentu berarti pada wanita yang berusia 30
tahunan atau lebih memerlukan waktu lebih lama untuk hamil
dibandingkan wanita yang lebih muda usianya. Pengaruh usia
terhadap penurunan tingkat kesuburan mungkin saja memang ada
hubungan, misalnya mengenai berkurangnya frekuensi ovulasi atau
mengarah ke masalah seperti adanya penyakit endometriosis, yang
menghambat uterus untuk menangkap sel telur melalui tuba fallopii

24



yang berpengaruh terhadap proses konsepsi.
2) Masalah kesehatan yang kemungkinan dapat terjadi dan berakibat
terhadap kehamilan di atas 35 tahun adalah munculnya masalah
kesehatan yang kronis.
Usia berapa pun seorang wanita harus mengkonsultasikan diri
mengenai kesehatannya ke dokter sebelum berencana untuk hamil.
Kunjungan rutin ke dokter sebelum masa kehamilan dapat
membantu memastikan apakah seorang wanita berada dalam
kondisi fisik yang baik dan memungkinkan sebelum terjadi
kehamilan.
Kontrol ini merupakan cara yang tepat untuk membicarakan
apa saja yang perlu diperhatikan baik pada istri maupun suami
termasuk mengenai kehamilan. Kunjungan ini menjadi sangat
penting jika seorang wanita memiliki masalah kesehatan yang
kronis, seperti menderita penyakit diabetes mellitus atau tekanan
darah tinggi.
Kondisi ini, merupakan penyebab penting yang biasanya
terjadi pada wanita hamil berusia 30-40an tahun dibandingkan
pada wanita yang lebih muda, karena dapat membahayakan
kehamilan dan pertumbuhan bayinya. Pengawasan kesehatan
dengan baik dan penggunaan obat-obatan yang tepat mulai
dilakukan sebelum kehamilan dan dilanjutkan selama kehamilan
dapat mengurangi risiko kehamilan di usia lebih dari 35 tahun, dan
25



pada sebagian besar kasus dapat menghasilkan kehamilan yang
sehat.
Para peneliti mengatakan wanita di atas 35 tahun dua kali lebih
rawan dibandingkan wanita berusia 20 tahun untuk menderita
tekanan darah tinggi dan diabetes pada saat pertama kali
kehamilan. Wanita yang hamil pertama kali pada usia di atas 40
tahun memiliki kemungkinan sebanyak 60% menderita takanan
darah tinggi dan 4 kali lebih rawan terkena penyakit diabetes
selama kehamilan dibandingkan wanita yang berusia 20 tahun pada
penelitian serupa di University of California pada tahun 1999.
Hal ini membuat pemikiran sangatlah penting ibu yang berusia
35 tahun ke atas mendapatkan perawatan selama kehamilan lebih
dini dan lebih teratur. Dengan diagnosis awal dan terapi yang tepat,
kelainan-kelainan tersebut tidak menyebabkan risiko besar baik
terhadap ibu maupun bayinya.
3) Risiko terhadap bayi yang lahir pada ibu yang berusia di atas 35
tahun meningkat, yaitu bisa berupa kelainan kromosom pada anak.
Kelainan yang paling banyak muncul berupa kelainan Down
Syndrome, yaitu sebuah kelainan kombinasi dari retardasi mental
dan abnormalitas bentuk fisik yang disebabkan oleh kelainan
kromosom.

26



4) Risiko lainnya terjadi keguguran pada ibu hamil berusia 35 tahun
atau lebih.
Kemungkinan kejadian pada wanita di usia 35 tahun ke atas
lebih banyak dibandingkan pada wanita muda. Pada penelitian
tahun 2000 ditemukan 9% pada kehamilan wanita usia 20-24
tahun. Namun risiko meningkat menjadi 20% pada usia 35-39
tahun dan 50% pada wanita usia 42 tahun. Peningkatan insiden
pada kasus abnormalitas kromosom bisa sama kemungkinannya
seperti risiko keguguran.
Yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut sebaiknya
wanita berusia 30 atau 40 tahun yang merencanakan untuk hamil harus
konsultasikan diri dulu ke dokter. Bagaimanapun, berikan konsentrasi
penuh mengenai kehamilan di atas usia 35 tahun, diantaranya:
1) Rencanakan kehamilan dengan konsultasi ke dokter sebelum pasti
untuk kehamilan tersebut. Kondisi kesehatan, obat-obatan dan
imunisasi dapat diketahui melalui langkah ini.
2) Konsumsi multivitamin yang mengandung 400 mikrogram asam
folat setiap hari sebelum hamil dan selama bulan pertama
kehamilan untuk membantu mencegah gangguan pada saluran
tuba.
3) Konsumsi makanan-makanan yang bernutrisi secara bervariasi,
termasuk makanan yang mengandung asam folat, seperti sereal,
produk dari padi, sayuran hijau daun, buah jeruk, dan kacang-
27



kacangan.
4) Mulai kehamilan pada berat badan yang normal atau sehat (tidak
terlalu kurus atau terlalu gemuk). Berhenti minum alkohol sebelum
dan selama kehamilan.
5) Jangan gunakan obat-obatan, kecuali obat anjuran dari dokter yang
mengetahui bahwa si ibu sedang hamil (Saleh, 2003).

















28



B. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan teori dan apa yang telah diuraikan maka digunakan
kerangka teori dalam bentuk bagan berikut ini:

Faktor Maternal:
1. Kelainan genetalia ibu
2. Penyakit-penyakit ibu
3. Antagonis rhesus
4. Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus
berkontraksi
5. Gangguan sirkulasi plasenta
6. Usia ibu

Faktor Janin:
1. Ovum yang patologis
2. Kelainan letak embrio Abortus
3. Plasenta yang abnormal

Faktor Paternal:
1. Translokasi kromosom pada sperma
2. Penyakit-penyakit ayah


Bagan 2.1. Kerangka teori penelitian faktor-faktor yang menyebabkan abortus

Sumber: Manuaba (1998), Mochtar (2002), Cunningham (2005), Handono
(2009)

29



C. Kerangka Konsep
Variabel bebas Variabel terikat

Usia Ibu Kejadian
Hamil Abortus

Bagan 2.2. Kerangka konsep penelitian

D. Hipotesis
Ada hubungan antara usia ibu hamil dengan kejadian abortus di Rumah
Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai