Anda di halaman 1dari 15

1

RELEVANSI PAKET PELAYANAN KESEHATAN DASAR DALAM PENCAPAIAN


TARGET NASIONAL DAN KOMITMEN GLOBAL
1


Abstrak

Kajian ini dilakukan untuk mengkaji kaitan antara paket pelayanan kesehatan dasar dengan
perubahan pola penyakit, besaran biaya yang diperlukan serta perubahan peran pemerintah
pusat dan daerah.

Kajian dilakukan di 6 propinsi, yaitu Kalimantan Timur, Maluku Utara, Jambi, Bali,
Sumatera Utara, dan DI Yogyakarta. Pemilihan propinsi didasarkan pada pendapatan asli
daerah, yaitu kategori tinggi, sedang dan rendah. Metode yang digunakan adalah cross
sectional study. Data dan informasi primer dan sekunder dikumpulkan dari
Bupati/Walikota/Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas dan LSM
serta berbagai literatur dan data terbitan.

Hasil kajian menunjukkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan dasar sebagian besar masih
dibawah Standar Pelayanan Miniman (SPM). Pola penyakit utama didominasi penyakit
infeksi, akan tetapi penyakit non-infeksi mulai meningkat seiring dengan perubahan struktur
penduduk. Kemampuan fiskal suatu daerah tidak menjamin alokasi biaya kesehatan terutama
untuk public goods. Terdapat indikasi bahwa pemerintah daerah, DPRD, dan LSM kurang
mendapatkan informasi yang akurat tentang masalah kesehatan dan prioritas pembangunan
kesehatan nasional. Masih dirasakan adanya ketidakjelasan wewenang antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam pembangunan kesehatan sebagai akibat ditetapkannya
UU No 22 dan No 25 tahun 1999.

Rekomendasi dari kajian ini adalah: (1) Perlu dipertimbangkan adanya perubahan jenis paket
pelayanan kesehatan dasar mengacu pada perubahan pola 10 penyakit utama dan
mempertimbangkan penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes. (2) Biaya pelayanan
kesehatan dasar dikeluarkan oleh masyarakat (Rp 10.000 per kunjungan) masih bisa
mencukupi kebutuhan psukesmas (Rp 3.000 per kunjungan); dan (3) Sesuai dengan peran
pemerintah daerah pada era otonomi, pemerintah daerah dapat menggunakan anggaran
kesehatan daerah untuk memperluas cakupan pelayanan kesehatan, terutama bagi penduduk
yang berada sedikit di atas garis kemiskinan yang ditetapkan (transient poverty) untuk
melengkapi pelayanan kesehatan gratis yang diberikan pemerintah dalam skema Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

1
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan,
Bappenas. email: arum@bappenas.go.id




2
1. Latar Belakang

Dengan konsep pelayanan kesehatan dasar, akses masyarakat terhadap fasilitas
kesehatan mengalami peningkatan cepat. Pada awal 1990-an sekitar sepertiga pasien yang
mencari perawatan menggunakan sarana pemerintah. Namun kecenderungan ini tidak
berlangsung lama. Tahun 1998, peranan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (Pustu) turun
menjadi hanya 20%; sementara peranan fasilitas swasta cenderung stabil; utilitas rumah sakit
pemerintah hanya naik 1% sementara rumah sakit swasta naik 5% (World Bank, 2000).
Golongan miskin yang memanfaatkan fasilitas kesehatan pemerintah di bawah rata-rata,
misalnya 20% golongan berpenghasilan tertinggi memanfaatkan fasilitas kesehatan
pemerintah tiga kali lebih banyak dibanding 20% golongan berpendapatan terendah.
Kuantitas sarana kesehatan tidak didukung dengan biaya operasional dan pemeliharaan
yang memadai sehingga kurang memiliki daya ungkit. Dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN, Indonesia masih jauh tertinggal dalam pencapaian berbagai indikator kesehatan
dasar. Angka kematian bayi dan balita, angka kematian ibu, kekurangan energi kronik, anemia
dan kurang gizi balita masih yang tertinggi.
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai indikator-indikator sumber daya
manusia, khususnya di bidang kesehatan, yang telah disepakati secara global seperti Alma Ata
Declaration, A World Fit for Children (WFC), dan Millenium Development Goals (MDGs).
Dalam deklarasi Alma-Ata, telah disepakati untuk mencapai pelayanan kesehatan dasar untuk
semua pada tahun 1990-an. Deklarasi WFC merupakan komitmen dunia untuk mencapai
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak, meliputi promosi hidup sehat dan
memerangi HIV/AIDS. Sedangkan pada MDGs, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan
angka kematian bayi, angka kematian ibu, memberantas HIV/AIDS dan penyakit menular
lainya yaitu tuberkulosis dan malaria (Bappenas, 2004).
Pelayanan kesehatan dasar untuk semua (Alma Ata Declaration) masih belum tercapai,
misalnya ditunjukkan oleh 23,1% penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap fasilitas
kesehatan (Bappenas UNDP, 2004). Upaya untuk menghentikan penyebaran HIV/AIDS,
dan menurunkan 2/3 kematian bayi dan kematian ibu pada tahun 2015 (komiten MDGs), juga
menghadapi tantangan yang cukup sulit.
Kebutuhan pelayanan kesehatan di masa mendatang juga mengalami perubahan seiring
terjadinya transisi demografi dan transisi epidemiologi. Secara demografi, jumlah penduduk
Indonesia akan meningkat menjadi 234 juta jiwa pada tahun 2010 (RPJ M 2004-2009) dengan
struktur penduduk yang cenderung makin menua. Secara epidemiologi, terjadi perubahan pola
penyakit dari penyakit menular ke penyakit-penyakit degeneratif.
Pembiayaan kesehatan Indonesia, tahun 2000 sebesar 2,5% dari Product Domestic
Bruto (PDB) atau US$ 12,4 per kapita per tahun. Dari jumlah tersebut yang bersumber dari
pemerintah hanya US$ 4 (30% dari total biaya kesehatan), sedangkan lebihnya (US$ 8,4 atau
70%) dibiayai sendiri oleh masyarakat. Anggaran ini masih lebih kecil dari rekomendasi
WHO sebesar 5% dari PDB (WHO, 2001) dan lebih kecil dari negara ASEAN seperti
Thailand (US$ 73), Filipina (US$ 14) dan Malysia sebesar US$ 67 (Bappenas, 2004).
Dari pembiayaan pemerintah tersebut, pemerintah masih sangat bergantung pada
pinjaman luar negeri (PLN). Pada tahun 2000 komponen pinjaman luar negeri bidang
kesehatan mencapai 52,5% dari total anggaran kesehatan. Sejalan dengan kebijakan hutang
luar negeri Pemerintah RI, jumlah pinjaman luar negeri bidang kesehatan terus dikurangi,



3
hingga menjadi 26,33% pada tahun 2003 dan proporsi ini diperkirakan akan terus menurun.
Pengurangan pinjaman luar negeri ini patut dihargai, walaupun akan mempunyai dampak yang
besar dalam pembiayaan kesehatan. Hasill kajian LOI-IMF terhadap program J aring
Pengaman Sosial (J PS) menunjukkan bahwa program ini sangat bermanfaat bagi masyarakat
miskin, terlepas dari berbagai kekurangannya (Bappenas, 2003). Oleh karena itu perlu dikaji
kembali besaran biaya dan cost-effectiveness sehingga paket-paket pelayanan kesehatan dasar
tetap terus terlaksana dengan pendanaan yang terbatas.

2. Tujuan
Mengkaji kaitan antara paket pelayanan kesehatan dasar dengan perubahan pola
penyakit, besaran biaya yang diperlukan serta perubahan peran pemerintah pusat dan daerah.

Tujuan khusus kajian ini adalah:
1. Mengetahui capaian pelayanan kesehatan dasar di daerah kajian sebagaimana
tercantum dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM).
2. Mengetahui perubahan struktur demografi dan pola penyakit utama yang terjadi
akibat adanya transisi demografis dan transisi epidemiologis di daerah kajian..
3. Mengkaji relevansi paket-paket pelayanan dasar yang selama ini dilaksanakan dengan
transisi demografi dan epidemiologi (pola penyakit).
4. Mempelajari kesesuaian besaran biaya yang diperlukan bagi paket pelayanan
kesehatan dasar.
5. Mengkaji peran pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta sektor swasta
dalam melaksanakan paket pelayanan kesehatan dasar.
6. Memilah kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam rangka sinkronisasi
program yang diwujudkan dalam bentuk paket pelayanan kesehatan dasar.

2.1. Output yang diharapkan
Tersusunnya rekomendasi mengenai jenis dan besaran biaya paket pelayanan
kesehatan dasar yang telah disesuaikan dengan perubahan peran pemerintah, munculnya peran
swasta dan dasar pemilihan paket yang cost effective dan antisipasi perubahan sistem
pembiayaan kesehatan di Indonesia sehubungan dengan dikembangkannya SJ SN (Sistem
J aminan Sosial Nasional).

2.2. Rencana Pemanfaatan
Sebagai masukan bagi institusi perencanaan dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dasar yang strategis dimasa mendatang sebagai bagian dari upaya Menuju Indonesia
Sehat 2010. Hasil kajian diharapkan juga mampu mendukung penyusunan strategi untuk
mencapai berbagai komitmen nasional maupun global (MDGs).

2.3. Ruang Lingkup
1. Kajian tentang paket-paket yang digolongkan pada kesehatan dasar serta komponen
pelayanannya
2. Kajian tentang besaran biaya yang diperlukan untuk melaksanakan paket pelayanan
kesehatan dasar dikaitkan dengan perubahan pola penyakit
3. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan paket pelayanan



4
kesehatan dasar
4. Pembagian peran antara pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan dan
pembiayaan pelayanan kesehatan dasar.
5. Paket pelayanan dasar yang dimaksud sesuai dengan konsep pelayanan kesehatan dasar
dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004. Upaya Kesehatan Masyarakat strata
pertama meliputi 6 program pelayanan kesehatan tingkat dasar yaitu promosi
kesehatan, kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan
lingkungan, pemberantasan penyakit menular dan pengobatan dasar. Upaya kesehatan
perorangan (UKP) strata pertama meliputi pelayanan kesehatan perorangan yang
diberikan oleh tenaga profesional di bidang kesehatan


3. METODOLOGI

3.1. Kerangka Analisis
Sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai
kewenangan wajib untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di bidang kesehatan
sebagaimana tercantum pada Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang Kesehatan. Dengan
perubahan struktur dan perilaku penduduk, terjadi pergeseran pola penyakit yang diderita
masyarakat. Secara ideal, jenis pelayanan dan besaran biaya yang ditetapkan harus dikaji
ulang untuk menyesuaikan dengan perubahan ini. J enis pelayanan seharusnya mengikuti trend
perubahan penyakit dengan prevalensi terbesar . Hal secara langsung akan mempengaruhi
besaran biaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan dasar. Kebutuhan biaya ini bisa
menjadi menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mencari alternatif sumber
pembiayaan sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Studi ini merupakan studi deskriptif eksploratif dengan pendekatan retrospektif dan
prospektif. Hasil capaian pelaksanaan paket pelayanan dasar di bandingkan dengan standar
pelayanan minimum yang telah ditetapkan.

3.2. Metode Pelaksanaan Kajian
Penelitian dilakukan di 6 propinsi, yaitu 2 propinsi dengan pendapatan asli daerah
(PAD) tinggi (Kalimantan Timur, Maluku Utara), 2 propinsi dengan PAD sedang (J ambi,
Bali), dan 2 dengan PAD rendah (Sumatera Utara dan DI Yogyakarta). Pemilihan ini juga
mempertimbangkan letak geografis yang menyebar dari daerah Indonesia bagian barat, tengah,
dan timur. Dari masing-masing propinsi dipilih 1 kabupaten dan 1 kota yang berbeda kategori
fiskalnya (tinggi, sedang atau rendah) yaitu Kota Medan, Kab. Deli Serdang, Kota
Yogyakarta, Kab. Sleman, Kota Denpasar, Kab. Gianyar, Kota J ambi, Kab. Muara Bulian,
Kota Ternate dan Kab. Halmahera Tengah.
Dari masing-masing kabupaten/ kota dipilih 2 puskesmas yang mewakili puskesmas
kota dan desa. Untuk mengetahui harapan masyarakat tentang upaya kesehatan masyarakat
(UKM) dan UKP di kabupaten/kota terpilih, dilakukan wawancara mendalam dengan
beberapa pasien yang datang di puskesmas, tokoh masyarakat, dan LSM. Wawancara
mendalam (in depth interview) dengan para pejabat eksekutif setempat (Bupati/Walikota/
Kepala Bappeda), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, 2 kepala puskesmas terpilih dari
masing-masing kabupaten/kota dan 2-3 orang perwakilan LSM.



5

3.3. Data
Untuk mengetahui transisi demografis dan transisi epidemologi, dikumpulkan data
tentang struktur penduduk, data 10 penyakit utama, dan data cakupan pelayanan kesehatan
dasar tahun 1994, 1999, dan 2003. Selain itu dikumpulkan alokasi biaya paket pelayanan
kesehatan dasar dalam satu tahun terakhir.
Data tentang gambaran penyakit utama dan cakupan pelayanan kesehatan dasar
dikumpulkan menggunakan kuesioner terstruktur oleh petugas lapangan terlatih dengan
pendidikan minimal S1. Data tersebut divalidasi dengan data yang ada dipropinsi. Kuesioner
yang digunakan terdiri dari formulir cakupan pelayanan kesehatan, formulir realisasi biaya
pelayanan kesehatan, formulir biaya pelayanan kesehatan yang diharapkan, dan formulir biaya
pemeliharaan dan biaya umum.
Pengolahan data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif, yaitu dengan cara
menganalisis baik data primer maupun data sekunder dengan melibatkan masukan dari
berbagai nara sumber dengan berbagai metode seperti roundtable meeting dan diskusi terbatas.
Pengumpulan dan pengolahan data dilaksanakan selama 4 bulan (Mei - Agustus 2004).


4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Cakupan pelayanan kesehatan dasar di daerah
Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan
Minimal (SPM) menetapkan berbagai pelayanan kesehatan yang menjadi kewenangan daerah
untuk dilaksanakan disertai dengan standar minimal yang harus dipenuhi untuk setiap
pelayanan tersebut. Kajian ini mengumpulkan data tentang capaian 6 jenis pelayanan
kesehatan dasar yang menjadi kewenangan wajib daerah di propinsi lokasi kajian.

Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa pencapaian indikator kewenangan wajib cukup
bervariasi antar jenis pelayanan. Ada beberapa indikator yang cenderung telah mencapai
standar pelayanan minimal, ada juga yang masih belum mencapainya. Tidak terlihat pola yang
menunjukkan daerah kapasitas fiskal tinggi mempunyai capaian yang lebih baik dibandingkan
dengan daerah dengan kapasitas fiskal sedang atau rendah.
Artinya pelayanan kesehatan dasar di daerah yang relatif mampu belum tentu lebih
baik dibandingakan daerah kurang mampu. Capaian indikator yang rendah kemungkinan
disebabkan oleh kurangnya alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan dasar atau tidak
efektifnya penggunaan anggaran yang disediakan. Beberapa kajian sebelumnya menunjukkan
bahwa daerah dengan kemampuan fiskal tinggi belum tentu mengalokasikan persentasi
anggaran yang lebih besar secara nominal ataupun anggaran kesehatan per kapita per tahun.




6
Tabel 1. Capaian indikator pelayanan kesehatan dasar di daerah tahun 2003
Capaian di propinsi
(%)
J enis dan indikator pelayanan kesehatan dasar
Standar
Pelayanan
Minimum
Fiskal
Rendah
Fiskal
Sedang
Fiskal
Tinggi

Cakupan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
1 Cakupan kunjungan ibu hamil K4 95% 96,7 90,3 81,7
2 Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 90% 89,7 83,6 74,3
3 Cakupan ibu hami resiko tinggi yang dirujuk 100% 99,0 90,3 36,3

Cakupan program gizi
1 Cakupan balita yang menerima kapsul vit A dua kali
setahun 90% 91,3 96,1 82,9
2 Cakupan ibu hamil yang mendapat tablet Fe 90% 90,5 94,5 95,0
3 Presentase balita dengan berat dibawah garis merah
(BGM) <15% 3,5 1,3 3,7

Cakupan program pemberantasan penyakit menular (P2M)
1 Presentase penderita DBD yang dilacak 80% 100,0 90,0 65,0
2 Penderita pneunomia yang dirujuk 100% 89,0 71,3 71,3
3 Persentase kesembuhan penderita TBC BTA positif 85% 90,0 90,0 70,4

Cakupan program imunisasi*)
1 Cakupan imunisasi campak - 99,1 99,0 86,4
2 Cakupan imunisasi hepatitis B3 - 81,9 87,8 82,0
3 Cakupan vaksinasi TT2 pada ibu hamil - 87,8 89,3 71,5

Cakupan program kesehatan lingkungan
1 Proporsi tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan 70% 68,6 74,5 64,5

Cakupan program promosi kesehatan
1 Bayi yang mendapat ASI ekslusif 80% - - -
2 Posyandu purnama 40% - - -
Sumber: Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota
Ket: *) Data pengganti, karena indikator yang ditetapkan SPM (presentase desa/kelurahan dengan Universal Coverage
Immunization (UCI) 100%) tidak tersedia di lapangan.

Untuk program promosi kesehatan data kuantitatif tentang cakupan program promosi
kesehatan sulit didapatkan. Akan tetapi secara kualitatif ditemukan bahwa cakupan kegiatan
promosi kesehatan di masing-masing daerah masih rendah, bahkan di beberapa daerah
program promosi kesehatan paling kurang mendapatkan perhatian. Beberapa faktor yang
paling sering diungkapkan oleh petugas setempat ialah bahwa komitmen para pengambil
keputusan di daerah kepada kegiatan promosi kesehatan yang masih rendah, yang dapat dilihat
dari relatif kecilnya anggaran belanja. J ika digabungkan dengan anggaran belanja untuk upaya
pencegahan penyakit maka anggaran belanjanya tidak lebih dari 10% dari total anggaran
belanja bidang kesehatan. Tidak satupun kota atau kabupaten yang mempunyai anggaran
belanja untuk promosi dan pencegahan penyakit lebih dari 10%.

4.2. Perubahan struktur demografi dan pola penyakit utama
Untuk mengetahui adanya perubahan struktur demografi antar waktu maka dilakukan
perbandingan struktur penduduk tahun 1993 dengan struktur penduduk tahun 2003. Sebagai



7
contoh perubahan struktur penduduk kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Pada tahun
1994, proporsi penduduk umur 0-4 tahun untuk laki-laki adalah 6,39%, sedangkan 10 tahun
kemudian (tahun 2003) turun menjadi 5,74%, sementara untuk penduduk perempuan turun
dari 6,25% (tahun 1994) turun menjadi 5,41% (tahun 2003). Sebaliknya proporsi penduduk
usia 15-44 tahun, 45 64 tahun dan >65 tahun, cenderung mengalami peningkatan.
Perubahan struktur demografi seperti ini, yaitu berkurangnya proporsi penduduk usia
muda dan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif dan lanjut usia, juga terjadi di
daerah lokasi penelitian yang lain. Di tingkat nasional, perubahan struktur serupa dengan
naiknya proporsi penduduk usia produktif dan lanjut usia, diperkirakan terus akan terus terjadi
(RPJ M 2004-2009).

Tabel 2. Perubahan Struktur Demografi di Kabupaten Deliserdang
Golongan Umur 1994 2003
Laki Laki
(%)
Perempuan
(%)
Laki Laki
(%
Perempuan
(%)
0 - 4 thn 6.39 6.25 5.74 5.41
5 - 14 thn 13.44 12.2 11.64 11.03
15 - 44 thn 25.11 26.19 25.58 26.05
45 - 64 thn 3.58 3.57 5.78 5.46
>65 thn 1.61 1.67 1.54 1.76
Sumber: Pemda Kab. Deli Serdang

Perubahan struktur demografi suatu kabupaten/kota biasanya diikuti dengan perubahan
pola penyakit utama masyarakat di setiap kabupaten/kota tersebut. Tabel 3 dan 4 di bawah ini
menunjukkan urutan jenis penyakit utama yang paling sering diderita oleh masyarakat.

Tabel 3. Sepuluh Penyakit Utama di kota lokasi kajian menurut kapasitas fiskal tahun 2003
Fiskal rendah Fiskal sedang Fiskal tinggi
Urutan
Kota
Medan
Kota
Yogyakarta
Kota
Denpasar
Kota
Jambi
Kota
Samarinda
Kota
Ternate
1 Ispa Ispa Ispa Ispa Ispa Ispa
2 Peny. Kulit Peny. Sistim
otot
Pulpa & jar
periapikal
Pulpa & jar
periapikal
Gastritis Malaria
3 Rongga
mulut
Peny. Lainnya
pd sal
pernfasan atas
Cepalgia Penyakit kulit
alergi
Myalgia/
rheumatoid
Penyakit sistim
otot
4 Penyakit sal
nafas lainnya
Penyakit kulit
alergi
Penyakit kulit
alergi
Hipertensi Hipertensi Tuberculosis
5 Diare Peny. Kulit
infeksi
Ginggivitas &
peny.
Periodental
Rematik Dermatisi infeksi Diare
6 Tonsilitis Penyakit darah
tinggi
Tukak lambung Ginggivitas &
peny.
Periodental
Peny. Infeksi Penyakit kulit
infeksi
7 Hipertensi Pulpa & jar
periapikal
Diare Peny. Kulit
infeksi
Dermatitis
alergika
Hipertensi
8 Bronchitis Diare Gangguan gigi
& jar penyangga
lain
Gangguan gigi
& jar penyangga
lain
Pharingitis Penyakit kulit
alergi
9 Tuberkulosis Ginggivitas &
peny.
Periodental
Peny. Sistim
otot
Kecelakaan Pulpa & jar
periapikal
Pulpa & jar
periapikal
10 Rheumatoid Asma Penyakit lainnya Diare Gusi & jar
periodental
Peny. Mata
lainnya.
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota



8

Tabel 4. Sepuluh Penyakit Utama di Kabupaten lokasi kajian menurut kapasitas fiskal tahun
2003
Fiskal
rendah
Fiskal sedang Fiskal tinggi
Urutan

Kab
Deliserdang
Kab
Sleman
Kab
Gianyar
Kab
Muara Bulian
Kab
Kutai
Kab Halmahera
Tengah
1 Ispa Ispa Ispa Ispa Ispa Ispa
2 Peny. Sal nafas
lainnya
Peny. Sistim
otot
Penyakit rongga
mulut
Peny. Kulit
infeksi
Gastritis Malaria
3 Gastroenteritis Peny. Lainnya
pd sal prnfs
atas
Penyakit kulit &
jar.subkutan
Malaria klinis Penyakit kulit Rematik
4 Peny. Sist. J ar.
Pengikat
Peny kulit
alergi
Penyakit usus Peny gigi &
mulut
Penyakit
tulang
Infeksi usus
5
Tubercolosis
Peny. Kulit
infeksi
Kecelakaan &
keracunan
Peny. Sist. J ar.
Pengikat
Hipertensi Diare
6 Diare Hipertensi Hipertensi Peny. Usus Penyakit gigi &
mulut
Peny. Kulit
7 Hipertensi Pulpa & jar
periapikal
Penyakit mata
lainya
Asma
bronchial
asma Bronchitis
8 Penyakit kulit Diare Penyakit pada
telinga & mastoid
Hipertensi Kecelakaan Hipertensi
9 Penyakit gigi &
mulut
Ginggivitis &
peny.
Periodental
Penyakit infeksi Kecelakaan Penyakit
telinga
Conjunctivitis
10 Bronchitis Asma Penyakit kelainan
& kebidanan
langsung
Gastritis Diare Peny. Telinga &
mastoid
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Pola penyakit utama di kabupaten/kota baik di daerah fiskal rendah, sedang maupun
tinggi masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran
Pernafasan Akut) menempati urutan pertama di semua kabupaten/kota. Berikutnya adalah
penyakit infeksi lain seperti malaria dan penyakit kulit. Pola penyakit seperti ini umum terjadi
secara nasional. Namun akhir-akhir ini terlihat perubahan pola penyakit, yaitu meningkatnya
penyakit degeneratif yang tidak menular (double burden). J ika diperhatikan pada urutan 4
sampai 6, sudah banyak ditempati oleh penyakit non-infeksi khususnya penyakit hipertensi.
dan rematik. Penyakit hipertensi ini mengalami kenaikan dari urutan 8 hingga 10 pada tahun
1990-an menjadi urutan 4 sampai 6 pada tahun-tahun terakhir.
Hal ini terjadi seiring dengan perubahan struktur penduduk Indonesia yang ditandai
dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif dan lanjut usia serta menurunnya
proporsi penduduk balita. Disamping itu perubahan pola makan dan gaya hidup penduduk
Indonesia mungkin juga mempunyai peranan yang penting. Perubahan struktur penduduk dan
pola penyakit ini mempunyai arti penting bagi pembuat kebijakan bidang kesehatan dalam
merumuskan paket pelayanan kesehatan dasar di masa yang akan datang.


4.3. Relevansi paket pelayanan kesehatan dasar dengan perubahan struktur penduduk
dan perubahan pola penyakit

Data pola penyakit utama di semua daerah masih didominasi oleh penyakit infeksi
seperti ISPA, penyakit kulit, malaria dan diare (Tabel 3-4). Namun demikian di beberapa



9
daerah seperti Deliserdang, Kota Medan, Kota Denpasar, dan Kota Samarinda beberapa
penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes sudah mulai merangkak meningkat
menempati urutan 4 sampai 6 besar pada tahun 2003 yang sebelumnya pada tahun 1999 pada
umumnya masih menempati urutan 8 sampai 10 besar. Sayangnya, puskesmas belum
dilengkapi dengan sumberdaya manusia dan fasilitas peralatan yang memadai untuk
pemeriksaan dan penanganan diperlukan untuk penata-laksanaan pasien dengan penyakit
degeneratif. Sebagai contoh, sumber daya manusia dan peralatan laboratorium untuk penyakit
diabetes, penyakit kardiovaskuler dan lain sebagainya belum tersedia di hampir semua
puskesmas.
Hal ini mungkin menjadi salah satu sebab pelayanan kesehatan di kota Medan telah
bebas biaya, namun cakupan pelayanan kesehatan tidak mengalami peningkatan yang
signifikan, kecuali hanya pada bulan-bulan pertama dibebaskan. Antusiasme masyarakat untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan di puskesmas tetap tidak mengalami kenaikan.
Kemungkinan masyarakat menyadari apa yang diberikan (meskipun gratis) oleh puskesmas
tidak memenuhi harapan dan tidak mengatasi masalah kesehatan mereka. Oleh karena itu,
paket pelayanan kesehatan dasar yang ditawarkan oleh puskesmas di beberapa daerah
khususnya di daerah perkotaan sudah saatnya untuk dirumuskan kembali dan disesuaikan
dengan pola penyakit yang berkembang dan tuntutan masyarakat setempat.
Berkaitan dengan perubahan skema pembiayaan kesehatan khususnya pembiayaan pra-
upaya sesuai amanat undang-undang Sistem J aminan Sosial Nasiional, paket pelayanan
kesehatan dasar perorangan yang perlu diberikan adalah yang sesuai dengan kebutuhan dasar
medis. Sedangkan paket strategis pada pelayanan kesehatan masyarakat disesuaikan dengan
perubahan transisi epidemiologis yang mengarah pada penyakit-penyakit degeneratif. Hal ini
bukan berarti pola paket-paket pelayanan kesehatan seperti yang ditemukan di lapangan yang
lebih menekankan pada penyakit-penyakit infeksi dan menular diabaikan. Akan tetapi pola
kejadian dan kecenderungan penyakit yang berubah harus dipikirkan sebagai prioritas pula.
Indonesia memiliki beban penyakit ganda, yaitu penyakit kekurangan gizi dan infeksi di satu
sisi dan pada saat yang sama pola penyakit kelebihan gizi dan degeneratif sudah menduduki
sepuluh besar penyakit penyebab kematian.
Upaya-upaya paket kesehatan strategis seperti promosi perilaku hidup sehat, higiene
perorangan, kebersihan, kesehatan lingkungan, perbaikan gizi, pencegahan penyakit menular
sampai pada pencegahan penyakit degenarif seperti kegiatan anti merokok, jalan sehat dan
senam jantung perlu mendapatkan prioritas. Penyakit-penyakit degeneratif yang sudah mulai
muncul telah diantisipasi oleh UU SJ SN dimana telah ditegaskan bahwa penyakit jantung
(bedah jantung) dan hemodialisis akan dicakup dalam sistem jaminan, meskipun biayanya
sangat mahal.

4.4. Besaran biaya yang diperlukan

Pola pembiayaan daerah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu sisi
penerimaan dan pengeluaran. Pada sisi penerimaan terdiri dari sumber-sumber penerimaan
umum, dana alokasi khusus, pinjaman daerah dan sumber penerimaan lain yang sah. Pada sisi
pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Perhitungan ini
penting dengan perhitungan tersebut dapat diketahui kebutuhan biaya normatif Dinkes
Kabupaten/Kota dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat sesuai standar



10
pelayanan minimal (SPM) yang terdiri dari 26 jenis pelayanan dan 54 indikator kinerja. Dalam
penelitian ini tidak semua jenis pelayanan dicakup.
Di bawah ini akan diuraikan temuan di lapangan tentang perkiraan biaya program
pelayanan kesehatan tingkat dasar yang terdiri dari promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak
dan keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, dan pemberantasan penyakit
menular

Tabel 5. Realisasi anggaran untuk pelayanan kesehatan dasar tahun 2003
Jumlah anggaran
(juta rupiah)
Program
Maluku
Utara
Kaltim Bali Jambi Sumut DIY
Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) 70,1 20,4 12,0 40,1 166,0 15,2
Program gizi 5,1 19,3 8,3 - 33,7 3,2
Program pemberantasan penyakit
menular (P2M) 4,2 38,2 5,8 - - 27,1
Program kesehatan lingkungan 0,0 0,6 0,0 - 0,0 10,6
Program promosi kesehatan 0,8 20,4 24,1 - 9,8 27,1
Sumber: Pemda propinsi dan Kabupaten/Kota

Dari tabel di atas terlihat bahwa besarnya biaya anggaran yang direalisasikan untuk
pelayanan kesehatan dasar tidak terkait dengan tingkat kemampuan fiskal daerah yang diteliti.
Hal ini misalnya terlihat dari realisasi untuk biaya promosi di Maluku Utara (kemampuan
fiskal tinggi) sebesar Rp 70,1 juta, namun untuk Sumatera Utara dengan kemampuan fiskal
rendah mengalokasikan Rp 166 juta. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal misalnya
komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan kesehatan yang bervariasi.
Kemungkinan lain adalah tingkat kesehatan di wiayah tersebut. Di wilayah dengan tingkat
kesehatan yang makin buruk, mengharuskan alokasi anggaran yang semakin besar.
Biaya untuk pengobatan dasar per unit pelayanan rawat jalan di Puskesmas di wilayah
dengan kategori fiskal tinggi (Maluku Utara dan Kalimantan Timur) tahun 2003 menunjukkan
besaran yang juga paling tinggi yaitu sebesar Rp 90.000 sampai Rp 168.000 dengan rata-rata
sebesar Rp 129.000. Besarnya diikuti oleh daerah dengan fiskal sedang dengan rata-rata biaya
rawat jalan sebesar Rp 27.000 dan diikuti biaya rawat jalan terendah pada daerah dengan
fiskal rendah yaitu dengan nilai rata-rata Rp 14.000. Pola pembiayaan untuk pengobatan dasar
atau upaya kesehatan perorangan (private health) menunjukkan kecenderungan meningkat
dengan peningkatan status kemampuan fiskal suatu daerah. Semakin tinggi kemampuan fiskal
semakin tinggi pula rata-rata biaya per-orang untuk pengobatan rawat jalan di tingkat
pelayanan kesehatan pertama (primer).

Tabel 6. Kisaran perkiraan biaya riil pengobatan dasar per kunjungan rawat jalan

Kategori Fiskal Biaya riil terendah
(rupiah)
Biaya riil tertinggi
(rupiah)
Rata-rata
(rupiah)
Tinggi 90.400,89 167.774,31 129.087,60
Sedang 27.386,19 27.386,19 27.386,19
Rendah 9.151,56 18.993,51 14.072,53
Sumber: Data Puskesmas lokasi kajian




11
Biaya ini adalah biaya satuan yang sesungguhnya. Biaya satuan riil terdiri dari 3 (tiga)
komponen dasar yaitu biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan. Biaya
investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk jasa pelayanan kesehatan
dan digunakan dalam jangka waktu lama seperti gedung, peralatan medis dan non-medis, serta
biaya operasional dan pemeliharaan. Biaya operasional meliputi biaya gaji pegawai, insentif
jasa medis, obat, barang habis pakai medis dan non-medis, biaya umum dan biaya lain-lain.
Biaya pemeliharaan merupakan biaya untuk memelihara agar sarana prasarana dapat terus
berfungsi secara optimal dalam menghasilkan produk pelayanan kesehatan.

Tabel 7. Kisaran Perkiraan biaya real pengobatan dasar per kunjungan rawat jalan tanpa
memperhitungkan biaya investasi

Kategori
Fiskal
Biaya riil terendah
(rupiah)
Biaya riil tertinggi
(rupiah)
Rata-rata
(rupiah)
Tinggi 69.985,72 135.223,24 102.604,48
Sedang 27.386,19 27.386,19 27.386,19
Rendah 8.559,19 10.188,00 9.373,59
Sumber: Data Puskesmas lokasi kajian

J ika biaya pelayanan pengobatan dasar di atas tidak memperhitungkan biaya investasi,
oleh karena investasi sudah dilakukan oleh pemerintah maka biaya satuannya (unit cost) rata-
rata menjadi Rp 103.000 untuk daerah dengan fiskal tinggi, Rp 27.000 untuk daerah dengan
fiskal sedang dan Rp 9.000 untuk daerah dengan fiskal rendah. Sedangkan jika gaji pegawai
tidak dimasukkan oleh karena gaji pegawai sudah dibayar oleh pemerintah maka biaya satuan
menjadi turun tajam sampai di bawah Rp 3.000.
Rata-rata biaya yang dibayarkan oleh pasien yang datang berkunjung ke Puskesmas
termasuk biaya tindakan adalah Rp 10.000. Ini berarti bahwa rata-rata pasien ke puskesmas
setiap kali berkunjung sudah dapat menutupi biaya riil jika biaya investasi ditanggung oleh
pemerintah. Kebijakan tentang hal ini berbeda-beda di setiap daerah. Di Medan, penduduk
tidak ditarik biaya akan tetapi jika tidak dapat menunjukkan kartu tanda penduduk Medan
maka tarif puskesmas adalah sebesar Rp 3.000.

4.5. Peran pemerintah, DPRD, serta sektor swasta

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perhatian utama dari hampir semua
pemerintah daerah lebih ditujukan pada upaya pembangunan infrastruktur, sarana-prasarana
dan pengembangan wilayah, atau yang lebih mudah disebut pembangunan fisik. Namun
demikian terdapat variasi tingkatan perhatian Bupati/Walikota antar daerah. Di beberapa
daerah seperti di Kota Ternate dan Kota Medan, walikota mempunyai perhatian yang cukup
memadai terhadap pelayanan kesehatan dasar. Perhatian tersebut diwujudkan dengan
tanggapan terhadap setiap usulan Dinas Kesehatan tentang upaya pelayanan kesehatan
masyarakat terutama masalah kesehatan yang sifatnya penting dan mendesak (seperti kejadian
luar biasa). Namun demikian, di beberapa daerah lain, terutama di daerah-daerah pemekaran
(daerah baru) perhatian Bupati/Walikota terhadap upaya pelayanan kesehatan dirasakan
kurang memadai. Di antara banyak program pembangunan kesehatan, pembangunan yang
bersifat fisik seperti pembangunan rumah sakit, puskesmas, dan pengadaan peralatan



12
kesehatan juga lebih mendapat perhatian dibandingkan pembangunan yang bersifat non fisik
seperti program-program kesehatan yang bersifat preventif dan promotif.
DPRD secara periodik (setiap 3-4 bulan sekali) mengadakan penjaringan aspirasi
masyarakat atau yang di beberapa daerah disebut J aring Asmara. Aspirasi masyarakat ini
secara moral menjadi landasan para anggota DPRD untuk membuat ketetapan-ketetapan
program pembangunan daerah. Walaupun begitu, tidak sedikit anggota DPRD yang belum
bisa menganalisis informasi yang didapat dari masyarakat dan membedakan secara jelas antara
daftar keinginan dan daftar kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh di daerah endemis malaria,
dinas kesehatan mungkin akan memilih melakukan penyemprotan setelah terjadi kenaikan
penderita malaria dari pada upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri
dengan biaya yang lebih murah. Apabila hal ini tidak dipahami sepenuhnya oleh para anggota
DPRD maka para wakil rakyat ini akan cenderung meneruskan dan memperjuangkan
keinginan masyarakat ini diwujudkan dalam program pembangunan tanpa melakukan koreksi
ataupun justifikasi yang lebih rasional dan realistis. Ironisnya, advokasi atau sosialisasi
program pelayanan kesehatan kepada para wakil rakyat pada umumnya sangat kurang.
Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam pelayanan kesehatan masyarakat
secara umum masih dikatakan kurang. Di beberapa daerah seperti di Kota Tidore, bahkan
dilaporkan belum ada LSM baik LSM lokal maupun LSM asing yang terlibat dalam upaya
pembangunan kesehatan. Akan tetapi, di daerah lain seperti Yogyakarta dan Denpasar, peran
LSM cukup memadai. Keberadaan LSM lokal di daerah tertentu dipersepsikan sebagai
lembaga yang justru merugikan oleh karena kegiatannya lebih mengutamakan protes dalam
wujud demonstrasi Di daerah-daerah lain terutama di daerah konfik, LSM asing sering
dipersepsikan bersifat diskriminatif. LSM asing, dalam hal ini sering dengan caranya sendiri
memilih daerah untuk bantuan pelayanan kesehatan dilaksanakan di daerah/komunitas tertentu
meskipun sesungguhnya bukan merupakan daerah prioritas. Dengan demikian, bantuan
kesehatan yang diberikan justru sering menimbulkan masalah baru dan menjadi sumber
konflik baru yang dapat merugikan pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.

4.6. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah

Undang-undang no 22 dan no 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah telah menimbulkan semangat baru bagi para pejabat daerah untuk
menjalankan roda pemerintahan daerah. Semangat otonomi daerah ini dalam beberapa hal
sering menimbulkan masalah baru terutama dalam hal koordinasi dan sinkronisasi program
pembangunan termasuk pembangunan kesehatan. Dengan semangat otonomi, koordinasi antar
kabupaten/kota dan antara kabupaten/kota dan propinsi menjadi menurun. Padahal
sesungguhnya banyak sekali masalah kesehatan yang manajemennya tidak mengenal batas
teritorial, memerlukan penanganan lintas batas. Sebagai contoh, masalah malaria yang terjadi
di beberapa daerah. Penyebaran malaria melalui nyamuk anopheles yang mempunyai
jangkauan cukup jauh sehingga mempunyai kemampuan melintasi batas-batas daerah. Apabila
masalah malaria di suatu kabupaten/kota ditangani dengan baik sedangkan dikabupaten/kota
tetangganya tidak mendapat perhatian, maka penanggulangan malaria tidak akan berhasil.
Banyak diakui bahwa kurangnya koordinasi propinsi-kabupaten/kota juga sering
menimbulkan adanya program yang tumpang tindih antara yang disusun oleh pusat, propinsi
dan program yang disusun oleh kabupaten/kota. Di sisi lain tidak jarang suatu program



13
kesehatan di kabupaten/kota tidak masuk dalam rencana program kesehatan kabupaten/kota
dikarenakan keterbatasan dana di tingkat kabupaten/kota dan sesungguhnya dapat
direncanakan dan dilaksanakan dengan menggunakan dana propinsi. Oleh karena itu,
koordinasi antar kabupaten/kota perlu dilakukan dengan fasilitasi dinas kesehatan propinsi dan
pusat agar supaya dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dasar.
SPM sudah dikenal, hanya pelaksanaan masih belum optimal karena sosialisasi dan
kewenangannya belum dipahami dengan baik oleh daerah. SPM tidak akan terlaksana dengan
baik apabila tidak diikuti dengan pengawasan dan evaluasi implementasi SPM yang cukup
memadai. Pelayanan kesehatan dasar yang lebih bersifat, public good seperti imunisasi,
pemberian makanan tambahan bagi anak kurang gizi, pelayanan gizi dasar dan lain sebagainya
sangat dirasakan manfaatnya oleh daerah dan diharapkan dapat dilanjutkan oleh pusat
terutama dalam hal pembiayaannya.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan

1. Capaian indikator pelayanan kesehatan dasar dalam Standar Pelayanan Minimum
bervariasi antar daerah kajian dan tidak menunjukkan hubungan yang serat dengan
kemampuan fiskal daerah yang bersangkutan.
2. Perubahan struktur penduduk Indonesia yang ditandai dengan menurunnya proporsi
balita dan meningkatnya proporsi usia produktif dan lanjut usia. Pola penyakit utama
masih didominasi penyakit-penyakit infeksi, akan tetapi penyakit non-infeksi mulai
meningkat seiring dengan perubahan struktur penduduk.
3. Kemampuan fiskal suatu daerah tidak menjamin alokasi biaya kesehatan terutama
untuk public goods, sedangkan private goods berkorelasi positif dengan kemampuan
fiskal. Hal kemungkinan dipengaruhi oleh komitmen pemerintah daerah dan DPRD
dalam pembangunan kesehatan serta tingkat kesehatan masyarakat. Alokasi biaya
kesehatan di daerah lebih banyak untuk pembangunan fisik dan kuratif, sedangkan
untuk upaya-upaya kesehatan preventif dan promotif masih sangat kurang.
4. Besaran biaya satuan untuk pengobatan dasar bervariasi sesuai dengan fiskal daerah.
Pada daerah dengan kemampuan fiskal tinggi, biaya yang diperlukan semakin tinggi.
Secara rata-rata, karena biaya investasi dan gaji telah dibayar pemerintah, besaran
biaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas adalah Rp 3.000
per kunjungan. Besaran ini masih tercukupi oleh biaya yang dikeluarkan masyarakat
yaitu sebesar Rp 10.000 per kunjungan.
5. Ada indikasi bahwa pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
dan LSM kurang mendapatkan informasi yang akurat tentang masalah kesehatan dan
prioritas pembangunan kesehatan sehingga peran mereka dalam pembangunan
kesehatan kurang optimal. Kemampuan advokasi dari jajaran kesehatan di daerah
dalam mempengaruhi stakeholder lain masih kurang.
6. Sangat dirasakan adanya ketidak-jelasan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam pembangunan kesehatan sebagai akibat lahirnya UU no 22
dan no 25 tahun 1999. Namun demikian secara keseluruhan pembiayaan pembangunan
kesehatan yang bersifat public goods masih diharapkan menjadi wewenang pusat.



14

5.2. Rekomendasi

1. Dengan adanya perubahan struktur demografi dan pola penyakit di Indonesia perlu
dipertimbangkan adanya perubahan jenis paket pelayanan kesehatan dasar. Penentuan
jenis pelayanan bisa mengacu pada pergeseran 10 penyakit terbesar yang diderita
masyarakat. Dalam hal ini penyakit-penyakit degeneratif seperti hipertensi dan
diabetes, yang sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam paket, bisa dipertimbangkan
masuk ke dalam paket pelayanan kesehatan dasar apabila prevalensinya terus naik
yang ditunjukkan dengan naiknya posisi pada rangking 10 penyakit terbesar.
2. Dengan asumsi bahwa biaya investasi dan gaji pegawai dibayar oleh pemerintah, maka
satuan biaya pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan oleh Puskesmas rata-rata per
kunjungan adalah Rp 3.000, sedangkan biaya yang dibayarkan oleh pasien per
kunjungan adalah Rp 10.000. Dengan demikian besaran biaya yang selama ini
diterapkan pada pasien sudah mencukupi untuk pembiayaan pelayanan kesehatan
dasar.
3. Sistem J aminan Sosial Nasional (SJ SN) yang dikembangkan oleh pemerintah salah
satunya adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis masyarakat miskin untuk
berobat ke Puskesmas. Sesuai dengan peran pemerintah daerah pada era otonomi,
pemerintah daerah dapat menggunakan anggaran kesehatan daerah untuk memperluas
cakupan pelayanan kesehatan, terutama bagi penduduk yang berada sedikit di atas garis
kemiskinan yang ditetapkan (transient poverty). Sehinga kebijakan nasional dan daerah
dapat saling melengkapi.

--- o O o ----



























15
DAFTAR PUSTAKA

Bappenas-UNDP 2004. Indonesia Human Development Report 2004: The Economic of
Democracy, Financing Human Development in Indonesia
Bappenas 2004. Indonesia Progress Report on the Millenium Development Goals.
Bappenas 2004. Laporan Kajian Pembiayaan Pembangunan Kesehatan di Kabupaten/Kota
dalam Era Desentralisasi
Bappenas 2003. Evaluasi Butir-Butir Rencana Tindak LOI-IMF Bidang J aring Pengaman
Sosial.
Bappenas 2003, Studi Kebijakan Perencanaan dan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Bagi
Penduduk Miskin, 2003
Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana pembangunan J angka Menengah
(RPJ M) 2004-2009
The World Bank 2000. Health Strategy in a Post-Crisis, Decentralizing Indonesia
WHO 2001. Report of Commission on Macroeconomics and Health: Investing in Health for
Economic Development

Anda mungkin juga menyukai