I. JUDUL
1.1. Sejarah Singkat
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis ini
dikenal sebagai penghasil minyak sayur ini berasal dari Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat dimana pertama kali
kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara dan
Pasifik selatan. Benih kelapa sawit pertama yang ditanam di Indonesia pada tahun 1984 berasal dari Mauritius Afrika.
Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt seorang Jerman pada
tahun 1911.
Pulau Sumatra terutama Sumatera Utara, Lampung dan Aceh merupakan pusat penanaman kelapa sawit yang pertama
kali terbentuk di Indonesia, namun demikian sentra penanaman ini berkembang ke Jawa Barat (Garut selatan, Banten
Selatan), Kalimantan Barat dan Timur, Riau, Jambi, Irian Jaya. Pada tahun 1995 luas perkebunan kelapa sawit adalah
2.025 juta, dan diperkirakan pada tahun 2005 luas perkebunan menjadi 2.7 juta hektar dengan produksi minyak
sebesar 9.9 ton/tahun.
Spesies lain dari genus Elaeis adalah E. melanococca yang dikenal sebagai kelapa sawit Amerika Latin. Beberapa
varietas unggul yang ditanam adalah: Dura, Pisifera dan Tenera.
Produk utama pohon kelapa sawit yang dimanfaatkan adalah tandan buahnya yang menghasilkan minyak dari daging
buah dan kernel (inti sawit). Minyak kelapa sawit adalah bahan untuk pembuatan:
a) mentega, minyak goreng dan kue/biskuit.
b) bahan industri tekstil, farmasi, kosmetika, gliserin.
c) sabun, deterjen, pomade.
Ampas tandan kelapa sawit merupakan sumber pupuk kaliun dan berpotensi untuk diproses menjadi pupuk organik
melalui fermentasi (pengomposan) aerob dengan penambahan mikroba alami yang akan memperkaya pupuk yang
dihasilkan. Ampas inti sawit (bungkil) digunakan untuk makanan ternak, sedangkan batang dan pelepah daun
merupakan bahan pembuat particle board.
a. Secara alami, kelapa sawit tumbuh di tanah berawa (swamps) di sepanjang bantaran sungai dan di tempat
sangat basah. Di dalam hutan hujan tropis, tanaman ini tidak dapat tumbuh karena terlalu lembab dan tidak
mendapat sinar matahari karena ternaungi kanopi tumbuhan yang lebih tinggi.
b. Sinar matahari harus langsung mengenai daun kelapa sawit. Lama penyinaran matahari rata-rata 5-7 jam
per hari
c. Angin tidak mempengaruhi pertumbuhan karena bentuk daun yang sedemikian rupa sehingga tidak mudah
dirusak angin.
d. Benih kelapa sawit mengalami dormansi (keadaan sementara tanaman) yang cukup panjang. Diperlukan
aerasi yang baik dan temperatur yang tinggi (40 derajat C selama 80 hari) untuk memutuskan masa
dorminasi agar bibit dapat berkecambah.
e. Pada proses perkecambahan diperlukan kelembaban 60-80% dengan temperatur 35 derajat C.
f. Curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm, optimal 2.000-3.000 mm/tahun.
a. Tanah yang baik untuk budidaya kelapa sawit harus mengandung banyak lempung, beraerasi baik dan
subur. Tanah harus berdrainase baik, permukaan air tanah cukup dalam, solum cukup dalam, tidak berbatu.
b. Tanah Latosol, Ultisol dan Aluvial yang meliputi tanah gambut, dataran pantai dan muara sungai dapat
dijadikan perkebunan kelapa sawit.
c. Tanah memiliki derajat keasaman (pH) antara 4-6.
Rp. = 1,790
g. Parameter kelayakan usaha
B/C Ratio
Harga minyak kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh harga minyak dan lemak nabati lainnya. Perbaikan kualitas minyak
kelapa sawit akan sangat menolong perbaikan harga.
Ekspor kelapa sawit Indonesia masih kalah dari Malaysia yang luas negaranya jauh lebih kecil tetapi berhasil
melakukan intensifikasi perkebunan sawit dengan baik. Agribisnis kelapa sawit yang berorientasi pasar lokal maupun
lokal akan bermasa depan cerah selama target pasar telah dimiliki dan kualitas serta kesinambungan produksi tetap
terjamin.
V. STANDAR PRODUKSI
5.1. Ruang Lingkup
Standar produksi ini meliputi: kalsifikasi dan standar mutu, cara pengujian, pengambilan contoh dan cara pengemasan.
5.2. Diskripsi
Standar mutu inti kelapa sawit di Indonesia tercantum di dalam Standar Produksi SP 10-1975.
Inti kelapa sawit digolongkan dalam satu jenis mutu dengan nama "Sumatra Palm Kernel". Adapun syarat mutu inti
kelapa sawait adalah sebagai berikut:
a) Kadar minyak minimum (%): 48; cara pengujian SP-SMP-13-1975
b) Kadar air maksimum (%):8,5 ; cara pengujian SP-SMP-7-1975
c) Kontaminasi maksimum (%):4,0; cara pengujian SP-SMP-31-19975
d) Kadar inti pecah maksimum (%):15; cara pengujian SP-SMP-31-1975
Produksi minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan
dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa,
aroma dan kejernihan serta kemurnian produk.
Kelapa sawit dengan mutu prima (SQ, Special Quality) seperti yang dihasilkan Malaysia mengandung asam lemak
(FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2% pada saat pengapalan. Kualitas standard minyak kelapa sawit mengandung
tidak lebih dari 5% FFA.
Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendeman minyak 22,1-22,2% (tertinggi) dan kadar
asam lemak bebas 1.7-2.1% (terendah).
Contoh diambil secara acak sebanyak akar pangkat dua dari jumlah karung dengan maksimum 30 karung tiap partai
barang, kemudian tiap karung diambil contoh maksimum 1 kg. Contoh-contoh tersebut diaduk/dicampur dan dari
campuran tersebut diambil 1 kg untuk dianalisa.
Petugas pengambil contoh harus memenuhi syarat, yaitu orang yang telah berpengalaman atau dilatih labih dahulu
dan mempunyai ikatan dengan suatu badan hukum.
5.5. Pengemasan
a. Cara pengemasan: inti kelapa sawit dikemas dalam karung goni kuat, bersih, kering dan kuat dengan berat
bersih tiap karung adalah 50 kg sampai 80 kg dan dijahit menyilang pada ujung karungnya atau dikapalkan
secara "bulk".
b. Pemberian merek: nama barang, jenis mutu, identitas penjual, produce of Indonesia, berat bersih, nomor
karung, identitas pembeli, pelabuhan/negara tujuan.
VI. REFERENSI
6.1. Daftar Pustaka
a) Corley, R.H.V., J.J. Hardon & B.J. Wood. 1976. Oil Palm Research. Elsevier Scientific Publ. Co. Amsterdam.
b) Endang Syamsuddin & Ch. Hutauruk. 1982. Pemberantasan Gulma di Pembibitan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian
Marihat. Pematang Siantar.
c) Endang Syamsuddin, Herman Halim & Ch Hutauruk. 1984. Pedoman teknis Pengawasan Mutu Panen. Pusat
Penelitian Marihat. Pematang Siantar.
d) Setyamidjaja, D. 1991. Budidaya Kelapa Sawit. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
e) Suheimi Syukur & A.U. Lubis. 1982. Seleksi Bibit Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Marihat. Pematang Siantar.
6.2. Personil
Indonesia akan menggandeng Malaysia untuk meminta penjelasan India atas dinaikkannya bea masuk (BM)
minyak sawit mentah (CPO/ Crude Palm Oil) dan minyak goreng ke negara itu. Menteri Perdagangan Mari Elka
Pangestu menyatakan kenaikan BM kedua komoditas ekspor utama Indonesia dan Malaysia itu merupakan isu
sensitif karena terjadi di tengah rencana pembentukan FTA (Free Trade Agreement) Asean-India.
Saya bersama Menteri Perdagangan Malaysia akan segera meminta penjelasan kepada Menteri Perdagangan
India soal kenaikan BM ini. Sampai kapan kenaikan ini akan diberlakukan, kenapa, dan sebagainya, ujarnya,
kemarin. Seperti diketahui, Kementrian Keuangan India pada Selasa 15 Februari menaikkan BM CPO dari 65%
menjadi 80%, dan BM minyak goreng menjadi 90% serta memangkas benchmark harga impor 12% dari
US$454 menjadi US$400 per ton.
Konsumen terbesar CPO dan minyak goreng dunia itu mengklaim kenaikan BM sebesar 15% dan pengurangan
harga dasar tersebut ditujukan untuk melindungi petani lokal terhadap kejatuhan harga dunia. Dengan
kebijakan itu, BM CPO ke India yang tadinya US$295,1 menjadi US$320 per ton, sementara BM minyak
goreng yang tadinya US$372,75 menjadi US$382,5 per ton. Atas kenaikan itu, kontrak berjangka CPO di
pasar internasional langsung melemah.
Di Kuala Lumpur harga CPO per 15 Februari jatuh ke US$340-posisi terendah dalam sepekan. Di Rotterdam,
pada 14 Februari harga CPO masih US$405 per ton, keesokan harinya langsung anjlok menjadi US$392,5 per
ton. Mari mengaku sedikit terkejut dengan kebijakan tersebut karena sebelumnya India menurunkan
persyaratan kandungan warna (beta carotene) CPO yang masuk ke negaranya dari 500 ppm-2.500 ppm
menjadi 250 ppm.
Kebijakan yang diteken Menteri Perdagangan India Kamal Nath melalui pemberitahuan No.7/2005 per 4
Februari itu sebelumnya telah meningkatkan permintaan CPO ke India hingga mendongkrak harga CPO di
pasar internasional menjadi US$410-US$420 per ton. Selain itu, penurunan kandungan warna tersebut telah
memudahkan eksportir CPO dari Indonesia karena kebanyakan CPO yang dihasilkan Indonesia mengandung
beta carotene 450 ppm ke bawah.
Ketua Umum Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Derom Bangun mengatakan syarat yang
berlaku mulai tahun 2004 itu sendiri sudah mengurangi volume ekspor CPO dari Indonesia, dari yang tadinya
1,4 juta ton pada 2003, menjadi 1,096 juta ton pada 2004. Penurunan di tahun 2004 lalu itu juga dialami
produk turunan CPO dari Indonesia, dari 871.000 ton pada 2003 menjadi 619.000 ton pada 2004. Sekarang
syarat beta carotene diturunkan lagi, ya ini akan mendongkrak volume ekspor CPO kita, ujarnya.
Unfair treatment
Sementara itu, Benny Tjoeng, Wakil Presdir PT Astra Agro Lestari Tbk mengungkapkan seharusnya sesama
negara berkembang, pemerintah India tidak menerapkan prinsip unfair treatment terhadap komoditas CPO.
Hal ini karena pemerintah negara tersebut memberlakukan BM 0% komoditas minyak kedele yang berasal dari
negara maju (AS). Kami akan memperjuangkan dalam wadah Gapki dan Komisi Minyak Sawit menyatakan
keberatan dan protes kepada pemerintah India. Kami kira dengan upaya bersama akan dapat efektif daripada
melakukannya sendiri-sendiri, ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Sedangkan bagi Astra sendiri, ujarnya, juga memberikan dampak yang lumayan karena selama ini pasar India
menyerap sekitar 20% dari total ekspor CPO Astra, atau sekitar 75.000 ton-80.000 ton per tahun.
Reaksi wajar
Menurut Mari, meski berdampak bagi kinerja ekspor Indonesia, pihaknya akan tetap menyikapi kebijakan
tersebut secara wajar. Dia tidak melihat ada kemungkinan menarik persoalan tersebut ke WTO. Pasalnya,
kenaikan tarif sebesar 15% itu masih masih dimungkinkan, dan tak menyalahi ketentuan seperti telah diikat di
Organisasi Perdagangan Internasional tersebut, di mana India dan Indonesia sama-sama menjadi anggotanya.
Mari menegaskan pihaknya juga tidak berpikir untuk `membalas` kebijakan tersebut, misalnya dengan
menaikkan tarif BM produk-produk ekspor utama India ke Indonesia. Kalau itu [membalas] kontraproduktif.
Ya ini sewajarnya saja, ujarnya. Namun, dia menambahkan, tetap saja hal itu tidak mengurangi upaya
pemerintah untuk meminta penjelasan India, termasuk dengan mengajak serta Malaysia, agar kinerja ekspor
CPO Indonesia tidak terganggu.
Selain itu, kata Benny, kebijakan tersebut secara otomatis mengoreksi harga CPO di pasar internasional yang
kini sekitar US$390 per ton. Dia mengkhawatirkan akan terjadi penurunan lebih lanjut. Market price dunia
yang terjadi sekarang [hari ini] merupakan cerminan dari kenaikan BM 80% itu. Hal ini karena permintaan
turun di pasar India yang selama ini merupakan salah satu negara importir penting CPO, sehingga
memberikan peluang penekanan harga CPO, katanya.
(Jakarta, Bisnis-18 Pebruari 2005)(DW)
Posted by: bpen on Friday, February 18th, 2005 10:54:25
| |
« Back | BPS Optimis Pertumbuhan Ekonomi 2005 Bisa Mencapai Sebesar 5,5%