Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumbuhan Brotowali

2.1.1.Morfologi Tumbuhan Brotowali

Brotowali merupakan tumbuhan merambat dengan panjang mencapai 2,5 m atau lebih,
biasa tumbuh liar dihutan,ladang atau ditanam dihalaman dekat pagar dan biasanya
ditanam sebagai tumbuhan obat. Batang sebesar jari kelingking, berbintil- bintil rapat,dan
rasanya pahit. Daun tunggal,bertangkai dan berbentuk seperti jantung atau agak
membundar, berujung lancip dengan panjang 7-12 cm dan lebar 5-10 cm. Bunga kecil,
berwarna hijau muda atau putih kehijauan. Brotowali menyebar merata hampir diseluruh
wilayah Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara dan India. Brotowali
tumbuh baik di hutan terbuka atau semak belukar didaerah tropis. Cara perbanyakan
tnaman ini sangat mudah yaitu dengan stek batang.

2.1.2. Sistematika Tumbuhan Brotowali

Dalam dunia ilmiah,brotowali diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledon
Ordo : Ranunculales
Famili : Menispermaceae
Genus : Tinospora
Species : Tinospora crispa(L.)MIERS.



2.1.3.Manfaat dan Kandungan Kimia Tumbuhan Brotowali

Brotowali (Tinospora crispa(L.)MIERS.) merupakan tumbuhan obat dari famili
menispermaceae yang serbaguna karena dapat digunakan untuk obat berbagai penyakit
seperti rematrik, kencing manis, sakit kuning, dan beberapa penyakit lainnya.

Masyarakat sudah biasa mnenggunakan tanaman ini untuk pengobatan berbagai
macam penyakit. Batangnya digunakan untuk pengobatan rematik, memar, demam,
merangsang nafsu makan, sakit kuning, cacingan, dan batuk. Air rebusan daun brotowali
dimanfaatkan untuk mencuci luka atau penyakit kulit seperti kudis dan gatal- gatal;
sedangkan air rebusan daun dan batang untuk penyakit kencing manis. Seluruh bagian
tanaman ini bisa digunakan untuk penyakit kolera

Banyaknya manfaat tumbuhan ini mungkin berkaitan dengan banyaknya jenis
senyawa kimia yang dikandungnya, antara lain, alkaloida, damar lunak, pati, glikosida,
zat pahit, pikroretin, harsa, barberin, palmatin, kolumbin, dan jatrorhize. Zat pahit
pikroretin merangsang kerja urat saraf sehingga alat pernafasan dapat bekerja dengan
baik. Kandungan alkaloid berberin berguna untuk membunuh bakteri pada luka. Selain
itu brotowali juga bermanfaat untuk menambah nafsu makan dan menurunkan kadar gula.
(www.medikaholistik.com).

Orang orang kuno di desa desa biasa memelihara tanaman brotowali.
Tanaman yang merambat dan rasanya sangat pahit itu banyak manfaatnya terutama untuk
mengobati beberapa penyakit. Dikenal juga sebagai tanaman obat, sehingga hampir
semua industri jamu memiliki kebun brotowali.

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium tanaman ini memngan dung pati, alkaloid
yang terdiri dari N-asetil-nornuciferin, N-formil-annonain, dan N-formilnornuceferin.
Disamping itu ditemukan pula suatu glikosida furanoditerpen yang berasa pahit. Pada
akar tanaman juga terdapat alkaloid berberin.

Sebagai obat tradisional air rebusan batang atau ranting brotowali manjur untuk
mengobati penyakit malaria, demam, penyakit kulit, serta membersihkn ginjal dan
menyembuhkan luka. Batang brotowali penuh ditutupi dengan kutil dan mengandung
banyak air. Rebusan batang brotowali juga merangsang kerja pernapasan dan
menggiatkan pertukaran zat sehingga dapat menurunkan panas.

Kandungan berberin untuk membunuh bakteri pada luka. Kandungan bahan yang
lain dimanfaatkan untuk menambah nafsu makan maupun menurunkan kadar gula darah.
Batang brotowali juga digunakan untuk pengobatan penyakit kuning, kencing manis dan
nyeri perut. Pada pemakaian sebagai obat luar, rendaman batang brotowali bisa
digunakan untuk membersihakan luka atau kudis.

Karena rasanya yang pahit, mungkin darah pemakai brotowali juga berasa pahit.
Terbukti nyamuk pun tak mau menggigit, kata Albertus Soetjipto yang biasa
mengkonsumsi brotowali. Ia mengaku dirumahnya kampung Manggarai, J akarta, ia
menanam brotowali hingga tumbuh subur bahkan menjalar kemana mana sampai keatas
genting.

Menanam brotowali sangatlah mudah. Hanya dengan memotong batangnya lalu
ditancapkan ditanah (stek), bisa hidup. Potongan batang yang akan ditanamtidak perlu
panjang, cukup satu jengkal saja bisa hidup, namun tanaman ini lebih suka ditanah yang
gembur dan ada perlindungan.(www.suaramerdeka.com).

2.2.Senyawa Organik Bahan Alam

Senyawa organik bahan alam dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat- sifat yang
dimilikinya. Ada empat cara klasifikasi senyawa organik bahan alam, yaitu:

1. Klasifkasi berdasarkan Struktur Kimiawi
Klasifikasi ini didasarkan pada kerangka molekul dari senyawa yang bersangkutan.
Menurut sistem ini, ada 4 kelas senyawa organik bahan alam, yaitu:
a. Senyawa alifatik rantai terbuka atau lemak dan minyak
Contoh : asam- asam lemak, gula dana asam- asam amino pada umumnya
b. Senyawa alisiklik atau sikloalifatik
Contoh : Terpenoid, steroida
c. Senyawa aromatik atau benzenoid
Contoh : Golongan fenolat, golongan kuinon
d. Senyawa heterosiklik
Contoh : alkaloida, flavonoida

2. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Fisiologik
Setelah penelitian yang lebih mendalam dilakukan terhadap morfin, penisilin dan
prostaglandin, maka perhatian para ahli sering ditujukan terhadap isolasi dan penentuan
fungsi fisiologis dari senyawa-senyawa organik bahan alam tertentu.

Hampir separuh dari obat-obatan yang kita gunakan sehari-hari merupakan bahan-
alam, misalnya alkaloida dan antibiotik. Oleh karena itu senyawa organik bahan alam
dapat juga diklasifikasikan dari segi aktivitas fisiologik dari bahan alam yang
bersangkutan. Misalnya : kelas hormon, vitamin, antibiotik dan mikotoksin (racun yang
dihasilkan oleh jamur). Meskipun senyawa-senyawa dalam satu kelas mempunyai
struktur dan asal-usul biogenetik yang sangat bervariasi, namun ada kalanya terdapat
korelasi yang dekat antara aspek-aspek tersebut dengan kegiatannya.

3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi
Pengklasifikasian ini didasarkan pada penyelidikan morfologi komparatif dari tumbuh-
tumbuhan yaitu taksonomi tumbuhan. Pada hewan dan sebagian mikroorganisme,
metabolit terakhir biasanya dibuang keluar tubuh, sedang pada tumbuh-tumbuhan,
metabolit tersimpan di dalam tubuh tumbuhan itu sendiri.

Pada mulanya beberapa metabolit dianggap hanya berasal dari tumbuhan tertentu.
Kemudian diketahui bahwa beberapa metabolit tersebar pada berbagai tumbuhan dan
ternyata banyak konstituen tumbuhan tumbuhan (seperti alkaloida dan terpenoida) yang
dapat diisolasi dari spesies, genus, suku atau famili tumbuhan tertentu. Malah dalam satu
spesies tunggal, dapat ditemukan sejumlah konstituen yang strukturnya berhubungan erat
satu sama lain. Misalnya, opium dari Papaver somniferum mengandung dua puluhan
alkaloida termasuk alkaloida morfin, tebain, kodein dan narkotin yang kesemuanya
dibiosintesis dari prekusor yaitu 1-benzilisokuinolin melalui penggandengan/coupling
secara oksidasi. Oleh karena itu alkaloida - alkaloida tersebut yang strukturnya mirip satu
sama lain dan berasal dari genus tumbuhan tertentu, disebut alkaloida opium.

4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis
Semua konstituen tumbuhan dan binatang dibiosintesis dalam mikroorganisme melalui
reaksi- reaksi yang dibantu oleh enzim tertentu. Dalam hal ini sumber utama dari karbon
biasanya adalah glukosa, yang dibiosintesis dalam tumbuhan hijau atau yang diperoleh
dari lingkungan dalam organisme.

Beberapa ahli mulai menyusun teori langkah-langkah biogenetik dari senyawa
organik bahan alam yang berlangsung dalam mikroorganisme hidup. Basis dari teori ini
adalah keteraturan struktural yang teramati sejak awal sampai akhir reaksi. Teori yang
paling menonjol adalah aturan isoprena yang diusulkan oleh Ruzicka. Dia menyatakan
semua senyawa terpenoid terbentuk dari unit isoprena C
5

.
Dari kesemua teori biogenesis ini dapat disimpulkan adanya 4 kelas senyawa
organik bahan alam, yakni :
(a) Poliketida (asetogenin)
(b) Fenolat (fenilpropanoid)
(c) Isoprenoid
(d) Alkaloida
( Nakanishi, 1974).




2.2.1. Senyawa Alkaloida

Alkaloida adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen (biasanya dalam bentuk
siklik) dan bersifat basa. Senyawa ini tersebar luas dalam dunia tumbuh- tumbuhan dan
banyak diantaranya yang mempunyai efek fisiologi yang kuat. Beberapa dari efek
tersebut telah dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia primitif jauh sebelum ilmu kimia
organik berkembang.

Alkaloida Cinchona yang terkandung dalam kulit pohon Cinchona dan Remijia
misalnya telah dikenal oleh penduduk asli di pegunungan Andes. Quinin yang merupakan
salah satu konstituen utama dari ekstrak kulit kayu dilaporkan telah dikenal sebagai anti
malaria yang efektif sejak tahun 1633. Karena banyaknya senyawa alkaloida serta
keterkaitannya dengan bidang lain seperti farmasi, sebenarnya dunia alkaloida
memerlukan satu bidang tersendiri (Tobing,1989).

Sejak dahulu kala alkaloida telah digunakan dalam berbagai hal. Kebanyakan
alkaloida digunakan sebagai suatu zat beracun yang dapat menyebabkan kematian seperti
strysin. Strysin telah digunakan sebagai suatu zat pembunuh selama beberapa abad dan
juga merupakan suatu zat yang menyebabkan kematian pada beberapa jenis unggas.
Strysin merupakan suatu zat yang dapat merusak sel-sel tubuh yang lama-kelamaan dapat
menyebabkan kematian. Koniin didalam Conium maculatum digunakan oleh orang-orang
Yunani untuk hukuman eksekusi, dan Sokrates adalah pemimpin Yunani yang sering
menggunakannya. Beberapa alkaloida dapat menyebabkan halusinasi seperti grup opium
di dalam Papaver somniferum, turunan-turunan dari asam lisergis dalam tumbuhan
Claviceps purpurea, sebuah tumbuhan parasit ( Torssell, 1983 ).

Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan
lain berdasarkan sifat basanya. Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam
tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering dilakukan di laboratorium
sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloida bebas,
berupa senyawa padat berbentuk kristal tanpa warna. Beberapa alkaloida berupa cairan,
dan alkaloida yang berwarnapun langka (Berberina dan Terpentina berwarna kuning).
Alkaloida sering bersifat aktif optik, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang
dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa hal dikenal campuran rasemat, dan pada
kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain
mengandung enantiomernya.

Fungsi dari alkaloida belum dapat dipastikan dengan baik untuk beberapa jenis
alkaloida, walaupun telah kita ketahui bahwa turunan - turunan dari pirimidin, purin dan
pterin memainkan peranan yang sangat baik dalam proses kehidupan manusia. Semua
alkaloida dapat dibuat dari poliketida asam sikimat atau bagian dari senyawa asam
mevalonat yang digabung dengan asam amino, yang secara otomatis dapat memberikan
sebuah sistematisasi yang tinggi secara rumus dan struktural yang akan menghasilkan
suatu senyawa.

Dengan kata lainnya, komponen asam amino membentuk karakter dari alkaloida
dan klasifikasinya dapat dibuat dengan baik berdasarkan bentuk morfologinya. Alkaloida
juga digunakan sebagai penyebab proses solusi dan biogenetik dibandingkan dengan
beberapa jenis asam amino yang merupakan pembentuk alkaloida, seperti glisin (di dalam
pembentuk N-heterosiklik), asam glutamat, ornitin, lisin, fenilalanin, tirosin, triptofan dan
asam antralin. Kebanyakan alkaloida dapat ditemukan di dalam segala jenis tumbuhan,
dari tumbuhan tingkat tinggi sampai ke mikroorganisme. Beberapa alkaloida dapat
ditemukan dalam hewan, dan alkaloida juga dapat ditemukan di dalam biota laut (
Robinson, 1995 ).

2.2.2.Klasifikasi alkaloida

Banyak usaha untuk mengklasifikasikan alkaloida. Sistem klasifikasi yang paling banyak
diterima, menurut Hegnauer, alkaloida dikelompokkan sebagai (a) alkaloida
sesesungguhnya, (b) protoalkaloida (c) pseudoalkaloida.


(a) Alkaloida Sesungguhnya.
Alkaloida sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas
fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen
dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman
sebagai garam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut adalah kolkhisin
dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan
alkaloida kuartener, yang bersifat agak asam.

(b) Protoalkaloida
Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam
amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan
biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin biologis sering
digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah meskalin, efedrin , dan N, N-
dimetiltriptamin .

(c) Pseudoalkaloida
Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya
bersifat basa. Ada dua seri alkaloida yang penting dalam kelas ini, yaitu alkaloida
stereoidal (konessin, purin dan kaffein ). ( Sastrohamijojo, 1996).

Senyawa alkaloid dapat diklasifikasikan dari segi sumber atau dari segi gugus
fungsi yang dikandungnya. Klasifikasi berdasarkan gugus fungsi adalah sebagai berikut:
1. Alkaloida feniletilamin, misalnya efedrin, dimana struktur dasar alkaloida
feniletilamin yaitu:
NH

2




2. Alkaloida pirolidin, misalnya higrin dari koka. Struktur dasar alkaloida
pirolidin yaitu:


N

3. Alkaloida piridin, misalnya asam nikotinat. Struktur dasar alkaloida piridin
yaitu:

N


4. Alkaloida perpaduan pirolidin dan piridin, misalnya nikotin. Struktur dasar
alkaloida pirolidin yaitu:


N

N
5. Alkaloida kuinolin, misalnya kinin. Struktur dasar alkaloida kuinolin yaitu:

N



6. Alkaloida isokuinolin, misalnya papaverin. Struktur dasar alkaloida
isokuinolin yaitu:


N


7. Alkaloida fenantren, misalnya morfin. Struktur dasar alkaloida fenantren
yaitu:
N CH
3


8. Alkaloida indole yang masih dapat digolong- golongkan menjadi:
a. Alkaloida sederhana, misalnya triptamin
b. Alkaloida ergot, misalnya serotonin
c. Alkaloida Harmala, misalnya -karbolin
d. Alkaloida Yohimbe, misalnya reserpin
e. Alkaloida Strychnos, misalnya brusin dan striknin.
(Tobing, 1989).
Ada juga yang mengklasifikasikan alkaloid berdasarkan bentuk inti dari
molekulnya yeng terdapat di alam, terbagi atas beberapa kelompok, yaitu :
1. Kelompok Feniletilamin
2. Kelompok Pirolidin
3. Kelompok piridin
1. Kelompok quinolin
5. Kelompok isoquinolin
6. Kelompok pirrolidin- piridin
7. Kelompok penantren (Finar,1983)

Dari beberapa alkaloida yang telah ditemukan, kita dapat melihat letak dari atom
Nitrogen yang membuat alkaloida bersifat basa. Ada beberapa alkaloida yang
mempunyai atom Nitrogen lebih dari satu, dan ada juga pengecualian yang diberikan
pada beberapa senyawa alkaloida yang mempunyai fungsi yang khas, dan juga jika
elemen penyusun alkaloida yang lainnya khas, seperti alkaloida steroidal, terpena,
spermidina, spermina, alkaloida peptide. Berdasarkan hal diatas maka kita dapat
membuat suatu klasifikasi dari alkaloida, yaitu :
1. Alkaloida Heterosiklik, dimana pada alkaloida jenis ini atom Nitrogen berada
pada cincin hetrosikliknya. Contohnya: Alkaloida pirolidin, Alkaloida indole,
Alkaloida Piperidine, alkaloida pyridine, alkaloida Tropane, Histiane, Imidazole
dan juga alkaloida isokuinolin.
2. Alkaloida dengan atom Nitrogen eksosiklik (atom Nitrogen berada diluar cincin
heterosiklis dan alkaloida Spermine). Contohnya: Casseine, Epehedrine,
Capsaicine, Uvariosamine.
3. Alkaloida Putrescina, Alkaloida Spermidina dan Alkaloida Spermine, ketiga jenis
alkaloida ini merupakan amina biogenetik, akan tetapi turunan-turunannya
(kebanyakan mengandung residu asam lemak atau asam sinamat) merupakan suatu
alkaloida. Contohnya Paucino yang merupakan turunan dari Pentaclethra sp, dan
Inandenine yang merupakan turunan dari Oncinotis sp
4. Alkaloida peptide, merupakan suatu bagian grup peptide yang bersifat basa, yang
telah dianggap merupakan suatu jenis alkaloida, misalnya ergot, integerrine, yang
mengandung asam amino triptopan.
5. Alkaloida diterpen, dimana alkaloida monoterpen dan seskuiterpen telah dianggap
sebagai alkaloida pirolidin, pipridine. Contoh alkaloida diterpen adalah Veatchine,
Atisine, Aeonitine, Heteratisine.
6. Alkaloida Steroidal, merupakan jenis alkaloida dengan bentuk cincin seperti
steroida dengan atom Nitrogen yang bergabung. Alkaloida steroidal dapat berada
baik pada hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Samandarino merupakan alkaloida
yang berasal dari hewan. Contoh alkaloida steroidaal yaitu : Paravallarine,
Terminaline, Conessine, Solasodine ( Manfred, 1995) .

Berdasarkan biogenetiknya, senyawa senyawa alkaloida dapat diklasifikasikan
menjadi :
1. Alisiklik alkaloida, terdiri dari :
- Lupinin alkaloida
- Tropane alkaloida
2. Fenilalanin alkaloida, terdiri dari :
- Papaverin
- Morfin
- Amarilis alkaloida
3. Indole Alkaloida, terdiri dari :
- Caly canthin
- Quinin
- Vindolin
-Ajmalin dan Mitrphilin
- Reserpin
- Ibogaine
Dari klasifikasi diatas dapat disimpulkan bahwa belum ada keseragaman dalam
pengklsifikasian senyawa alkaloida (Hendrikson,1965).

2.2.3.Sifat- Sifat Alkaloida

Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan lain
berdasarkan sifat basanya (kation). Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam
tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering ditangani di laboratorium
sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloid bebas
yang terdapat di alam, berupa senyawa padat berbentuk kristal tidak berwarna. Ada
beberapa alkaloid berupa cairan dan ada juga alkaloid yang berwarna yaitu berberina dan
serpentina berwarna kuning. Alkaloid pada umumnya bersifat optis aktif, dan biasanya
hanya satu dari isomer optik alkaloid yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa
kasus dikenal campuran rasemat; dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu
isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya (Robinson,1995).

Secara umum, golongan senyawa alkaloida mempunyai sifat-sifat sebagai berikut
:
1. Biasanya merupakan kristal tak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut
Dalam air, larut dalam pelarut-pelarut organik seperti : eter, etanol dan juga
koroform. Beberapa alkaloida (seperti koniin dan nikotin) berwujud cair dan
larut dalam air. Ada juga alkaloida yang berwarna misalnya berberin (kuning).
2. Bersifat basa; pada umumnya berasa pahit, bersifat racun, mempunyai efek.
3. Dapat membentuk endapan dengan larutan asam fosfowolframat, asam
fosfomolibdat, asam pikrat, kalium merkuriiodida dan lain sebagainya. Dari
endapan-endapan ini, banyak juga yang memiliki bentuk kristal yang khusus
sehingga sangat bermanfaat dalam identifikasinya (Tobing,1989)

2.2.4. Identifikasi, isolasi dan pemurnian alkaloida

2.2.4.1.Identifikasi alkaloida

Karena secara kimia alkaloida begitu heterogen dan begitu banyak, maka tidak dapat
diidentifikasi dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan kromatografi tunggal.
Pada umumnya sukar mengidentifikasi alkaloida dari sumber tumbuhan baru tanpa
mengetahui kira-kira jenis alkaloida apa yang mungkin ditemukan dalam tumbuhan
tersebut.

Di samping itu, karena kelarutan dan sifat alkaloida sangat berbeda-beda, cara
penyaringan umum untuk alkaloida dalam tumbuhan mungkin tidak akan berhasil
mendeteksi senyawa khas.

Sebagai basa, alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol
yang bersifat asam lemah ( HCl 1M atau asam asetat 10% ), kemudian diendapkan
dengan amonia pekat. Pemisahan pendahuluan demikian dari bahan tumbuhan lainnya
dapat diulang, atau pemurnian selanjutnya dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut
(ekstraksi cair- cair). Adanya alkaloida pada ekstrak nisbih kasar yang demikian dapat
diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid. Tetapi sebaiknya dilakukan
kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis dalam beberapa pengembang umum
yang dapat digunakan, dan kemudian kertas serta pelat disemprot dengan penampak
bercak untuk alkaloid. (Harborne, 1987 ).

Metode yang banyak digunakan untuk mendeteksi tanaman yang mengandung
alkaloida yaitu prosedur Wall, yang meliputi ekstraksi sekitar 20 gram bahan kering yang
direfluks dengan etnol 80 %. Kumpulan filtrat diuapkan, residunya dilarutkan dengan air,
disaring kemudian diasamkan dengan HCl 1 %. Lalu diuji dengan pereksi Meyer atau
dengan silikotungstat. Bila hasil positif larutan tersebut dibasakan dan diekstraksi dengan
pelarut organik dan diekstraksi kembali kedalam larutan asam. J ika larutan asam ini
menghasilkan endapan dengan pereksi alkaloida berarti tanaman ini mengandung
alkaloida. Fasa berair juga harus diteliti untuk menetukan adanya alkaloid kuartener.

Metode lain yaitu Kiang Douglas, dimana bahan tanaman kering diubah
menjadi basa bebas dengan larutan amonia. Hasil yang diperoleh diekstraksi dengan
kloroform. Ekstrak dipekatkan dan diasamkan dengan cara menambahkan HCl 2 N.
Filtratnya diuji dengan pereksi alkaloida yaitu pereaksi Meyer, Wagner, Dragendorf, dan
Bouchardat. Perkiraaan kandungan alkaloida yang potensial dapat diperoleh dengan
menggunakan larutan encer standard alkaloida. (Geoffrey,1981)

Pereaksi deteksi yang paling umum dipakai untuk menyemprot kromatogram
pereaksi ini beberapa nonalkaloid meskipun kepekaan terhadap alkaloid sekitar sepuluh
kalinya, beberapa pereaksi lain untuk mendeteksi alkaloid adalah flouresamina dan
7,7,8,8-tetra sianokuinondimetana. Keuntungannya adalah bahwa pereaksi ini bereaksi
secara berlainan dengan jenis struktur yang berbeda. Alkaloid yang mengandung gugus
fenol dapat dideteksi dengan pereaksi khusus fenol. (Robinson, T . 1995)

Beberapa pereaksi pengendapan digunakan untuk memisahkan jenis alkaloid.
Pereaksi ini sering didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam
yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismut, yodium. Pereaksi Mayer
mengandung kalium yodida dan merkuri klorida. Pereaksi Dragendroff mengandung
bismut nitrat dan merkuri klorida dalam asam nitrit berair. Pereaksi Bouchardat mirip
dengan pereaksi Wagner dan mengandung kalium yodida dan yodium. Berbagai pereaksi
tersebut menunjukkan perbedaan yang besar dalam hal sensitifitas terhadap gugus
alkaloid yang berbeda. (Sastrohamidjojo, 1996
2.2.4.2.Isolasi senyawa alkaloida

Senyawa alkaloida dapat diisolasi dalam larutan asam berair ( umumnya asam
hidroklorida, sitrat, atau tartarat ) dan komponen netral atau bersifat asam, yang
dipisahkan dengan ekstraksi pelarut. Setelah larutan berair dibasakan, maka alkaloida
yang diperoleh dapat diekstraksi dengan pelarut yang sesuai.

Metode lain yang umum digunakan untuk mengekstraksi yaitu dengn
penambahan amonia pada bahan tanaman,untuk mengubah garam alkaloida menjadi basa
bebas yang kemudian diekstraksi dengan pelarut organik yang cocok. Setiap alkaloida
kuartener yang terdapat pada bahan tanaman dapat dipisahkan dengan cara ini, tapi
dengan cara mengekstraksinya dengan alkohol.(Geoffrey,1981)



Pada umumnya alkaloid diekstraksi dari tumbuhan/ sumbernya melalui proses
sebagai berikut:
1. Tumbuhan (daun, bunga, buah, kulit dan/atau akar) dikeringkan, lalu dihaluskan
2. Alkaloid diekstraksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol,
kemudian pelarutnya diuapkan.
3. Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam
ammonium kuartener; kemudian diekstraksikan kembali
4. Garam N
+
5. Campuran alkaloid- alkaloid yang diperoleh akhirnya diisolasi melalui berbagai
cara, misalnya dengan metode kromatografi.
yang diperoleh direaksikan dnegan Natrium Karbonat (sehingga
menghasilkan alkaloid- alkaloid yang bebas) kemudian diekstraksi dengan pelarut
tertentu seperti eter, kloroform atau pelarut lainnya.
Sebagaimana telah dikemukakan, alkaloid diperoleh dari tumbuh- tumbuhan namun, ada
juga yang dibuat sintesis, misalnya efedrin dan papaverin.
(Tobing, 1989).

Isolasi alkaloida menurut metode Hess
Sampel tumbuh tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan
eter selama tiga hari dalam alat soklet, lalu endapan alkaloida dilarutkan dengan amonia.

Endapan diekstraksi lagi dengan pelarut lain misalnya kloroform, kemudian
dipisahkan melalui kromatografi kolom dengan adsorben silika gel dan benzen
kloroform sebagai pengelusi.

Isolasi alkaloida menurut metode BT. Cromwell
Sampel tumbuh tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan
HCl 0,2 M dalam etanol, biarkan kira kira 10 jam pada temperatur 60
0

C, kemudian
saring dalam keadaan panas, ampas dicuci kembali dengan pelarut yang sama sampai
menunjukkan test negatif terhadap pereaksi alkaloida.
Ekstrak yang diperoleh didinginkan dan dibiarkan selama 12 jam, kemudian
disaring dan filtrat yang diperoleh ditambahkan NH
4
OH
(p)

sampai pH 10, kemudian
didinginkan selama 24 jam pada temperatur kamar.
Endapan dipisahkan kemudian dilarutkan dalam kloroform lalu disaring. Ekstrak
yang diperoleh dipekatkan dan residunya dipisahkan untuk memperoleh alkaloida dengan
kromatografi.

Isolasi alkaloida menurut metode Harborne
Sampel tumbuh tumbuhan dikeringakn dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan
pelarut metanol panas sampai menunjukkan test .negatif terhadap pereaksi alkaloida.

Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan alat rotari evaporator pada suhu
60
0
C.sampai kepekatan menjadi 0,5 dari larutan seluruhnya. Ekstrak yang diperoleh
didinginkan kemudian diserbukkan dengan spent powder, MgO +Al
2
O
3
( 70 230
Mesh) dengan perbandingan 100 : 200 g/g, kemudian dikeringakn dalam oven pada suhu
60
0
C.
Serbuk kering yang diperoleh diekstraksi kembali dengan kloroform, kemudian
ditest dengan pereaksi alkaloida. Ekstrak kloroform dipekatkan dengan alat rotavapor
sehingga diperoleh residu. Residu direkristalisasi sehingga diperoleh senyawa
alkaloida.(Harborne,1987)

2.2.4.3.Pemurnian senyawa alkaloida

Ekstrak alkaloida kompleks yang masih kotor dipisahkan menjadi komponen
komponennya. Sejumlah metode konvensional dipakai untuk memurnikan campuran
alkaloida, hal ini tergantung pada campuran alkaloida yang diperoleh.

a. Kristalisasi langsung
Meskipun cara ini cukup sederhana, tetapi jarang memberikan hasil yang memuaskan
untuk pemisahan alkaloida murni, kecuali bila suatu alkaloida yang terdapat dalam bahan
tidak larut. Beberapa kombinasi pelarut yang sering digunakan untuk kristalisasi
alkaloida meliputi metanol, etanol berair, metanol kloroform, metanol eter, metnol
aseton, dan etanol aseton.

b. Metode gradien pH
Metode ini ditemukan oleh Svodoba untuk mengisolasi alkaloida anti leukimia
Catharantus roseus. Cara ini didasarkan pada kenyataan bahwa alkaloida indol dengan
struktur bervariasi yang terdapat pada tanaman mempunyai sifat basa yang sangat
berbeda. Campuran alkaloida kotor dilarutkan dalam larutan asam tartarat 2 % dan
diekstraksi dengan benzena atau etil asetat. Fraksi I akan mengandung alkaloida netral
ata;u bersifat basa lemah. Kemudian pH larutan dinaikkan dengan bilangan 0,5 lalu pH
dinaikkan hingga 9,0 dan diekstraksi dengan pelarut organik. Perbedaan pH
memungkinkan pemisahan secara bertahap antara alkaloida basa lemah dan alkaloida
basa kuat dari media basa. Alkaloida yang bersifat basa kuat diekstraksi terakhir
kali.(Geoffrey,1981)


2.2.5.Biosintesis alkaloida

Prekusor alkaloid yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya,
biosintesis alkaloid lebih rumit. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan
heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana seperti koniina, yaitu alkaloid utama.
Conium maculatum, sampai ke struktur pentasiklik seperti strikhnina, yaitu racun kulit
Strychnos. Amina tumbuhan (misalnya meskalina) dan basa purina dan pirimidina
(misalnya kafeina) kadang- kadang digolongkan sebagai alkaloid dalam arti umum,
(Manito,1992).

Banyak alkaloid bersifat terpenoid dan beberapa diantaranya (misalnya solanina,
alkaloid-steroid kentang, Solanum Tuberosum) sebaiknya ditinjau dari segi biosintesis
sebagai terpenoid termodifikasi. Yang lainnya terutama berupa senyawa aromatik
(misalnya kolkhisina, alkaloid-tropolon umbi crocus musim gugur) yang mengandung
gugus basa sebagai gugus rantai samping. Banyak sekali alkaloid yang khas pada suatu
suku tumbuhan atau beberapa tumbuhan sekerabat. J adi, nama alkaloid sering kali
diturunkan dari sumber tumbuhan penghasilnya, misalnya alkaloid Atropa atau alkaloid
tropana dan sebagainya. (Harborne,1987)

2.3.Metode Pemisahan

2.3.1.Kromatografi

Penjelasan terperinci tentang kromatografi pertama kali diberikan oleh Michael Tswett,
seorang ahli botani Rusia yang bekerja di Warsawa. Pada tahun 1906, dia mengumumkan
pemerian pemisahan klorofil dan pigmen lainnya dalam suatu seri tanaman. Larutan eter
petroleum yang mengandung cuplikan diletakkan pada ujung atas tabung gelas sempit
yang telah diisi dengan serbuk kalsium karbonat. Ketika ke dalam kolom itu dituangi eter
petroleum maka akan terlihat bahwa pigmen-pigmen itu terpisah dalam beberapa daerah.
Setiap daerah berwarna itu diisolasi dan diidentifikasi senyawa penyusunnya. Adanya
pita bewarna itu maka dia mengusulkan nama kromatografi yang berasal dari bahasa
Yunani kromatos yang berarti warna dan graphos yang berarti menulis. (Sudjadi, 1986 ).

Berbagai metode kromatografi memberikan cara pemisahan paling kuat di
laboratorium kimia. Gagasan dasarnya sederhana untuk dipahami, mulai dari cara yang
sederhana sampai yang agak rumit dari segi kerja dan peralatan, metode ini dapat dipakai
untuk setiap jenis senyawa. Kata kromatografi mengandung makna warna namun tidak
ada hubungannya langsung karena senyawa pertama yang dipisahkan dengan cara ini
adalah pigmen hijau tumbuhan.

Metode kromatografi, karena pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara luas
untuk pemisahan analitik dan preparatif. Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot
molekul rendah sampai tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya
dengan beberapa metode kromatgrafi. J enis pemisahan analitik atau preparatif, tidak
ditentukan oleh ukuran cuplikan, melainkan lebih oleh keperluan khusus. Biasanya
kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk semua cuplikan, dan
kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi murni dari campuran.


Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung
beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat adalah:
1. Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
2. Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorbsi,
penjerapan)
3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian)

Pada kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan
sedemikian rupa, sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga
sifat tersebut. Ini mungkin melibatkan dua sifat yang berlainan, misalnya penjerapan dan
kelarutan, atau mungkin melibatkan satu sifat pada dua lingkungan. Misalnya kelarutan
didalam dua cairan yang tidak bercampur. (Gritter, 1991).
Ada beberapa cara dalam mengelompokkan teknik kromatografi. Kebanyakan
berdasarkan pada macam fasa yang digunakan (fasa gerak-fasa diam), misalnya
kromatografi gas dan kromatografi cairan. Cara pengelompokan lainnya berdasarkan
mekanisme yang membuat distribusi fasa. Disini metoda kromatografi sebagian
dikelompokkan berdasarkan macam fasa yang digunakan dan sebagian lain berdasarkan
pada mekanisme pada distribusi fasa.

Kromatografi cairan-padat atau kromatografi serapan, ditemukan oleh Tswett dan
dikenalkan kembali oleh Khun dan Lederer pada 1931, telah digunakan sangat luas untuk
analisis organik dan biokima. Pada umumnya sebagai isi kolom adalah silika gel atau
alumina, yang mempunyai angka banding luas permukaan terhadap volume sangat besar.
Sayangnya hanya ada beberapa bahan penyerap, maka pemilihannya sangat terbatas.
Keterbatasan yang lebih nyata pada kenyataan bahwa koefisien distribusi untuk serapan
kerap kali tergantung pada kadar total. Hal ini akan menyebabkan pemisahan tidak
sempurna.

Kromatografi cairan-cairan atau kromatografi partisi, dikenalkan oleh Martin dan
Synge pada 1941, dan kemudian mendapatkan hadiah Nobel untuk itu. Fasa diam terdiri
atas lapisan tipis cairan yang melapisi permukaan dari padatan inert yang berpori-pori.
Ada banyak macam kombinasi cairan yang dapat digunakan sehingga metode ini sangat
berguna. Lebih lanjut, koefisien distribusi sistem ini lebih tidak tergantung pada kadar,
memberikan pemisahan yang lebih tajam.

Kromatografi gas-padat, digunakan sebelum tahun 1800 untuk memurnikan gas.
Pada waktu dulu teknik ini tidak berkembang karena keterbatasannya yang sama seperti
halnya kromatografi cairan-padat, tetapi penelitian lebih lanjut dengan macam fasa padat
baru memperluas penggunaan teknik ini.

Kromatografi gas-cairan merupakan metoda pemisahan yang sangat efisien dan
serba guna. Teknik ini telah menyebabkan revolusi dalam kimia Organik sejak
dikenalkan pertama kali oleh J ames dan Martin pada 1952. Hambatan yang paling utama
adalah bahan cuplikan harus mempunyai tekanan uap paling tidak beberapa torr pada
suhu kolom. Sistem ini sangat baik sehingga dapat dikatakan sebagai metoda pilihan
dalam kromatografi karena dapat memisahkan dengan cepat dan peka ( Sudjadi,
1986 ).

Kromatografi adalah suatu tekhnik pemisahan tertentu dengan menggunakan dua
fasa yaitu fasa diam dan fasa gerak. Pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua
fasa ini. Cara- cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat- sifat dari fasa
gerak, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. J ika fasa tetap berupa zat padat maka
cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan (absorption chromatography) dan jika
zat cair maka kromatografi tersebut dikenal dengan kromatografi partisi (partition
chromatography).

Berbagai metode kromatografi memberikan cara pemisahan paling kuat di
laboratorium kimia. Gagasan dasarnya sederhana untuk dipahami; caranya beragam,
mulai dari cara yang sederhana sampai yang agak rumit dari segi kerja dan peralatan, dan
metode ini dapat dipakai untuk setiap jenis senyawa (Sastrohamidjojo,1985).

2.3.1.1. Kromatografi Kertas

Satu keuntungan utama kromatografi kertas ialah kemudahan dan kesederhanaannya pada
pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring yang berlaku sebagai
medium pemisahan dan juga penyangga. Keuntungan lain ialah keterulangan bilangan Rf
yang besar pada kertas sehingga penggukuran Rf merupakan parameter yang berharga
dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru.

Kromatografi pada kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian atau
penjerapan. Pada kromatografi pembagian, senyawa terbagi dalam pelarut alkohol yang
sebagian besar tidak bercampur dengan air (misalnya n-butanol) dan dalam air.
Sebaliknya gaya jerap merupakan salah satu ciri utama kromatogarafi kertas dalam
pengembang air. Air murni ialah pengembang kromatografi yang sungguh-sungguh serba
guna dan dapat digunakan untuk memisahkan purina dan pirimidina biasa, dan secara
umum dapat dipakai juga untuk senyawa fenol dan glikosida tumbuhan. (Harbone,1987).

2.3.1.2.Kromatografi Lapisan Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan pemisahan komponen komponen berdasrkan adsorpsi
atau partisi oleh fasa diam dibawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut
pengembang campuran. Pemilihan pelarut pengembang atau pelarut pengembang
campuran sangat dipengaruhi oleh macam polaritas zat zat kimia yang dipissahkan.
Fasa diam yang umum dan banyak dipakai adalah silika gel yang dicampur dengan
CaSO
4

untuk menambah daya lengket partikel silika gel.(Mulja,1995)
Teknik ini dikembangkan tahun 1939 oleh Ismailoff dan Schraiber. Adsorbent
dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fasa diam. Fasa
bergerak akan merayap sepanjang fasa diam dan terbentuklah kromatogram. Biasanya
yang sering digunakan sebagai materi pelapisnya adaqlah silika gel, tetapi kadangkala
bubuk selulosa dan tanah diatomae, kieselguhr dapat juga digunakan. Pemilihan sistem
pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip kromatografi yang akan
digunakan. Sampel diteteskan pada salah satu bagian tepi plat kromatografi (sebanyak
0,01 - 10g zat).

Zat-zat bewarna dapat terlihat langsung, tetapi dapat juga digunakan reagen
penyemprot untuk melihat bercak suatu noda. Untuk menempatkan posisi suatu zat,
reagen dapat juga disemprotkan pada bagian tepi saja. Bagian yang lain dapat diperoleh
kembali tanpa pengotoran dari reagen dengan pengerokan setelah pemisahan selesai.
Aplikasi KLT sangatlah luas. Senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap serta terlalu
labil untuk kromatografi cair dapat dianalisis dengan KLT ( Khopkar, 2002 ).

Kromatografi Lapisan Tipis (KLT) dapat dipakai dengan dua tujuan. Yang
pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif
dan preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang
akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.

Pada hakikatnya Kromatografi Lapisan Tipis melibatkan dua peubah: sifat fasa
diam atau sifat lapisan dan sifat fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fasa
diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap
(kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair
(kromatografi cair- cair). Fasa diam pada KLT sering disebut penyerap, walaupun sering
berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair di dalam sistem kromatografi cair-
cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada KLT, yaitu:
silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome), dan
selulosa. Fasa gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut.
(Gritter,1991)
Pelarut-pelarut
Pemilihan pertama dari pelarut ialah bagaimana sifat kelarutnnya. Tetapi sering lebih
baik untuk memilih suatu pelarut yang tak tergantung daripada kekeuatan elusi sehingga
zat-zat elusi yang lebih kuat dapat dicoba. Yang dimaksud dengan kekuatan dari zat elusi
adalah daya penyerapan pada penyerap dalam kolom. Biasanya untuk penyerap-penyerap
yang polar seperti alumina dan silika gel, maka kekuatan penyerap naik dengan kenaikan
polaritas dari zat yang diserap. Menurut TRAPPE, kekuatan elusi dari dari deret-deret
pelarut untuk senyawa-senyawa dalam kolm dengan menggunakan silika gel akan
diturunkan dalam urutan sebagai berikut : airmurni <metanol <etanol <propanol <
aseton <etil-asetat <dietil-eter <kloroform <metilena klorida <benzena <toluena <
trikloroetilena <karbontetraklorida <sikloheksana <heksana.
Kekuatan dari pelarut-pelarut yang berbeda menurut WILLIAMS, pada karbon
aktif dalam kolom untuk asam-asam amino dan sakarida-sakarida diturunkan dalam
urutan : etil asetat <dietil eter <propanol <aseton <etanol <metanol <air murni.
Urutan ini adalah dari kenaikan polaritas atau penurunan panjang rantai dari
homolog. Sedangkan untuk alumina dan silika gel urutannya ada sebaliknya. Kemurnian
dari pelarut-pelarut harus setinggi mungkin.
Kemungkinan yang paling populer dan biasanya digunakan sebagai penyerap
adalah alumina, tetapi hal ini tak berarti bahwa yang lain tak dapat digunakan.
Suatu pengertian yang digunakan dalam hubungannya dengan penyerap-penyerap
adalah aktifas. Kadang-kadang ia dihubungkan dengan luas permukaaan spesifik dari zat
padat, yaitu luas permukaan yang diukur dalam meter persegi tiap gram, dalam hal
karbon, silika gel dan alumina dapat dibuat menjadi menjadi aktif dengan memiliki
permukaan spesifik beratus-ratus meter persegi.
Sedangkan seperti kalsium karbonat dan kalsium hidroksida, mempunyai
permukaan spesifik yang mempunyai ukuran dalam puluhan meter persegi atau kurang
sehingga mereka dikategorikan relatif tak aktif. Pada keadaan lain, pengertian aktifitas
sering digunakan untuk menyatakan kekuatan dari serapan dan ini yang biasa digunakan
dalam kromatografi. Aktifitas kromatografi adalah spesifik yang mempunyai pengertian
zat padat dengan luas permukaan yang besar menyerap dengan kuat. Telah diketahui
bahwa kekuatan serapan dari gugus polar pada senyawa-senyawa polar naik dalam urutan
:
-COOR, = C = 0,
-NH
2
Banyak penyerap seperti alumina, silika gel, karbon aktif, dan magnesium silikat
dapat diperoleh dalam perdagangan. Mereka sering memerlukan aktivasi sebelum
dipakai; hal ini dapat dikerjakan dengan pemanasan, mungkin dengan pengurangan
tekanan. Suhu optimum untuk aktvasi aluminium biasanya sekitar 400
, -OH, -COOH.
o
C dan waktu
pemanasan cukup selama 4 jam. Untuk kebanyakan zat-zat padat, dengan tak ada
keterangan lebih lanjut pemanasan pada suhu 200
o
C selama 2 jam.
Zat-zat aktif yang digunakan sebagai penyerap dalam kromatografi kolom
merupakan katalisator yang baik; ini merupakan bahaya yang perlu mendapat perhatian.
Alumina, terutama bila bersifat alkali, sering menyebabkan perubahan kimia dan
menimbulkan reaksi-reaksi; sebagai misal, ia dapat menyebabkan kondensasi dari
aldehida-aldehida dan keton-keton, hingga bila hal ini terjadi, maka harus menggunakan
alumina yang bersifat netral. Silika gel dapat menyebabkan isomerisasi dari berbagai
senyawa-senyawa seperti terpen dan sterol (Sastrohamidjojo, 1985).
2.3.1.3.Kromatografi Kolom

Ada empat jenis kromatografi yang dapat dimasukkan dalam kromatografi kolom, yaitu
kromatografi adsorbsi, kromatografi pertukaran ion, kromatografi partisi, dan
kromatografi filtrasi gel. Secara umum dapat digambarkan,bahwa kromatografi tersebut
dilaksanakan dalam suatu kolom yang diisi dengan fase stasioner yang porous. Cairan
dipakai sebagai fase mobil untuk mengelusi komponen sampel keluar melalui kolom.

Dalam kromatografi adsorbsi, komponen yang dipisahkan secara selektif
teradsorbsi pada permukaan adsorben yang dipakai untuk bahan isian kolom. Dalam
kromatografi partisi komponen yang dipisahkan secara selektif mengalami partisi antara
lapisan cairan tipis pada penyangga padat yang bertindak sebagai fase stasioner dan eluen
yang bertindak sebagai fase gerak. Kromatografi pertukaran ion memisahkan komponen
yang berbentuk ion. Komponen-komponen ion tersebut yang terikat pada penukar ion
sebagai fase stasioner secara selektif akan terlepas atau terelusi oleh fase gerak. Dalam
kromatografi filtrasi gel, kolom diisi dengan gel yang permiabel sebagai fase stasioner.
Pemisahan berlangsung seperti proses pengayakan, yang didasarkan atas ukuran molekul
dari komponen yang dipisahkan. (Adnan,1997)

Kolom kromatografi atau tabung untuk pengaliran karena gaya tarik bumi
(grafitasi) atau sistem bertekanan rendah biasanya terbuat dari kaca yang dilengkapi
dengan keran jenis tertentu pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran pelarut. Ukuran
keseluruhan kolom sungguh beragam, tetapi biasanya panjangnya sekurang- kurangnya
10 kali garis tengah dalamnya dan mungkin saja sampai 100 kali.
Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita
pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam atau
bahkan tabung plastik. Pelarut (fasa gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom karena
aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong oleh tekanan. Pita senyawa linarut
bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa
fraksi ketika keluar dari alas kolom.

Ada empat perubahan utama yang dilakukan pada cara kolom klasik. Pertama
dipakai penyerap yang lebih halus dengan kisaran ukuran mesh lebih sempit, agar tercipta
kesetimbangan yang lebih baik di dalam sistem. Kedua sistem tekanan biasanya pompa
mekanis, dipakai untuk mendorong pelarut melalui penyerap yang halus. Ini perlu karena
ukuran partikel kecil, tetapi pompa itu juga menyebabkan kromatografi lebih cepat, jadi
memperkecil difusi. Ketiga detektor telah dikembangkan sehingga diperoleh analisis
senyawa yang bersinambungan ketika senyawa itu keluar dari kolom. Data analisi ini
dapat dipakai untuk membagi- bagi fraksi ketika keluar, dan jika diperlakukan dengan
tepat, dapat memberikan data kuantitatif mengenai banyaknya senyawa yang ada.
Akhirnya penyerap baru dan cara pengemasan kolom baru dikembangkan sehingga
memungkinkan derajat daya pisah yang tinggi tercapai. ( Gritter, 1991 ).

Pemilihan pertama dari pelarut untuk kromatografi kolom ialah bagaimana sifat
kelarutannya. Tetapi lebih baik untuk memilih suatu pelarut bergantung pada kekuatan
elusinya sehingga zat zat elusi yang lebih kuat dapat dicoba. Yang dimaksudkan dengan
kekuatan elusi ialah daya penyerapan pada penyerap dalam kolom. Biasanya pada
penyerap penyerap yang polar seperti alumina dan silika gel, maka kekuatan
penyerapan baik dengan naiknya polaritas zat yang diserap. Menurut TRAPPE, kekuatan
elusi dari deret deret pelarut untuk senyawa senyawa elusi dalam kolom dengan
menggunakan silika gel akan diturunkan dalam urutan sebagai berikut.
Air murni, methanol, etanol, propanol, aseton, etil asetat, dietil eter, kloroform, metilena
klorida, benzene, toluene, trikloroetilena, karbon tetraklorida, sikloheksana,
heksana.(Stahl,1990).

2.4. Teknik Spektroskopi

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi cahaya dengan atom dan molekul. Radiasi
cahaya atau elektromagnet dapat menyerupai gelombang. Beberapa sifat fisika cahaya
paling baik diterangkan dengan ciri gelombangnya, sedangkan sifat lain diterangkan
dengan sifat partikel. (Creswell,1982).

Pada zaman awal kimia organik, penetapan struktur senyawa baru sering
merupakan tugas yang berat. Tetapi sejak tahun 1940-an, munculnya bermacam-macam
jenis spektroskopi sangat membantu menyederhanakan masalah ini. Metode spektroskopi
mempunyai banyak keuntungan. Biasanya hanya diperlukan sejumlah kecil untuk
analisis. Dan kadang-kadang jumlah itupun dapat diperoleh kembali (tidak musnah atau
rusak). Pengerjaannya cepat, biasanya hanya diperlukan beberapa menit saja. Sering
sekali diperoleh informasi struktur yang lebih banyak dari spektra dibandingkan dengan
metode laboratorium biasa. (Hart,Harold.1983).

Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe-tipe dari adanya gugus
fungsi dalam satu molekul, Resonansi Magnet Inti yang memberikan informasi tentang
bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Ini juga memberikan informasi yang
menyatakan tentang alam serta lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen.
Kombinasinya dan data yang ada kadang-kadang menentukan struktur yang lengkap dari
molekul yang tidak diketahui. ( Pavia, 1979 ).
2.4.1. Spektrofotometri Inframerah ( FT-IR )

Spektrum infra merah suatu senyawa memberikan gambaran menegenai berbagai gugus
fungsional dalam sebuah molekul organik, tetapi hanya memberikan petunjuk mengenai
bagian hidrokarbon molekul.

Sinar infra merah ialah bagian spektrum elektromagnetik yang berada diantara
daerah tampak dan daerah mikro. Bagi ilmuwan organik sebagian besar kegunaannya
terbats pada frekwensi antara 4000 dan 666 cm
-1
. Daerah radiasi spektroskopi infra
merah atau infra red spectroscopy (IR) berkisar pada bilangan gelombang 12800 10
cm
-1
Umumnya daerah radiasi IR terbagi dalam daerah
atau pada panang gelombang 0,78 1000 m.
a. IR dekat (12800 4000 cm
-1
; 3,8 1,2 x 10
14
b. IR tengah ( 4000 200 cm
Hz ; 0,78 2,5 m)
-1
; 0,0121 6 x 10
14
c. IR jauh ( 200 10 cm
Hz ; 2,5 50 m)
-1
; 60 3 x 10
11
daerah yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan praktis adalah daerah IR
tengah.
Hz ; 50 1000 m)

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi
getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang dari 100 cm
-1

(panjang gelombang lebih daripada 100 m) diserap oleh sebuah molekul organik dan
diubah menjadi putaran energi molekul. Penyerapan ini tercantum, namun spektrum
getaran terlihat bukan sebagai garis garis melainkan berupa pita pita. Hal ini
disebabkan perubahan energi getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi
putaran. Pita energi putaran yang penting terletak antara 4000 600 cm
-1
Untuk menganalisa suatu senyawa yang belum diketahui, perhatian harus
dipusatkan pada penentuan ada atau tidaknya beberapa gugus fungsional utama seperti
C=O ; C-H ; C-O ; C=C dan NO
.
2
Beberapa syarat syarat yang harus dipenuhi dalam menafsirkan sebuah
spektrum infra merah :
.
a. Spektrum haruslah cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang memadai.
b. Spektrum harus dibuata dari senyawa yang cukup rumit.
c. Spektrofotometer harus dikalibrasi sebagai pita akan teramati pada kerapatan atau
panjanggelombang yang semestinya. Kalibrasi yang benar dapat dilakukan
dengan baku baku yang dapat dipercaya, misalnya polistiren.
d. Metode penanganan cuplikan.( Silverstein, 1984 ).

Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan yaitu vibrasi regang
(stretching) dan vibrasi lentur (bending vibrations).

1. Vibrasi Regang
Terjadi perubahan jarak antara dua atom dalam suatu molekul secara terus-
menerus. Vibrasi regang ada dua macam, yakni vibrasi regang simetris dan tak
simetris.
2. Vibrasi Lentur
Terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada dua macam vibrasi lentur
yaitu vibrasi lentur dalam bidang (scissoring dan rocking) dan vibrasi luar bidang
(waging dan twisting) ( Noerdin, 1999 ).

Vibrasi spektrum Infra merah dari amina primer dan sekunder yang sangat khas
dapat dihubungkan dengan adanya ikatan N-H. Keduanya dalam bentuk alkil dan aril
amina primer dapat ditunjukkan dengan adanya dua buah vibrasi N-H yang merupakan
sebuah ikatan stretching yang asimetrik ditunjukkan pada panjang gelombang 3490 cm
-1

dan juga sebuah ikatan stretching simetrik pada panjang gelombang mendekati 3400 cm
-1
. Serapan pada bagian ini dapat terjadi karena adanya ikatan hidrogen, akan tetapi
pengaruh dari ikatan hidrogen ini pada N-H tidak sama dengan pengaruh ikatan hydrogen
0-H pada vibrasi molekulnya. Dimana ketika ikatan hidrogen intra molekul terjadi, maka
akan membentuk sebuah kompleks yang menyebabkan serapan panjang gelombang pada
3300-3000 cm
-1

. ( Silverstain, 1986 ).
Vibrasi regang N-H juga dipengaruhi oleh ikatan hidrogen, tetapi pengruhnya
terhadap pergeseran frekuensi vibrasi lebih kecil. Pada amin tersier, tidak mungkin terjadi
ikatan hidrogen. Pada amin primer puncak serapan berupa doblet yang disebabkan regang
N-H tak simetris dan regang N-H simetris. Kedua doblet ini terpisah satu sama lain
sebesar 100 cm
-1

dan besarnya pemisahan ini tidak tergantung pada konsentrsi.
Serapan vibrasi regang N-H dalam amin sekunder pada umumnya hanya
memberikan satu puncak tunggal, kecuali bila tejadi ikatan hidrogen intra atau antar
molekul. Salah satu puncak dari amin sekunder itu berasal dari N-H bebas dan N-H yang
melakukan ikatan hidrogen. Puncak yang berasal dari N-H yang berikatan hidrogen akan
hilang, bila konsentrasi larutan diperkecil. J adi dalam larutan sangat encer, puncak
serapannya singlet atau tunggal, dan frekwensi vibrasinya jauh lebih besar dari frekwensi
dalam larutan pekat. Puncak doblet juga akan terjadi bila gugusan N-H atau O-H suatu
molekul jumlahnya masing masing dua. Vibrasi lentur N-H dari amin primer biasanya
memberikan puncak serapan antara 1580 1650cm
(Noerdin,1999)
-1


Amina sekunder memberikan satu vibrasi molekul N-H pada panjang gelombang
3450-3300 cm
-1
. Sebuah frekuensi serapan yang tinggi biasanya menunjukkan sebuah
aril dan alkil sekunder, ketika sebuah serapan terjadi pada panjang gelombang 3350-3300
cm
-1

menunjukkan sebuah alkil amina sekunder, akan tetapi amina tersier tidak
menunjukkan adanya vibrasi molekul N-H.
Vibrasi C-N dari amina akan terjadi dengan vibrasi molekul sama dengan yang
dimiliki oleh ikatan C-C dan C-0 ( biasanya mendekati panjang gelombang 1350-1200
cm
-1
) dan data ini tidak cocok dalam penentuan strukturnya. N-metil amina hadir dengan
vibrasi molekul mendekati 2750 50 cm
-1

.(Ternau,J .R.1979).
Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen dwikutub secara berirama
saja yang teramati di dalam inframerah. Medan listrik yang berganti-ganti, yang
dihasilkan oleh perubahan penyebaran muatan yang menyertai getaran menjodohkan
getaran molekul dengan medan listrik pancaran elektromagnet yang berayun ( Silverstain,
1986 ).

2.4.2. Spektrometri Resonansi Magnetik Inti Proton (
1

H-NMR )
Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) merupakan
alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini memberikan
informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul. Struktur NMR
memberikan informasi mengenai lingkungan kimia atom hidrogen, jumlah atom
hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap
atom hidrogen ( Cresswell, 1982 ).

Spektrum NMR dari amina sangat beragam, sama seperti NMR yang ditunjukkan
pada alkohol. Serapan N-H dari sebuah amina alifatik berada pada 0,5 sampai 3 ppm,
sedangkan serapan amina aromatik berada pada 3,0 sampai 5,0 ppm. Sebagai hasil dari
adanya ikatan hidrogen pada amina sekunder ataupun amina primer maka pergeseran
kimia dari proton N-H bervariasi, dimana pergeseran kimia ini tergantung pada pelarut,
konsentrasi dan temperaturnya. Hal ini hampir serupa dengan alkohol. Sama juga dengan
alkohol, amina juga mungkin dapat dibedakan proton dari N-H dengan menggunakan
deuterium yaitu D
2

O. Serapan proton dari N-H juga dapat dengan mudah diketahui
dengan mencocokkan dengan pertukaran isotopnya dengan kontaminan yang mendekati
peak dari HOD dengan pertukarannya menggunakan air ( Alan, 1981 ).
Beberapa keuntungan dari pemakaian standar internal TMS yaitu :
1. TMS mempunyai 12 proton yang setara sehingga akan memberikan spektrum
puncak tunggal yang kuat.
CH
H
3
3
C Si CH
CH
3

2. TMS merupakan cairan yang mudah menguap, dapat ditambahkan ke dalam
larutan sampel dalam pelarut CDCl
3

3
atau CCl
4
Boleh dikatakan semua senyawa organik memberikan resonansi bawah medan terhadap
TMS. Hal ini disebabkan Si lebih bersifat elektro positif dibandingkan atom C.
.
TMS sendiri dari segi kimia bersifat lembam, tidak bercampur dengan H
2

O ataupun air
berat ( Muldja, 1995 ).
Efek Perisai ( Shielding Effect )
Proton yang akan ditentukan dengan spektrometer RMI berada didalam lingkungan atom
atom yang lain. Momen magnet setiap inti didalam atom berbeda beda besarnya.
Sebagai contoh
H
>
F
>
P
. Agar terjadi resonansi pada ketiga atom tersebut maka
atom P memerlukan H
0
yang lebih besar. Demikian pengaruh elektron yang mengelilingi
inti akan menghasilkan medan magnet sekunder yang mentang H
0
. seolah olah elektron
yang mengelilingi inti bertindak seperti perisai yang melindungi medan magnet inti
terhadap pengaruh H
0
, sebagai contoh CH
4
yang keempat protonnya lebih terlindungi
oleh awan elektron, sedangkan H


tidak mempunyai awan elektron.
Karena setiap proton dalam molekul zat organik beranekaragam, maka setiap
proton didalam molekul zat organik membrikan tetapan perisai ( ) yang berbeda. Ada
dua hal yng sangat berpengaruh terhadap tetapan perisai yang menunjukkan kerapatan
elektron terhadap proton yaitu adanya efek polar dan efek induksi. (Mulja,1995)

Pergeseran Kimia
Spektroskopi NMR dalam kimia tidak didasarkan pada kemmpuannya untuk membeda
bedakan unsur dalam suatu senyawa, tetapi didasarkan pada kemampuannya untuk
mengetahui inti tertentu dengan memperhatikan lingkungannya dalam molekul.
Frekuensi resonansi individu intidipengaruhi oleh distribusi elektron pada ikatan kimia
dalam molekul, dengan demikian harga frekwensi resonansi suatu inti tertentu tergantung
pada struktur molekul.

Untuk memberikan gambaran NMR sebagai gambaran inti adalah proton,sebagai
benzil asetat akan menghasilkan tiga sinyal NMR yang berbeda yaitu masing masing
untuk satu proton fenil, metilen, dan gugus metil. Hal ini dihasilkan oleh pengaruh
lingkungan kimia yang berbeda pada suatu proton tersebut dalam molekul, keadaan ini
dikenal dengan pergeseran kimiafrekwensi resonansi atau lebih sederhana sebagai
pergeseran kimia.

Tetrametil silan (TMS) merupakan senyawa yang memenuhi persyaratan yang
dimaksud. Sinyal TMS sangat jelas dan pergeseran kimianya berbeda terhadap
kebanyakan resonansi proton lain. Sehingga sinyal resonansi cuplikan jarang teramati
saling tindih dengan TMS. Senyawa TMS memiliki sifat inert, mudah menguap,
merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik sehingga mudah dipisahkan setelah
cuplikan selesai dibuat spektrum. J adi skala resonansi magnetik proton didasarkan
pada standar ini (TMS). (Sastrohamidjojo,1996)

Resonansi magnetik inti memiliki kegunaan yang besar karena tidak setiap proton
dalam molekul beresonansi pada frekwensi yang identik sama. Ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa berbagai proton dalam molekkul dikelilingi elektron dan menunjukkan
sedikit perbedaan lingkungan elektronik dari suatu proton dengan proton lainnya. Proton
proton ini dilindungi oleh elektron elektron yang mengelilinginya.

Didalam medan magnet, perputaran elektron elektron valensi dari proton
menghsailkan medan magnet yang melawan medan magnet yang digunakan, hingga tiap
proton dalam molekul dilindungi dari medan magnet yang digunakan yang mengenainya
dan besarnya perlindungan ini tergantung pada kerapatan elektron yang mengelilingi inti,
maka makinbesar pula medan magnet yang digunakan. Akibat secara keseluruhan adalah
inti/proton merasakan adanya pengurangan medan yang mengenainya. Karena inti
merasakan medan magnet yang lebih kecil, maka ia akan mengalami presesi pada
frekwensi yang lebih rendah. Setiap proton dalam molekul mempunyai llingkkungan
kimia yang sedikit berbeda dan mempunyai perloindungan elektron yang sedikit berbeda
yang akak mengakibatkan dalam frekwensi resonansi sedikit berbeda. (Fessenden, 1997)

Anda mungkin juga menyukai