Anda di halaman 1dari 4

BELAJAR DARI TERTAWANYA MBAH SURIP

(Manajemen Tertawa Rosulullah)*

Siapa tak kenal tembang Tak Gendong ? Lagu yang ditulis dan
dilantunkan Mbah Surip, pria khas dengan rambut gimbal ala Bob
Marley. Pria yang bernama asli Urip Aryanto lahir di Mojokerto, 5
Mei 1949. Penyanyi dengan tawa yang khas dan kerap mengatakan
“I Love You Full” ini mendadak kondang berkat klip lagu Tak
Gendong yang kerap diputar di televisi. Namun di puncak
kesuksesannya, Mbah Surip mengembuskan napas terakhir dalam
perjalanan menuju Rumah Sakit (RS) Pusdikkes TNI, Jakarta, Selasa
(4-8), sekitar pukul 10.30 dalam usia 60 tahun akibat serangan
jantung. Duda kelahiran Mojokerto, 5 Mei 1949 itu meninggalkan empat orang anak
(Tita, Farid, Krisna, Ivo) dan empat orang cucu.

Namun, bukanlah cerita kehidupan Mbah Surip yang akan dibahas dalam tulisan ini,
tapi justru “tertawanya” Mbah Surip lebih menarik kita perhatikan. Tertawanya Mbah
Surip ternyata juga seheboh lagunya, Tak Gendong. Dari anak-anak sampai orang
dewasa kerap menirukan gaya tertawa Mbah Surip yang khas ini. Tertawa bukanlah
sesuatu yang dilarang agama tetapi merupakan salah satu fitrah/tabiat (ahlaq)
manusia. Tertawa itu sehat. Bahkan ada yang mengatakan: “Tertawalah sebelum
tertawa itu dilarang”.

Dalam Al Qur’an dijelaskan:







 

 
"dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis." (QS. An-
Najm, 53 : 43)

Namun, bagaimanakah tertawa yang baik itu...? Mari kita simak beberapa penjelasan
berikut.

Pengertian, jenis-jenis dan tingkatan tertawa :


1. Tabassum (tersenyum). Yaitu tingkatan dibawah tertawa dan merupakan
tertawa yang paling baik.
2. Tertawa terbahak-bahak (Antagha).
3. Tertawa yang apabila ditampakkan berupa dengungan (Alkhanna wal
khaniinan).
4. Tertawa terbahak-bahak yang paling buruk (Thaikhun thaikhun).
5. Tertawa yang melengking (Atthahthahatun)
6. Tertawa yang lebih dari tersenyum (Alhanuufu). Sebagian orang Arab
mengkhususkan yang satu ini dengan tertawanya para wanita.

HUKUM TERTAWA

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, “Sesungguhnya tertawa itu termasuk tabiat manusia.
Binatang tidak dapat tertawa, karena tertawa itu datang setelah memahami dan

1
mengetahui ucapan yang didengar atau sikap dari gerakan yang dilihat, sehingga ia
tertawa karenanya.”

Sesuai pendapat diatas, maka hukum tertawa adalah boleh.


MANFAAT

a. Secara Kesehatan
• Sama dengan olahraga (dr. William Foy - Menuai Kesehatan dan Hikmah dari
Tertawa).
• Mengurangi infeksi paru-paru (Tak mau hemat tertawa).
• Mengurangi sakit jantung (Tak mau hemat tertawa).
• Meningkatkan semangat dan kesehatan (Dr Joseph Mercola dan Rachel Droege –
Duh Suamiku, Senyum Doong...).
• Mengurangi dua hormon dalam tubuh yaitu eniferin dan kortisol, yang bisa
menghalangi proses penyembuhan penyakit (Dr. Lee Berk – Menuai Kesehatan
dan Hikmah dari Tertawa).
• Mengurangi rasa nyeri atau sakit (dr. Rosmary Cogan - Menuai Kesehatan dan
Hikmah dari Tertawa).
• Obat awet muda (Prof. Dr. Lucille Namehow – Menangis dan Tertawa Sama
Sehatnya).

b. Secara Psikologi
• Mengurangi stress (Gaya Hidup - Tertawalah Selagi Bisa).
• Meningkatkan kekebalan (dr. W.M. Roan - Gaya Hidup - Tertawalah Selagi Bisa).
• Menurunkan tekanan darah tinggi (Gaya Hidup - Tertawalah Selagi Bisa).
• Mencegah penyakit (dr. William Frey - Gaya Hidup - Tertawalah Selagi Bisa).
c. Secara Ibadah
• Merupakan sedekah.
• Memberi kesan berseri dan optimis.
• Penawar bagi rohani, obat bagi jiwa dan ketenangan bagi sanubari yang
lelah setelah berusaha dan bekerja (Syaikh A-idh al-Qarni).
• Tanda kemurahan hati, isyarat bagi suatu temperamen yang mantap,
tanda bagi murninya suatu tujuan (Syaikh A-idh al-Qarni).
• Menunjukkan kebahagiaan.

Tertawanya Rasulullah SAW :


a. Berupa senyuman yang menarik.
b. Tidak tertawa, kecuali apabila berhubungan dengan kebenaran.
c. Tidak berlebihan dalam tertawanya hingga tubuhnya bergoyang atau hingga
tubuhnya miring atau hingga terlihatlah langit-langit mulut beliau.
d. Bukan berupa hal yang sia-sia atau permainan semata atau hanya sekedar
pengisi waktu lengang semata.

ADAB / ETIKA

2
a. Meneladani Nabi dalam senyuman dan tawa beliau. Dari Ka’ab bin Malik r.a, ia
berkata: ”Rasulullah apabila (ada sesuatu yang membuatnya) senang (maka)
wajah beliau akan bersinar seolah-olah wajah beliau sepenggal rembulan.“ (HR Al-
Bukhari kitab al-Maghaazi bab Hadiits Ka’ab bin Malik (no. 4418), al-Fat-h
(VIII/142))

b. Tidak tertawa untuk mengejek, mengolok, mencela dan sebagainya. “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain
(karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita
(yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)

c. Tidak memperbanyak tertawa. “Berhati-hatilah dengan tertawa, karena banyak


tertawa akan mematikan hati.” (Hadits shahih, Shahiibul Jaami’ (no.7435))

d. Tidak menjadikannya sebagai sebuah profesi seperti halnya saat ini. ”Celakalah
bagi orang-orang yang bercakap-cakap dengan suatu perkataan untuk membuat
sekelompok orang tertawa (dengan perkataan tersebut), sedang ia berbohong
dalam percakapannya itu, celakalah baginya dan celakalah baginya.” (Hadits
hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi kitab az-Zuhd bab Man Takallama bi Kalimatin
Yudh-hiku bihan Naas (no. 2315), telah di hasankan oleh Syaikh al-Albani dengan
nomor yang sama, terbitan Baitul Afkar ad-Dauliyah). Dalam kitab Tuhfatul
Ahwadzi bahwa maknanya adalah apabila seseorang berbicara dengan suatu
pembicaraan yang benar untuk membuat orang lain tertawa, hukumnya adalah
boleh. Al-Ghazali berkata, ”Jika demikian, haruslah sesuai dengan canda
Rasulullah, tidak dilakukan kecuali dengan benar, tidak menyakiti hati dan tidak
pula berlebih-lebihan.”

e. Tidak berlebih-lebihan dalam tertawa dan terbahak-bahak dengan suara yang


keras. ”Aku tidak pernah melihat Rasulullah berlebih-lebihan ketika tertawa hingga
terlihat langit-langit mulut beliau, sesungguhnya (tawa beliau) hanyalah senyum
semata.” (HR. Al-Bukhari kitab al-Aadab bab at-Tabassum wadh Dhahik (no. 6092),
al-Fat-h (X/617)) Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, ”Yaitu, tidaklah aku melihat beliau
berkumpul dalam hal tertawa, di mana beliau tertawa dengan sempurna dan suka
akan hal tersebut secara keseluruhan.”

f. Dan masih banyak lagi hadist yang menceritakan kisah senyuman dan tertawa
Rosululloh SAW.

KESIMPULAN

Tertawa merupakan salah satu tabiat manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah
yang lain. Orang yang tidak pernah tertawa berarti tidak mensyukuri nikmat yang
diberikan Allah SWT, namun jika terlalu banyak tertawa akan mematikan hati. Apalagi
kalau sampai mengganggu ketenangan orang lain. Oleh karena itu, perlu ada
manajemen diri terutama dalam hal kegiatan tertawa.

3
Mbah Surip merupakan salah satu contoh orang yang suka tertawa, namun perlu kita
perhatikan bahwa tidak selamanya tertawa itu “sehat”, apalagi sampai berlebihan.
Coba bayangkan... ketika kita tertawa, otot-otot rahang yang ikut tertarik tidak kembali
lagi seperti semula. Bagaimana jadinya...???

Rosulullah sendiri telah mengajarkan umatnya untuk memanajemen tertawa dalam


setiap akhlaq beliau. Sedangkan dalam Al Qur’an diberikan arahan menyedikitkan
tertawa dan memperbanyak menangis mengingat dahsyatnya kehidupan setelah mati.






 




 
 
 
 


"Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan
dari apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. At-Taubah, 9 : 82)

Banyak mengingat mati dan mengingat dosa-dosa kita akan menjadikan hati ini lebih
banyak menangis daripada tertawa melihat apa yang tersedia di muka bumi ini.

Jadi... tertawalah dengan bijak dan tertawalah seperti halnya Rosulullah tertawa.
Wallahu’alam.

* Iwan Sofian Saputra (Agustus 2009)


-- dari berbagai sumber --

Anda mungkin juga menyukai