Serasah adalah bahan-bahan yang telah mati, terletak
diatas permukaan tanah dan mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Komponen-komponen yang termasuk serasah adalah daun, ranting, cabang kecil, kulit batang, bunga dan buah (Mindawati dan Pratiwi, 2008). 2. Dekomposisi atau pembusukkan adalah proses ketika makhluk-makhluk pembusuk seperti jamur dan mikroorganisme pengurai tumbuhan dan hewan yang mati dan mendaur ulang material-material serta nutrisi- nutrisi yang berguna. Kawasan hutan dengan serasah yang menutupi tanah diareal itu berfungsi sebagai spons yang akan menahan air hujan dan melepaskannya secara perlahan. Air hujan yang tertahan diserasah ini lalu meresap kedalam tanah 3. Dekomposisi merupakan proses penting dalam fungsi ekologi. Organisme-organisme yang telah mati mengalami penghancuran menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil, dan akhirnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi (Arisandi, 2002). 4. Menurut Wikipedia serasah yaitu tumpukan dedaunan kering, rerantingan dan berbagai sisa vegetasi lainnya diatas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah) dan akhirnya menjadi tanah. 5. Dekomposisi merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap bahan organik (bahan-bahan hayati yang telah mati). Tanaman yang gugur akan mengalami dekomposisi dengan ciri-ciri daunnya hancur seperti tanah dengan warna coklat kehitaman. Proses dekomposisi secara umum terjadi pada tiga tahapan: tahap dekomposisi aerobik yang mendominasi seluruh proses, prosesnya sangat pendek hal ini disebabkan karena jumlah oksigen yang terbatas, BOD tinggi hasil sampah darat. Tahap kedua dari proses anerobik terjadi ketika jumlah populasi bakteri methanoigenesis tinggi proses. 6. Stevenson (1982) dalam Rahmawaty (2000), menyatakan bahwa proses dekomposisi mempunyai tiga tahapan, yaitu: fase perombakan bahan organik segar. Proses ini merubah ukuran bahan menjadi lebih kecil. fase perombakan lanjutan, pada proses ini melibatkan kegiatan enzim mikroorganisme tanah. Fase perombakan terdiri menjadi beberapa tahapan yaitu: tahapan awal, mempunyai ciri-cicri kehilangan secara cepat bahan-bahan yang mudah terdekomposisi sebagai akibat pemanfaatan bahan organik sebagai sumber karbon dan energi oleh mikroorganisme tanah, terutama bakteri. Proses ini menghasilkan sejumlah senyawa sampingan seperti NH3, H2S, CO2, asam organik dan lain-lain. 7. Tahapan tengah: terbentuk senyawa organik tengahan atau antara (intermediate products dan biomassa baru sel organisme). Tahapan akhir: dicirikan oleh terjadinya dekomposisi secara berangsur bagian jaringan tanaman atau hewan yang lebih resisten (misal:lignin). Peran fungi dan Actomycetes pada tahapan ini sangat dominan. fase perombakan dan sintesis ulang senyawa senyawa organik (humifikasi) yang akan membentuk humus 8. Dekomposisi serasah adalah proses perombakan serasah sebagai sumber bahan organik oleh jasad renik (mikroba) menjadi energi dan senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain. Mindawati, N. dan Pratiwi. 2008. 9. Dekomposisi serasah adalah salah satu dari tingkatan proses terpenting daur biogeokimia dalam ekosistem hutan (Hardiwinoto dkk., 1994). 10. Proses dekomposisi serasah antara lain dipengaruhi oleh kualitas (sifat fisika dan kimia) serasah tersebut dan beberapa faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang terdiri dari organisme dalam tanah, curah hujan, suhu dan kelembaban tempat dekomposisi berlangsung. Faktor penting yang berpengaruh terhadap proses dekomposisi suatu bahan atau serasah adalah kualitas (sifat fisika dan kimia). Tingkat kekerasan daun dan beberapa sifat kimia seperti kandungan awal (initial content) lignin, selulosa, dan karbohidrat berpengaruh terhadap tingkat dekomposisi serasah daun (Hardiwinoto dkk., 1994). 11. Suhu dan kelembaban udara mempengaruhi jatuhkan serasah tumbuhan. Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembaban udara sehingga transpirasi akan meningkat, dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan (Salisbury, 1992 dalam Zamroni dan Immy, 2008). Menurut Soeroyo (2003) dalam Zamroni dan Immy 2008, faktor lain yang mempengaruhi guguran serasah adalah curah hujan. 12. Barges dan Raw (1976) dalam Rahmawaty (2000), menyatakan bahwa proses perombakan berawal dari perombakan yang besar oleh makrofauna dengan meremah-remah substansi habitat yang telah mati, sehingga menghasilkan butiran-butiran feases. Butiran tersebut akan dimakan oleh mesofauna sperti cacing tanah dan sama dengan hasil akhir butiran-butiran feases. Materi terakhir akan dirombak oleh mikroorganisme khususnya bakteri dan jamur. Mekanisme dekomposisi serasah daun oleh organisme dan mikroorganisme yaitu jamur dan bakteri yang memiliki peranan penting dalam proses dekomposisi. Dekomposer seperti jamur dan bakteri akan memanfaatkan bahan organik dalam bentuk terlarut. Kelembaban rendah peran jamur dalam mendekomposisi lebih dominan daripada bakteri, sehingga serasah yang mengalami dekomposisi akan berubah menjadi humus dan akhirnya menjadi tanah. 13. Kecepatan pelapukan suatu jenis bahan organik ditentukan oleh kualitas bahan tersebut. Penepatan kualitas dilakukan dengan menggunakan seperangkat tolak ukur, yang berbeda untuk tiap jenis unsur hara. Kecepatan melapuk bahan organik ditentukan oleh berbagai faktor antara lain kelembaban, suhu tanah, dan kualitas bahan organik. Bahan organik berkualitas tinggi akan cepat dilapuk dan akibat unsur hara (misalkan N) dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk tersedia. 14. Dekomposisi merupakan proses yang sangat komplek yang melibatkan beberapa faktor (Dezzeo et al., 1998). Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, contoh, pH ((Van Breemen, 1995); iklim ( temperatur, kelembaban) (Guo & Sims, 1999); komposisi kimia dari serasah (Aerts & Caluwe, 1997) dan mikro organisme tanah (Saetre,1998). Secara umum, laju dekomposisi lebih lambat pada pH rendah dibanding pada Ph netral (Murayama & Zahari, 1992). Lebih lanjut, bahan serasah yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi lebih susah terdekomposisi dibanding bahan serasah yang mempunyai nisbah C/N yang rendah (Murayama & Zahari, 1992; Kochy & Wilson, 1997). Serasahvyang berada pada daerah yang mempunyai jumlah mikro organisme yang lebih banyakbcenderung lebih cepat terdekomposisi dibanding pada daerah yang mempunyai jumlah mikro organisme sedikit (Saetre, 1998). Laju dekomposisi serasah lebih cepat pada kondisi aerobik dibanding kondisi anaerobik (Johnson & Damman, 1991). Pada umumnya, serasah dari spesies yang tumbuh pada lingkungan yang miskin unsur hara lebih sulit terdekomposisi dan akan menyebabkan lambatnya proses siklus hara pada lingkungan tersebut dibanding serasah yang berasal dari tanaman yang hidup pada lingkungan yang kaya hara (Van Breemen, 1995; Aerts & Caluwe, 1997).
Tumbuhan Serasah dapat mempengaruhi pola regenerasi semai di hutan hujan tropis melalui suatu jumlah proses yang mempengaruhi kedua lingkungan fisik dan kimia (Facelli& Pickett, 1991 dalam Brearley et al., 2003). Di tingkat perkecambahan benih, serasah dapat menahan cahaya, yang akan menghambat perkecambahan dengan mengubah perbandinganred/far-red (Vazquez-Yanes et al., 1990 dalam Brearley et al., 2003); hal itu dapat bertindak sebagai suatu penghalang fisik untuk kemunculan semai (Molofsky& Augspurger, 1992 dalamBrearley et al., 2003), terutama untuk jenis yang small-seeded yang tidak mempunyai suatu persediaan sumber daya besar (Metcalfe& Turner, 1998 dalam Brearley et al., 2003), dan dapat mencegah calon akar baru berkecambah mencapai tanah. Serasah dapat juga mencegah pendeteksian benih oleh pemangsa benih, dengan demikian meningkatkan kesempatan sukses perkecambahan (Cintra, 1997 dalam Brearley et al., 2003). Hutan hujan tropis tingkat serasah gugur sangat tinggi, dan merupakan jalan siklus hara yang paling penting dalam ekosistem (Vitousek & Sanford, 1986; Proctor,1987 dalam Brearley et al., 2003). Disana dapat dipertimbangkan ruang dan heterogenitas temporer pada gugur serasah (Burghouts et al, 1994 dalam Brearley et al., 2003) mungkin lebih lanjut ditekankan oleh faktor seperti angin badai, pembukaan hutan dan pembagian hutan. Heterogenitas Serasah dapat juga meningkat dengan tingkat pembusukan berbeda daun-daun dari jenis yang berbeda. Heterogenitas serasah pada lantai hutan dapat menciptakan relung regenerasi berbeda (sensu Grubb, 1977 dalam Brearley et al., 2003) dan karenanya membantu menyumbangkan untuk keanekaragaman jenis yang begitu tinggi dalam hutan hujan tropis. Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan tanah berhubungan erat dengan laju dekomposisinya (pelapukannya). Semakin lebat terdekomposisi maka keberadaannya dipermukaan tanah menjadi lebih lama (Hairiah et al., 2000). Laju dekomposisi serasah ditentukan oleh kualitas nisbah C:N, kandungan lignin dan polyphenol. Serasah dikategorikan berkualitas tinggi apabila nisbah C:N <25, kandungan lignin<15% dan polyphenol <3%, sehingga proses pelapukan berlangsung cepat. Arisandi, P. 2002. Dekomposisi Serasah Mangrove. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON. Brearley, F., Q. Malcolm C. P. and Julie D. S. 2003. Nutrients Obtained From Leaf Litter Can Improve The Growth Of Dipterocarp Seedling. Phytologist 160: 101-110 Hairiah, Kurniawan, D. S., Widianto, Berlian, Erwin, S., Aris, M., Rudy. H. W., Cahy, P dan Subekti, R. 2003. Alih Guna Lahan Huta menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi:Ketebalan Serasah, Popilasi Cacing Tanah dab Makroporositas Tanah. World Agroforestry Center: 68-80. Hardiwinoto, S. Haryono, S. Fasis, M. Sambas, S. 1994. Pengaruh Sifat Kimia Terhadap Tingkat Dekomposisi. 2(4):25-36. Rahmawaty. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada Komunitas Rhizoporaspp. Dan Konitas Ceriops tagal di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Tesis Program paska Sarjana. IPB, Bogor.
Zamroni, Y. dan Immy, S. R. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Volume 9, Nomor 4 Oktober 2008 Halaman: 284-287 Mindawati, N. dan Pratiwi. 2008. Kajian penetapan daur optimal hutan tanaman ditinjau dari kesuburan tanah. Jurnal Penelitian HutanTanaman.Vol.V.No.2 ; P. 109-118. Napitupulu, B. 1995. Kondisi Hara Tanah pada Beberapa Jenis Vegetasi Hutan di Aek Nauli Sumatera Utara. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Proctor, J. 1983. . In T ropical Rain Forest. Ecological and Management 2. BlackwellScientific Publication. Oxford. Van Breemen, N. 1995. Nutrient cycling strategies. Plant and Soil, 168-169: 321-326.