Anda di halaman 1dari 10

Problematika Uang Kuliah Tunggal (UKT)

Senin, 13 Januari 2014 14:04 wib


-
Padlun Fauzi (foto: dok. pribadi)
UANG Kuliah Tunggal atau yang sering kita sebut UKT mulai diberlakukan untuk
mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014 di seluruh PTN di Indoensia. Kebijakan
ini merujuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2013 tentang, Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah
Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. UKT memang masih asing di sebagian mahasiswa Universitas
Padjadjaran (Unpad), karena pada dasarnya sistem UKT belum begitu
tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh mahasiswa Unpad, khususnya
mahasiswa baru angkatan 2013 yang terkena dampak penetapan UKT.

Merujuk pada pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, "Uang kuliah tunggal merupakan
sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan
kemampuan ekonominya." Pada kenyataan di lapangan, masih banyak mahasiswa
yang secara ekonomi masuk dalam golongan kurang mampu namun dikenai UKT
On Top atau tarif tertinggi. Ini menjadi permasalahan yang baru ketika memasuki
semester genap TA 2013/2014. Beberapa mahasiswa baru angkatan 2013 yang
mayoritas masuk Jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN)
atau pada 2013 Unpad menyebutnya sebagai Jalur Mandiri, mengeluh tentang
penetapan UKT yang dirasa sangat memberatkan untuk ke depannya. Memang
ketika itu, sosialisasi terkait UKT untuk jalur SBMPTN minim, sehingga banyak di
antara mahasiswa yang merasa tidak tahu bahwa sesungguhnya, jalur SBMPTN
adalah jalur mandirinya Unpad.

Kebijakan UKT mengatur regulasi pembayaran uang kuliah yang diringkas menjadi
satu kali setiap semester hingga lulus pada dasarnya baik. Karena ini mengacu
seperti kebijkan sistem cicilan motor. Namun kenyataannya, tidak semua mahasiswa
merasa bahwa kebijkan ini akan meringankan mereka, khususnya dalam
pembayaran uang kuliah. Ada beberapa yang merasa ini sangat berat, karena dalam
satu semester mereka diharuskan membayar sejumlah uang yang menurut mereka
besar. Terlebih mahasiswa yang kurang mampu terkena penetapan UKT tarif On
Top karena ketidaktahuan terkait UKT di awal registrasi.

Pada dasarnya, permasalahan UKT harus segera diselesaikan. Sebab, ini bukan
hanya menyangkut mampu atau tidaknya membayar, tapi lebih dari itu bagaimana
kebijakan ini bisa benar benar ditetapkan kepada mahasiswa sesuai kemampuan
finansial masing masing mahasiswa. Dan di samping itu, keluhan-keluhan terkait
kebijakan UKT yang dirasa memberatkan seyogianya dicermati oleh para pemangku
kebijkan. Walaupun di awal sudah disepakati tentang biaya UKT masing masing
mahasiswa, tidak menutup kemungkinan, di tengah tengah berjalannya kegiatan
kuliah, ada saja mahasiswa yang tadinya mampu secara ekonomi menjadi kesulitan
ekonomi.

Penetapan tarif UKT sebaiknya dilakukan secara berkeadilan dengan
mempertimbangkan kapasitas finansial mahasiswa yang disesuaikan dengan
pendapatan orangtua mahasiswa. Pemerintah juga harus untuk memastikan adanya
mekanisme subsudi silang (cross subsidy) dan memperbesar kuota beasiswa dengan
tepat sasaran.













Apa itu Uang Kuliah Tunggal ?
Wednesday, 10 July 2013 10:04
Semarang.undip.ac.id - Uang Kuliah Tunggal atau yang biasa disebut dengan UKT adalah
besaran biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa pada setiap semester. UKT sendiri dibagi
ke dalam 5 kelompok. Bagi calon mahasiswa baru Universitas Diponegoro tahun akademik
2013/2014 yang orang tua atau penanggung biaya yang mampu secara ekonomi dikenakan
UKT pada kelompok V (lima) Sedangkan bagi yang tidak mampu secara ekonomi dapat
dikenakan UKT pada kelompok lainnya.
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlakukan di Universitas Diponegoro dan Perguruan Tinggi
Negeri Lainnya di Indonesia adalah kebijakan yang ditujukan untuk lebih membantu dan
meringankan biaya pendidikan mahasiswa. Penetapan uang kuliah tunggal memberikan
kemudahan untuk memprediksi pengeluaran biaya kuliah mahasiswa tiap semester dan
dipastikan tidak ada biaya tambahan lain-lain lagi.

Undip dalam menetapkan biaya UKT didasarkan pada kebutuhan komponen biaya yang
diperlukan selama mahasiswa belajar dalam 8 Semester. besar kecilnya biaya yang dikeluarkan
juga mengikuti besar kecilnya kebutuhan seperti biaya praktikum di masing-masing program
studi.
Prodi Matematika, Manajemen dan Akuntansi di Undip maksimal 7,5 juta. Sedangkan untuk
Prodi Pertanian dan Peternakan maksimal 5 juta, FIB maksimal 5,5 juta, Fisip maksimal 6.
250.000. Berkaitan dengan UKT ini Undip memberikan kemungkinan untuk pembayaran biaya
Rp. 0,- terutama bagi mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, tentunya dengan
dibuktikan data dan persyaratan dari pihak yang berwenang, disinilah letak kelebihan UKT,
dimana prinsip subsidi silang UKT yang didasarkan pada kondisi sosial ekonomi orang tua / wali
mahasiswa.

Dalam beberapa kesempatan Rektor Undip Prof.Sudharto P Hadi mengatakan bahwa penetapan
uang kuliah tunggal memberikan kemudahan untuk memprediksi pengeluaran biaya kuliah
mahasiswa tiap semester dan dipastikan tidak ada biaya tambahan lain-lain lagi seperi
Praktikum, KKN dan Wisuda

Prinsip subsidi silang UKT adalah pada jenjang UKT yang didasarkan atas kondisi sosial
ekonomi orang tua/wali mahasiswa. Sedangkan pada sistem lama, subsidi silang didasarkan
pada jalur masuk. Padahal pada jalur SNMPTN tidak semua mahasiswa adalah tidak mampu.
Demikian juga pada jalur SBMPTN dan UM, tidak semua mahasiswa adalah dari kalangan
ekonomi kuat.

Pemberlakuan UKT di Undip benar-benar menjunjung tinggi rasa keadilan, silahkan bagi yang
tidak mampu untuk mengisi pengajuan pembayaran nilai UKT diluar kategori V, tetapi semuanya
harus diisi dengan jujur dan benar dan itu bisa dilakukan dengan sistem secara On Line oleh
wali calon mahasiswa
"Memanipulasi data sosial ekonomi untuk mendapatkan UKT yang murah sesungguhnya
memakan hak orang miskin, pendidikan harus didasari kejujuran karena memanipulasi berarti
mengajarkan kepada anaknya untuk dari awal tidak jujur. Saya berharap para orang tua dan wali
mahasiswa yang mampu tidak merasa keberatan untuk membiayai anaknya menimba ilmu di
Undip, karena itu amanah jelas Rektor.
"Para mahasiswa yang sengaja memalsukan atau diketahui memalsukan data akademik dan
kondisi sosial ekonomi demi mendapatkan bidik misi dan UKT yang rendah akandibatalkan
kelulusannya" ujarnya.
























Dilema Kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT):
Merangkai Fakta Usulan UKT di Fisipol UGM
10 Maret 2013 pukul 11:40


Belum usai kontroversi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, atau yang
lebih dikenal dengan UU Dikti, mahasiswa kembali terhenyak dengan adanya
kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Memang bukan hal yang baru. Beberapa
perguruan tinggi telah menerapkan kebijakan ini meskipun secara resmi,
Dirjen Dikti baru mengetuk palu untuk tahun akademik 2013/2014. Kini, UGM
tengah bersiap-siap memberlakukan tarif UKT seiring dengan penerimaan
mahasiswa baru di Bulan Juli mendatang.
Jika kita cermati, sebenarnya niatan pemerintah menerapkan kebijakan
UKT adalah untuk meningkatkan tanggungjawab negara dalam menyediakan
pelayanan pendidikan tinggi dengan menghapus uang pangkal yang dirasa
memberatkan mahasiswa sebagai pengguna pelayaan pendidikan. Namun
demikian, tentu saja kita tidak dapat taken for granted atas kebijakan tersebut.
Tulisan ini berupaya untuk mencermati skema formulasi dan alokasi UKT serta
menganalisis implikasi pemberlakuan UKT di Fisipol UGM.
Dasar Hukum UKT
Setidaknya Dikti telah mengeluarkan surat edaran yang konon dijadikan
dalih pemberlakuan UKT, yaitu Surat Edaran Dirjen Dikti No.
305/E/T/2012 tertanggal 21 Feb 2012 tentang Larangan Menaikkan Tarif Uang
Kuliah, Surat Edaran Dirjen Dikti nomor 488/E/T/2012 tanggal 21 Maret 2012
tentang Tarif Uang Kuliah SPP di Perguruan Tinggi, Surat Edaran Dirjen Dikti
274/E/T/2012 bertanggal 16 Februari 2012 tentang Uang Kuliah Tunggal, Surat
Edaran Dirjen Dikti No. 21/E/T/2012 tanggal 4 Januari 2012 tentang Uang Kuliah
Tunggal. Terakhir, Dikti mengeluarkan Surat Edaran No. 97/E/KU/2013 tentang
Uang Kuliah Tunggal yang berisi Permintaan Dirjen Dikti kepada Pimpinan PTN
untuk menghapus uang pangkal dan melaksanakan Uang Kuliah Tunggal (UKT)
bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014.
Lebih lanjut, dalam Rapat antara Direktorat Perguruan Tinggi (Ditjen Dikti)
dengan para rektor sejumlah PTN yang diselenggarakan di Bandung, 2 Juni 2012
untuk membahas penerimaan mahasiswa baru tahun 2013, Dikti kembali
menghimbau PTN untuk melaksanakan kebijakan UKT dan mekanisme pemberian
BOPTN.
Mencermati Formulasi UKT di Fisipol UGM
UKT merupakan merupakan tarif uang kuliah yang mengintegrasikan tiga
komponen pembayaran: SPMA, SPP, dan BOP. Besaran UKT ditentukan dengan
menghitung unit cost mahasiswa dalam satu semester. Analisis unit cost memberi
dasar formula untuk menghitung biaya pendidikan seorang mahasiswa selama
mengikuti studi yang mencakup biaya langsung (biaya tenaga kerja langsung (gaji &
honor dosen); bahan habis pakai pembelajaran; sarana dan prasarana pembelajaran
langsung) dan biaya tidak langsung (biaya SDM manajerial dan non dosen, sarana
dan prasarana non pembelajaran; pemeliharaan; serta kegiatan pengembangan
institusi (penelitian, kemahasiswaan, dan pengembangan program) (Juanda &
Lestari 2012, h. 228; Ditjen Dikti 2012). Besaran Unit Cost tersebut kemudian
ditandingkan (matching) dengan subsidi pemerintah, sumbangan masyarakat, serta
pendapatan lain-lain lembaga.
Dalam konteksnya di Fisipol, usulan UKT diformulasikan dengan
mempertimbangkan variasi SPMA yang dibayarkan mahasiswa serta disparitasnya
antar jurusan, komponen SPP, dan besaran BOP. Misalnya, Jurusan Hubungan
Internasional, dalam interval Rp 0-Rp 52 juta, pada titik ekstrim SPMA Rp 0 terdapat
16,20% dan SPMA 52 juta terdapat sebesar 15,25%. Belum lagi variasi besaran
SPMA antara jurusan satu dengan jurusan lain. Ini menunjukkan bahwa penentuan
besaran UKT harus memperhatikan aspek disparitas keuangan semacam itu.
Dengan demikian, pihak Dekanat mengusulkan besaran SPMA rata-rata per
semester yang dihitung dari total SPMA per angkatan dibagi dengan jumlah
mahasiswa, kemudian dibagi delapan semester (Suparjan 2013, komunikasi
personal; Purwanto 2013, komunikasi personal).
Atas dasar variasi interval biaya SPMA antar jurusan ini, pihak Dekanat
mengusulkan tiga klasterisasi tarif UKT: 1) Rp 4,5 Juta untuk Jurusan Sosiologi dan
Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Rp 5 Juta untuk Jurusan
Politik dan Pemerintahan (JPP) dan Managemen Kebijakan Publik (MKP), dan Rp
5,5 Juta untuk Jurusan Hubungan Internasional dan Jurusan Ilmu Komunikasi.
Formulasi seperti ini sangat berbeda dengan penghitungan UKT versi universitas
yang menghitung UKT Fisipol sebesar Rp 7-7,5 juta per-semester. Selain itu, pihak
Dekanat juga akan memberikan mekanisme keringanan bagi mahasiswa dengan
lima kategori: 1) kategori A: Rp 0, (nol rupiah), 2) kategori B: Bidik Misi, 3) kategori
C: mahasiswa yang membayar 55% dari UKT, 4) kategori D: membayar 70% dari
UKT, 5) kategori E: membayar penuh tarif UKT. Jika usul ini diterima, maka perlu
diperhatikan proses verifikasi agar kebijakan ini dapat tepat sasaran (Suparjan 2013,
komunikasi personal).
Mengkritisi UKT: Pukul Rata Biaya dan Jebakan Administratif BOPTN
Sebelum menelaah aspek mendasar dari kebijakan UKT, kiranya perlu
dipertanyakan derajat keabsahan kerangka regulasi yang menaungi kebijakan ini.
Berbekal Surat Edaran, Dirjen Dikti UKT menjadi upaya pemerintah untuk
menghapus beban uang pangkal yang dirasakan memberatkan finansial mahasiswa,
larangan menaikkan SPP mahasiswa, sekaligus penerapan UKT untuk mahasiswa
S1 Reguler. Perlu dipertanyakan apakah Surat Edaran Dikti cukup kuat untuk
menjadi kerangka regulasi bagi kebijakan yang berimplikasi serius kepada
mahasiswa yang dibebankan biaya UKT dan pengelolaan keuangan PTN? Bahkan,
himbauan pelaksanaan UKT sebenarnya sudah dicanangkan sebelum UU No 12
Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) disahkan (lihat Surat Edaran
Dirjen Dikti No. 21/E/T/2012 tanggal 4 Januari 2012 dan UU Dikti disahkan pada
tanggal 10 Agustus 2012).
Di samping kerangka regulasi yang problematik, kebijakan UKT
sebenarnya menyimpan sejumlah tanda tanya, kalau bukan ironi. Pertama, dengan
penghapusan SPMA sebenarnya pemerintah telah mengabaikan prinsip keadilan
dan memukul rata kapasitas finansial mahasiswa. Meskipun, acapkali SPMA
dianggap sebagai pintu masuk bagi perguruan tinggi untuk memungut biaya yang
tinggi, namun secara paradigmatik, mekanisme penetapan SPMA sebenarnya
didasari pada asumsi bahwa kapasitas finansial mahasiswa sangat beraneka ragam
dan memerlukan alokasi biaya yang berkeadilan. Tentu saja, pihak yang paling
dirugikan dari kebijakan ini adalah orang tua calon mahasiswa yang memiliki
pendapatan di atas margin terendah namun di bawah tarif UKT. Dengan kata lain,
kebijakan ini akan sangat menguntungkan mereka yang berpenghasilan di atas tarif
UKT dan mencekik orang tua mahasiswa yang tergolong menengah ke bawah.
Ironisnya, pemerintah justru berdalih bahwa sistem UKT akan meringankan biaya
mahasiswa.
Kedua, pemberlakuan UKT pada akhirnya akan dibarengi dengan kucuran
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang merupakan bantuan
biaya dari Pemerintah yang diberikan pada perguruan tinggi negeri untuk membiayai
kekurangan biaya operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan sumbangan
pendidikan (SPP) di perguruan tinggi negeri (Pasal 1 Permendikbud No 58 Tahun
2012). Besaran BOPTN tahun ini mengalami kenaikan hampir dua kali lipat
dibandingkan tahun lalu dari sebesar Rp 99 M menjadi Rp 179 M. Namun dalam
prakteknya sistem administrasi dan mekanisme pencairan BOPTN menjadi sangat
rumit dan berbelit. Belum lagi komponen mata anggaran yang sangat rigid membuat
alokasi BOPTN menjadi sangat kaku dan tidak adaptif terhadap konteks di
perguruan tinggi masing-masing. Pengalaman di UGM sendiri menunjukkan bahwa
pada alokasi BOPTN sesuai dengan APBN-Perubahan 2012 justru baru bisa
dicairkan pada Bulan Oktober. Padahal, laporan pertanggungjawaban harus
diserahkan di Bulan Desember. Belum lagi, dalam konteksnya di Fisipol, pihak
Dekanat diminta untuk mengisikan usulan BOPTN tahun 2012 dengan hanya diberi
jangka waktu dua hari.
Dengan demikian, sebenarnya Pemerintah tengah menjalankan politik
belah bambu dengan jebakan administratif BOPTN. Di satu sisi, pemerintah
melarang PTN untuk menaikkan SPP dan pemberian alokasi BOPTN, namun di sisi
lain, BOPTN yang seharusnya menjadi biaya yang menopang operasionalisasi PTN
justru sangat sulit diakses bahkan mekanisme pertanggungjawabannya sangat tidak
rasional. Dengan kata lain, pemerintah akan memiliki dalih bahwa besaran
BOPTN toh naik dua kali lipat dan mahasiswa dibebaskan dari kenaikan SPP,
bahkan penghapusan uang pangkal. Dengan paradigma administratif yang dianut
pemerintah, standar akuntabilitas perguruan tinggi diukur bukan dalam kontribusinya
dalam inovasi dan pengembangan ilmu, namun diukur pada ketaatan dan kepatuhan
perguruan tinggi dengan prosedur administratif-birokratis. Padahal kendala
administratif telah berdampak sistemik pada operasionalisasi dan mutu
penyelenggaraan pendidikan. Sehingga ujung-ujungnya, energi kreatif yang ada
dihabiskan untuk menyusun proposal dan membuat laporan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, tepat kiranya Prof Soemantri Brodjonegoro (Kompas, 8/3)
mengatakan bahwa pola pikir pemerintah mengandaikan institusi sekolah dan
perguruan tinggi tidak lain sebagai kantor jawatan yang sepenuhnya patuh dan
terikat pada peraturan yang berlaku.

Rekomendasi/Tuntutan Strategis terhadap UKT
Atas dasar serangkaian fakta di atas, sebagai bagian dari komunitas
akademik sekaligus komponen gerakan mahasiswa, Dema KM Fisipol UGM
menyatakan sikap terkait kebijakan UKT. Pertama, menuntut penetapan tarif UKT
secara berkeadilan dengan mempertimbangkan kapasitas finansial mahasiswa yang
disesuaikan dengan pendapatan orang tua mahasiswa. Kedua, menuntut agar
BOPTN dijadikan semacam block grant yang memberikan kelonggaran bagi
perguruan tinggi untuk mengelolanya dengan tetap memperhatikan prinsip
transparansi dan akuntabilitas. Ketiga, menuntut pemerintah untuk memastikan
adanya mekanisme subsudi silang (cross subsidy) dan memperbesar kuota
beasiswa dengan tepat sasaran.

Rajif Dri Angga
Pimpinan bidang Keilmuan, Dema KM Fisipol UGM 13

Daftar Referensi:
Juanda, A & Lestari, NV 2012, Analisis Perhitungan Biaya Satuan (Unit Cost)
Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran (Studi Kasus Pada Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang), Jurnal Reviu Akuntasi dan Keuangan, Vol.2
No. 1, April 2012, hh. 227-241.

Dirjen Dikti 2012, Slide Presentasi
UKT, http://simkeu.unej.ac.id/download/KONSEP_UKT-ABC_MODEL.pptx>

Oebadillah, S & Ray 2013 M Nuh: Plafon Uang Kuliah Tunggal PTN masih
Disimulasi diakses pada 9 Maret 2013 pkl
8.36 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/03/02/3/135047/M-Nuh-
Plafon-Uang-Kuliah-Tunggal-PTN-masih-Disimulasi>.

Brodjonegoro, SS 2013, Dejawatanisasi Pendidikan, Kompas, Jumat 8 Maret 2013.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58 Tahun 2012 Tentang
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah.


Sumber: http://kampus.okezone.com/read/2012/01/09/373/554129/pendidikan-
antikorupsi-juga-berlaku-di-kemendikbud

Anda mungkin juga menyukai