Anda di halaman 1dari 48

1

Diagnosis Kedokteran Keluarga


Gizi Kurang











Disusun oleh:
Muhammad Farlyzhar Yusuf 0808015016





Pembimbing:
dr. Ronny Isnuwardhana, MIH





Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2014

2
BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Tujuan utama Pembangunan Nasional adalah peningkatan sumber daya manusia
(SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan SDM dimulai melalui
pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Perhatian utamanya terletak pada proses tumbuh
kembang anak sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda (Kemenkes RI, 2011).
Kualitas anak masa kini merupakan penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) di
masa mendatang. Untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas di masa mendatang,
maka anak perlu mengalami proses tumbuh dan kembang yang optimal (Narendra, et al.,
2002). Unsur gizi merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan SDM yang
berkualitas yaitu manusia yang sehat, cerdas dan produktif.
Gangguan gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan
berikutnya. Gizi buruk pada anak tidak hanya menimbulkan gangguan pertumbuhan
fisik, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas ketika dewasa.
Pertumbuhan dapat terganggu karena tidak tercapainya suplai nutrisi. (Kemenkes RI,
2011).
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk, diantaranya
adalah ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk balita dan Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) (Kusriadi, 2010);(Anwar dkk, 2005). Dalam penelitian yang
dilakukan di Kabupaten Lombok Timur menunjukkan bahwa terdapat hubungan status
ekonomi, pendidikan ibu, pengetahuan ibu dalam memonitoring pertumbuhan,
perhatian dari ibu, kelengkapan imunisasi, dan asupan makanan balita dengan
kejadian gizi kurang (Anwar dkk, 2005). Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi
ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi
pada balita (Kosim, 2008).
3


Selain pendidikan, imunisasi juga memiliki hubungan yang bermakna dengan
gizi kurang karena imunisasi memberikan zat kekebalan kepada balita sehingga
balita menjadi tidak rentan terhadap penyakit (Supartini, 2002);(Mexitalia, 2011).
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan
menurut Tinggi Badan (BB/TB) < -3 SD yang merupakan padanan istilah
severely underweight. Menurut Depkes (2005.a) bila ditemukan satu atau lebih
kasus kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan berat badan menurut umur
<-3 SD dan dikonfirmasi dengan tinggi badan (BB/TB), dan atau ditemukan
tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor merupakan kejadian luar biasa
(KLB) sehingga perlu penanganan lebih serius. Kejadian luar biasa gizi buruk ini
ditangani melalui Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB gizi yang merupakan
kewaspadaan terhadap ancaman terjadinya gizi buruk serta faktor-faktor yang
terkait erat mempengaruhinya melalui surveilans, yang informasinya
dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya
pencegahan dan tindakan penanggulangan KLB secara cepat dan tepat.
Kejadian gizi buruk apabila tidak diatasi akan menyebabkan dampak
yang buruk bagi balita (Pudjiadi, 2005). Dampak yang terjadi antara lain kematian
dan infeksi kronis (Sudaryat S, Soetjiningsih, 2000). Deteksi dini anak yang
kurang gizi (gizi kurang dan gizi buruk) dapat dilakukan dengan pemeriksaan
BB/U untuk memantau berat badan anak. Selain itu pamantauan tumbuh kembang
anak dapat juga menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat) (WHO, 2009).











4




BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi
2.1.1. Definisi Status Gizi
Menurut Hammond (2004), status gizi berarti penggolongan suatu hasil
pengukuran ke dalam tingkat kebutuhan gizi fisiologis seseorang. Sedangkan
pengertian lain menyebutkan, status gizi merupakan ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari status tubuh
yang berhubungan dengan gizi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, Bakri,
dan Fajar, 2002).
Jadi intinya, terdapat suatu variabel yang diukur (misalnya berat badan dan
tinggi badan) yang dapat digolongkan ke dalam kategori gizi tertentu (misalnya
baik, kurang, buruk, dan sebagainya). Pertumbuhan seorang anak bukan hanya
sekedar gambaran perubahan ukuran tubuh, tetapi lebih dari itu memberikan
gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi (status gizi).
Oleh karena itu, pertumbuhan merupakan indikator yang baik dari perkembangan
status gizi anak (Depkes RI, 2002).
2.1.2. Penilaian Status Gizi
1. Definisi Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan
menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau
individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk (Hartriyanti dan
Triyanti, 2007)
2. Tujuan Penilaian Status Gizi
Tujuan penilaian status gizi menurut Hammond (2004) adalah untuk :
a. Mengidentifikasi individu yang membutuhkan dukungan nutrisi yang
cukup.
b. Mempertahankan status gizi seseorang.
c. Mengidentifikasi penatalaksanaan medis yang sesuai.
d. Memonitor efektivitas intervensi yang telah dilakukan tersebut.
5


Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, Peneliti akan melakukan penilaian
status gizi anak gizi buruk yang telah diberi intervensi berupa pemberian
makanan tambahan.
3. Metode dalam Penilaian Status Gizi
- Penilaian Secara Langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat
penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Hartriyanti
dan Triyanti, 2007).
a. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposi si
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri
secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan
protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan
jumlah air dalam tubuh.
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk melihat
status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupn zat
gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial ephitel
tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-
organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen
yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam
jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah,
urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
d. Biofisik
6


Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status
gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur dari jaringan tubuh.
- Penilaian Secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung adalah berdasarkan survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
a. Survey Konsumsi Makanan
Survey konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat
memberikanan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada
masyarakat, keluarga dan individu. Survey ini dapat mengidentifikasi
kelebihan dan kekurangan zat gizi.
b. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan, dan kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
c. Faktor Ekologi
Bengoa mengungkap bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi
sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan
budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari
ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
Adapun metode yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah dengan
pengukuran antropometri dan pemeriksaan tanda-tanda klinis.

2.1.3. Klasifikasi Status Gizi
Dalam menentukan status gizi harus ada ukuran baku (reference). Baku
antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah Baku World Health
Organization-National Centre for Health Statistics (WHO-NCHS). Terakhir,
berdasarkan Temu Pakar Gizi di Bogor tanggal 19-21 Januari dan di Semarang
tanggal 24-26 Mei 2000, merekomendasikan baku WHO-NCHS untuk digunakan
7


sebagai baku antropometri di Indonesia (Depkes RI, 2000 dalam Arisman, 2004).
Menurut WHO, data berat dan tinggi badan yang dikumpulkan oleh United States
- National Centre for Health Stastics merupakan pilihan terbaik baku rujukan
(Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2002).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia membuat rujukan penilaian
status gizi anak balita yang terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini
sesuai dengan yang telah disampaikan di atas. Kriteria jenis kelamin inilah yang
membedakan baku WHO-NCHS dengan Baku Harvard yang sebelumnya
digunakan. Adapun baku WHO 2005 belum digunakan di Indonesia sebagai
rujukan pengganti baku WHO-NCHS (Sudiman, 2006).
Penggolongan status gizi pada tabel indeks berat badan menurut umur dan
berat badan menurut tinggi badan didasarkan kepada deviasi standar (DS). Dari
indeks berat badan menurut umur (BB/U), status gizi dapat digolongkan menjadi
empat kelas yaitu gizi buruk (BB/U < -3 DS), gizi kurang (- 3 DS <BB/U< -2
DS), gizi baik (-2 DS <BB/U< +2 DS), dan gizi lebih (BB/U > +2 DS).
Status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) juga dibagi menjadi empat kelas, yaitu kurus sekali ( BB/TB < -3 DS),
kurus ( - 3 DS <BB/TB< -2 DS), normal (2 DS <BB/TB<+2 DS), dan gemuk (
BB/TB > +2 DS).
Untuk melakukan pengawasan pertumbuhan anak, dapat didahului dengan
pengisian Kartu Menuju Sehat (KMS) Balita. Bila pada KMS tersebut didapati
BB/U < -3 deviasi standar (DS) ataupun < 60 % median NCHS (atau di bawah
garis merah), maka ditentukan status gizinya melalui indeks BB/TB. Jika BB/TB
< -3 DS (< 70 % median NCHS), ditambah dengan tanda klinis yang sesuai,
maka status gizi anak tersebut adalah buruk.







8


Tabel 2.1. Penentuan status gizi anak
Status Gizi Klinis
Antropometri
(BB/TB-PB)
Gizi Buruk
Tampak sangat kurus dan atau edema
pada kedua punggung kaki sampai
seluruh tubuh
< -3 SD
Gizi Kurang Tampak kurus -3 SD - < -2 SD
Gizi Baik Tampak sehat -2 SD - 2 SD
Gizi Lebih Tampak gemuk > 2 SD
Sumber : Buku Bagan Tata Laksana Anak Gizi Buruk I, DiREKTORAT Bina
Gizi. Hlm.2. BB/TB-PB=Berat badan menurut tinggi (panjang) badan

2.2. Gizi Buruk
2.2.1. Definisi Gizi Buruk
Gizi buruk merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan oleh
kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran (Pudjiadi, 2005). Gizi buruk adalah
kondisi seseorang yang nutrisinya di bawah rata-rata (Almatsier, 2001).

Hal
ini merupakan suatu bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun (Pudjiadi, 2005).
Balita disebut gizi buruk apabila indeks Berat Badan menurut Umur
(BB/U) < -3 SD (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Keadaan balita dengan
gizi buruk sering digambarkan dengan adanya busung lapar (Pudjiadi,
2005).
2.2.2. Klasifikasi Gizi Buruk
Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 :
1. Marasmus
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering
ditemukan pada balita (Kliegman, 2007). Hal ini merupakan hasil akhir dari
tingkat keparahan gizi buruk. Gejala marasmus antara lain anak tampak
kurus, rambut tipis dan jarang,kulit keriput yang disebabkan karena lemak
di bawah kulit berkurang, muka seperti orang tua (berkerut), balita cengeng
9


dan rewel meskipun setelah makan, bokong baggy pant, dan iga gambang
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007).
Pada patologi marasmus awalnya pertumbuhan yang kurang dan atrofi
otot serta menghilangnya lemak di bawah kulit merupakan proses
fisiologis.Tubuh membutuhkan energi yang dapat dipenuhi oleh asupan
makanan untuk kelangsungan hidup jaringan. Untuk memenuhi kebutuhan
energi cadangan protein juga digunakan. Penghancuran jaringan pada
defisiensi kalori tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi juga
untuk sistesis glukosa (Walker, 2004).


2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan
protein yang inadekuat (WHO, 2009). Hal ini seperti marasmus,
kwashiorkor juga merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk
(Kliegman, 2007). Tanda khas kwashiorkor antara lain pertumbuhan
terganggu, perubahan mental, pada sebagian besar penderita ditemukan
oedema baik ringan maupun berat, gejala gastrointestinal, rambut kepala
mudah dicabut, kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-
garis kulit yang lebih mendalam dan lebar, sering ditemukan
hiperpigmentasi dan persikan kulit, pembesaran hati, anemia ringan, pada
biopsi hati ditemukan perlemakan (Departemen Kesehatan RI, 2002).
Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat menyebabkan perlemakan
hati dan oedema. Pada penderita defisiensi protein tidak terjadi proses
katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat
dipenuhi dengan jumlah kalori yang cukup dalam asupan makanan.
Kekurangan protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan asam amino
esensial yang dibutuhkan untuk sintesis. Asupan makanan yang terdapat
cukup karbohidrat menyebabkan produksi insulin meningkat dan sebagian
asam amino dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang akan
disalurkan ke otot. Kurangnya pembentukan albumin oleh hepar disebabkan
10


oleh berkurangnya asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan
oedema (Walker, 2004).
3. Marasmiks-Kwashiorkor
Marasmik-kwashiorkor gejala klinisnya merupakan campuran dari
beberapa gejala klinis antara kwashiorkor dan marasmus dengan Berat
Badan (BB) menurut umur (U) < 60% baku median WHO-NCHS yang
disertai oedema yang tidak mencolok (Dini, 2000).
2.2.3. Faktor risiko
Faktor risiko gizi buruk antara lain :
1. Asupan makanan
Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup atau salah
mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah (Pudjiadi,
2005).

Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan balita adalah air, energi, protein,
lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Setiap gram protein menghasilkan
4 kalori, lemak 9 kalori, dan karbohidrat 4 kalori.Distribusi kalori dalam
makanan balita dalam keseimbangan diet adalah 15% dari protein, 35% dari
lemak, dan 50% dari karbohidrat.Kelebihan kalori yang menetap setiap hari
sekitar 500 kalori menyebabkan kenaikan berat badan 500 gram dalam
seminggu (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007).
Setiap golongan umur terdapat perbedaan asupan makanan misalnya
pada golongan umur 1-2 tahun masih diperlukan pemberian nasi tim
walaupun tidak perlu disaring.Hal ini dikarenakan pertumbuhan gigi susu
telah lengkap apabila sudah berumur 2-2,5 tahun.Lalu pada umur 3-5 tahun
balita sudah dapat memilih makanan sendiri sehingga asupan makanan
harus diatur dengan sebaik mungkin. Memilih makanan yang tepat untuk
balita harus menentukan jumlah kebutuhan dari setiap nutrien,menentukan
jenis bahan makanan yang dipilih, dan menentukan jenis makanan yang
akan diolah sesuai dengan hidangan yang dikehendaki (Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak FK UI, 2007).
Sebagian besar balita dengaan gizi buruk memiliki pola makan yang
kurang beragam. Pola makanan yang kurang beragam memiliki arti bahwa
11


balita tersebut mengkonsumsi hidangan dengan komposisi yang tidak
memenuhi gizi seimbang. Berdasarkan dari keseragaman susunan hidangan
pangan, pola makanan yang meliputi gizi seimbang adalah jika mengandung
unsur zat tenaga yaitu makanan pokok, zat pembangun dan pemelihara
jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur yaitu sayur dan buah (Soekirman,
2000). Menurut penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Magelang,
konsumsi protein (OR 2,364) dan energi (OR 1,351) balita merupakan
faktor risiko status gizi balita (Rumiasih, 2003).
2. Status sosial ekonomi
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat sedangkan
ekonomi adalah segala usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan untuk
mencapai kemakmuran hidup (Pius, 2001). Sosial ekonomi merupakan suatu
konsep dan untuk mengukur status sosial ekonomi keluarga dilihat dari
variabel tingkat pekerjaan (Notoatmodjo, 2003). Rendahnya ekonomi
keluarga, akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada keluarga
tersebut. Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan,
merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah kesehatan
yang dihadapi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengatasi
berbagai masalah tersebut (Effendi, 1998). Balita dengan gizi buruk pada
umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi (Soekirman, 2000).
Bekerja bagi ibu mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Ibu
yang bekerja mempunyai batasan yaitu ibu yang melakukan aktivitas
ekonomi yang mencari penghasilan baik dari sektor formal atau informal
yang dilakukan secara reguler di luar rumah yang akan berpengaruh
terhadap waktu yang dimiliki oleh ibu untuk memberikan pelayanan
terhadap anaknya. Pekerjaan tetap ibu yang mengharuskan ibu
meninggalkan anaknya dari pagi sampai sore menyebabkan pemberian ASI
tidak dilakukan dengan sebagaimana mestinya (Departemen Kesehatan RI,
2002).
Masyarakat tumbuh dengan kecenderungan bahwa orang yang bekerja
akan lebih dihargai secara sosial ekonomi di masyarakat. Pekerjaan dapat
12


dibagi menjadi pekerjaan yang berstatus tinggi yaitu antara lain tenaga
administrasi tata usaha,tenaga ahli teknik dan ahli jenis, pemimpin, dan
ketatalaksanaan dalam suatu instansi baik pemerintah maupun swasta dan
pekerjaan yang berstatus rendah antara lain petani dan operator alat
angkut.
33
Menurut penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kampar
Kepulauan Riau terdapat hubungan bermakna status ekonomi dengan
kejadian gizi buruk p=0,0001 (Taruna, 2002).
3. Pendidikan ibu
Kurangnya pendidikan dan pengertian yang salah tentang kebutuhan
pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia.
Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan
faktor penting dalam masalah kurang gizi. Salah satu faktor yang
menyebabkan timbulnya kemiskinan adalah pendidikan yang rendah.
Adanya pendidikan yang rendah tersebut menyebabkan seseorang kurang
mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupan (Abu,
1997). Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan pangan
dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas
konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan
gizi pada anak balita (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi
derajat kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh terhadap kualitas
pengasuhan anak. Tingkat pendidikan yang tinggi membuat seseorang
mudah untuk menyerap informasi dan mengamalkan dalam perilaku sehari-
hari. Pendidikan adalah usaha yang terencana dan sadar untuk mewujudkan
suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi diri dan ketrampilan yang diperlukan oleh diri
sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan non formal yang bisa
saling melengkapi. Tingkat pendidikan formal merupakan pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan
tingkat pendidikan yang melandasi tingkat pendidikan menengah. Tingkat
pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama
13


atau bentuk lain yang sederajat, sedangkan pendidikan menengah adalah
lanjutan dari pendidikan dasar yaitu Sekolah Menengah Atas atau bentuk
lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan tingkat pendidikan setelah
pendidikan menengah yang terdiri dari program diploma, sarjana, magister,
spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
(Departemen Kesehatan RI, 2004). Tingkat pendidikan berhubungan dengan
status gizi balita karena pendidikan yang meningkat kemungkinan akan
meningkatkan pendapatan dan dapat meningkatkan daya beli makanan.
Pendidikan diperlukan untuk memperoleh informasi yang dapat
meningkatkan kualitas hidup seseorang (Abu, 1997).
4. Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan
terhadap penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit tersebut justru
menambah rendahnya status gizi anak (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
FK UI, 2007). Penyakit-penyakit tersebut adalah:
Diare persisten : sebagai berlanjutnya episode diare selama 14 hari
atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah (disentri).
Kejadian ini sering dihubungkan dengan kehilangan berat badan dan
infeksi non intestinal. Diare persisten tidak termasuk diare kronik atau
diare berulang seperti penyakit sprue, gluten sensitive enteropathi dan
penyakit Blind loop (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007).
Tuberkulosis : Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru atau di berbagai organ tubuh hidup lainnya yang
mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Bakteri ini tidak tahan
terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terjadipada malam hari.
Tuberkulosis ini dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru
maupun di luar paru (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007).
HIV AIDS : HIV merupakan singkatan dari human
immunodeficiencyvirus. HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti
sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan
macrophages komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan
14


menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-
menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem
kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit- penyakit (Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007).

Penyakit tersebut di atas dapat memperjelek keadaan gizi melalui
gangguan masukan makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi
esensial tubuh. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit
dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan
gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan
terhadap penyakit. Di sisi lain anak yang menderita sakit akan cenderung
menderita gizi buruk (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007).
Menurut penelitian yang dilakukan di Jogjakarta terdapat perbedaan
penyakit yang bermakna antara balita KEP dengan balita yang tidak
KEP(p=0,034) CI 95% (Razak, Gunawan, dan Budiningsari, 2009).
5. Pengetahuan ibu
Ibu merupakan orang yang berperan penting dalam penentuan konsumsi
makanan dalam keluaga khususnya pada anak balita. Pengetahuan yang
dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman
makanan yang berkurang. Keluarga akan lebih banyak membeli barang
karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan. Selain itu, gangguan
gizi juga disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu menerapkan
informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari (Abu, 1997).
6. Berat Badan Lahir Rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang
dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi sedangkan berat lahir adalah
berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir (Kosim, 2008).
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Bayi yang
lahir pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu ini pada umumnya
15


disebabkan oleh tidak mempunyai uterus yang dapat menahan janin,
gangguan selama kehamilan,dan lepasnya plasenta yang lebih cepat dari
waktunya. Bayi prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum
berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga semakin
muda umur kehamilan, fungsi organ menjadi semakin kurang berfungsi dan
prognosanya juga semakin kurang baik. Kelompok BBLR sering
mendapatkan komplikasi akibat kurang matangnya organ karena premature
(Tim Paket Pelatihan Klinik PONED, 2008).
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga dapat disebabkan oleh bayi lahir
kecil untuk masa kehamilan yaitu bayi yang mengalami hambatan
pertumbuhan saat berada di dalam kandungan. Hal ini disebabkan oleh
keadaan ibu atau gizi ibu yang kurang baik. Kondisi bayi lahir kecil ini
sangat tergantung pada usia kehamilan saat dilahirkan. Peningkatan
mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi,dan anak merupakan
faktor utama yang disebabkan oleh BBLR (Tim Paket Pelatihan Klinik
PONED, 2008). Gizi buruk dapat terjadi apabila BBLR jangka panjang.
Pada BBLR zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit ini menyebabkan balita
kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang masuk kedalam tubuh
menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk (Kosim, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lombok Timur BBLR
terdapat hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi buruk (95%CI)
p=0.02. (Anwar, Juffrie, dan Julia, 2005).
7. Kelengkapan imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yaitu resisten atau kebal. Imunisasi
terhadap suatu penyakit hanya dapat memberi kekebalan terhadap penyakit
tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen yang sama, balita
tersebut tidak akan sakit dan untuk menghindari penyakit lain diperlukan
imunisasi yang lain. Infeksi pada balita penting untuk dicegah dengan
imunisasi (Hidayat, 2008). Imunisasi merupakan suatu cara untuk
meningkatkan kekebalan terhadap suatu antigen yang dapat dibagi menjadi
imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman
16


atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan untuk merangsang
tubuh memproduksi antibodi sendiri sedangkan imunisasi pasif adalah
penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh
meningkat (Supartini, 2002).
Imunisasi juga dapat mencegah penderitaan yang disebabkan oleh
penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian, menghilangkan kecemasan
dan psikologi pengobatan bila anak sakit, memperbaiki tingkat
kesehatan,dan menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan negara (Taruna, 2002). Kelompok yang paling
penting untuk mendapatkan imunisasi adalah bayi dan balita karena meraka
yang paling peka terhadap penyakit dan sistem kekebalan tubuh balita masih
belum sebaik dengan orang dewasa (Hidayat, 2008).
Sistem kekebalan tersebut yang menyebabkan balita menjadi tidak
terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka kekebalan
tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena penyakit. Hal ini
mempunyai dampak yang tidak langsung dengan kejadian gizi. Imunisasi
tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi dilakukan secara bertahap dan
lengkap terhadap berbagai penyakit untuk mempertahankan agar kekebalan
dapat tetap melindungi terhadap paparan bibit penyakit (Supartini, 2002).
Macam- macam imunisasi antara lain (Hidayat, 2008).
BCG : vaksin untuk mencegah TBC yang dianjurkan diberikan saat
berumur 2 bulan sampai 3 bulan dengan dosis 0,05 ml pada bayi kurang
dari 1 tahun dan 0,1 ml pada anak disuntikkan secara intrakutan (Hidayat,
2008).
Hepatitis B : salah satu imunisasi yang diwajibkan dengan
diberikan sebanyak 3 kali dengan interval 1 bulan antara suntikan
pertama dan kedua kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
Usia pemberian dianjurkan sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir
(Hidayat, 2008).
Polio : imunisasi ini terdapat 2 macam yaitu vaksi oral polio dan
inactivated polio vaccine.Kelebihan dari vaksin oral adalah mudah
diberikan dan murah sehingga banyak digunakan (Hidayat, 2008).
17


DPT : vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan tetanus yang
dimurnikan serta bakteri pertusis yang diinaktivasi (Hidayat, 2008).
Campak : imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular.
Pemberian yang dianjurkan adalah sebanyak 2 kali yaitu pada usia 9
bulan dan pada usia 6 tahun (Hidayat, 2008).
MMR : diberikan untuk penyakit measles,mumps,dan rubella
sebaiknya diberikan pada usia 4 bulan sampai 6 bulan atau 9 bulan
sampai 11 bulan yang dilakukan pengulangan pada usia 15 bulan-18
bulan (Hidayat, 2008).
Typhus abdominal : terdapat 3 jenis vaksin yang terdapat di
Indonesia yaitu kuman yang dimatikan, kuman yang dilemahkan, dan
antigen capsular Vi polysaccharide (Hidayat, 2008).
Varicella : pemberian vaksin diberikan suntikan tunggal pada usia
diatas 12 tahun dan usia 13 tahun diberikan 2 kali suntikan dengan
interval 4-8 mg (Hidayat, 2008).
Hepatitis A: imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
hepatitis A yang diberikan pada usia diatas 2 tahun (Hidayat, 2008).
HiB : Haemophilus influenzae tipe b yang digunakan untuk
mencegah terjadinya influenza tipe b dan diberikan sebanyak 3 kali
suntikan (Hidayat, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lombok Timur,
imunisasi yang tidak lengkap terdapat hubungan yang bermakna dengan
kejadian gizi buruk OR (95%CI) dari 10,3; p<0.001 (Anwar, Juffrie, dan
Julia, 2005).

8. ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI)
eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia
hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan. Hasil yang
dikeluarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia periode 1997-
18


2003 yang cukup memprihatinkan yaitu bayi yang mendapatkan ASI
eksklusif sangat rendah (WHO, 2009). Sebanyak 86% bayi mendapatkan
makanan berupa susu formula, makanan padat, atau campuran antara ASI
dan susu formula (Kliegman, 2007).
Berdasarkan riset yang sudah dibuktikan di seluruh dunia, ASI
merupakan makanan terbaik bagi bayi sampai enam bulan, dan
disempurnakan sampai umur dua tahun (Soekirman, 2000). Memberi ASI
kepada bayi merupakan hal yang sangat bermanfaat antara lain oleh karena
praktis, mudah, murah, sedikit kemungkinan untuk terjadi kontaminasi,dan
menjalin hubungan psikologis yang erat antara bayi dan ibu yang penting
dalam perkembangan psikologi anak tersebut. Beberapa sifat pada ASI yaitu
merupakan makanan alam atau natural, ideal, fisiologis, nutrien yang
diberikan selalu dalam keadaan segar dengan suhu yang optimal dan
mengandung nutrien yang lengkap dengan komposisi yang sesuai kebutuhan
pertumbuhan bayi (Walker, 2004)
Selain ASI mengandung gizi yang cukup lengkap, ASI juga mengandung
antibodi atau zat kekebalan yang akan melindungi balita terhadap infeksi.
Hal ini yang menyebabkan balita yang diberi ASI, tidak rentan terhadap
penyakit dan dapat berperan langsung terhadap status gizi balita. Selain itu,
ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat
terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang
diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus
bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air besar. Apabila pembuatan susu
formula tidak steril, bayi akan rawan diare (Soekirman, 2000).
2.3. Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
2.3.1. Tujuan PMT
Tujuan dari program PMT adalah mempertahankan dan meningkatkan
status gizi anak dari keluarga miskin.
2.3.2. Proses PMT
Seperti yang dikutip dari Handayani, Mulasari, dan Nurdianis (2008),
proses PMT terdiri dari tiga tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan
19


pengawasan, yang harus disesuaikan dengan petunjuk teknis Program
Jaring Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) bagi Puskesmas.
1. Perencanaan
Pada tahap perencanaan dilakukan penentuan balita sasaran PMT dan
penentuan jadwal pendistribusian program PMT.
2. Pelaksanaan
Kegiatan pelaksanaan meliputi penentuan jenis makanan, pembelian
bahan makan dan pemberian paket PMT kepada sasaran. (Depkes
RI, 2002).
3. Pengawasan, Pengendalian, dan Penilaian
Pada proses ini dilakukan pencatatan dan pelaporan dengan mengisi
register yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Untuk melaksanakan proses tersebut diperlukan juga unsur lain berupa:
1. Tenaga
Tenaga adalah orang yang bertanggung jawab dan mengkoordinir
program PMT sasaran di wilayah kerja Puskesmas. Tenaga berupa
Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) di Puskesmas dan bidan di desa, yang
bertugas melaksanakan pembinaan teknis di lapangan (Depkes RI,
1999 dalam Handayani, Mulasari, dan Nurdianis, 2008).
2. Dana
Menurut Hasibuan (2003) dalam Handayani, Mulasari, dan Nurdianis
(2008) besarnya biaya untuk pengadaan paket PMT tergantung dari
jumlah sasaran penerima program. Menurut Handayani, Mulasari,
dan Nurdianis (2008) sumber dana didapatkan dari Pemerintah
Daerah atau dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
3. Sarana
Kartu pencatatan dan formulir pelaporan merupakan sarana untuk
pemantauan yang sangat penting (Hasibuan, 2003 dalam Handayani,
Mulasari, 2008). Selain itu diperlukan juga KMS dan timbangan
(Handayani, Mulasari, dan Nurdianis, 2008).
4. Bahan
20


Bahan paket berisi kacang hijau, biskuit, gula, susu, telur, dan
multivitamin. Isi paket harus berkualitas baik. Bahan paket makanan
yang bisa dibawa pulang adalah beras, telur, gula, dan kacang-
kacangan (Depkes RI, 1999 dalam Handayani, Mulasari, dan
Nurdianis, 2008).
5. Metode
Metode berarti cara penyelengaraan pemberian paket PMT kepada
sasaran program (Handayani, Mulasari, dan Nurdianis, 2008).

2.3. Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) pada Gizi Buruk
PMT merupakan bagian penatalaksanaan balita gizi kurang. PMT ini
disebut PMT pemulihan (PMT-P). PMT-P dilaksanakan oleh Pusat
Pemulihan Gizi (PPG) di Posyandu dan secara terus menerus di rumah
tangga. Keseluruhannya berjumlah 90 hari.
2.3.1. Lama PMT-P
Pemberian PMT-P diberikan setiap hari kepada anak selama tiga bulan
(90 hari)
2.3.2. Bentuk Makanan PMT-P
Makanan yang diberikan berupa:
1. Kudapan (makanan kecil), yang dibuat dari bahan makanan setempat
(lokal)
2. Bahan makanan mentah berupa tepung beras, tepung susu, gula,
minyak, kacang-kacangan, sayur, telur, dan lauk-pauk lainnya.
3. Contoh paket bahan makanan tambahan pemulihan (PMT-P)
yang dibawa pulang.
2.3.3. Cara Penyelenggaraan
1. Makanan kudapan diberikan setiap hari di PPG, atau
2. Seminggu sekali kader mendemonstrasikan pembuatan MP-ASI makanan anak,
dan membagikan makanan tersebut kepada balita gizi kurang, selanjutnya kader
membagikan paket bahan makanan mentah untuk kebutuhan enam hari (Depkes
RI 2000).
Bentuk lain dari PMT untuk balita adalah PMT penyuluhan. PMT penyuluhan
21


diberikan bagi balita yang berat badannya tidak naik pada satu kali penimbangan
Posyandu (Depkes RI, 2000).






























22


BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An RA
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status dalam keluarga : Anak kandung (anak pertama)
Identitas orang tua
Nama ayah : Tn MA
Usia ayah : 27 tahun
Nama ibu : Ny. ES
Usia ibu : 26 tahun

Anamnesis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik dilakukan pada hari Rabu, 26 Maret 2014.
Sumber anamnesis: Alloanamnesis.

Keluhan utama : Kontrol Gizi buruk.

Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang untuk kontrol keadaan anaknya yang mengalami gizi buruk
sejak 3 tahun yang lalu, setelah diperiksa di posyandu, dan selama 3 tahun ini
sudah dilakukan tatalaksana dan pemantauan setiap bulannya dari puskesmas.
Keadaan pasien sekarang masih kurus namun sudah ada peningkatan berat
badannya dalam satu tahun ini. Pola makan pasien kesehariannya baik, ia makan
tiga kali dalam satu hari sudah dengan lau pauk sayuran dan nasi.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Sejak umur tiga hari pasien sempat dirawat di rumah sakit karena
kadar bilirubinnya tinggi hingga dilakukan fototerapi.
23


- Pada saat umur 1 bulan pasien sempat mengalami kejang saat pasien
demam tinggi hingga dirawat di rumah sakit, dan berulang pada umur
3 bulan dan lima bulan hingga pasien juga mendapat terapi rumatan
kejang.
- Pada umur 7 bulan pasien mengalami batuk lama dan sesak nafas
hingga kembali dirawat di rumah sakit hingga dilakukan terapi obat
selama enam bulan.

Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga maupun orang yang tinggal serumah dengan pasien
yang pernah menderita sakit serupa.
Riwayat Kehamilan :
Pada saat hamil ibu pasien tidak ada mengeluhkan riwayat tekanan darah
tinggi, namun saat tinggal di tempat tinggal sebelumnya, rumah pasien
bersebelahan dengan toko cat dan deko motor.
Riwayat Persalinan :
Persalinan pervaginam di bidan, cukup bulan.
Riwayat Kelahiran :
Pervaginam, langsung menangis, namun berat badan lahirnya 1800 gram.

Riwayat Kebiasaan dan Psikososial:
Pasien merupakan anak pertama yang sehari-harinya tidak lepas dari
pengawasan ibunya, dan pada saat umur 0 6 bulan pasien tidak diberikan ASI
saja, diberikan juga susu formula secara bergantian dengan ASI, dan ditambahkan
pisang ambon yang dihaluskan.

Riwayat Pengobatan:
Selama tiga tahun ini, pasien ditatalaksana dan dipantau terus dari puskesmas
setiap bulannya, dengan pemberian makanan tambahan, selain itu ibu pasien juga
membawa anaknya ke dokter spesialis anak.


24


Genogram








Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan : Penderita


Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : sakit ringan
Kesadaran : composmentis
Tinggi badan : 97 cm
Berat badan : 11 kg
Status gizi : Kurang, Z-score (- 3 DS <BB/U< -2 DS), BMI 12,18
kg/m
2
(underweight)
Menurut Metode Behrman : pada umur 5 tahun dengan
rumus 2n+8 didapatkan presentase berat badan seharusnya
adalah 61% dan masuk kriteria gizi kurang.

25





Tanda vital
Frekuensi Nadi : 96 x/menit
Frekuensi Nafas : 22 x/menit
Suhu : 36,3
o
C

Status generalisata
Kepala/Leher : anemis (-/-), ikterik (-/-), pembesaran KGB (-)
Thorax : Inspeksi : pergerakan simetris
Palpasi : dalam batas normal
26


Perkusi : sonor D = S
Auskultasi :
Paru : vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : S
1
S
2
tunggal, reguler, murmur (-)

Abdomen : Inspeksi : flat
Palpasi : soefl, nyeri tekan (-),
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas : akral hangat, edem (-)

Pemeriksaan Penunjang : -

Diagnosis:
Gizi kurang

Penatalaksanaan:
Non farmakologis
Memberikan edukasi mengenai penyakitnya bahwa penyakit yang
dialami oleh pasien disebabkan beberapa faktor pendukung dari
asupan /pola makanan yang kurang atau salah, pengetahuan ibu
tentang gizi yang kurang, dan adanya penyakit penyerta yang
mengikuti atau terjadi bersamaan. Selain itu ibu pasien dimotivasi
untuk memberikan perhatian lebih pada anaknya untuk memberikan
makanan yang bergizi kesehariannya dari kecukupan karbohidrat,
protein, dan vitamin. Selain itu ibu diedukasi untuk kontrol keadaan
anaknya di puskesmas untuk melihat perkembangannya.

Farmakologis
Pemberian Makanan Tambahan
Vitamin B kompleks 2 x 1
27



Prognosis
Dubia ad bonam







ANALISIS KEDOKTERAN KELUARGA
KUNJUNGAN RUMAH
Kunjungan rumah dilakukan pada hari Jumat 28 Maret 2014.
Kondisi Pasien: Pasien aktif bermain degan ibunya, dan nafsu makannya baik,
serta tidak terdapat keluhan lainnya kemudian tanda vitalnya normal.

IDENTITAS KELUARGA
No I. KEPALA KELUARGA II. PASANGAN
1 Nama Tn. MA Ny. ES
2. Umur 27 tahun 26 tahun
3. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
4. Status perkawinan Kawin Kawin
5. Agama Islam Islam
6. Suku bangsa Banjar Banjar
7. Pendidikan SMK SMA
8. Pekerjaan Dinas Pertamanan Ibu rumah tangga
9. Alamat lengkap Jl. M.Yamin RT. 07 Sempaja Selatan


28


PENGHUNI RUMAH
No PENGHUNI Usia Pekerjaan
Status
dengan
pasien
Stt.
Nikah
Serumah
Ya Tdk Kdg
1 MA 27 thn
Pegawai
Dinas
Petamanan
Bapak Menikah
2 ES 26 thn
Ibu rumah
tangga
Ibu Menikah
3 RA 5 thn - Pasien
Belum
menikah

4 AR 3 thn -
Adik
Pasien
Belum
menikah

5 RS 28 Swasta
Penghuni
Bangsal
lain
Belum
menikah

6 TD 25 Swasta
Penghuni
Bangsal
lain
Belum
menikah

7 DA 30 Swasta
Penghuni
Bangsal
lain
Belum
menikah

8 SR 25 Swasta
Penghuni
Bangsal
lain
Belum
menikah








29













GENOGRAM









Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Penderita

STATUS FISIK, SOSIAL, EKONOMI KELUARGA DAN LINGKUNGAN
No EKONOMI KELUARGA Keterangan
1 Luas tanah 18 x 10 m
2 Luas bangunan 14 x 8 m
2
(dua lantai)
3 Pembagian ruangan

Rumah adalah rumah bangsal,
terdiri dari 9 ruangan yaitu 1
30


ruang tamu, 5 kamar tidur, 2
kamar mandi, 1 dapur dan 1 ruang
tempat cuci piring dan cuci baju.
4 Besarnya daya listrik 450 watt
5 Tingkat Pendapatan Keluarga :
a. Pengeluaran rata-rata/bulan
Bahan makanan : Beras, lauk/ikan,
tempe-tahu dan sayur mayur
Diluar bahan makanan :
Pendidikan
Kesehatan
Listrik
Air bersih
Lain-lain
b. Penghasilan keluarga/bulan
(Penghasilan Tidak Tetap)

Rp.2.000.000,00
Rp. 1.500.000,00


Rp. 200.000,00
Rp.100.000,00
Rp. 150.000,00
Rp.100.000,00
Rp. 500.000,00
Rp. 3.000.000,00
No PERILAKU KESEHATAN
1 Pelayanan promotif/preventif -Imunisasi dasar lengkap sampai
usia 9 bulan di puskesmas.
2 Pemeliharaan kesehatan anggota keluarga
lain
Puskesmas
3 Pelayanan pengobatan Puskesmas dan Praktik dr.Sp.A
4 Jaminan pemeliharaan kesehatan Jamkesda
No POLA MAKAN KELUARGA
1 Kepala keluarga dan ibu Makan 3 kali sehari (pagi, siang
dan malam). Nasi, tahu, tempe,
ikan dan sayur. Buah jarang.
2 Anak Anak : Makan 3 kali sehari. Menu
makanan sama dengan anggota
keluarga yang lain namun dibuat
lebih halus. Tidak suka makan
31


sayur dan buah.
No AKTIVITAS KELUARGA
1 Aktivitas fisik
a. Bapak



b. Ibu



c. Anak




d. Penghuni bangsal lainnya

Bekerja di luar rumah. Istirahat
dirumah setelah beraktivitas.
Tidak rutin berolahraga

Mencuci baju, masak, menyapu
dan mengurus anak. Istirahat
siang dan malam hari, jarang
berolahraga
Makan, tidur, istirahat siang,
bermain di sekitar rumah, istirahat
malam cukup.
Bekerja di luar rumah. Istirahat
dirumah setelah beraktivitas.
Tidak rutin berolahraga

2 Aktivitas mental Anggota keluarga taat dalam
beragama.
No LINGKUNGAN
1 Sosial Hubungan dengan lingkungan
sekitar baik
2 Fisik/biologic
Perumahan dan fasilitas
Luas tanah
Luas bangunan
Jenis dinding terbanyak
Jenis lantai terluas
Sumber penerangan utama
Sarana MCK


Sederhana
18 x 10 meter
14 x 8 meter ( dua lantai)
Kayu
Tehel
Lampu listrik
Buang air dan mandi dilakukan di
jamban di dalam rumah.
32


Sarana pembuangan air limbah (SPAL)
Sumber air sehari-hari
Pembuangan sampah
Parit
Air PDAM
Dibuang di tempat pembuangan
sampah dan langsung di parit
3 Lingkungan kerja
a. Ayah
b. Ibu
c. Anak

Di luar rumah
Di rumah
Di rumah




POLA HIDUP BERSIH DAN SEHAT KELUARGA
No. Indikator Pertanyaan Keterangan
Jawaban
Ya Tidak
A. Perilaku Sehat
1 Tidak merokok
Ada yang memiliki kebiasaan
merokok

Tidak ada yang memiliki kebiasaan
merokok

2 Persalinan
Dimana ibu melakukan
persalinan?

Ditolong tempat bidan, rumah
sakit.

3 Imunisasi
Apakah bayi ibu sudah di
imunisasi lengkap?

Imunisasi lengkap (BCG, DPT 1,2,3,
Polio, hepatitis, campak) dilakukan
semua

4 Balita di timbang
Apakah balita ibu sering
ditimbang? Dimana?

Penimbangan di Posyandu

5 Sarapan pagi
33


Apakah seluruh anggota
keluarga mempunyai kebiasaan
sarapan pagi?
Makanan yang dikonsumsi setiap
pagi hari
6 Dana sehat / ASKES
Apakah anda ikut menjadi
peserta ASKES?

Jamkesda

7 Cuci tangan
Apakah anggota keluarga
mempunyai kebiasaan mencuci
tangan menggunakan sabun
sebelum dan sesudah buang air
besar?

Seluruh anggota keluarga
mempunyai kebiasaan mencuci
tangan dengan air bersih dan
sabun

8 Sikat gigi
Apakah anggota keluarga
memiliki kebiasaan gosok gigi
menggunakan odol?

Seluruh anggota keluarga
melakukan kebiasaan menggosok
gigi

9 Aktifitas fisik / Olah raga
Apakah anggota keluarga
melakukan aktivitas fisik atau
olah raga teratur?

Seluruh anggota keluarga
melakukan aktivitas fisik setiap
hari minimal 30 menit? Atau
minimal 3x seminggu

B. Lingkungan Sehat
1 Jamban
Apakah dirumah tersedia
jamban dan seluruh keluarga
menggunakannya?

Bila di rumah tidak ada tapi
menggunakan MCK untuk BAB
maka jawabannya Ya

2 Air bersih dan bebas jentik
Apakah dirumah tersedia air
bersih dengan tempat/tandon
air tidak ada jentik?

Bila rumah tidak memiliki sumber
air tetapi menggunakan MCK/kran
umum untuk mendapatkan air
bersih maka jawabannya Ya

3 Bebas sampah
Apakah dirumah tersedia
tempat sampah? Dan

Rumah terlihat bersih/bebas

34


dilingkungan disekitar rumah
tidak ada sampah berserakan?
sampah dan tersedia tempat
sampah didalam / diluar rumah
4 SPAL
Apakah ada/tersedia SPAL
disekitar rumah?

Lingkungan yang bersih tidak ada
air limbah yang menggenang

5 Ventilasi
Apakah ada pertukaran udara
didalam rumah?

Ukuran ventilasi lebih kurang 1/10
luas lantai untuk tiap ruangan

6 Kepadatan
Apakah ada kesesuaian luas
rumah dengan jumlah anggota
keluarga?

Pengukuran kepadatan dimana 1
orang penghuni membutuhkan
2mx2mx2m

7 Lantai
Apakah lantai bukan dari
tanah?

Seluruh lantai rumah disemen atau
ubin atau kayu

A. Indikator tambahan
1 ASI Eksklusif
Apakah ada bayi usia 0-6 bulan
hanya mendapatkan ASI saja
sejak lahir sampai 6 bulan?

Hanya untuk bayi keluarga yang
mempunyai bayi usia 0-6 bulan,
bila rumah tangga tidak ada
bayinya jawaban tetap ya tetapi
dicatat dalam lembar catatan

2 Konsumsi buah & sayur
Apakah dalam 1 minggu
terakhir anggota keluarga
mengkonsumsi buah dan
sayur?

Semua anggota keluarga
mengkonsumsi buah dan sayur

Jumlah 10 8

Klasifikasi
SEHAT I : Dari 18 pertanyaan jawaban Ya antara 1-5 pertanyaan (merah)
SEHAT II : Dari 18 pertanyaan jawaban Ya antara 6-10 pertanyaan (kuning)
SEHAT III : Dari 18 pertanyaan jawaban Ya antara 11-15 pertanyaan (hijau)
SEHAT IV : Dari 18 pertanyaan jawaban Ya antara 16-18 pertanyaan (biru)
35


Kesimpulan:
Dari 18 indikator yang ada, yang dapat dijawab Ya ada 10 pertanyaan yang berarti
identifikasi keluarga dilihat dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehatnya masuk dalam
klasifikasi SEHAT II.









RESUME FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN KELUARGA
Faktor Resiko
Fisik Ventilasi kurang, pencahayaan matahari untuk ruangan kurang.
Saluran pembuangan langsung ke parit.
Kepadatan hunian dalam satu rumah tidak sesuai standar
Biologi

Tidak ada keluarga yang sedang menderita sakit serupa,
namun pasien memiliki beberapa riwayat penyakit yang
mendukung terjadinya keadaan gizi kuangnya.
Rumah yang di sebelah jalan raya padat yang berdebu, serta
adanya keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok.
Psiko-sosio-
ekonomi

Pengetahuan tentang kesehatan dan gizi rendah.
Pendapatan keluarga terganggu kalau ada anggota keluarga
sakit.
Perilaku
Kesehatan
Kesadaran untuk menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat
masih kurang
Gaya Hidup

- Pemenuhan kebutuhan primer prioritas utama
- Alokasi khusus untuk kesehatan ada
Lingkungan
Tidak ada.
36


Kerja














DIAGNOSA KELUARGA (RESUME MASALAH KESEHATAN)
STATUS KESEHATAN DAN FAKTOR RISIKO (individu, keluarga, dan
komunitas)
1. Pengetahuan keluarga mengenai gizi kurang atau gizi buruk belum
memadai.
2. Pasien memiliki beberapa riwayat penyakit berat sebelum terjadinya
keadaan gizi kurangnya tersebut.
3. Pada saat umur 0 6 bulan tidak memberikan ASI Ekslusif.
4. Masih ada kebiasaan merokok dalam keluarga di rumah.
5. Sewaktu ibu hamil rutin memeriksakan kandungan di bidan atau
puskesmas, namun tempat tinggal saat ibu hamil bersebelahan dengan toko
cat dan deko motor.

STATUS UPAYA KESEHATAN (individu, keluarga, dan komunitas)
1. Pemeriksaan kesehatan dilakukan di puskesmas.
2. Keluarga pasien kurang mengerti mengenai bagaimana menjaga
kesehatan, namun jika ada yang sakit segera mencari pengobatan.
37


3. Memiliki jaminan kesehatan JAMKESDA.

STATUS LINGKUNGAN :
1. Lokasi tempat tinggal di sebelah jalan raya yang cukup padat dan berdebu.
2. Ventilasi dan penerangan di dalam rumah kurang.
3. Kepadatan hunian yang tidak sesuai standar.

Diagnosis Keluarga :
Sebuah keluarga Tn. MA terdiri dari 4 orang anggota keluarga inti disertai 4
orang penghuni bangsal dalam satu rumah, dengan seorang anggota keluarga
An. RA pasien rawat jalan Puskesmas Sempaja yang didiagnosis gizi kurang.
Keluarga ini menempati rumah yang kurang sehat, masih perlu perbaikan di
bidang sanitasi. Keluarga ini juga memiliki kebiasaan hidup yang kurang sehat
sehingga memerlukan edukasi kesehatan.



RENCANA PENATALAKSANAAN MASALAH KESEHATAN
Terhadap status kesehatan indivdu dan keluarga
No Masalah
kesehatan
Pengobatan
1.









2
Gizi Kurang









Kondisi lingkungan
Edukasi dan diberikannya makanan tambahan
pemulihan,serta vitamin penambah nafsu
makan







Edukasi pentingnya menjaga kebersihan
38





3
rumah yang kurang
sehat

Kebiasaan keluarga
lingkungan, identifikasi masalah penyebab,
mencoba mencari alternatif solusi yang ada.

Edukasi kepada anggota keluarga untuk
mencuci tangan setelah membersihkan
lingkungan. Edukasi mengenai alat proteksi
diri bila membersihkan tempat yang kotor.
Edukasi makanan sehat dan bergizi.Edukasi
untuk tidak merokok didalam rumah atau jika
bisa untuk menghentikan kebiasaannya.










39


Komunitas:
- Pemukiman dan sanitasi kurang
- Kepadatan hunian yang tidak sesuai standar


PASIEN

VARISELA
LINGK. PSIKO-SOSIO-EKONOMI
- Pengetahuan tentang kesehatan dan gizi rendah.
- Pendapatan keluarga terganggu kalau ada
anggota keluarga sakit.
LINGK. FISIK
- Ventilasi kurang, pencahayaan matahari
untuk ruangan kurang
- Saluran pembuangan langsung ke parit
FAMILY
FAKTOR BIOLOGI
-Riwayat beberapa penyakit berat yang
mendukung keadaan gizi buruk/kurang
PELAYANAN KES.
Jarak rumah-pusat
pelayanan kes : 1km,
ditempuh dengan angkutan
umum

GAYA HIDUP
- Pemenuhan kebutuhan
primer prioritas utama
- Alokasi khusus untuk
kesehatan ada
LINGK. KERJA
Tidak ada

PERILAKU KESEHATAN
- Kesadaran untuk menjalankan
perilaku hidup bersih dan sehat
masih kurang
Mandala of Health
Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi, digunakan konsep Mandala of Health (Gambar 1).




GIZI
KURANG
40


Tabel Skoring Kemampuan Penyelesaian Masalah Dalam Keluarga
Masalah
Skor
Awal
Upaya Penyelesaian
Fungsi Biologi
Riwayat penyakit penyerta
yang mendukung keadaan
gizi kurang

5

3

Edukasi mengenai penyakit ini tentang
penyebabnya
Pengobatan

Faktor perilaku kesehatan
keluarga
- Kesadaran untuk
menjalankan perilaku
hidup bersih dan sehat
masih kurang


5










Edukasi tentang pentingnya hidup
bersih. Edukasi kepada anggota keluarga
untuk mencuci tangan dengan sabun.
Edukasi mengenai alat proteksi diri bila
membersihkan tempat yang kotor.
Faktor Lingkungan Fisik
- Ventilasi kurang,
pencahayaan matahari untuk
ruangan kurang.
- Saluran pembuangan
langsung ke parit

2


3


Memperbaiki ventilasi dan penerangan
dengan membuka pintu dan jendela
rumah pada siang hari.
Mengadakan gotong royong di
lingkungan sekitar tiap awal bulan.
Faktor Psiko-sosio-ekonomi
- Pengetahuan tentang
kesehatan dan gizi rendah.
Pendapatan keluarga

2



Penyuluhan dan edukasi untuk
masyarakat khususnya keluarga tersebut

41


terganggu kalau ada
keluarga yang sakit

5

5
Motivasi untuk menambah penghasilan
Motivasi mengenai perlunya tabungan


Klasifikasi skor kemampuan menyelesaikan masalah
Skor 1 Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi.
Skor 2 Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber (hanya
keinginan); penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya
oleh provider.
Skor 3 Keluarga mau melakukan namun perlu penggalian sumber yang belum
dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan sebagian
besar oleh provider
Skor 4 Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung pada
upaya provider
Skor 5 Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga

42

PEMBAHASAN

Studi kasus dilakukan pada pasien An. RA usia 5 tahun dengan keluhan
kontrol keadaan gizi buruknya. An. PJ tinggal satu rumah dengan 8 orang anggota
keluarganya, dengan 4 keluarga inti. Keluarga ini terdiri dari 1 kepala keluarga
(Tn. MA), 1orang istri, 1 orang adik, dan 4 orang penghuni bangsal lainnya.
Kemungkinan faktor penyebab keadaan ini adalah keadaan riwayat penyakit berat
yang diderita pasien sebelum keadaan permasalahan gizi ini (sekarang: gizi
kurang),dan pengetahuan ibu yang kurang tentang gizi.
Diagnosis Gizi kurang pada An. RA di tegakkan atas dasar perhitungan
berdasarkan metode behrman umur 5 tahun, dan presentasenya 61%, dan juga
berdasarkan Z Score PB/U,BB/U,BB/TB dimana keadaannya -3sd<status gizi<-
2sd. Pada pemeriksaan fisik berat badan pasien sebesar 11 kg dengan umur 5
tahun yang seharusnya 18 kg menurut metode behrman, serta tinggi badannya
sebesar 95 cm.
Penyakit ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu asupan makanan yang
kurang, pendidikan dan pengetahuan ibu yang kurang, pekerjaan ibu yang sibuk
sehingga kurangnya pola asuh, dan adanya penyakit penyerta yang mendukung
keadaan ini. Penilaian status gizi secara mudah didapatkan bisa mengukur
antropometri dengan mengukur berat badan dan tinggi badan yang dihubungkan
dengan kesesuaian berat dan tinggi badan sesuai umur dengan metode Z-Score
atau juga metode Behrman, kemudian didukung pula keadaan klinis pasien yang
kurus, rambut seakan seperti rambut jagung, muka terlihat tua dan keriput, dan
aktifitas fisik yang kurang.
Rencana terapi yang diberikan pada pasien adalah memberikan pemberian
makanan tambahan pemulihan yang diberikan dari puskesmas melalui poli gizi,
serta memotivasi ibu untuk memberikan perhatian yang lebih pada anaknya, untuk
mengejar pertumbuhan dan perkembangannya dengan memberikan makanan yang
sehat dan bergizi, serta dapat mengikuti sekolah taman kanak- kanak atau
bimbingan perkembangan lainnya. Hal ini sudah sesuai dengan tatalaksana
Varisela. Pada teori, pada kondisi anak sehat,.
43

Masalah yang di hadapi pasien ini adalah keadaan riwayat penyakit
beratnya diantaranya saat lahir bilirubin yang tinggi, dicurigai epilepsi, dan pada
umur 7 bulan sempat dinyatakan penyakit paru-paru dan mendapatkan terapi obat
selama 6 bulan, namun sekarang keadaannya membaik, terkadang ada keluhan
batuk dan pilek yang berulang setiap bulannya disertai rasa sesak, namun keadaan
seperti ini sudah berkurang dirasakan.
Penghasilan yang diperoleh keluarga hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Masalah lain yang juga di hadapi adalah lingkungan rumah yang belum
bersih dan lembab. Ventilasi masih kurang terutama di kamar tidur. Keluarga
perlu di motivasi untuk membersihkan dan merapikan lingkungan rumahnya, serta
keadaan hunian rumah yang padat tidak sesuai standar, dan perlu diberikan solusi
yang tepat agar hunian rumahnya sesuai standar dengan luas rumah.



















44

Daftar Pustaka

Kementerian kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman Pelayanan Anak Gizi
Buruk. Jakarta: Kementerian kesehatan Republik Indonesia.
Narendra, et al. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung
Seto

Pudjiadi S, 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru.


Kementerian Kesehatan RI, 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak. Jakarta: Direktorat Bina Gizi;

Sudaryat S, Soetjiningsih, 2000.Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah.Denpasar:SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unud Denpasar.


World Health Organisation, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta: WHO Indonesia.


Anwar K, Juffrie M, Julia M, 2005. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di
Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat.Jurnal Gizi Klinik
Indonesia. Diunduh 22 maret 2013 dari : http://ijcn.or.id/v2/content/view/33/40/


Effendi, 2001. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo S, 2003. Prinsip-Prinsip Dasar IlmuKesehatan Masyarakat.Jakarta :
Rineka Cipta.











45


DOKUMENTASI



Rumah tampak depan Kamar Mandi









46



47
48

Anda mungkin juga menyukai