Anda di halaman 1dari 3

Obat merupakan salah satu intervensi kesehatan yang paling nyata dan paling dirasakan oleh pasien

yang berkunjung ke fasilitas kesehatan. Obat generic lebih dipilih karena harganya yang lebih
terjangkau dengan tingkat keamanan, efikasi, kualitas yang terjamin. Undang-undang kesehatan
No.23 tahun 1992 mengatur berbagai definisi dan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang
lain sperti yang tertuang dalam Pasal 61 yang berbunyi perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya
(sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik). Pasal 61 ayat 1 memuat
pengelolaan perbekalan kesehatan, yaitu pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar dapat
terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan lainnya yang
terjangkau masyarakat.
Dalam era desentralisasi, berbagai isu manajemen obat muncul antara lain mengenai struktur
organisasi, sumber-sumber pembiayaan obat public, pengadaan obat, tingkat kecukupan obat,
ketersediaan obat berdasarkan jumlah, jaminan mutu dan monitoring dan supervise pengelolaan
obat. Struktur organisasi setelah desentralisasi terjadi overlapping jabatan fungsional, operator
sekaligus sebagai regulator. Kepala gudang juga merangkap sebagai kepala seksi pelayanan farmasi.
Sebelum desentralisasi pengelolaan obat dilakukan oleh Gudang Farmasi Kabupaten. Dari segi
pembiayaan obat publik hampir sama sebelum/sesudah desentralisasi (ada beberapa yang sama).
Sebelum desentralisasi: Inpres/DPD, APBD I, APBD II, Askes, Program Transmigrasi (beberapa) dan
Bantuan Luar Negeri (BLN). Setelah desentralisasi: DAU II, DAU I, Askes, Program dan Transmigrasi
(beberapa). Masing-masing daerah mempunyai dana pembiayaan untuk obat yang berbeda-beda.
Pada daerah kaya, anggaran untuk obat belum tentu besar. Masalah lain yang sering terjadi adalah
berkaitan dengan mutu obat yang beredar. Sebelum desentralisasi dilakukan review, sebagian besar
sekarang tidak. Tim review berasal dari akademisi, ikatan profesi, ditjen Binkesmas, ditjen POM dan
para ahli di bidang klinis. Sekarang, review jarang atau tidak pernah dilakukan sama sekali sehingga
jaminan terhadap keamanan obat diragukan. Banyak kasus tejadi
penyimpangan item obat diluar DOEN seperti keberadaan ciprofloxacin di puskesmas. Terdapat
perbedaan alur pengadaan obat sebelum dan setelah desentralisasi
Alur pengadaan obat era sentralisasi : Puskesmas (LPLPO) kemudian direkap ke kabupaten
kemudian dilanjutkan ke propinsi diteruskan dirjen POM. BPOM mengadakan kontrak dengan
perusahaan farmasi yang men-supply obat. Obat kemudian siap didistribusikan ke propinsi
Alur pengadaan obat era desentralisasi desentralisasi : Puskesmas (LPLPO) direkap di tingkat
kabupaten. Kabupaten mengadakan perencanaan dan kontrak dengan perusahaan farmasi/PBF
untuk pengadaan. Obat siap didistribusikan ke tingkat puskesmas. Alur ini lebih pendek
dibandingkan era sentralisasi.
Masalah lain yang berkembang dengan adanya desentralisasi. Setelah desentralisasi tingkat
kecukupan obat berkurang menjadi 12 bulan dari 12- 30 bulan sebelum desentralisasi. Obat program
dan Askes memunculkan duplikasi dalam era desentralisasi. Era desentralisasi memunculkan
peningkatan penggunaan obat terutama obat branded. The only essensial drugs in primary health
care is generic (dulu), sekarang obat branded banyak ditemukan. Era desentralisasi memberikan
keuntungan resiko stock out lebih besar dibandingkan era sentralisasi. Akhirnya banyak ditemukan
obat-oba trivial. Dari tahun 1998 sampai dengan 2002 terjadi penurunan prosentase kesesuaian
obat yang tersedia dengan DOEN. Penjaminan mutu terhadap obat dilakukan dengan mereview
certificate of analysis (CoA). Pada era sentralisasi, jaminan mutu dilakukan oleh Badan POM
sedangkan pada era desentralisasi jaminan mutu menjadi tanggung jawab Balai POM. Penjaminan
mutu oleh Balai POM ditingkat kabupaten/kota belum sepenuhnya dilakukan. Monitoring dan
supervisi pengelolaan obat dilakukan oled dinas kesehatan kabupaten/kota. Dinkes berperan ganda
sebagai regulator dan operatorpengelolaan obat sehingga monitoringnya belum sepenuhnya
dilakukan.
Ketersediaan Obat Esensial Generik dan Alkes Dasar di Sarana Pelayanan Kesehatan (95%) dan
Anggaran Obat Esensial Generik di Sektor Publik setara US$ 1,00 (Rp 9.000,-) perkapita pertahun.
Pelaksanaan program obat dan perbekalan kesehatan tahun 2009 mempunyai beberapa indikator,
yaitu: 1) tersedianya Obat dan Alkes Dasar dlm jumlah yg cukup, aman & bermutu di Puskesmas &
jaringannya 2) Pemda yg alokasi dana obat < Rp 5.000,- perkapita pertahun berkomitmen untuk
meningkatkan alokasi dana penyediaan obat di Kabupaten/Kota. Pemerintah baik pusat, propinsi
dan kabupaten/kota. Pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kesehatan mempunyai tanggung
jawab antara lain: menyediakan dana obat untuk masyarakat miskin, obat untuk buffer stock
nasional (bencana alam, darurat), obat untuk program kesehatan, mengendalikan harga dan melatih
tenaga untuk peningkatan advokasi. Tanggung jawab Dinas Kesehatan tingkat propinsi, antara lain:
menyediakan buffer stock propinsi berupa obat sangat esensial, mengelola obat buffer program
kesehatan, memfasilatasi advokasi dan melatih tenaga Kabupaten/ Kota. Tanggung jawab yang lebih
khusus dilakukan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota, yaitu menyediakan dana alokasi obat
berasal dari anggaran APBD II, mengelola obat yang ada, memanfaatkan data yang tersedia utk
advokasi, menyediakan dana operasional, membentuk tim perencanaan obat terpadu dan
menyelenggarakan elatihan petugas pengelolaan obat di Puskesmas. Kriteria Distribusi Urusan
Pmerintahan Antar Tingkat Pemerintahan terdapat 3, yaitu eksternalitas (spill-over), akuntabilitas
dan efisiensi. Eksternalitas menyangkut siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus.
Yang berwenang mengurus adalah tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan dampak
tersebut (sesuai prinsip demokrasi). Otonomi Daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik
yang efisien dan mencegah High Cost Economy. Efisiensi dicapai melalui skala ekonomis (economic
of scale) pelayanan publik Skala ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 6

(catchment area) yang optimal. Siklus pengelolaan obat dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Grafik 1. Siklus pengelolaan obat
Pengelolaan obat diawali dengan perencanaan yang berupa seleksi obat, kemudian dilanjutkan
dengan pengadaan dan penyimpanan. Obat yang disimpan didistribusikan ke puasat-pusat
pelayanan kesehatan untuk digunakan oleh pengguna, yaitu pasien.
Pada tingkat puskesmas, tingkat kebutuhan obat diprioritaskan pada 10 besar penyakit di
puskesmas.
Materi
Jumlah obat yang diseleksi tergantung kebutuhan dan besar-kecilnya pelayanan kesehatan. Daftar
obat yang ada di
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 10

puskesmas jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan RS daerah dan daftar obat di RS daerah
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan DOEN. Seleksi obat yang akan digunakan di suatu UPK
harus dilakukan berdasarkan DOEN, komite DOEN, jumlah item dan generik. Penyimpangan yang
sering terjadi bahwa puskesmas seringkali meminta obat diluar DOEN. Contoh obat diluar DOEN:
antibiotik, obat anti kolesterol, obat asma, obat gastrointestinal dan suplemen makanan. Dr. Erna
menambahkan bahwa dalam seleksi obat paling penting adalah pertimbangan mengenai keamanan.
Sebaiknya dibuat list daftar obat yang paling aman dengan urutan nomor dengan urutan pertama
adalah obat yang paling aman. Misalnya, dibuat daftar NSAID berdasarkan keamanannya. Apabila
ada obat baru, sebaiknya jangan dipilih terlabih dahulu. Studi mengenai obat baru belum sebanyak
obat lama sehingga sangat beresiko apabila digunakan untuk pelayanan kesehatan. Tidak semua
DOEN bisa digunakan untuk semua UPK, DOEN yang digunakan di RS tentunya berbeda dengan
DOEN puskesmas.
Hal yang tidak kalah menarik yang disampaikan Dr.Erna adalah estimasi kebutuhan. Estimasi
kebutuhan melalui metode perhitungan mutlak diperlukan supaya obat diadakan dalam jumlah yang
tepat. Apabila persediaan terlalu banyak, maka biaya yang dikeluarkan untuk penyimpanan, resiko
kerusakan atau pemusnahan jumlahnya jauh lebih besar. Kasus inilah yang terjadi di Aceh pada saat
pasca tsunami. Banyak donor luar negeri yang memberikan bantuan dalam bentuk obat. Sebagian
besar obat tersebut tidak memenuhi syarat untuk pelayanan kesehatan sehingga harus
dimusnahkan. Metode yang digunakan untuk perhitungan kebutuhan obat, antara lain: Population
based, Consumption based dan Service based. Diantara ketiganya, yang paling feasible adalah
consumption based. Population based masih sulit karena surveillance masih sulit, jumlah obat per
package masih sulit. Metode consumption sekarang menjadi sulit karena terjadi pergeseran musim.
Metode ini biasanya memperkirakan dari kebutuhan sebelumnya. Contohnya: obat B permintaannya
tinggi karena digunakan untuk subtitusi obat A, maka pola konsumsi obat B biasanya meningkat
pada permintaan periode berikutnya. Kasus yang saat ini sedang hangat di tengah dunia kesehatan
di Indonesia adalah meningkatnya penggunaan obat branded dan suplemen makanan. Food
supplement lebih berbahaya karena studi masih terbatas sedangkan vitamin perlu review yang baik.

Anda mungkin juga menyukai