Anda di halaman 1dari 26

1

LAPORAN PRAKTIKUM KESELAMATAN KERJA III


SEMESTER IV KOMPETENSI DASAR II

ANALISA BEHAVIOUR BASED SAFETY (BBS)
PADA KONSTRUKSI BAJA & STAINLESS
STEEL KOBA




KELOMPOK 12
[ KELAS B ]

1. IRA PRACINASARI ( R0012048 )
2. WAHYU LESTARI ( R.0012102 )
3. SRI ANGGRAENI ( R.0012094 )
4. MUH MUSHAB M ( R.0012062 )

PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013


2


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ...............
i
HALAMAN PENGESAHAN ............
ii
DAFTAR ISI ...
iii
BAB I. PENDAHULUAN ..
1
A. LatarBelakang ...... 1
B. Rumusanmasalah.... 2
C. Tujuan ....... 2

BAB II. LANDASAN TEORI ......
4
BAB III. ISI .....
18
BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN ....
22
A. Simpulan .... 22
B. Saran .. 23

DAFTAR PUSTAKA
Lampiran




3



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan dunia industry sektor informal, dunia kerja
selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru yang harus bisa segera diatasi
bila perusahaan tersebut ingin tetap eksis. Permasalahan yang selalu berkaitan
dan melekat dengan dunia kerja yaitu timbulnya kecelakaan kerja. Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam sistem
ketenagakerjaan dan sumber daya manusia. Isu keselamatan dan kesehatan
kerja pada saat ini bukan sekedar kewajiban yang harus diperhatikan oleh para
pekerja, akan tetapi juga harus dipenuhi oleh sebuah sistem pekerjaan. Dengan
kata lain keselamatan dan kesehatan kerja bukan semata sebagai kewajiban,
akan tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi setiap para pekerja dan bagi setiap
bentuk kegiatan pekerjaan.
Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar
bagi kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian yang diderita tidak hanya
berupa kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah
timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya
manusia ini merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah
satu-satunya sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun.
Kerugian yang langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja
adalah biaya pengobatan dan 2kompensasi kecelakaan. Sedangkan biaya tak
langsung yang tidak nampak ialah kerusakan alat-alat produksi, penataan
manajemen keselamatan yang lebih baik, penghentian alat produksi, dan
hilangnya waktu kerja. Berdasarkan permasalahan tersebut, diharapkan dengan
adanya aplikasi ini dapat menjadi bentuk pengawasan dan tindakan pencegahan
didalam meminimalisasi resiko kecelakaan kerja serta dicapai suatu kondisi
4

kerja dan lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan K3 sehingga diperoleh
peningkatan efisiensi kerja dan peningkatan produktivitas kerja.
Upaya pencegahan kecelakaan kerja dapat disempurnakan dengan
menerapkan konsep behavior based safety. Behaviour based safety adalah
upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui pendekatan yang berbasis
perubahan perilaku. Peneliti menyadari bahwa manusia memegang peranan
penting dalam melaksanakan pekerjaan. Keberhasilan dalam melakukan
pekerjaan secara aman dan benar terantung dari manusia yang
mengerjakannya. Hal yang spesifik dari manusia yang berperan dalam
melakukan pekerjaannya adalah perilaku kerjanya. Penerapan pengamatan
perilaku kerja ini berlaku untuk seluruh operasi perusahaan termasuk berlaku
bagi industri informal, khususnya di KOBA yaitu industri informal yang
menjualkan konstruksi baja dan stainless steel serta jasa dalam bidang
pengelasan baik ditempat usaha tersebut maupun diproyeknya.
Industri informal khususnya tempat pengelasan biasanya rentan
mengutamakan K3. Dari sebab itu, penulis melakukan pengamatan adakahnya
penerapan konsep behavior based safety pada industri informal KOBA.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Behavior Based Safety?
2. Apakah ada penerapan konsep Behavior Based Safety pada industri
informal KOBA?
3. ApakahBehavior Based Safety penting diterapkan pada industri informal
KOBA?
4. Apakah ada dampak dari tidak di terapkannya Behavior Based Safety pada
industri informal KOBA?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Behavior Based Safety.
2. Mengetahui adakah penerapan konsep Behavior Based Safety pada
industri informal KOBA.
5

3. Mengetahui pentingnya penerapan Behavior Based Safety pada industri
informal KOBA.
4. Mengetahui apakah ada dampak dari tidak di terapkannya Behavior Based
Safety pada industri informal KOBA
5. Mengetahui program kerja yang harusdijalankanpada industry informal
KOBA

























6

BAB II
LANDASAN TEORI


A. PerilakuAman (Safety Behavior)
Perilaku diterjemahkan dari kata bahasa Inggris behavior, namun
seringkali pengertian perilaku ditafsirkan secara berbeda antara satu orang
dengan yang lainnya. Perilaku juga sering diartikan sebagai tindakan atau
kegiatan yang ditampilkan seseorang dalam hubungannya dengan orang
lain dan lingkungan disekitarnya, atau bagaimana manusia beradaptasi
terhadap lingkungannya. Perilakupada hakekatnya adalah aktifitas atau
kegiatan nyata yang ditampikan seseorang yang dapat teramati secara
langsung maupun tidak langsung. Perilaku keselamatan adalah tindakan
atau kegiatan yang berhubungan dengan faktor-faktor keselamatan kerja.
Menurut Zhou et al., (2007) ada empat faktor yang paling efektif
untuk meningkatkan perilaku keselamatan, yaitu: safety
attitudes,employees involvement, safety managementsystems and
procedures, and safety knowledge. Faktor iklim keselamatan lebih
berpengaruh terhadap perilaku keselamatan jika dibandingkan dengan
pengalaman pekerja. Diperlukan strategi gabungan antara iklim
keselamatan dan pengalaman kerja untuk meningkatkan perilaku
keselamatan secara maksimal guna mencapai total budaya keselamatan.
Rundmo dan Hale (2003) melakukan studi terhadap sikap (attitude)
manajemen terhadap keselamatan dan pencegahan terjadi kecelakaan.
Hasil studi menunjukkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh sikap. Sikap
yang ideal untuk manajemen adalah:
1. Komitmen yang tinggi.
2. Kefatalan rendah.
3. Toleransi terhadap pelanggaran rendah.
4. Emosi dan kekhawatiran tinggi.
5. Tunakuasa rendah.
7

6. Prioritas keselamatan tinggi.
7. Penguasaan dan kesadaran tinggi.
Paul P.S. dan Maiti J. (2007) mempelajari peranan perilaku
keselamatan pekerja terhadap terjadinya kecelakaan pada perusahaan
tambang. Dari studi yang dilakukan diperoleh struktural model yang
menunjukkan hubungan work injury secara signifikan dipengaruhi oleh:
1. Pengaruh negatif
2. Pengambilan resiko
3. Ketidakpuasan kerja
4. Umur
5. Kinerja keselamatan
Menurut Mullen J. (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku keselamatan individu pekerja, yaitu:
1. Faktor organisasi : yaitu beban kerja yang berlebih, persepsi
kinerja keselamatan, pengaruh sosialisasi, sikap keselamatan dan
persepsi terhadap resiko.
2. Faktor personal image; yaitu kesan macho dan mampu untuk
menghindari konsekuensi negatif, misalnya diejek atau diremehkan
rekan kerja dan ketakutan kehilangan posisi.
Menurut Mullen bahwa faktor organisasi menentukan perilaku
keselamatan pekerja. Sosialisasi organisasi terhadap karyawan baru sedini
mungkin akan mempengaruhi persepsi pekerja terhadap iklim
keselamatan, sikap keselamatan, komitmen terhadap keselamatan dan
perilaku keselamatan.
OHS training dan edukasi serta penegakan aturan, inspeksi, dan
komunikasi merupakan karakteristik perilaku yang paling dibutuhkan
untuk meningkatkan kinerja keselamatan untuk semua posisi diatas.
Mengembangkan atau merubah budaya organisasi merupakan tantangan
serta membutuhkan biaya dan waktu yang lama. Dengan menentukan
target yang tepat, seperti OHS advisor dan supervisor, kemudian
mengidentifikasi keahlian dan kemampuan serta perilaku yang paling
8

dibutuhkan yang dapat mengarah kebudaya keselamatan yang positif,
kinerja keselamatan dapat diperbaiki dan dimaksimalkan. Dalam hal ini
ditunjukkan pentingnya peran pimpinan dalam merubah budaya organisasi
dan keselamatan. Pimpinan disini bukan hanya pada tingkatan manajemen
akan tetapi sampai pada pimpinan lapangan seperti foremen (Dingsdag et
al., 2008).
Pendekatan budaya keselamatan dimulai dari level manajemen ke
level yang lebih rendah (top-down approach), sementara pendekatan
perilaku keselamatan dimulai dari level bawah ke level atas (bottom-up
approach). Keberhasilan kedua pendekatan tersebut bergantung pada ada
tidaknya perubahan pada tata nilai dasar dari organisasi, itikad, dan asumsi
tentang keselamatan di tempat kerja. DeJoy (2005) mengusulkan metode
pendekatan terintegrasi antara pendekatan budaya keselamatan dan
perilaku keselamatan. Pendekatan budaya keselamatan lebih bersifat
komprehensif namun kurang memberikan solusi pada masalah
keselamatan yang spesifik. Disisi lain, pendekatan perilaku lebih bersifat
spesifik dalam menyelesaikan masalah keselamatan namun kurang
komprehensif. Dengan demikian, disimpulkan bahwa kombinasi
pendekatan kedua metode ini akan saling melengkapi dan menghasilkan
perubahan yang lebih komprehensif sekaligus menyelesaikan masalah-
masalah keselamatan yang spesifik. Model pendekatan terintegrasi yang
diusulkan sangat baik dan dapat diterima secara konsep (DeJoy, 2005).
Salah satu program yang paling banyak digunakan untuk memperbaiki
perilaku pekerja adalah behavior-based safety. Behavior-based safetyatau
lebih dikenal dengan singkatan BBS adalah suatu pendekatan yang bersifat
proaktif dalam meningkatkan kinerja K3, dan sistem ini juga memberikan
peringatan dini terhadap potensi bahaya kecelakaan serta dapat mengukur
perilaku aman dan tidak aman di tempat kerja. Sistem ini juga memberikan
kesempatan kepada setiap individu untuk berbagi informasi mengenai
kinerja K3 dan umpan balik terhadap rekan-rekan kerja mereka,
mendorong keterlibatan pekerja dalam semua aktifitas K3, meningkatkan
9

kesadaran pribadi akan K3, memperbaiki presepsi terhadap resiko dan
mengarahkan konsep berpikir pada pencegahan kecelakaan (IET, 2007).
Program BBS adalah merupakan program perbaikan kontinu yang
melibatkan manajemen dan pekerja. Ada lima program yang harus dijalan
secara kontinu dalam BBS, yaitu :
1. Observasi, diskusi dan umpan balik dari pekerja di lingkungan kerja.
Program ini dilakukan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya
guna mengetahui perilaku aman dan tidak aman dari pekerja.
2. Melakukan komunikasi dengan semua pekerja sebagai bentuk
pembelajaran berdasarkan informasi yang diperoleh dari program pertama.
3. Membuat program perencanaan implementasi BBS berdasarkan masukan
dan data yang diperoleh dari program pertama.
4. Implementasi perbaikan dan berbagi pembelajaran antar organisasi.
5. Training dan pembinaan untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan
dan presepsi terhadap resiko, membina individu untuk melakukan
pekerjaan sesuai dengan standar dan menguji dampak perilaku.
Teori Heinrich (1980, dalam Geller, 2001) tentang keselamatan
kerja menyatakan bahwa perilaku tidak aman (unsafe behavior)
merupakan penyebab dasar pada sebagian besar kejadian hampir celaka
dan kecelakaan di tempat kerja. Oleh karena itu, dilakukan observasi
mendalam trerhadap kalangan pekerja mengenai perilaku kerja tidak aman.
Umpan balik mengenai observasi terhadap perilaku telah terbukti sukses
dalam mengurangi perilaku tidak aman para pekerja. Umpan balik yang
diberikan dapat berupa lisan, grafik, tabel dan bagan, atau melalui tindakan
perbaikan.
Lebih lanjut, Cooper (2009) mengidentifikasi adanya tujuh kriteria
yang sangat penting bagi pelaksanaan program Behavior Based Safety:
1. Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan
BBS menerapkan sistem bottom-up, sehingga individu yang
berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam
mengidentifikasi perilaku kerja tidak aman (unsafe behavior).
10

Dengan keterlibatan pekerja secara menyeluruh dan adanya
komitmen, kepedulian seluruh pekerja terhadap program
keselamatan maka proses perbaikan akan berjalan dengan
baik.
2. Memusatkan Perhatian pada unsafe behavior yang spesifik
Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang
memicu terjadinya perilaku tidak selamat para praktisi
menggunakan teknik behavioral analisis terapan dan memberi
hadiah (reward) tertentu pada individu yang mengidentifikasi
perilaku tidak selamat.
3. Didasarkan pada Data Hasil Observasi, Observer memonitor
perilaku selamat pada kelompok mereka dalam waktu
tertentu. Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut,
dan safe behavior akan meningkat.
4. Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data, Hasil
observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data persentase
jumlah safe behavior. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat
letak hambatan yang dihadapi. Data ini menjadi umpan balik
yang bisa menjadi reinforcement positif bagi karyawan yang
telah berperilaku kerja aman, selain itu bisa juga menjadi
dasar untuk mengoreksi unsafe behavior yang sulit
dihilangkan.
5. Melibatkan Intervensi Secara Sistematis dan Observasional
Keunikan sistem Behavior Based Safety adalah adanya jadwal
intervensi yang terencana. Dimulai dengan briefing pada
seluruh departemen atau lingkungan kerja yang dilibatkan,
karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas
sebagai observer yang tergabung dalam sebuah project team.
Observer ditraining agar dapat menjalankan tugas mereka.
kemudian mengidentifikasi unsafe behavior yang diletakkan
dalam check list. Daftar ini ditunjukkan pada para pekerja
11

untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui, observer
melakukan observasi pada periode waktu tertentu (+ 4
minggu), untuk menentukan baseline. Setelah itu barulah
program intervensi dilakukan dengan menentukan goal setting
yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Observer terus
melakukan observasi. Data hasil observasi kemudian
dianalisis untuk mendapatkan feedback bagi para karyawan.
Team project juga bertugas memonitor data secara berkala,
sehingga perbaikan dan koreksi terhadap program dapat terus
dilakukan.
6. Menitikberatkan pada Umpan Balik terhadap Perilaku Kerja
Dalam program Behavior Based Safety, umpan balik dapat
berbentuk umpan balik verbal yang langsung diberikan pada
karyawan sewaktu observasi, umpan balik dalam bentuk data
(grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis
dalam lingkungan kerja, dan umpan balik berupa briefing
dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalis
untuk mendapatkan umpan balik yang mendetail tantang
perilaku yang spesifik.
7. Membutuhkan Dukungan dari Manager, Komitmen
manajemen terhadap proses behavior based safety biasanya
ditunjukkan dengan memberi keleluasaan pada observer
dalam menjalankan tugasnya, memberikan penghargaan yang
melakukan perilaku selamat, menyediakan sarana dan bantuan
bagi tindakan yang harus segera dilakukan, membantu
menyusun dan menjalankan umpan balik, dan meningkatkan
inisiatif untuk bertindak selamat dalam setiap kesempatan.
Dukungan dari manajemen sangat penting karena kegagalan
dalam penerapan BBS biasanya disebabkan oleh kurangnya
dukungan dan komitmen dari manajemen.

12

B. Pengelasan
Menurut penemuan-penemuan benda bersejarah, dapat diketahui
bahwa teknik penyambungan logam telah diketahui sejak dari zaman
prasejarah, misalnya pembrasingan logam paduan emas tembaga dan
pematrian timbal-timah, menurut keterangan telah diketahui dan
dipraktekkan dalam rentang waktu antara tahun 4000 sampai 3000 SM dan
diduga sumber panas berasal dari pembakaran kayu dan arang. Pada abad
ke 19 teknologi pengelasan berkembang dengan pesat karena telah
dipergunakannya sumber energi listrik (Suharno, 2008).
Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi
pada sambungan logam paduan yang dilaksankan dalam keadaan,
dijelaskan lebih lanjut bahwa las adalah sesuatu proses dimana bahan dan
jenis yang sama digabungkan menjadi satu sehingga terbentuk suatu
sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari pemakaian panas
dan tekanan (Suharno, 2008).
1. Jenis-Jenis Pengelasan
Berdasarkan proses pengelasan, maka pengelasan terbagi menjadi dua
antara lain (Bintoro, 1999) :
a. Las Oksi Asetilen
Las oksi asetilen merupakan proses pengelasan secara
manual dengan pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau
disambung sampai mencair oleh nyala gas asetilen melalui
pembakaran C2H2 dengan gas O2 dengan atau tanpa logam
pengisi. Pembakaran gas C2H2 oleh oksigen (O2) dapat
menghasilkan suhu yang sangat sangat tinggi sehingga dapat
mencairkan logam. Gas asetilen merupakan salah satu jenis gas
yang sangat mudah terbakar dibawah pengaruh suhu dan tekanan.
Gas asetilen disimpan di dalam suatu tabung yang mampu
menahan tekanan kerja.


13

b. Las listrik
Las tahanan listrik adalah proses pengelasan yang
dilakukan dengan jalan mengalirkan arus listrik melalui bidang
atau permukaan-permukaan benda yang akan disambung.
Elektroda-elektroda yang dialiri listrik digunakan untuk menekan
benda kerja dengan tekanan yang cukup. Penyambungan dua buah
logam atau lebih menjadi satu dengan jalan pelelehan atau
pencairan dengan busur nyala listrik. Tahanan yang ditimbulkan
oleh arus listrik pada bidang-bidang sentuhan akan menimbulkan
panas dan berguna untuk mencairkan permukaan yang akan
disambung. Bahaya pada las listrik yaitu, loncatan bunga api yang
terjadi pada nyala busur listrik karena adanya potensial tegangan
atau beda tegangan antara ujung-ujung elektroda dan benda kerja.
Tegangan yang digunakan sangat menentukan terjadinya loncatan
bunga api, semakin besar tegangan semakin mudah terjadi loncatan
bunga api listrik. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa tegangan
yang tinggi akan membahayakan operator las, karena tubuh
manusia hanya mampu menderita tegangan listrik sekitar 42 volt.
Selain penggunaan arus dan tegangan yang bisa membahayakan
operator, nyala busur listrik juga memancarkan sinar ultra violet
dan sinar infra merah yang berinteraksi sangat tinggi. Pancaran
atau radiasi dari sinar tersebut sangat membahayakan mata maupun
pekerjat manusia (Bintoro, 1999).

2. Manajemen dalam Pengelasan
Juru las yang terampil dan peralatan las yang baik belum tentu
dapat menjamin hasil las yang bermutu tinggi, apabila sarana lainnya
tidak terpenuhi. Manajemen pengelasan dalam hal ini harus mengatur
beberapa sarana penting yang dapat mempengaruhi hasil pengelasan
seperti pelaksanaan yang aman, pengawasan mutu, dan pemeriksaan
14

proses. Manajemen tersebut terdiri atas beberapa pengawasan
(Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain :
a. Pengamanan pelaksanaan
Agar pengelasan dapat dilakukan dengan aman, alat-alat
pengamanan harus lengkap dan juru las harus mengerti dan dapat
serta mau menggunakan alat pengaman tersebut, dalam hal ini
yang penting adalah :
1. Pemakaian baju kerja yang sesuai dan aman.
2. Pada pengelasan di tempat yang tinggi harus menggunakan
alat pengaman agar tidak terjatuh.
3. Pemakaian pelindung dengan baik.
4. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dan ledakan.
b. Pengawasan umum
Untukmendapatkan mutu pengelasan yang baik perlu adanya
pengawasan pada peralatan yang digunakan, bahan las yang
dipilih, pelaksanaan dan keterampilan. Pengawasan yang dimaksud
diatas diterangkan sebagai berikut:
1. Pengawasan peralatan
Dengan menggunakan peralatan yang sempurna, akan diperoleh
mutu hasil lasan yang baik dan efisiensi kerja yang tinggi,
karena itu diperlukan sistem manajemen yang dapat menentukan
cara-cara pemilihan alat, pembelian alat, peminjaman alat
kepada pekerja dan cara memperbaiki alat yang rusak.
2. Pengawasan bahan las
Pengaturan pembelian bahan las baik dalam jenis maupun dalam
jumlah harus menjamin agar selalu terdapat jumlah persediaan
seperti yang telah ditentukan dan yang sesuai dengan jadwal
pelaksanaan.
3. Pengawasan pelaksanaan
Apabila proses pengelasan telah ditentukan, maka perlu untuk
mengadakan pengawasan agar prosedur pengelasan diikuti
15

sepenuhnya. Untuk mempermudah pengawasan dan
menghindari kesalahan perlu dibuat petunjuk kerja yang
terperinci yang meliputi kondisi pengelasan, penggunaan alat,
pemakaian bahan, prosedur pengerjaan dan cara-cara
mengadakan perbaikan bila terjadi cacat.

4. Pengawasan keterampilan
Untuk mendapatkan juru las yang terampil perlu diadakan
pelatihan dan pendidikan. Tiap-tiap juru las harus mempunyai
kualifikasi berdasarkan peraturan yang ditentukan oleh badan
yang berwenang dalam bidang konstruksi yang sesuai dan
menguasai tentang pengelasan.

3. Bahaya Dalam Pengelasan
Pada pekerjaan pengelasan banyak risiko yang akan terjadi apabila
tidak hati-hati terhadap penggunaan peralatan, mesin dan posisi kerja yang
salah. Beberapa risiko bahaya yang paling utama pada pengelasan
(Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain :
a. Cahaya dan sinar yang berbahaya
Selama proses pengelasan akan timbul cahaya dan sinar yang dapat
membahayakan juru las dan pekerja lain yang ada di sekitar pengelasan.
Cahaya tersebut meliputi cahaya yang dapat dilihat atau cahaya tampak,
sinar ultraviolet dan sinar inframerah.
1) Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet sebenarnya adalah pancaran yang mudah diserap,
tetapi sinar ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap reaksi kimia
yang terjadi di dalam tubuh. Bila sinar ultraviolet yang terserap oleh lensa
dan kornea mata melebihi jumlah tertentu maka pada mata akan terasa
seakan-akan ada benda asing di dalamnya. Dalam waktu antara 6 sampai
12 jam kemudian mata akan menjadi sakit selama 6 sampai 24 jam. Pada
umunya rasa sakit ini akan hilang setelah 48 jam.
16

2) CahayaTampak
Semuacahaya yang
masukkemataakanditeruskanolehlensadankorneake retina mata.
Bilacahayainiterlalukuatmakamataakancepatlelahdanapabilaterlalu lama
akanmenimbulkansakit. Rasa lelahdansakitinijugahanyasementara.
3) Sinarinframerah
Adanya sinar inframerah tidak segera terasa oleh mata, karena itu
sinar ini lebih berbahaya sebab tidak diketahui, tidak terlihat dan tidak
terasa. Pengaruh sinar inframerah terhadap mata sama dengan pengaruh
panas, yaitu menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya
penyakit kornea, presbiopia yang terlalu dini dan terjadinya kerabunan.
b. Arus listrik yang berbahaya
Besarnya kejutan yang timbul karena listrik tergantung pada
besarnya arus dan keadaan badan manusia. Tingkat dari kejutan dan
hubungannya dengan besar arus adalah sebagai berikut:
1. Arus 1 mA hanya akan menimbulkan kejutan yang kecil
saja dan tidak membahayakan.
2. Arus 5 mA akan memberikan stimulasi yang cukup tinggi
pada otot dan menimbulkan rasa sakit.
3. Arus 10 mA akan menyebabkan rasa sakit yang hebat.
4. Arus20 mA akan menyebabkan terjadi pengerutan pada
otot sehingga orang yang terkena tidak dapat melepaskan
dirinya tanpa bantuan orang lain.
5. Arus 50 mA sangat berbahaya bagi tubuh.
6. Arus 100 mA dapat mengakibatkan kematian.
c. Debu dan gas dalam asap las.
Debudalamasap las besarnya berkisar antara 0,2 m sampai dengan
3 m. Komposisi kimia dari debu asap las tergantung dari jenis pengelasan
dan elektroda yang digunakan. Bila elektroda jenis hydrogen rendah, di
dalam debu asap akan terdapat fluor (F) dan oksida kalium (K2O). Dalam
pengelasan busur listrik tanpa gas, asapnya akan banyak mengandung
17

oksida magnesium (MgO). Gas-gas yang terjadi pada waktu pengelasan
adalah gas karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), ozon (CO3)
dan gas nitrogen dioksida (NO2).
d. Bahaya kebakaran.
Kebakaran terjadi karena adanya kontak langsung antara api
pengelasan dengan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti solar,
bensin, gas, cat kertas dan bahan lainnya yang mudah terbakar. Bahaya
kebakaran juga dapat terjadi karena kabel yang menjadi panas yang
disebabkan karena hubungan yang kurang baik, kabel yang tidak sesuai
atau adanya kebocoran listrik karena isolasi yang rusak.
e. Bahaya Jatuh.
Didalam pengelasan dimana ada pengelasan di tempat yang tinggi
akan selalu ada bahaya terjatuh dan kejatuhan. Bahaya ini dapat
menimbulkan luka ringan ataupun berat bahkan kematian karena itu usaha
pencegahannya harus diperhatikan.

4. Perlengkapan Keselamatan Kerja Las
Demi keamanan dan kesehatan tubuh, operator las harus memakai
alat-alat yang mampu melindungi tubuh dari bahaya-bahaya yang
ditimbulkan akibat pengelasan. Perlengkapan tersebut antara lain (Bintoro,
1999):
a. Pelindung muka
Bentuk dan pelindung muka ada beberapa macam tetapi secara prinsip
pelindung muka mempunyai fungsi yang sama, yaitu melindungi mata dan
muka dari pancaran sinar las dan percikan bunga api. Pelindung muka
mempunyai kacamata yang terbuat dari bahan tembus pandang yang
berwarna sangat gelap dan hanya mampu ditembus oleh sinar las.
Kacamata ini berfungsi melihat benda kerja yang dilas dengan mengurangi
intensitas cahaya yang masuk ke mata.


18

b. Kacamata bening
Untuk membersihkan torak atau untuk proses finishing misalnya
penggerindaan, mata perlu perlindungan, tetapi tidak dengan pelindung
muka las. Mata tidak mampu melihat benda kerja karena kacamata yang
berada pada pelindung muka sangat gelap. Oleh karena itu, diperlukan
kacamata bening yang mampu digunakan untuk melihat benda kerja dan
sangat ringan sehingga tidak mengganggu proses pekerjaan.
c. Masker wajah
Masker berfungsi untuk menyediakan udara segar yang akan dihirup oleh
sistem pernapasan manusia. Masker digunakan untuk pengelasan ruangan
yang sistem sirkulasi udaranya tidak baik. Karena proses pengelasan akan
menghasilkan gas-gas yang membahayakan sistem pernapasan jika dihirup
dalam jumlah besar. Jika gas hasil pengelasan tidak segera dialirkan ke
luar ruangan maka akan dihirup oleh operator.
d. Pakaian las
Pakaian ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari percikan bunga api dan
pancaran sinar las. Pakaian las terbuat dari bahan yang lemas sehingga
tidak membatasi gerak si pemakai. Selain bahan pakaian yang digunakan
lemas, juga harusringan, tidak mudah terbakar, dan mampu menahan panas
atau bersifat isolator. Model lengan dancelana dibuat panjang agar mampu
melindungi seluruh tubuh dengan baik.
e. Pelindung badan (apron)
Untuk melindungi pekerjat dan organ-organ tubuh pada bagian badan dari
percikan bunga api dan pancaran sinar las yang mempunyai intensitas
tinggi maka pada bagian badan perlu dilindungi sperti halnya pada bagian
muka, karena baju las yang digunakan belum mampu sepenuhnya
melindungi pekerjat dan organ tubuh pada bagian dada.
f. Sarung tangan
Kontak dengan panas dan listrik sering terjadi yaitu melewati kedua
tangan, contoh: penggantian elektroda atau memegang sebagian dari benda
kerja yang memperoleh panas secara konduksi dari proses pengelasan.
19

Untuk melindungi tangan dari panas dan listrik maka operator las harus
menggunakan sarung tangan, karena mempunyai sifat mampu menjadi
isolator panas dan listrik (mampu menahan panas dan tidak
menghantarkan listrik).
g. Sepatu las
Sepatu las dapat melindungi telapak dan jari-jari kaki kemungkinan
tergencet benda keras, benda panas atau sengatan listrik. Dengan memakai
sepatu las bebarti tidak ada aliran arus listrik dari mesin las ke ground
(tanah) melewati tubuh kita, karena bahan sepatu berfungsi sebagai
isolator listrik.





















20

BABIII
ISI


A. Tempat dan Jadwal penelitian
Tempat : KOBA Konstruksi Baja & Stainless Steel
Alamat : Jl. Kaliwingko 39 Telp./Fax. (0271) 620936 Grogol Sukoharjo
57552 (Utara Gapura)
Hari : Senin
Tanggal : 24 Maret 2014
Waktu : 13.00 WIB

B. Alat dan Bahan
1. Kertas/buku
Fungsi: Untuk menulis hasil observasi
2. Pulpen
Fungsi: Untuk menulis hasil observasi
3. Kamera
Fungsi: Untuk dokumentasi

C. Hasil dan Pembahasan Kegiatan Praktikum
KOBA Konstruksi Baja & Stainless Steel merupakan industri
informal yang bergerak di bidang pengelasan dan penjualan hasil
pengelasanterutamadalampembuatanpagar. KOBA didirikan pada tahun 1989
Jl. Kaliwingko 39 Telp./Fax. (0271) 620936 Grogol Sukoharjo 57552 (Utara
gapura) oleh Bapak Himawan yang lahir 64 tahun lalu di Kebumen.
Karyawan yang dimiliki saat ini lebih dari 10 orang yang diantaranya
ada yang bekerja dibagian staff yaitu pekerja yang bekerja dibagian kantor,
pekerja lapangan internal yang ditempatkan pada proses produksi yang
berdekatan dengan kantor dan pekerja lapangan eksternal yang ditempatkan
21

pada proses produksi di luar daerah. Produk dari usaha tersebut sudah
dieksport ke berbagai tempat luardaerahmaupunluar negara.
Proses kerja di KOBA tersebut dimulai dari pukul 08.00 WIB 16.00
WIB untuk hari senin jumat, sedangkan pada hari sabtu dimulai dari pukul
08.00 WIB 15.00 WIB yang berlaku bagi setiap karyawan yang bekerja di
tempat tersebut. Namun, jika pesanan sedang meningkat tenaga kerja bagian
pengelasan di tempat usaha tersebut melembur 12 sampai 20 jam kerja dalam
sehari.
Pengusaha KOBA ini tidak memasukkan karyawannya dalam
JAMSOSTEK melainkan pada salah satu ASURANSI milik swasta. Hal ini
disebabkan karyawan yang
bekarjatidakterikatsecarapenuholehperaturanperusahaansehinggapekerjadapat
keluar masuk pada perusahaan tersebut.

No Nama Umur Lama
Bekerja
Bagian Pekerjaan APD
1 Suseno 63 tahun 3 bulan Pengamplasan Tidak ada
2 Wiyono 40 tahun 10 tahun Pengecatan Ada masker
tapi tidak
dipakai
karena males
3 Sukato 24 tahun 3 tahun Pengelasan Memakai
kacamata
4 Antonius
Suwarto
61 tahun 26 tahun Menggerinda Tidak ada
5 Bambang 50 tahun 15 tahun Kepala bengkel Tidak ada
6 Gombloh 60 tahun 5 hari Perbaikanalatdanmesin Tidakada

Dari data yang sudah ada, penerapan Behaviour Based Safety belum
maksimal karena di sana sebenarnya sudah disiapkan alat pelindung diri tapi
para pekerja tidak mau memakainya. Hal ini dikarenakan pekerja pada
22

bengkel tersebut malas memakainya dan merasa tidak nyaman saat memakai
alat pelindung diri dan sudah terbiasa dengan keadaan/perilaku yang seperti
itu.
Pada bengkel las tersebut para pekerja belum mengetahui dan memahami
bahaya yang akan diterima yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja
maupun penyakit akibat kerja yang fatal saat bekerja dalam jangka waktu
yang pendek maupun jangka waktu yang panjang tanpa memakai alat
pelindung diri.
Setelah melakukan observasi, dapat kita ambil kesimpulan bahwa
penerapan BBS di tempat las tersebut belum di terapkan. Karena, pekerja
yang belum memahami tentang BBS tersebut. Selain itu, dari pengamatan
yang kami lihat juga terlihat bahwa perilaku kerja yang tidak safety dilakukan
berulang-ulang saat bekerja. Tempat las tersebut juga merupakan industri
informal jadi penerapan K3 di dalam bengkel las tersebut juga belum di
terapkan.
Untuk itu, belum adanya manajemen K3 di tempat las tersebut yang
dapatmenyebabkan Penyakit Akibat Kerja dan kecelakaan kerja di tempat las
tersebut. Sebagai contoh, yang kami temukan di tempat las tersebut, yaitu
yang terjadi pada Bapak Antonius Suwarno yang mengalami PAK yaitu,
kedua matanya mengalami kecacatan fisik, dan penglihatan pun menjadi
kabur. Hal tersebut di karenakan pekerja di bagian gerinda tersebut tidak
menggunakan kacamata las dalam bekerja, sehingga mengakibatkan hal
tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama.
Selain itu, pekerja lainnya yang bekerja di bagian pengecatan, dll juga
tidak memakai APD berupa masker. Sehingga bisa di katakan PAK terjadi
pada semua pekerja yang ada di bengkel las tersebut.
Berbicara tentang pimpinan bengkel las tersebut, pemilik bengkel sudah
menyediakan Alat Pelindung Diri untuk para pekerjanya, tapi kurang optimal
dalam pelaksanakannya baik dari segi manajemen maupun dalam segi
inspeksi berkala. Sehingga Alat Pelindung Diri sering diabaikan dan
hanyadipakai waktu ada penilaian atau pemeriksaan.
23

Perilaku yang terjadi di dalam las bengkel tersebut bisa di katakan telah
menjadi hal biasa oleh pekerjanya. Karena, sejak mereka bekerja, mereka
tidak membiasakan untuk berperilaku K3 di dalam bengkel las tersebut.Untuk
menerapkan BBS dalam bengkel las tersebut juga merupakan hal yang tidak
mudah, dikarenakan bengkel tersebut merupakan industri informal yang tidak
memiliki ahli K3, biaya dan sulit untuk membangun perilaku keselamatan
kerja.
Penerapan Behaviour Based Safety di bengkel las tersebut seharusnya
diterapkan, karena di dalam industri informal banyak sekali perilaku yang
menyebabkan kecelakaan pekerja, seperti pada bengkel las KOBA tersebut
Seharusnya, pihak benkel melaksanakan program-program yang dapat
mengubah perilaku pekerjanya untuk melaksanakan BBS. Ada 5 program
yang dapat di jalankan secara kontinu dalam BBS untuk bengkel tersebut,
yaitu:
1. Observasi, diskusi dan umpan balik dari pekerja di lingkungan kerja.
2. Melakukan komunikasi dengan semua pekerja
3. Membuat program perencanaan implementasi BBS
4. Implementasi perbaikan dan berbagai pembelajaran
5. Training dan pembinaan












24

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan
1. Behavior Based Safety (BBS) merupakan aplikasi sistematis dari riset
psikologi tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety)
ditempat kerja yang memasukkan proses umpan balik secara langsung dan
tidak langsung. BBS lebih menekankan aspek perilaku manusia terhadap
terjadinya kecelakaan di tempat kerja.
2. Pada proses produksi di KOBA Konstruksi Baja & Stainless
Steelbelumditerapkannya Behavior Based Safety (BBS),
sehinngatenagakerjabanyakditemukanPenyakitAkibatKerjamaupunKecela
kaanAkibatKerja.
3. Behavior Based Safety (BBS) sangat diperluksn oleh siapa saja, kapan
saja dan dimana saja, sehingga perilaku aman dapat dilakukan untuk
menghindari terjadinya kecelakaan kerja. Sedangkanperilakutidakaman
yang terjadi proses produksi KOBA diantaranyaadalah :
Percayadiri yang berlebih
Kerapiandankebersihan yang buruk
Tidakmemperdulikanprosedurkeselamatan
Tidakmenggunakan APD
Bekerjamenggunakanalat-alat yang rusak
Meletakkanbarangproduksidanperalatantidakpadatempatny
a
4. Dikarenakantidakditerapkannya Behavior Based Safety
makaditemukanbanyakterjadiKecelakaanKerjamaupunPenyakitAkibatKerj
apadaperusahaan KOBA, diantaranyaadalah :
Terpukulalatkerjasepertipalu
Mata terkenapercikanapigerinda
Tertimpabahan
25

Terpeleset
Terhirupzatkimai cat maupundebu
Tersandung

B. Saran
1. Adanya training ataupelatihantentang K3 khususnyaalambidang Safety
Behavior.
2. Adanyamanajemen K3 dalamperusahaanuntukmembudayakanperilaku
safety.
3. AdanyaAlatPelindungDiri (APD) yang
sesuaidanadanyaperaturandalampemakaiannya.
4. Adanyadiskusi yang baikantarapekerjadenganatasan di
lingkungankerja.
5. Lebihmengutamakankeselamatandaripadakecepatandalambekerja.

















26

DAFTAR PUSTAKA

Cooper, M. D. (2009). Behavioral Safety Interventions: A Review of
Process Design Factors. Safety Management, 36-45.

Geller, E.S. (2001). The Psychology of Safety Handbook. USA: CRC
Press LLC, 2001.
Ivancevich, John M et all. 2006. PerilakudanManajemenOrganisasi, Jilid 1
Edisiketujuh, Jakarta :PenerbitErlangga

Karyani. 2005. Faktor-faktor yang berpengaruhpadaperilakuaman (safe
behavior) di Schlumberger Indonesia tahun 2005. Tesis. FKM UI Depok

Kondarus, Danggur. 2006. KeselamatanKesehatanKerja Membangun SDM
Pekerja Yang Sehat, Produktif, danKompetitif. Jakarta: LitbangDanggur&
Partners

Maanaiya, Imam. 2005. Faktor-faktor yang
berhubungandengantindakantidakaman (Unsafe act/substandard practice)
pekerja di bagian Press PT YIMM Tahun 2005. Tesis.Depok : FKM UI

Neal, Andrew danGraffin, Mark. 2002. Safety Climate And Safety Behavior.
Australian Journal of Management.

Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta :
PT. Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai