Anda di halaman 1dari 13

Ular adalah salah satu binatang reptilia yang tersebar luas di seluruh benua baik spesies yang berbisa (

berbahaya ) maupun spesies yang tidak berbisa ( tidak berbahaya ). Ular yang berbisa menghasilkan
bisa untuk melemahkan musuh atau mangsanya serta sebagai alat untuk mempertahankan diri. Racun
/ bisa ular akan di injeksikan pada tubuh mangsanya melalui gigitan bila merasa terancam , ketakutan
atau merasa terusik atau jika ular ingin melumpuhkan mangsanya.
Bisa ular merupakan hasil sekresi kelenjar mulut khusus yang menyerupai kelenjar saliva pada hewan
vertebrata, hal ini bisa dikatakan bisa ular merupakan modifikasi dari saliva ini. Setiap spesies ular
menghasilkan komponen dan kandungan bahan toksik atau non toksi k yang berbeda beda. Tetapi jika
ular tersebut memiliki kekerabatan maka komponen penyusun bisanya akan mirip. Umumnya setiap
jenis ular berbisa mengandung hemoragin, kardiotoksin, dan neurotoksin dengan kadar yang berbeda
beda.
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat
respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan
kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan
hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun
alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa
yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat
gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi
mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata
yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak
berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat
saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau
intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga
berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang
dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular
tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama
protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis
kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit),
serta banyaknya serangan yang terjadi. Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae,
tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini
adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas
korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus).
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae,
atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota
famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja
sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi
dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu
Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit
organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular
bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris).
Susunan kimia dari bisa ular sangat kompleks sekitar 90 % tersusun atas protein yang sebagian besar
adalah enzim serta mengandung polipeptida, Enzim utama bisa ular antara lain proteolitik ,
hialurinidase, asam amino oksidase, kolinesterase, fosfolipase A, ribonuklease, deoksiribonuklease,
fosfomonoeterase, fosfodiesterase, nukleotidase, ATPase dan DPNase.
Protein penyusun bisa ular jika di suntikkan dan masuk ke aliran darah akan mempengaruhi sistem
kardiovaskuler, sirkulasi, respirasi, syaraf. Untuk mengatasi gigitan ular berbisa maka digunakan
antibisa ular yang di suntikkan langsung ke pembuluh vena. Antibisa ular adalah serum atau antibodi
yang diproduksi untuk menetralisir efek sari infeksi bisa ular tersebut. Serum ini diperoleh dengan
cara menginjeksikan bisa ular yang telah dilemahkan ke dalam tubuh kuda.
Ada 2 jenis Racun ular, yaitu
1. Neurotoksin : Dapat melumpuhkan sistim saraf pusat, melumpuhkan jantung dan sarah
pernafasan. Racun jenis ini dimiliki oleh ular Kobra, ular Mamba, ular Laut, Krait, Ular
Karang.
2. Hemotoksin: Dapat menyerang sistim sirkulasi darah dan sistim otot dan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan, gangrene, kelumpuhan permanen kemapuan bergerak otot. Racun jenis
ini dihasilkan oleh keluarga ular Viperidae misalnya Rattle Snake, Coppe head, dan Cotton
mouth.
Sampai saat ini dikenal sekitar 20 jenis enzim yang beracun. Umumnya ular berbisa memiliki 6
sampai 12 jenis enzim dalam bisanya. Masing masing berfungsi khusus, misalnya untuk mencerna
mangsa, sedangkan enzim yang lain untuk melumpuhkan mangsa.
Beberapa Jenis enzim yang dimiliki ular berbisa:
Cholinesterase : Neurotoksin dan dapat melumpuhkan mangsa
Amino Acid Oxidase : Berfungsi mencerna mangsa dan memicu peran enzim lainnya.
Hyaluronidase : Berfungsi untuk mempermudah penyerapan enzim lain kejaringan korban.
Proteinase: Berfungsi untuk mencerna, mengahancurkan jaringan tubuh korban.
Adenosin Triphospatase : Diduga neurotoksin yang bekerja sentral dan menyebabkan korban
mengalami syok dan melumpuhkan mangsa.
Phospodiesterase : Bekerja dengan cara mengganggu fungsi jantung dan menurunkan tekanan
darah dengan cepat.

Khasiat Serum Ular
RACUN, apalagi racun ular, memang memiliki sifat mematikan. Racun alias bisa ular itu sangat
ganas. Sebab, racun ular itu bisa dengan cepat melumpuhkan saraf si korban (eurotoxin). Atau ada
juga racun ular yang bersifat melumpuhkan sistem sirkulasi darah (hematoxin). Namun, sifat
membunuh sang racun itu itu ternyata bisa bermanfaat buat manusia. Sebab, serum racun alias bisa
ular ternyata juga dapat membunuh berbagai bibit penyakit. Menurut Snake Hunter Club Indonesia
(SHCI), organisasi pecinta ular yang juga mengembangkan penggunaan serum ular di Indonesia, ada
sejumlah penyakit yang bisa disembuhkan serum ular. Seperti disebut di tulisan pertama, serum ular
terdiri dari tiga kelas. Masing-masing kelas memiliki khasiat dan cara kerjanya sendiri-sendiri.
Serum bisa ular paling ringan, yakni kelas III, dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang
diakibatkan virus, seperti malaria, demam berdarah, dan rabies. Maklum saja, Serum kelas tiga ini
akan membunuh berbagai macam virus yang masuk ke dalam tubuh, sehingga pasien bisa sehat
kembali, dan membikin kita kebal terhadap terhadap penyakit malaria, tetanus, rabies, dan kalau
kecelakaan, luka cepat kering, jelas Transtoto Handadhari, Ketua Dewan Pembina Snake Hunter Club
Indonesia. Serum kelas III yang terbuat dari bisa ular air, talimongso, gadung, koros, piton, sanca
manuk, sanca kembang, sawah, dedak, blandotan kerawang, puspa kajang, dan samberlilen. Selain itu,
kata Transtoto, serum bisa ular paling ringan ini juga akan membantu mempercepat mengeringnya
luka - luka akibat kecelakaan kendaraan.
Serum kelas II bermanfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang berkaitan dengan darah.
Sebab, serum bisa ular kelas menengah ini akan membersihkan darah dari berbagai zat yang
merugikan. Serum kelas II, yakni yang terbuat dari racun ular belang seperti gibuk, welang, weling,
dan gadung luwuk Beberapa jenis penyakit yang bisa disembuhkan oleh serum kelas II ini antara lain
kencing manis (diabetes mellitus ), tifus, lever, asma, dan alergi.
Serum tingkat I, yang berasal dari bisa ular paling berbahaya, diyakini bisa menyembuhkan berbagai
penyakit berat macam kanker darah, flu burung, kanker tulang, hingga HIV. dan kebal terhadap
gigitan King Cobra .Serum kelas I yang paling tinggi adalah serum kelas I yang terbuat dari bisa ular
yang benar-benar? berbahaya seperti, bisa ular Kobra dan Dedak Bromo. Ada pasien yang virus HIV-
nya hilang setelah minum serum tingkat I ini, kata Transtoto.
Di Inggris dan Australia ada penelitian yang mengatakan serum ular dapat mencegah serangan
jantung dan stroke. Sayangnya, penelitian itu masih menemui jalan buntu meskipun sudah 25 tahun
berjalan. Adapun masalah yang mereka hadapi adalah kesulitan menentukan dosis yang tepat agar
serum dapat berfungsi baik dan bukannya malah meracuni tubuh si pasien. Itulah salah satu alasan
mengapa sampai kini manfaat dan penggunaan serum ular di dunia kedokteran modern masih jadi
perdebatan para ahli. Namun, yang jelas, Transtoto mengklaim, hingga hari ini, setidaknya 40.000
orang telah merasakan khasiat serum ular buatan SHCI. Dan, sejauh ini, Belum ada satu pun kasus
pasien jadi keracunan setelah minum serum ular, tandasnya.
Sedangkan menurut SHCL pembuatan serum bisa ular degan cara proses pembuatan ketiga jenis
serum itu tidak terlalu rumit. Racun ular tinggal dikeluarkan dan dijemur di bawah sinar matahari
hingga mengkristal. Nah, jika hendak digunakan, kristal bisa ular akan kembali dicairkan. Cara
penggunaannya adalah diminumkan. Komposisinya, satu sendok serum ular ditambah setengah gelas
air. Metode ini berbeda dengan penggunaan serum ular di rumah sakit untuk mengobati pasien yang
terkena gigitan ular. Hebatnya, seseorang yang pernah minum atau menerima suntikan serum ular
akan kebal terhadap gigitan ular bersangkutan seumur hidupnya. Misalnya, jika Anda menerima
serum ular weling, seumur hidup Anda akan kebal terhadap gigitan ular weling jenis apa pun.
Metode pembuatan serum ini berbeda dengan prosedur pembuatan Serum secara klinik. Pembuatan
serum secara klinik seperti penjelasan kami di bagian awal artikel ini adalah dengan menyuntikkan
bisa ular yang sudah di lemahkan pada kuda, sehingga kuda membentuk antibody dan antibody kuda
tersebut sebagai serum. Entah kami belum terlalu paham mengenai hal ini. Tetapi menurut kami yang
paling masuk akal adalah pembuatan serum secara klinik. Tetapi cara SHCL juga bisa diterima karena
bisa ular mengandung protein protein seperti kuning telur dan ketika dimakan / masuk melalui organ
pencernaan akan di cerna secara alami, tetapi pertanyaannya adalah apa benar setelah makan protein
dari bisa ular akan membentuk anti body dalam tubuh kita ?
Secara tehnis kuning telur juga sangat berbahaya dan memiliki efek yang serupa dengan bisa ular jika
kuning telur itu langsung di injeksikan ke vena. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi penggumpalan
darah sebagai bentuk rekasi antara kuning telur dan darah.
METODE PEMBUATAN ANTI BISA / SERUM
Racun ular sangat berbahaya,memicu manusia untuk membuat penangkalnya. Penangkal racun ular
yang disebut dengan antiracun atau antivenin dihasilkan dengan metode Horse Serum (Serum
Kuda).
Serum Anti Bisa Ular (Polivalen) Kuda (1)
Deskripsi
- Nama & Struktur Kimia : Serum anti bisa ular polivalen (kuda)
- Sifat Fisikokimia : -
- Keterangan : Serum polivalen yang berasal dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular
yang memiliki efek neurotoksik (ular jenis Naja sputatrix - ular kobra, Bungarus fasciatus - ular
belang) dan hemotoksik (ular Ankystrodon rhodostoma - ular tanah)
Antivenom (atau antivenin atau antivenene) merupakan produk biologi yang digunakan dalam
pengobatan berbisa gigitan atau sengatan. Antivenom dibuat oleh memerah racun dari yang
diinginkan ular , laba-laba atau serangga . Racun tersebut kemudian diencerkan dan disuntikkan ke
dalam kuda , domba atau kambing . Binatang subjek akan menjalani reaksi kekebalan terhadap racun,
menghasilkan antibodi terhadap molekul aktif racun itu yang kemudian dapat dipanen dari darah
binatang itu dan digunakan untuk mengobati envenomation . Secara internasional, antivenoms harus
sesuai dengan standar farmakope dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
Horse Serum : Racun ular disuntikkan kedalam tubuh kuda, secara berlahan akan terbentuk anti bodi
terhadap racun ular tersebut. Serum dipisahkan dari darah kuda.
Namun sepertiga penerima serum kuda mengalami reaksi alergi.Oleh karena itu perlu prosedur
standard untuk menuji kepekaan serum sebelum diberikan kepada penderita gigitan ular.
Selain untuk memproduksi antivenin, bisa ular ternyata dapat digunakan untuk bidang kesehatan dan
kedokteran lain, seperti :
.Racun Ular Copperhead : Mengobati penderita kanker payudara
Racun Malayan Pit Viper: Dimanfaatka untuk mencegah pembekuan darah, mungkin
bermanfaat untuk penderita sroke
Enzim racun Kobra: sedang diteliti untuk mencegar penyakit Parkinzon, Alzeimer, serta
leukemia dan kanker.
Racun Ular Viper: Diduga dapat mengatasi osteoporosis dan memperkecil tumor tertentu
Beberapa jenis ekstrak bisa ular digunakan untuk antikoagulan, penyakit, mengobati penyakit
jantung atau darah tinggi.
Terminologi Antivenom atau serum antibisa
Nama "antivenin" berasal dari kata Perancis venin , yang berarti racun , yang pada gilirannya berasal
dari bahasa Latin venenum , yang berarti racun . Secara historis antivenin predominan di seluruh
dunia. Penggunaan pertama yang diterbitkan dalam semester itu adalah pada tahun 1895. Pada tahun
1981, Organisasi Kesehatan Dunia memutuskan bahwa istilah yang lebih disukai dalam bahasa
Inggris akan menjadi racun dan antivenom daripada venin dan antivenin atau venen dan antivenene.
Penggunaan Terapi
Prinsip antivenom didasarkan pada bahwa dari vaksin , yang dikembangkan oleh Edward Jenner ,
namun, bukannya merangsang kekebalan pada pasien langsung, diinduksi dalam hewan inang dan
serum hyperimmunized yang ditransfusikan ke pasien.
Antivenoms dapat diklasifikasikan ke dalam monovalen ( ketika mereka efektif terhadap racun
spesies tertentu ) atau polivalen (ketika mereka efektif terhadap berbagai spesies, atau spesies yang
berbeda pada saat yang sama). Para antivenom pertama untuk ular (disebut anti-ophidic serum)
dikembangkan oleh Albert Calmette , seorang ilmuwan Perancis Institut Pasteur bekerja di perusahaan
Indochine cabang di 1895, melawan Cobra India (Naja naja). Vital Brazil , seorang ilmuwan Brasil,
dikembangkan pada tahun 1901 antivenoms monovalen dan polivalen pertama bagi Tengah dan
Amerika Selatan Crotalus , Bothrops dan Elaps genera, serta untuk beberapa jenis berbisa laba-laba ,
kalajengking , dan katak . Mereka semua dikembangkan di lembaga Brasil, Butantan Instituto , yang
terletak di So Paulo , Brasil .
Antivenoms untuk digunakan terapi sering diawetkan sebagai beku-kering ampul , tetapi beberapa
hanya tersedia dalam bentuk cair dan harus disimpan dalam lemari es. Mereka tidak segera
dilemahkan oleh panas, bagaimanapun, jadi celah kecil dalam rantai dingin tidak bencana. Mayoritas
antivenoms (termasuk semua antivenoms ular) yang diberikan secara intravena, namun stonefish dan
laba-laba Redback antivenoms diberikan intramuskuler . Rute intramuskular telah dipertanyakan
dalam beberapa situasi tidak seragam efektif.
Antivenoms mengikat dan menetralisir racun, menghentikan kerusakan lebih lanjut, tetapi tidak
membalik kerusakan sudah dilakukan. Jadi, mereka harus diberikan sesegera mungkin setelah racun
telah disuntikkan, tetapi dari beberapa manfaat selama racun hadir dalam tubuh. Sejak munculnya
antivenoms, beberapa gigitan yang sebelumnya selalu fatal telah menjadi hanya jarang fatal asalkan
antivenom ini dikelola cukup cepat.
Antivenoms disucikan oleh beberapa proses tapi masih akan berisi serum lain protein yang dapat
bertindak sebagai antigen . Beberapa individu mungkin bereaksi terhadap antivenom dengan reaksi
hipersensitivitas segera ( anafilaksis ) atau hipersensitivitas tertunda ( serum sickness ) reaksi dan
antivenom harus, karena itu, digunakan dengan hati-hati. Meskipun hati-hati ini, antivenom biasanya
merupakan satu-satunya pengobatan yang efektif untuk kondisi yang mengancam jiwa, dan sekali
tindakan pencegahan untuk mengelola reaksi-reaksi ini di tempat, reaksi anaphylactoid bukan alasan
untuk menolak untuk memberikan antivenom jika dinyatakan lain. Walaupun merupakan mitos yang
populer bahwa orang yang alergi terhadap kuda "tidak bisa" diberikan antivenom, efek sampingan
dapat dikendalikan, dan antivenom harus diberikan secepat efek samping dapat dikelola.
Di AS antivenom hanya disetujui untuk pit viper ( ular , Copperhead dan air sepatu sandal ) gigitan
ular didasarkan pada produk murni dibuat pada domba dikenal sebagai CroFab . Ini disetujui oleh
FDA pada bulan Oktober, 2000. AS karang ular antivenom tidak lagi diproduksi, dan saham yang
tersisa di-date antivenom untuk gigitan ular karang berakhir pada musim semi 2009, meninggalkan
AS tanpa antivenom ular Karang. Upaya yang dilakukan untuk mendapat persetujuan atas antivenom
ular karang yang diproduksi di Meksiko yang akan bekerja melawan karang AS gigitan ular, tetapi
persetujuan tersebut masih bersifat spekulatif. Dengan tidak adanya antivenom, semua karang gigitan
ular harus dirawat di rumah sakit dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik elektif sampai
efek neurotoksin ular karang mereda. Penting untuk diingat bahwa kelumpuhan pernafasan pada
karang gigitan ular dapat terjadi tiba-tiba, sering hingga 12 jam atau lebih setelah gigitan, sehingga
intubasi dan ventilasi harus digunakan untuk mengantisipasi kegagalan pernapasan dan tidak setelah
itu terjadi, ketika mungkin terlalu terlambat .
Alami Kekebalan dan diperoleh
Meskipun individu dapat berbeda dalam respon fisiopatologis mereka dan kepekaan terhadap venoms
hewan, tidak ada kekebalan alami kepada mereka pada manusia. Beberapa ophiophagic hewan kebal
terhadap racun yang dihasilkan oleh beberapa spesies ular berbisa, oleh adanya faktor
antihemorrhagic dan antineurotoxic dalam darah mereka. Hewan ini termasuk Kingsnakes , oposum ,
mongooses, dan landak .
Hal ini sangat mungkin untuk mengimunisasi orang langsung dengan dosis kecil dan bergradasi racun
daripada binatang. Menurut sejarah Yunani , Raja Mithridates melakukan ini untuk melindungi diri
terhadap upaya dari keracunan , sehingga prosedur ini sering disebut mithridatization . Namun, tidak
seperti vaksinasi terhadap penyakit yang hanya harus menghasilkan laten kekebalan yang dapat
membangkitkan jika terjadi infeksi , untuk menetralkan dosis mendadak dan besar racun memerlukan
mempertahankan tingkat tinggi antibodi beredar (keadaan hyperimmunized), melalui suntikan racun
diulang (biasanya setiap 21 hari). Efek kesehatan jangka panjang dari proses ini belum diteliti. Untuk
beberapa ular besar, jumlah total antibodi adalah mungkin untuk mempertahankan dalam satu
manusia tidak cukup untuk menetralkan satu envenomation [ rujukan? ]. Selanjutnya, sitotoksik
komponen racun dapat menyebabkan rasa sakit dan jaringan parut kecil di tempat imunisasi.
Akhirnya, perlawanan adalah khusus untuk racun tertentu yang digunakan; mempertahankan
ketahanan terhadap berbagai venoms membutuhkan beberapa suntikan racun bulanan. Dengan
demikian, tidak ada tujuan praktis atau yang menguntungkan biaya / manfaat rasio ini, kecuali orang-
orang seperti kebun binatang penangan, peneliti, dan seniman sirkus yang berhubungan erat dengan
hewan berbisa. Mithridatization telah berhasil diuji di Australia dan Brasil dan kekebalan total telah
tercapai bahkan gigitan beberapa kobra yang sangat berbisa dan ular beludak pit. Mulai tahun 1950,
Bill Haast berhasil diimunisasi dirinya pada venoms dari Cape , India dan Raja kobra
Karena neurotoksik venoms harus melakukan perjalanan jauh dalam tubuh untuk melakukan
kejahatan dan diproduksi dalam jumlah lebih kecil, lebih mudah mengembangkan resistansi terhadap
mereka daripada venoms langsung sitotoksik (seperti yang sebagian besar ular berbisa ) yang
disuntikkan dalam jumlah besar dan melakukan kerusakan segera setelah injeksi.

Bagaimanakah Gigitan Ular Dapat Terjadi ?
Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang ular, pemburu, dan
penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak mengenakan alas kaki atau hanya
memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja. Gigitan ular juga dapat terjadi pada
penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak,
atau tikus.
Bagaimana Mengenali Ular Berbisa ?
Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular tidak berbisa
dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran,
bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa
adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas
taring.
Ciri-ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segiempat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan
Ciri-ciri ular berbisa:
1. Bentuk kepala segitiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa hemotoksik, yaitu
bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang
mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi
gigitan. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang
yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas
menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda
gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan
pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks),
nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).
GEJALA KLINIS TERKENA GIGITAN ULAR BERBISA:
1. Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular.
2. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena darah
yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
3. Gejala sistemik: hipotensi, otot melemah, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi (ludah
bertambah banyak), muntah, nyeri kepala, pandangan kabur
Gigitan Elapidae (misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai,
coral snakes, mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak
mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit: muncul gejala sistemik.
b. 10 jam: paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah
menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan
kabur, mati rasa di sekitar mulut.
Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae / Crotalidae (ular: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo):
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam
atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiidae (misalnya: ular laut):
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi
pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna
coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae (misalnya: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah
gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2. Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Rasa nyeri pada gigitan ular mungkin ditimbulkan dari amin biogenik, seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin, yang ditemukan pada Viperidae. Sindrom kompartemen merupakan salah satu
gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi edem ( pembengkakan ) pada tungkai ditandai dengan
5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis ( kelumpuhan otot ),
pulselesness (denyutan).
Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah:
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum
korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di
tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa,
mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis
di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban ke
tempat perawatan medis.
Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi ( membuat
tidak bergerak ) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar
tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan
bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure - immobilisation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan
menimbulkan pendarahan lokal.
Penatalaksanaan Sebelum dibawa ke rumah sakit:
Diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
Bila belum tersedia antibisa, ikatlah 2 ujung yang terkena gigitan. Tindakan ini kurang
berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit paskagigitan.
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan senyaman
mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa.
3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan
gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran
darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang
digigit, pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
1. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
2. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan lebar + 10
cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari
ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban
seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah
tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah
dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
3. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan jalan nafas;
penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi
perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock
perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat
terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan
ginjal dan komplikasi nekrosis lokal
4. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid maka diberikan
satu dosis toksoid tetanus
5. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular
6. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat mati/panik
7. Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein, maka sifatnya
adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat
polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini hanya
diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas
Setelah dibawa ke rumah sakit:
Beri SABU ( Serum Anti Bisa Ular ) polivalen 1 ml berisi:
1. 10 - 50 LD50 bisa Ankystrodon
2. 25-50 LD50 bisa Bungarus
3. 25-50 LD50 bisa Naya sputarix
4. Fenol 0,25% v/v.
Teknik Pemberian:
2 vial @ 5 ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9 % atau Dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes
per menit. Maksimal 100 ml (20 vial).
Informasikan pada pasien mengenai kemungkinan efek samping yang tertunda, terutama serum
sickness (demam, rash, arthralgias).Tindakan pertama pada gigitan ular:
1. Luka dicuci dengan air bersih atau dengan larutan kalium permanganat untuk menghilangkan
atau menetralisir bisa ular yang belum terabsorpsi.
2. Insisi atau eksisi luka tidak dianjurkan, kecuali apabila gigitan ular baru terjadi beberapa
menit sebelumnya. Insisi luka yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa atau dilakukan
oleh orang yang tidak berpengalaman justru seing merusak jaringan dibawah kulit dan akan
meninggalkan luka parut yang cukup besar.
3. Anggota badan yang digigit secepatnya diikat untuk menghambat penyebaran racun.
4. Lakukan kemudian imobilisasi anggota badan yang digigit dengan cara memasang bidai
karena gerakan otot dapat mempercepat penyebaran racun.
5. Bila mungkin anggota badan yang digigit didinginkan dengan es batu.
6. Penderita dilarang untuk bergerak dan apabila perlu dapat diberikan analgetika atau sedativa.
7. Penderita secepatnya harus dibawa ke dokter atau rumah sakit yang terdekat untuk menerima
perawatan selanjutnya.

Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Pemilihan anti bisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepat sulit untuk
ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah korban dan keadaan
korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @ 5 ml sebagai larutan 2%
dalam garam faali dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40 - 80 tetes per menit, kemudian
diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) anti
serum dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai maksimum ( 80 - 100 ml ). Anti serum yang tidak
diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
anti serum untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.
Stabilitas Penyimpanan Serum antibisa
Disimpan pada suhu 2 - 8C dalam lemari es, jangan dalam freezer. Daluarsa = 2 tahun.
Kontraindikasi Serum antibisa
Tidak ada kontraindikasi absolut pada terapi anti bisa ular untuk envenoming sistemik yang nyata;
terapi diperlukan dan biasanya digunakan untuk menyelamatkan jiwa.
Efek Samping Serum Antibisa.
1. Reaksi anafilaktik; jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau dalam waktu
beberapa jam sesudah suntikan.
2. Serum sickness; dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan berupa demam, gatal-gatal,
eksantema, sesak napas dan gejala alergi lainnya.
3. Demam disertai menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan; yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam
jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.
Interaksi
1. Dengan Obat Lain : Belum ada interaksi signifikan yang dilaporkan.
2. Dengan Makanan : -

Pengaruh
1. Terhadap Kehamilan : Tidak ada data mengenai penggunaan anti bisa ular pada kehamilan.
Keuntungan penggunaan terhadap ibu dan bayi melebihi kemungkian risiko penggunaan
serum anti bisa ular.
2. Terhadap Ibu Menyusui : Tidak ada data. Keuntungan pengunaan terhadap ibu melebihi
kemungkinan risiko pada bayi.
3. Terhadap Anak-anak : Anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap envenoming
yang parah karena massa tubuh yang lebih kecil dan kemungkinan aktivitas fisik yang lebih
besar. Anak-anak membutuhkan dosis yang sama dengan dewasa, dan tidak boleh diberikan
dosis anak berdasarkan berat badan (pediatric weight-adjusted dose);disebabkan hal ini dapat
menimbulkan perkiraan dosis yang lebih rendah. Jumlah serum anti bisa ular yang diperlukan
tergantung dari jumlah bisa ular yang perlu dinetralisasi bukan berat badan pasien
4. Terhadap Hasil Laboratorium : -
Parameter Monitoring
Monitor efek dari serum anti bisa ular baik secara klinis maupun laboratorium. Monitor efek samping
setelah administrasi serum anti bisa ular. Monitoring yang diperlukan dapat berbeda tergantung dari
jenis ular yang menggigit. Bila ragu-ragu mengenai jenis ular yang menggigit, monitor coagulopathy,
flaccid paralysis, myolysis dan fungsi ginjal.
Bentuk Sediaan
Vial 5 ml, Tiap ml Sediaan Dapat Menetralisasi :
10-15 LD50 Bisa Ular Tanah (Ankystrodon Rhodostoma)
25-50 LD50 Bisa Ular Belang (Bungarus Fasciatus)
25-50 LD50 Bisa ular kobra (Naja Sputatrix), dan mengandung fenol 0.25% v/v

Anti bisa ular harus diberikan secepatnya setelah gejala atau tanda diatas ditemukan. Anti bisa ular
akan menetralkan efek bisa ular walaupun gigitan ular sudah terjadi beberapa hari yang lalu atau pada
kasus kelainan hemostatik, anti bisa ular masih dapat diberikan walaupun sudah terjadi lebih dari 2
minggu. Tetapi beberapa bukti klinis menyebutkan bahwa anti bisa ular efektif jika diberikan dalam
beberapa jam setelah digigit ular.
Lebih dari 10% pasien mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap anti bisa ular, reaksinya dapat
trejadi secara cepat (dalam beberapa jam) atau lambat (5 hari atau lebih). Resiko reaksi tergantung
dosis yang diberikan, kecuali pada kasus yang jarang, terjadi sensitisasi (Ig E-mediated type I
hypersensitivity) oleh serum hewan sebelumnya, contohnya : Ig-tetanus, Ig-rabies.
Reaksi Anafilaksis
Terjadi dalam 10-180 menit setelah pemberian anti bisa ular, gejalanya gatal, urtikaria, batuk kering,
demam, mual, muntah, diare dan takikardi. Sebagian kecil pasien akan mengalami reaksi anafilaksis
yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan angioedema.
Reaksi Pyrogenik (endotoksin)
Terjadi dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejalanya berupa demam, vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Reaksi ini disebabkan kontaminasi pirogen selama proses dipabrik.
Reaksi Lambat
Terjadi dalam 1-12 hari setelah pengobatan, gejala klinisnya berupa demam, mual, muntah, diare,
gatal, urtikaria berulang, atralgia, mialgia, limpadenopati, proteinuria dengan nephritis kompleks
imun, dan encephalopati (jarang).
Pengobatan reaksi yang terjadi setelah pemberian anti bisa ular
Reaksi anafilaksis dan pyrogen anti bisa ular
Epineprin (adrenalin) diberikan intra muskular (lateral paha atas) dengan dosis awal 0,5mg untuk
dewasa dan 0,01mg/kgBB untuk anak-anak. Adrenalin harus segera diberikan setelah muncul gejala,
dosis dapat diulang setiap 5-10 menit jika kondisi tidak membaik.
Pengobatan tambahan berupa antihistamin, anti-H1 blocker seperti klorphenamin maleat (dewasa
10mg, anak-anak 0,2mg/kgBB IV dalam beberapa menit) harus diberikan dengan hidrokortison
(dewasa 100mg, anak-anak 2mg/kgBB). Pada reaksi pirogen dapat diberikan anti piretik (contohnya
parasetamol oral atau supp). Cairan intravena harus diberikan untuk mengatasi hipovolemia.
Reaksi lambat (serum sickness)
Anti histamin oral diberikan selama 5 hari, jika tidak ada respon dalam 24-48 jam berikan prednisolon
selama 5 hari.
Dosis : chlorphenamine : dewasa 2mg/6 jam, anak-anak 0,25mg/kg/hari
Prednisolone : dewasa 5mg/6 jam, anak-anak 0,7mg/kg/hari
Kesimpulan
Serum Anti Bisa Ular (Snake Anti Venom) merupakan produk biologis yang digunakan dalam
pengobatan gigitan ular berbisa. Anti bisa ular terdapat dalam 2 sediaan, monovalen (efektif terhadap
racun spesies ular tertentu) dan polyvalent (efektif terhadap beberapa spesies ular). Anti bisa ular
diberikan ketika seorang pasien terbukti atau diduga telah digigit ular dengan adanya tanda keracunan
sistemik maupun lokal.
1. Ular Weling (Bungarus Candidus)
2. Ular Welang (Bungarus Fasciatus)
3. Ular Kobra (Naja Sputatrix)
4. Ular King Cobra (Ophiophagus hannah)
5. Ular Bangkai Laut (Trimeresurus Albolabris)
6. Ular Cabe (Maticora Intestinalis)
7. Ular Bandotan (Vipera Russell)
8. Ular Tanah (Calloselasma Rhodostoma)
9. Ular Picung/ Wedudak Srengenge (Rhabdophis Subminiatus)
Efek yg di timbulkan oleh gigitan pun ada 3 jenis yaitu:
1. Efek lokal:
nyeri hebat yg tidak sebanding dengan besar luka,bengkak,eritema,petekie,ekimosis,bula, memar
sampai tanda nekrosis jaringan.
2. Efek sistemik:
Rasa kesemutan,lemas,salvias,nyeri kepala,mual & muntah,nyeri perut,diare sampai korban
mengalami syok hipovolemik sekunder.
3. Efek Sistomik Spesifik:
-Kualopati: keluarnya darah terus menerus dari luka gigitan,Venipuncture dari gusi dan bila
berkembang akan menimbulkan hematuria,hematemesis,melena dan batuk darah dapat terjadi
pendarahan di peritoneum atau pericardium,udem paru dan syok berat karena efek racun langsung
pada otot jantung.
-Neurotoksin: ptosis,oftalmoplegia progresif, lumpuh layuh anggota tubuh (+12jam pasca gigitan).
-Miotoksisitas: hanya di temukan pada kasus gigitan Ular Laut.
Antivenom (or antivenin or antivenene) is a biological product used in the treatment
of venomous bites or stings. Antivenom is created by milking venom from the
desired snake, spider or insect. The venom is then diluted and injected into
a horse, sheep, rabbit, or goat. The subject animal will undergo an immune response to the
venom, producing antibodies against the venom's active molecule which can then be
harvested from the animal's blood and used to treat envenomation. Internationally,
antivenoms must conform to the standards of pharmacopoeia and the World Health
Organization (WHO).
[

The principle of antivenom is based on that of vaccines, developed by Edward Jenner;
however, instead of inducing immunity in the patient directly, it is induced in a host animal
and the hyperimmunized serum is transfused into the patient.
Antivenoms can be classified into monovalent (when they are effective against a single
species' venom) or polyvalent (when they are effective against a range of species, or
several different species at the same time). The first antivenom for snakes (called an anti-
ophidic serum) was developed by Albert Calmette, a French scientist of the Pasteur
Institute working at its Indochinebranch in 1895, against the Indian Cobra (Naja naja). In
1901, Vital Brazil, working at the Instituto Butantan in So Paulo, Brazil, developed the first
monovalent and polyvalent antivenoms for Central and South
American Crotalus and Bothrops genera, as well as for certain species of
venomous spiders, scorpions, and frogs.
Antivenoms for therapeutic use are often preserved as freeze-dried ampoules, but some are
available only in liquid form and must be kept refrigerated. They are not immediately
inactivated by heat, however, so a minor gap in the cold chain is not disastrous. The majority
of antivenoms (including all snake antivenoms) are administered intravenously;
however, stonefish and redback spiderantivenoms are given intramuscularly. The
intramuscular route has been questioned in some situations as not uniformly effective.
[4]

Antivenoms bind to and neutralize the venom, halting further damage, but do not reverse
damage already done. Thus, they should be administered as soon as possible after the
venom has been injected, but are of some benefit as long as venom is present in the body.
Since the advent of antivenoms, some bites which were previously invariably fatal have
become only rarely fatal provided that the antivenom is administered soon enough.
Antivenoms are purified by several processes but will still contain other serum proteins that
can act as antigens. Some individuals may react to the antivenom with an immediate
hypersensitivity reaction (anaphylaxis) or a delayed hypersensitivity (serum sickness)
reaction and antivenom should, therefore, be used with caution. Despite this caution,
antivenom is typically the sole effective treatment for a life-threatening condition, and once
the precautions for managing these reactions are in place, an anaphylactoid reaction is not
grounds to refuse to give antivenom if otherwise indicated. Although it is a popular myth that
a person allergic to horses "cannot" be given antivenom, the side effects are manageable,
and antivenom should be given as rapidly as the side effects can be managed.
[5]

In the U.S. the only approved antivenom for pit viper (rattlesnake, copperhead and water
moccasin) snakebite is based on a purified product made in sheep known as CroFab.
[6]
It
was approved by the FDA in October, 2000. U.S. coral snake antivenom is no longer
manufactured, and remaining stocks of in-date antivenom for coral snakebite expired in the
Fall of 2009, leaving the U.S. without a coral snake antivenom. Efforts are being made to
obtain approval for a coral snake antivenom produced in Mexico which would work against
U.S. coral snakebite, but such approval remains speculative.
[citation needed]
In the absence of
antivenom, all coral snakebite should be treated in a hospital by elective endotracheal
intubation and mechanical ventilation until the effects of coral snake neurotoxins abate. It is
important to remember that respiratory paralysis in coral snakebite can occur suddenly, often
up to 12 or more hours after the bite, so intubation and ventilation should be employed in
anticipation of respiratory failure and not after it occurs, when it may be too late.
Natural and acquired immunity[edit]
Although individuals can vary in their physiopathological response and sensitivity to animal
venoms, there is no natural immunity to them in humans. Some ophiophagic animals are
immune to the venoms produced by some species of venomous snakes, by the presence of
antihemorrhagic and antineurotoxic factors in their blood.
It is quite possible to immunize a person directly with small and graded doses of
venom rather than an animal. According to Greek history, King Mithridates did this in order to
protect himself against attempts of poisoning, therefore this procedure is often
called mithridatization. However, unlike a vaccination against disease which must only
produce a latent immunity that can be roused in case of infection, to neutralize a sudden and
large dose of venom requires maintaining a high level of circulating antibody (a
hyperimmunized state), through repeated venom injections (typically every 21 days). The
long-term health effects of this process have not been studied. Further, cytotoxic venom
components can cause pain and scarring at the immunization site. Finally, the resistance is
specific to the particular venom used; maintaining resistance to a variety of venoms requires
multiple monthly venom injections. Thus, there is no practical purpose or favorable
cost/benefit ratio for this, except for people like zoo handlers, researchers, and circus artists
who deal closely with venomous animals. Mithridatization has been tried with success
in Australia andBrazil and total immunity has been achieved even to multiple bites of
extremely venomous cobras and pit vipers.
Because neurotoxic venoms must travel farther in the body to do harm and are produced in
smaller quantities, it is easier to develop resistance to them than directly cytotoxic venoms
(such as those of most vipers) that are injected in large quantity and do damage immediately
upon injection.

Anda mungkin juga menyukai