ANALISA BEHAVIOUR BASED SAFETY (BBS) PADA KONSTRUKSI BAJA & STAINLESS STEEL KOBA
KELOMPOK 12 [ KELAS B ]
1. IRA PRACINASARI ( R0012048 ) 2. WAHYU LESTARI ( R.0012102 ) 3. SRI ANGGRAENI ( R.0012094 ) 4. MUH MUSHAB M ( R.0012062 )
PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............... i HALAMAN PENGESAHAN ............ ii DAFTAR ISI ... iii BAB I. PENDAHULUAN .. 1 A. LatarBelakang ...... 1 B. Rumusanmasalah.... 2 C. Tujuan ....... 2
BAB II. LANDASAN TEORI ...... 4 BAB III. ISI ..... 18 BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN .... 22 A. Simpulan .... 22 B. Saran .. 23
DAFTAR PUSTAKA Lampiran
3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan dunia industry sektor informal, dunia kerja selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru yang harus bisa segera diatasi bila perusahaan tersebut ingin tetap eksis. Permasalahan yang selalu berkaitan dan melekat dengan dunia kerja yaitu timbulnya kecelakaan kerja. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam sistem ketenagakerjaan dan sumber daya manusia. Isu keselamatan dan kesehatan kerja pada saat ini bukan sekedar kewajiban yang harus diperhatikan oleh para pekerja, akan tetapi juga harus dipenuhi oleh sebuah sistem pekerjaan. Dengan kata lain keselamatan dan kesehatan kerja bukan semata sebagai kewajiban, akan tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi setiap para pekerja dan bagi setiap bentuk kegiatan pekerjaan. Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun. Kerugian yang langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja adalah biaya pengobatan dan 2kompensasi kecelakaan. Sedangkan biaya tak langsung yang tidak nampak ialah kerusakan alat-alat produksi, penataan manajemen keselamatan yang lebih baik, penghentian alat produksi, dan hilangnya waktu kerja. Berdasarkan permasalahan tersebut, diharapkan dengan adanya aplikasi ini dapat menjadi bentuk pengawasan dan tindakan pencegahan didalam meminimalisasi resiko kecelakaan kerja serta dicapai suatu kondisi 4
kerja dan lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan K3 sehingga diperoleh peningkatan efisiensi kerja dan peningkatan produktivitas kerja. Upaya pencegahan kecelakaan kerja dapat disempurnakan dengan menerapkan konsep behavior based safety. Behaviour based safety adalah upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui pendekatan yang berbasis perubahan perilaku. Peneliti menyadari bahwa manusia memegang peranan penting dalam melaksanakan pekerjaan. Keberhasilan dalam melakukan pekerjaan secara aman dan benar terantung dari manusia yang mengerjakannya. Hal yang spesifik dari manusia yang berperan dalam melakukan pekerjaannya adalah perilaku kerjanya. Penerapan pengamatan perilaku kerja ini berlaku untuk seluruh operasi perusahaan termasuk berlaku bagi industri informal, khususnya di KOBA yaitu industri informal yang menjualkan konstruksi baja dan stainless steel serta jasa dalam bidang pengelasan baik ditempat usaha tersebut maupun diproyeknya. Industri informal khususnya tempat pengelasan biasanya rentan mengutamakan K3. Dari sebab itu, penulis melakukan pengamatan adakahnya penerapan konsep behavior based safety pada industri informal KOBA.
B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari Behavior Based Safety? 2. Apakah ada penerapan konsep Behavior Based Safety pada industri informal KOBA? 3. ApakahBehavior Based Safety penting diterapkan pada industri informal KOBA? 4. Apakah ada dampak dari tidak di terapkannya Behavior Based Safety pada industri informal KOBA?
C. Tujuan 1. Mengetahui pengertian dari Behavior Based Safety. 2. Mengetahui adakah penerapan konsep Behavior Based Safety pada industri informal KOBA. 5
3. Mengetahui pentingnya penerapan Behavior Based Safety pada industri informal KOBA. 4. Mengetahui apakah ada dampak dari tidak di terapkannya Behavior Based Safety pada industri informal KOBA 5. Mengetahui program kerja yang harusdijalankanpada industry informal KOBA
6
BAB II LANDASAN TEORI
A. PerilakuAman (Safety Behavior) Perilaku diterjemahkan dari kata bahasa Inggris behavior, namun seringkali pengertian perilaku ditafsirkan secara berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Perilaku juga sering diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang ditampilkan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungan disekitarnya, atau bagaimana manusia beradaptasi terhadap lingkungannya. Perilakupada hakekatnya adalah aktifitas atau kegiatan nyata yang ditampikan seseorang yang dapat teramati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku keselamatan adalah tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan faktor-faktor keselamatan kerja. Menurut Zhou et al., (2007) ada empat faktor yang paling efektif untuk meningkatkan perilaku keselamatan, yaitu: safety attitudes,employees involvement, safety managementsystems and procedures, and safety knowledge. Faktor iklim keselamatan lebih berpengaruh terhadap perilaku keselamatan jika dibandingkan dengan pengalaman pekerja. Diperlukan strategi gabungan antara iklim keselamatan dan pengalaman kerja untuk meningkatkan perilaku keselamatan secara maksimal guna mencapai total budaya keselamatan. Rundmo dan Hale (2003) melakukan studi terhadap sikap (attitude) manajemen terhadap keselamatan dan pencegahan terjadi kecelakaan. Hasil studi menunjukkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh sikap. Sikap yang ideal untuk manajemen adalah: 1. Komitmen yang tinggi. 2. Kefatalan rendah. 3. Toleransi terhadap pelanggaran rendah. 4. Emosi dan kekhawatiran tinggi. 5. Tunakuasa rendah. 7
6. Prioritas keselamatan tinggi. 7. Penguasaan dan kesadaran tinggi. Paul P.S. dan Maiti J. (2007) mempelajari peranan perilaku keselamatan pekerja terhadap terjadinya kecelakaan pada perusahaan tambang. Dari studi yang dilakukan diperoleh struktural model yang menunjukkan hubungan work injury secara signifikan dipengaruhi oleh: 1. Pengaruh negatif 2. Pengambilan resiko 3. Ketidakpuasan kerja 4. Umur 5. Kinerja keselamatan Menurut Mullen J. (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku keselamatan individu pekerja, yaitu: 1. Faktor organisasi : yaitu beban kerja yang berlebih, persepsi kinerja keselamatan, pengaruh sosialisasi, sikap keselamatan dan persepsi terhadap resiko. 2. Faktor personal image; yaitu kesan macho dan mampu untuk menghindari konsekuensi negatif, misalnya diejek atau diremehkan rekan kerja dan ketakutan kehilangan posisi. Menurut Mullen bahwa faktor organisasi menentukan perilaku keselamatan pekerja. Sosialisasi organisasi terhadap karyawan baru sedini mungkin akan mempengaruhi persepsi pekerja terhadap iklim keselamatan, sikap keselamatan, komitmen terhadap keselamatan dan perilaku keselamatan. OHS training dan edukasi serta penegakan aturan, inspeksi, dan komunikasi merupakan karakteristik perilaku yang paling dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja keselamatan untuk semua posisi diatas. Mengembangkan atau merubah budaya organisasi merupakan tantangan serta membutuhkan biaya dan waktu yang lama. Dengan menentukan target yang tepat, seperti OHS advisor dan supervisor, kemudian mengidentifikasi keahlian dan kemampuan serta perilaku yang paling 8
dibutuhkan yang dapat mengarah kebudaya keselamatan yang positif, kinerja keselamatan dapat diperbaiki dan dimaksimalkan. Dalam hal ini ditunjukkan pentingnya peran pimpinan dalam merubah budaya organisasi dan keselamatan. Pimpinan disini bukan hanya pada tingkatan manajemen akan tetapi sampai pada pimpinan lapangan seperti foremen (Dingsdag et al., 2008). Pendekatan budaya keselamatan dimulai dari level manajemen ke level yang lebih rendah (top-down approach), sementara pendekatan perilaku keselamatan dimulai dari level bawah ke level atas (bottom-up approach). Keberhasilan kedua pendekatan tersebut bergantung pada ada tidaknya perubahan pada tata nilai dasar dari organisasi, itikad, dan asumsi tentang keselamatan di tempat kerja. DeJoy (2005) mengusulkan metode pendekatan terintegrasi antara pendekatan budaya keselamatan dan perilaku keselamatan. Pendekatan budaya keselamatan lebih bersifat komprehensif namun kurang memberikan solusi pada masalah keselamatan yang spesifik. Disisi lain, pendekatan perilaku lebih bersifat spesifik dalam menyelesaikan masalah keselamatan namun kurang komprehensif. Dengan demikian, disimpulkan bahwa kombinasi pendekatan kedua metode ini akan saling melengkapi dan menghasilkan perubahan yang lebih komprehensif sekaligus menyelesaikan masalah- masalah keselamatan yang spesifik. Model pendekatan terintegrasi yang diusulkan sangat baik dan dapat diterima secara konsep (DeJoy, 2005). Salah satu program yang paling banyak digunakan untuk memperbaiki perilaku pekerja adalah behavior-based safety. Behavior-based safetyatau lebih dikenal dengan singkatan BBS adalah suatu pendekatan yang bersifat proaktif dalam meningkatkan kinerja K3, dan sistem ini juga memberikan peringatan dini terhadap potensi bahaya kecelakaan serta dapat mengukur perilaku aman dan tidak aman di tempat kerja. Sistem ini juga memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk berbagi informasi mengenai kinerja K3 dan umpan balik terhadap rekan-rekan kerja mereka, mendorong keterlibatan pekerja dalam semua aktifitas K3, meningkatkan 9
kesadaran pribadi akan K3, memperbaiki presepsi terhadap resiko dan mengarahkan konsep berpikir pada pencegahan kecelakaan (IET, 2007). Program BBS adalah merupakan program perbaikan kontinu yang melibatkan manajemen dan pekerja. Ada lima program yang harus dijalan secara kontinu dalam BBS, yaitu : 1. Observasi, diskusi dan umpan balik dari pekerja di lingkungan kerja. Program ini dilakukan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya guna mengetahui perilaku aman dan tidak aman dari pekerja. 2. Melakukan komunikasi dengan semua pekerja sebagai bentuk pembelajaran berdasarkan informasi yang diperoleh dari program pertama. 3. Membuat program perencanaan implementasi BBS berdasarkan masukan dan data yang diperoleh dari program pertama. 4. Implementasi perbaikan dan berbagi pembelajaran antar organisasi. 5. Training dan pembinaan untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan dan presepsi terhadap resiko, membina individu untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan standar dan menguji dampak perilaku. Teori Heinrich (1980, dalam Geller, 2001) tentang keselamatan kerja menyatakan bahwa perilaku tidak aman (unsafe behavior) merupakan penyebab dasar pada sebagian besar kejadian hampir celaka dan kecelakaan di tempat kerja. Oleh karena itu, dilakukan observasi mendalam trerhadap kalangan pekerja mengenai perilaku kerja tidak aman. Umpan balik mengenai observasi terhadap perilaku telah terbukti sukses dalam mengurangi perilaku tidak aman para pekerja. Umpan balik yang diberikan dapat berupa lisan, grafik, tabel dan bagan, atau melalui tindakan perbaikan. Lebih lanjut, Cooper (2009) mengidentifikasi adanya tujuh kriteria yang sangat penting bagi pelaksanaan program Behavior Based Safety: 1. Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan BBS menerapkan sistem bottom-up, sehingga individu yang berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam mengidentifikasi perilaku kerja tidak aman (unsafe behavior). 10
Dengan keterlibatan pekerja secara menyeluruh dan adanya komitmen, kepedulian seluruh pekerja terhadap program keselamatan maka proses perbaikan akan berjalan dengan baik. 2. Memusatkan Perhatian pada unsafe behavior yang spesifik Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang memicu terjadinya perilaku tidak selamat para praktisi menggunakan teknik behavioral analisis terapan dan memberi hadiah (reward) tertentu pada individu yang mengidentifikasi perilaku tidak selamat. 3. Didasarkan pada Data Hasil Observasi, Observer memonitor perilaku selamat pada kelompok mereka dalam waktu tertentu. Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut, dan safe behavior akan meningkat. 4. Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data, Hasil observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data persentase jumlah safe behavior. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat letak hambatan yang dihadapi. Data ini menjadi umpan balik yang bisa menjadi reinforcement positif bagi karyawan yang telah berperilaku kerja aman, selain itu bisa juga menjadi dasar untuk mengoreksi unsafe behavior yang sulit dihilangkan. 5. Melibatkan Intervensi Secara Sistematis dan Observasional Keunikan sistem Behavior Based Safety adalah adanya jadwal intervensi yang terencana. Dimulai dengan briefing pada seluruh departemen atau lingkungan kerja yang dilibatkan, karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas sebagai observer yang tergabung dalam sebuah project team. Observer ditraining agar dapat menjalankan tugas mereka. kemudian mengidentifikasi unsafe behavior yang diletakkan dalam check list. Daftar ini ditunjukkan pada para pekerja 11
untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui, observer melakukan observasi pada periode waktu tertentu (+ 4 minggu), untuk menentukan baseline. Setelah itu barulah program intervensi dilakukan dengan menentukan goal setting yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Observer terus melakukan observasi. Data hasil observasi kemudian dianalisis untuk mendapatkan feedback bagi para karyawan. Team project juga bertugas memonitor data secara berkala, sehingga perbaikan dan koreksi terhadap program dapat terus dilakukan. 6. Menitikberatkan pada Umpan Balik terhadap Perilaku Kerja Dalam program Behavior Based Safety, umpan balik dapat berbentuk umpan balik verbal yang langsung diberikan pada karyawan sewaktu observasi, umpan balik dalam bentuk data (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis dalam lingkungan kerja, dan umpan balik berupa briefing dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalis untuk mendapatkan umpan balik yang mendetail tantang perilaku yang spesifik. 7. Membutuhkan Dukungan dari Manager, Komitmen manajemen terhadap proses behavior based safety biasanya ditunjukkan dengan memberi keleluasaan pada observer dalam menjalankan tugasnya, memberikan penghargaan yang melakukan perilaku selamat, menyediakan sarana dan bantuan bagi tindakan yang harus segera dilakukan, membantu menyusun dan menjalankan umpan balik, dan meningkatkan inisiatif untuk bertindak selamat dalam setiap kesempatan. Dukungan dari manajemen sangat penting karena kegagalan dalam penerapan BBS biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan dan komitmen dari manajemen.
12
B. Pengelasan Menurut penemuan-penemuan benda bersejarah, dapat diketahui bahwa teknik penyambungan logam telah diketahui sejak dari zaman prasejarah, misalnya pembrasingan logam paduan emas tembaga dan pematrian timbal-timah, menurut keterangan telah diketahui dan dipraktekkan dalam rentang waktu antara tahun 4000 sampai 3000 SM dan diduga sumber panas berasal dari pembakaran kayu dan arang. Pada abad ke 19 teknologi pengelasan berkembang dengan pesat karena telah dipergunakannya sumber energi listrik (Suharno, 2008). Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang dilaksankan dalam keadaan, dijelaskan lebih lanjut bahwa las adalah sesuatu proses dimana bahan dan jenis yang sama digabungkan menjadi satu sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari pemakaian panas dan tekanan (Suharno, 2008). 1. Jenis-Jenis Pengelasan Berdasarkan proses pengelasan, maka pengelasan terbagi menjadi dua antara lain (Bintoro, 1999) : a. Las Oksi Asetilen Las oksi asetilen merupakan proses pengelasan secara manual dengan pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau disambung sampai mencair oleh nyala gas asetilen melalui pembakaran C2H2 dengan gas O2 dengan atau tanpa logam pengisi. Pembakaran gas C2H2 oleh oksigen (O2) dapat menghasilkan suhu yang sangat sangat tinggi sehingga dapat mencairkan logam. Gas asetilen merupakan salah satu jenis gas yang sangat mudah terbakar dibawah pengaruh suhu dan tekanan. Gas asetilen disimpan di dalam suatu tabung yang mampu menahan tekanan kerja.
13
b. Las listrik Las tahanan listrik adalah proses pengelasan yang dilakukan dengan jalan mengalirkan arus listrik melalui bidang atau permukaan-permukaan benda yang akan disambung. Elektroda-elektroda yang dialiri listrik digunakan untuk menekan benda kerja dengan tekanan yang cukup. Penyambungan dua buah logam atau lebih menjadi satu dengan jalan pelelehan atau pencairan dengan busur nyala listrik. Tahanan yang ditimbulkan oleh arus listrik pada bidang-bidang sentuhan akan menimbulkan panas dan berguna untuk mencairkan permukaan yang akan disambung. Bahaya pada las listrik yaitu, loncatan bunga api yang terjadi pada nyala busur listrik karena adanya potensial tegangan atau beda tegangan antara ujung-ujung elektroda dan benda kerja. Tegangan yang digunakan sangat menentukan terjadinya loncatan bunga api, semakin besar tegangan semakin mudah terjadi loncatan bunga api listrik. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa tegangan yang tinggi akan membahayakan operator las, karena tubuh manusia hanya mampu menderita tegangan listrik sekitar 42 volt. Selain penggunaan arus dan tegangan yang bisa membahayakan operator, nyala busur listrik juga memancarkan sinar ultra violet dan sinar infra merah yang berinteraksi sangat tinggi. Pancaran atau radiasi dari sinar tersebut sangat membahayakan mata maupun pekerjat manusia (Bintoro, 1999).
2. Manajemen dalam Pengelasan Juru las yang terampil dan peralatan las yang baik belum tentu dapat menjamin hasil las yang bermutu tinggi, apabila sarana lainnya tidak terpenuhi. Manajemen pengelasan dalam hal ini harus mengatur beberapa sarana penting yang dapat mempengaruhi hasil pengelasan seperti pelaksanaan yang aman, pengawasan mutu, dan pemeriksaan 14
proses. Manajemen tersebut terdiri atas beberapa pengawasan (Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain : a. Pengamanan pelaksanaan Agar pengelasan dapat dilakukan dengan aman, alat-alat pengamanan harus lengkap dan juru las harus mengerti dan dapat serta mau menggunakan alat pengaman tersebut, dalam hal ini yang penting adalah : 1. Pemakaian baju kerja yang sesuai dan aman. 2. Pada pengelasan di tempat yang tinggi harus menggunakan alat pengaman agar tidak terjatuh. 3. Pemakaian pelindung dengan baik. 4. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dan ledakan. b. Pengawasan umum Untukmendapatkan mutu pengelasan yang baik perlu adanya pengawasan pada peralatan yang digunakan, bahan las yang dipilih, pelaksanaan dan keterampilan. Pengawasan yang dimaksud diatas diterangkan sebagai berikut: 1. Pengawasan peralatan Dengan menggunakan peralatan yang sempurna, akan diperoleh mutu hasil lasan yang baik dan efisiensi kerja yang tinggi, karena itu diperlukan sistem manajemen yang dapat menentukan cara-cara pemilihan alat, pembelian alat, peminjaman alat kepada pekerja dan cara memperbaiki alat yang rusak. 2. Pengawasan bahan las Pengaturan pembelian bahan las baik dalam jenis maupun dalam jumlah harus menjamin agar selalu terdapat jumlah persediaan seperti yang telah ditentukan dan yang sesuai dengan jadwal pelaksanaan. 3. Pengawasan pelaksanaan Apabila proses pengelasan telah ditentukan, maka perlu untuk mengadakan pengawasan agar prosedur pengelasan diikuti 15
sepenuhnya. Untuk mempermudah pengawasan dan menghindari kesalahan perlu dibuat petunjuk kerja yang terperinci yang meliputi kondisi pengelasan, penggunaan alat, pemakaian bahan, prosedur pengerjaan dan cara-cara mengadakan perbaikan bila terjadi cacat.
4. Pengawasan keterampilan Untuk mendapatkan juru las yang terampil perlu diadakan pelatihan dan pendidikan. Tiap-tiap juru las harus mempunyai kualifikasi berdasarkan peraturan yang ditentukan oleh badan yang berwenang dalam bidang konstruksi yang sesuai dan menguasai tentang pengelasan.
3. Bahaya Dalam Pengelasan Pada pekerjaan pengelasan banyak risiko yang akan terjadi apabila tidak hati-hati terhadap penggunaan peralatan, mesin dan posisi kerja yang salah. Beberapa risiko bahaya yang paling utama pada pengelasan (Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain : a. Cahaya dan sinar yang berbahaya Selama proses pengelasan akan timbul cahaya dan sinar yang dapat membahayakan juru las dan pekerja lain yang ada di sekitar pengelasan. Cahaya tersebut meliputi cahaya yang dapat dilihat atau cahaya tampak, sinar ultraviolet dan sinar inframerah. 1) Sinar ultraviolet Sinar ultraviolet sebenarnya adalah pancaran yang mudah diserap, tetapi sinar ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Bila sinar ultraviolet yang terserap oleh lensa dan kornea mata melebihi jumlah tertentu maka pada mata akan terasa seakan-akan ada benda asing di dalamnya. Dalam waktu antara 6 sampai 12 jam kemudian mata akan menjadi sakit selama 6 sampai 24 jam. Pada umunya rasa sakit ini akan hilang setelah 48 jam. 16
2) CahayaTampak Semuacahaya yang masukkemataakanditeruskanolehlensadankorneake retina mata. Bilacahayainiterlalukuatmakamataakancepatlelahdanapabilaterlalu lama akanmenimbulkansakit. Rasa lelahdansakitinijugahanyasementara. 3) Sinarinframerah Adanya sinar inframerah tidak segera terasa oleh mata, karena itu sinar ini lebih berbahaya sebab tidak diketahui, tidak terlihat dan tidak terasa. Pengaruh sinar inframerah terhadap mata sama dengan pengaruh panas, yaitu menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya penyakit kornea, presbiopia yang terlalu dini dan terjadinya kerabunan. b. Arus listrik yang berbahaya Besarnya kejutan yang timbul karena listrik tergantung pada besarnya arus dan keadaan badan manusia. Tingkat dari kejutan dan hubungannya dengan besar arus adalah sebagai berikut: 1. Arus 1 mA hanya akan menimbulkan kejutan yang kecil saja dan tidak membahayakan. 2. Arus 5 mA akan memberikan stimulasi yang cukup tinggi pada otot dan menimbulkan rasa sakit. 3. Arus 10 mA akan menyebabkan rasa sakit yang hebat. 4. Arus20 mA akan menyebabkan terjadi pengerutan pada otot sehingga orang yang terkena tidak dapat melepaskan dirinya tanpa bantuan orang lain. 5. Arus 50 mA sangat berbahaya bagi tubuh. 6. Arus 100 mA dapat mengakibatkan kematian. c. Debu dan gas dalam asap las. Debudalamasap las besarnya berkisar antara 0,2 m sampai dengan 3 m. Komposisi kimia dari debu asap las tergantung dari jenis pengelasan dan elektroda yang digunakan. Bila elektroda jenis hydrogen rendah, di dalam debu asap akan terdapat fluor (F) dan oksida kalium (K2O). Dalam pengelasan busur listrik tanpa gas, asapnya akan banyak mengandung 17
oksida magnesium (MgO). Gas-gas yang terjadi pada waktu pengelasan adalah gas karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), ozon (CO3) dan gas nitrogen dioksida (NO2). d. Bahaya kebakaran. Kebakaran terjadi karena adanya kontak langsung antara api pengelasan dengan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti solar, bensin, gas, cat kertas dan bahan lainnya yang mudah terbakar. Bahaya kebakaran juga dapat terjadi karena kabel yang menjadi panas yang disebabkan karena hubungan yang kurang baik, kabel yang tidak sesuai atau adanya kebocoran listrik karena isolasi yang rusak. e. Bahaya Jatuh. Didalam pengelasan dimana ada pengelasan di tempat yang tinggi akan selalu ada bahaya terjatuh dan kejatuhan. Bahaya ini dapat menimbulkan luka ringan ataupun berat bahkan kematian karena itu usaha pencegahannya harus diperhatikan.
4. Perlengkapan Keselamatan Kerja Las Demi keamanan dan kesehatan tubuh, operator las harus memakai alat-alat yang mampu melindungi tubuh dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan akibat pengelasan. Perlengkapan tersebut antara lain (Bintoro, 1999): a. Pelindung muka Bentuk dan pelindung muka ada beberapa macam tetapi secara prinsip pelindung muka mempunyai fungsi yang sama, yaitu melindungi mata dan muka dari pancaran sinar las dan percikan bunga api. Pelindung muka mempunyai kacamata yang terbuat dari bahan tembus pandang yang berwarna sangat gelap dan hanya mampu ditembus oleh sinar las. Kacamata ini berfungsi melihat benda kerja yang dilas dengan mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke mata.
18
b. Kacamata bening Untuk membersihkan torak atau untuk proses finishing misalnya penggerindaan, mata perlu perlindungan, tetapi tidak dengan pelindung muka las. Mata tidak mampu melihat benda kerja karena kacamata yang berada pada pelindung muka sangat gelap. Oleh karena itu, diperlukan kacamata bening yang mampu digunakan untuk melihat benda kerja dan sangat ringan sehingga tidak mengganggu proses pekerjaan. c. Masker wajah Masker berfungsi untuk menyediakan udara segar yang akan dihirup oleh sistem pernapasan manusia. Masker digunakan untuk pengelasan ruangan yang sistem sirkulasi udaranya tidak baik. Karena proses pengelasan akan menghasilkan gas-gas yang membahayakan sistem pernapasan jika dihirup dalam jumlah besar. Jika gas hasil pengelasan tidak segera dialirkan ke luar ruangan maka akan dihirup oleh operator. d. Pakaian las Pakaian ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari percikan bunga api dan pancaran sinar las. Pakaian las terbuat dari bahan yang lemas sehingga tidak membatasi gerak si pemakai. Selain bahan pakaian yang digunakan lemas, juga harusringan, tidak mudah terbakar, dan mampu menahan panas atau bersifat isolator. Model lengan dancelana dibuat panjang agar mampu melindungi seluruh tubuh dengan baik. e. Pelindung badan (apron) Untuk melindungi pekerjat dan organ-organ tubuh pada bagian badan dari percikan bunga api dan pancaran sinar las yang mempunyai intensitas tinggi maka pada bagian badan perlu dilindungi sperti halnya pada bagian muka, karena baju las yang digunakan belum mampu sepenuhnya melindungi pekerjat dan organ tubuh pada bagian dada. f. Sarung tangan Kontak dengan panas dan listrik sering terjadi yaitu melewati kedua tangan, contoh: penggantian elektroda atau memegang sebagian dari benda kerja yang memperoleh panas secara konduksi dari proses pengelasan. 19
Untuk melindungi tangan dari panas dan listrik maka operator las harus menggunakan sarung tangan, karena mempunyai sifat mampu menjadi isolator panas dan listrik (mampu menahan panas dan tidak menghantarkan listrik). g. Sepatu las Sepatu las dapat melindungi telapak dan jari-jari kaki kemungkinan tergencet benda keras, benda panas atau sengatan listrik. Dengan memakai sepatu las bebarti tidak ada aliran arus listrik dari mesin las ke ground (tanah) melewati tubuh kita, karena bahan sepatu berfungsi sebagai isolator listrik.
20
BABIII ISI
A. Tempat dan Jadwal penelitian Tempat : KOBA Konstruksi Baja & Stainless Steel Alamat : Jl. Kaliwingko 39 Telp./Fax. (0271) 620936 Grogol Sukoharjo 57552 (Utara Gapura) Hari : Senin Tanggal : 24 Maret 2014 Waktu : 13.00 WIB
B. Alat dan Bahan 1. Kertas/buku Fungsi: Untuk menulis hasil observasi 2. Pulpen Fungsi: Untuk menulis hasil observasi 3. Kamera Fungsi: Untuk dokumentasi
C. Hasil dan Pembahasan Kegiatan Praktikum KOBA Konstruksi Baja & Stainless Steel merupakan industri informal yang bergerak di bidang pengelasan dan penjualan hasil pengelasanterutamadalampembuatanpagar. KOBA didirikan pada tahun 1989 Jl. Kaliwingko 39 Telp./Fax. (0271) 620936 Grogol Sukoharjo 57552 (Utara gapura) oleh Bapak Himawan yang lahir 64 tahun lalu di Kebumen. Karyawan yang dimiliki saat ini lebih dari 10 orang yang diantaranya ada yang bekerja dibagian staff yaitu pekerja yang bekerja dibagian kantor, pekerja lapangan internal yang ditempatkan pada proses produksi yang berdekatan dengan kantor dan pekerja lapangan eksternal yang ditempatkan 21
pada proses produksi di luar daerah. Produk dari usaha tersebut sudah dieksport ke berbagai tempat luardaerahmaupunluar negara. Proses kerja di KOBA tersebut dimulai dari pukul 08.00 WIB 16.00 WIB untuk hari senin jumat, sedangkan pada hari sabtu dimulai dari pukul 08.00 WIB 15.00 WIB yang berlaku bagi setiap karyawan yang bekerja di tempat tersebut. Namun, jika pesanan sedang meningkat tenaga kerja bagian pengelasan di tempat usaha tersebut melembur 12 sampai 20 jam kerja dalam sehari. Pengusaha KOBA ini tidak memasukkan karyawannya dalam JAMSOSTEK melainkan pada salah satu ASURANSI milik swasta. Hal ini disebabkan karyawan yang bekarjatidakterikatsecarapenuholehperaturanperusahaansehinggapekerjadapat keluar masuk pada perusahaan tersebut.
No Nama Umur Lama Bekerja Bagian Pekerjaan APD 1 Suseno 63 tahun 3 bulan Pengamplasan Tidak ada 2 Wiyono 40 tahun 10 tahun Pengecatan Ada masker tapi tidak dipakai karena males 3 Sukato 24 tahun 3 tahun Pengelasan Memakai kacamata 4 Antonius Suwarto 61 tahun 26 tahun Menggerinda Tidak ada 5 Bambang 50 tahun 15 tahun Kepala bengkel Tidak ada 6 Gombloh 60 tahun 5 hari Perbaikanalatdanmesin Tidakada
Dari data yang sudah ada, penerapan Behaviour Based Safety belum maksimal karena di sana sebenarnya sudah disiapkan alat pelindung diri tapi para pekerja tidak mau memakainya. Hal ini dikarenakan pekerja pada 22
bengkel tersebut malas memakainya dan merasa tidak nyaman saat memakai alat pelindung diri dan sudah terbiasa dengan keadaan/perilaku yang seperti itu. Pada bengkel las tersebut para pekerja belum mengetahui dan memahami bahaya yang akan diterima yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja yang fatal saat bekerja dalam jangka waktu yang pendek maupun jangka waktu yang panjang tanpa memakai alat pelindung diri. Setelah melakukan observasi, dapat kita ambil kesimpulan bahwa penerapan BBS di tempat las tersebut belum di terapkan. Karena, pekerja yang belum memahami tentang BBS tersebut. Selain itu, dari pengamatan yang kami lihat juga terlihat bahwa perilaku kerja yang tidak safety dilakukan berulang-ulang saat bekerja. Tempat las tersebut juga merupakan industri informal jadi penerapan K3 di dalam bengkel las tersebut juga belum di terapkan. Untuk itu, belum adanya manajemen K3 di tempat las tersebut yang dapatmenyebabkan Penyakit Akibat Kerja dan kecelakaan kerja di tempat las tersebut. Sebagai contoh, yang kami temukan di tempat las tersebut, yaitu yang terjadi pada Bapak Antonius Suwarno yang mengalami PAK yaitu, kedua matanya mengalami kecacatan fisik, dan penglihatan pun menjadi kabur. Hal tersebut di karenakan pekerja di bagian gerinda tersebut tidak menggunakan kacamata las dalam bekerja, sehingga mengakibatkan hal tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, pekerja lainnya yang bekerja di bagian pengecatan, dll juga tidak memakai APD berupa masker. Sehingga bisa di katakan PAK terjadi pada semua pekerja yang ada di bengkel las tersebut. Berbicara tentang pimpinan bengkel las tersebut, pemilik bengkel sudah menyediakan Alat Pelindung Diri untuk para pekerjanya, tapi kurang optimal dalam pelaksanakannya baik dari segi manajemen maupun dalam segi inspeksi berkala. Sehingga Alat Pelindung Diri sering diabaikan dan hanyadipakai waktu ada penilaian atau pemeriksaan. 23
Perilaku yang terjadi di dalam las bengkel tersebut bisa di katakan telah menjadi hal biasa oleh pekerjanya. Karena, sejak mereka bekerja, mereka tidak membiasakan untuk berperilaku K3 di dalam bengkel las tersebut.Untuk menerapkan BBS dalam bengkel las tersebut juga merupakan hal yang tidak mudah, dikarenakan bengkel tersebut merupakan industri informal yang tidak memiliki ahli K3, biaya dan sulit untuk membangun perilaku keselamatan kerja. Penerapan Behaviour Based Safety di bengkel las tersebut seharusnya diterapkan, karena di dalam industri informal banyak sekali perilaku yang menyebabkan kecelakaan pekerja, seperti pada bengkel las KOBA tersebut Seharusnya, pihak benkel melaksanakan program-program yang dapat mengubah perilaku pekerjanya untuk melaksanakan BBS. Ada 5 program yang dapat di jalankan secara kontinu dalam BBS untuk bengkel tersebut, yaitu: 1. Observasi, diskusi dan umpan balik dari pekerja di lingkungan kerja. 2. Melakukan komunikasi dengan semua pekerja 3. Membuat program perencanaan implementasi BBS 4. Implementasi perbaikan dan berbagai pembelajaran 5. Training dan pembinaan
24
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1. Behavior Based Safety (BBS) merupakan aplikasi sistematis dari riset psikologi tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety) ditempat kerja yang memasukkan proses umpan balik secara langsung dan tidak langsung. BBS lebih menekankan aspek perilaku manusia terhadap terjadinya kecelakaan di tempat kerja. 2. Pada proses produksi di KOBA Konstruksi Baja & Stainless Steelbelumditerapkannya Behavior Based Safety (BBS), sehinngatenagakerjabanyakditemukanPenyakitAkibatKerjamaupunKecela kaanAkibatKerja. 3. Behavior Based Safety (BBS) sangat diperluksn oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja, sehingga perilaku aman dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja. Sedangkanperilakutidakaman yang terjadi proses produksi KOBA diantaranyaadalah : Percayadiri yang berlebih Kerapiandankebersihan yang buruk Tidakmemperdulikanprosedurkeselamatan Tidakmenggunakan APD Bekerjamenggunakanalat-alat yang rusak Meletakkanbarangproduksidanperalatantidakpadatempatny a 4. Dikarenakantidakditerapkannya Behavior Based Safety makaditemukanbanyakterjadiKecelakaanKerjamaupunPenyakitAkibatKerj apadaperusahaan KOBA, diantaranyaadalah : Terpukulalatkerjasepertipalu Mata terkenapercikanapigerinda Tertimpabahan 25
B. Saran 1. Adanya training ataupelatihantentang K3 khususnyaalambidang Safety Behavior. 2. Adanyamanajemen K3 dalamperusahaanuntukmembudayakanperilaku safety. 3. AdanyaAlatPelindungDiri (APD) yang sesuaidanadanyaperaturandalampemakaiannya. 4. Adanyadiskusi yang baikantarapekerjadenganatasan di lingkungankerja. 5. Lebihmengutamakankeselamatandaripadakecepatandalambekerja.
26
DAFTAR PUSTAKA
Cooper, M. D. (2009). Behavioral Safety Interventions: A Review of Process Design Factors. Safety Management, 36-45.
Geller, E.S. (2001). The Psychology of Safety Handbook. USA: CRC Press LLC, 2001. Ivancevich, John M et all. 2006. PerilakudanManajemenOrganisasi, Jilid 1 Edisiketujuh, Jakarta :PenerbitErlangga
Karyani. 2005. Faktor-faktor yang berpengaruhpadaperilakuaman (safe behavior) di Schlumberger Indonesia tahun 2005. Tesis. FKM UI Depok
Kondarus, Danggur. 2006. KeselamatanKesehatanKerja Membangun SDM Pekerja Yang Sehat, Produktif, danKompetitif. Jakarta: LitbangDanggur& Partners
Maanaiya, Imam. 2005. Faktor-faktor yang berhubungandengantindakantidakaman (Unsafe act/substandard practice) pekerja di bagian Press PT YIMM Tahun 2005. Tesis.Depok : FKM UI
Neal, Andrew danGraffin, Mark. 2002. Safety Climate And Safety Behavior. Australian Journal of Management.
Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta