Anda di halaman 1dari 73

DIBALIK BHMN-isasi

TINJAUAN
RUU BHP
Badan Hukum Pendidikan
Dalam RUU BHP
Lembaga Pendidikan Akan Dikelola secara
Korporatif
Pengelolaan pendidikan diamanatkan
bersifat nirlaba namun dikelola secara
korporatif atau seperti badan usaha.
Penyelenggaraan pendidikan berbasis
masyarakat, diharapkan berkembang pesat
dengan kinerja bersaing.
Peran pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan secara
perlahan akan digantikan oleh
masyarakat.
Pemerintah akan bertindak sebagai
fasilitator ketimbang sebagai regulator
atau operator hukum.
Rancangan perundangan tersebut
mengatur segala jenjang pendidikan
formal, mulai dari tingkat pendidikan dasar
(SD) hingga pendidikan tinggi (PT), baik
negeri maupun swasta.
OPINI Seputar RUU BHP
 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) Dodi Nandika, Sabtu (19/2 ),
pembicaraan terakhir RUU BHP di internal
Balitbang belum final dan rancangan akan terus
disempurnakan. Diperkirakan, awal Maret akan
keluar revisi terbaru sesuai dengan
perkembangan dan masukan masyarakat.
 Dodi Nandika mengatakan, kontroversi
yang berkembang seputar RUU menjadi
hangat karena mengatur hal sangat
substansial, yakni pokok-pokok
penyelenggaraan dan pengelolaan
lembaga pendidikan. Pemerintah-dalam
hal ini Depdiknas-yang sedang menyusun
RUU BHP menginginkan agar rancangan
tersebut memiliki nilai guna dan
keterlaksanaan.
 "Sampai sejauh ini masukan dari
masyarakat cukup banyak. Pemerintah
juga sangat terbuka dan masih menerima
berbagai pendapat dan tidak keberatan
jika ada pemrakarsa RUU BHP lain.
Tetapi, sejauh ini draf yang ada setahu
saya versi yang disusun Depdiknas,"
katanya.
 RUU BHP, harus selesai sekitar Juli 2005.
RUU BHP mendorong
kemandirian
 Berdasarkan draf RUU BHP tanggal 1 Februari
2005-pasal-pasal dalam rancangan itu mengatur
mulai dari anggaran, pendanaan, kekayaan,
utang, pengelolaan akuntabilitas, dan
pembubaran.
 Adanya ketentuan preventif (pencegahan)
terhadap kemungkinan terjadi kebangkrutan
dengan persyaratan modal tertentu.
 Lembaga pendidikan diharapkan
kemampuannya secara mandiri dan
bertanggung jawab memanfaatkan
sumber daya pendidikan.
 Dijelaskan, nirlaba berarti BHP sebagai
legal entity yang berbadan hukum, lebih
mengutamakan upaya peningkatan mutu
daripada mencari keuntungan.
 Jika ada hasil usaha, maka dana itu
diinvestasikan untuk upaya peningkatan
mutu dan tidak akan dikenai pajak.
 Pengelolaan secara korporatif,
dimaksudkan dalam rangka mendorong
kemandirian lembaga pendidikan.
 Prinsip kemandirian itu, misalnya, sebagai
entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai
subyek hukum mandiri. Dengan demikian,
BHP dapat mengikatkan diri melalui
perjanjian dengan pihak lain yang
berkonsekuensi kepada kekayaan, hak,
utang atau kewajiban.
 BHP harus pula membukukan kekayaan
utang dan hasil operasinya dengan
menerapkan standar akuntansi yang
berlaku.
 Mereka juga harus siap diaudit oleh
lembaga independen atau akuntan publik
atas biaya sendiri.
Pembiayaan
 Untuk sumber pemasukan, BHP dapat menerima
sumbangan dan membuat komitmen utang guna
membiayai investasinya pada sarana dan prasarana
pendidikan atau membiayai operasi satuan pendidikan.
 BHP dapat menerima sumbangan dari pemerintah,
pemerintah daerah, swasta, atau pihak lain.
 Bantuan dari pemerintah sendiri bersifat hibah.
 Sumbangan yang diinvestasikan untuk
penyelenggaraan pendidikan dan bukan dari peserta
didik, orangtua, atau wali murid itu tidak dikenai pajak.
 Dalam Pasal 17 Ayat (2),tercantum, BHP
dapat menambah kekayaan melalui
kegiatan usaha yang sah sesuai anggaran
dasarnya untuk meningkatkan
kemampuan menyelenggarakan
pelayanan pendidikan.
 Dalam Pasal 17 Ayat (5) disebutkan Sisa
hasil usaha BHP diakumulasikan ke dalam
modal BHP dan tidak dikenakan pajak.
 Kekayaan BHP juga tidak boleh dibagikan
secara langsung atau tidak langsung.
 Pasal 17 tersebut berkonsekuensi terhadap
ketentuan sanksi seperti tercantum dalam, Pasal
29 Ayat (1) dan (2).
 Anggota organ BHP atau perorangan lain yang
melanggar ketentuan Pasal 17 dapat dipenjara
paling lama lima tahun dan denda paling besar
Rp 500 miliar.
 Lembaga yang melanggar terancam penjara
paling lama sepuluh tahun dan denda paling
banyak Rp 1 triliun
 Pasal 30 RUU BHP, misalnya,
menetapkan bahwa penyesuaian dengan
ketentuan dalam UU tersebut selambat-
lambatnya 10 tahun ke depan untuk
satuan pendidikan tinggi. Rumusan ini
potensial melahirkan beberapa persoalan,
termasuk ketidakpastian hukum serta
perbedaan sistem penyelenggaraan
pendidikan untuk jangka panjang
ANALISIS PAKAR PENDIDIKAN
 RUU BHP yang dipersiapkan pemerintah
berpotensi mengacaukan tugas utama rektor
dalam mengembangkan Tri Darma Perguruan
Tinggi.
 RUU tersebut membuka ruang melekatnya
Badan Hukum Pendidikan pada satuan
pendidikan yang tak lain adalah institusi
universitas.
 Sekretaris Jenderal Asosiasi BP PTSI Chairuman Armia
menambahkan, konsep pemikiran RUU BHP semata-
mata didasarkan pada asumsi-asumsi hipotetik tanpa
didukung studi empirik mendalam. Yang diperlukan
adalah perbaikan tata laksana di badan penyelenggara
maupun di unit pendidikan.
 Thomas menyebutkan sejumlah contoh konsep RUU
BHP yang tidak berpihak pada tataran realistis. Antara
lain, dibukanya ruang untuk meletakkan BHP pada
satuan pendidikan (universitas).
 Menurut dia, hal itu keliru karena menggiring rektor
memikul tanggung jawab yang tidak proporsional. Rektor
diposisikan sebagai subyek hukum dalam urusan
administrasi dan pengelola aset-aset lembaga
perguruan.
 Parahnya, jika, misalnya, seorang rektor dalam
masa jabatannya menimbulkan utang, maka ia
bisa lepas tangan ketika masa jabatannya
berakhir. Utang tersebut terlimpahkan ke rektor
penggantinya.
 "Urusan utang jadi tanggung jawab rektor,
padahal dalam Tri Darma Perguruan Tinggi saja
tanggung jawab rektor sudah sangat berat,"
paparnya.
Perjalanan
Pendidikan
Tinggi
Menuju
Autonomi
Kampus
 Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP)
diilhami oleh semangat mengembalikan dan
melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai
alat untuk mentransformasikan nilai-nilai
kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan
dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus
dikembalikan kepada masyarakat dan
dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat.
 Dalam hal ini, peran pemerintah dalam
mengkonstruksi pendidikan akan tergantikan
oleh masyarakat dan pemerintah hanya akan
berperan sebagai fasilitator.
 UU No. 20/2003, Pasal 43. ayat (3) menyatakan
bahwa Badan Hukum Pendidikan berprinsip
nirlaba.
 Pendidikan berbasis masyarakat juga
mempersyaratkan adanya jaminan atas
penyelenggaraan pendidikan yang transparan,
partisipatif dan akuntabel oleh penyelenggaraan
pendidikan. Bila tidak, maka peluang terjadinya
penyimpangan oleh para pelaku pendidikan
akan terjadi.
 Pendidikan berbasis masyarakat bukan berarti
tanggungjawab negara untuk menjamin hak warga
negara atas pendidikan menjadi tereliminasi.
 Negara tetap bertanggungjawab menyediakan anggaran,
sarana dan prasarana agar seluruh warga negara dapat
menikmati kesempatan atas pendidikan secara merata
dan tanpa diskriminasi sesuai dengan konsideran huruf
(c) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
 Konsep Rancangan Undang-undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP) untuk pertama
kali dipersiapkan bersamaan dengan RUU
Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara
(PT BHMN).

 Dalam konsep RUU tersebut diatur tentang


badan hukum pendidikan dasar, menengah dan
tinggi - baik swasta maupun negeri, namun
khusus mengenai Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) diatur lebih lanjut dalam RUU PT BHMN.
 Terdapat 2 (dua) opsi untuk PTN yang diatur
dalam pasal peralihan RUU BHP;
 pertama, dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU)
yang kekayaannya tidak dipisahkan dari negara,
 kedua, dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) yang kekayaannya dipisahkan dari negara.

 Dalam perkembangannya, konsep RUU tersebut


telah banyak mengalami perubahan, ke arah
yang lebih rigid dan lengkap mengatur tentang
konsep pengelolaan institusi pendidikan
berbentuk badan hukum. Meskipun banyak juga
hal yang harus tetap dikritisi.
 Dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk
pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat,
pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk
badan hukum yang sama yaitu badan hukum
pendidikan.
 Perubahan yang terjadi antara konsep RUU lama dan
yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1 ayat 7 (versi
lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah
satuan pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan
(BHP)” dan “Semua satuan pendidikan tinggi harus
berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT)
(Pasal 2 ayat (1)”. Selain itu, disebutkan juga bahwa
“Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat
berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah
(BHPDM)”.
 Dalam versi perubahan, ketentuan tersebut lebih luwes,
misalnya; “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
tinggi didirikan oleh pemerintah atau masyarakat
berbentuk BHPT”, “Penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh
masyarakat dapat berbentuk Badan Hukum Dasar
Menengah (BHDM)”.
 “Dalam hal BHPT didirikan oleh yayasan atau badan
hukum yang sejenisnya bagi PT yang telah ada maka (a)
yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan
sebagai pendiri, sedangkan PT yang telah ada berubah
menjadi BHPT, atau (b) yayasan atau badan hukum
sejenis berubah menjadi BHPT, sedangkan PT yang
telah ada merupakan organ BHPT”.
 Yang menjadi persoalan, apakah RUU Badan Hukum
Pendidikan (BHP) merupakan jawaban yang tepat bagi
pengembangan pendidikan tinggi kedepan?
 Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan
masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi
serta bagaimana mengkonstruksi hubungan antara
penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan,
badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan
pendidikan?
 Apakah RUU BHP memberikan jaminan bagi
terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi
manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global?
Program Jangka Panjang
Pendidikan Tinggi
1975 - 2010
HELTS: Higher Education Longterm
Strategy (Strategi Jangka Panjang
Pendidikan Tinggi)

HELTS HELTS HELTS


I II III
’75-’85 ’86-’95 ’96-’05

HELTS
Multi- IV
Dimensional ’03-’10
Crisis
In ’97 until
…?
Basic Policies
•Emphasize on •New
Relevance by Paradigm in
Introducing: Higher
• A Dual-System
• Consolidate Education •The Nation’s
(Academic &
Professional) Previous Managemen Competitivene
t ss
• 3-Level Achievemen •Improveme
Programs t •Autonomy
(Diploma, nt of
Bachelor– •Improvemen Relevance
Master–Doctor) t of Quality •Organizational
& Quality Health
•Attention to
Organizationa •Geographic
l & al & Social
Management Equity
Aspects

HELTS I HELTS II HELTS III HELTS IV


’75-’85 ’86-’95 ’96-’05 ’03-’10

Source: HELTS IV, 2003-2010


HELTS I 1975-1985
• Penekanan Program untuk Program
Jangka Panjang (PJP) tahap I
memperkenalkan :
– Sistem akademik & Profesi (A Dual-
System Academic & Professional)
– Membentuk 3 level program pendidikan :
• Diploma, Bachelor
• Master
• Doctor)
• Memberikan perhatian terhadap ke-
Organisasian & Manajemen
HELTS II 1986-1995
• Memperkuat hasil yg diperoleh
pada PJP tahap I (Consolidate
Previous Achievement)
• Melakukan peningkatan kualitas
dari PJP tahap I (Improvement of
Quality)
HELTS III 1996-2005
• Membuat paradigma baru dalam
Manajemen Pendidikan Tinggi
(New Paradigm in Higher
Education Management)
• Peningkatan kualitas terhadap
hal-hal yang terkait dalam PJP III
(Improvement of Relevance &
Quality)
• Geographical & Social Equity
HELTS IV 2003-2010
• Menciptakan persaingan antar PT
di dalam negeri (The Nation’s
Competitiveness)
• Autonomy
• Penyehatan ke-Organisasian
(Organizational Health)
Tahapan
Tahapan Untuk
Untuk Sosialisasi
Sosialisasi Pembentukan
Pembentukan
Paradigma
Paradigma Baru
Baru Manajemen
Manajemen PT
PT
DUE QUE DUE-like TPSDP
Objective Improving Improving Improving Undergraduat
Undergraduate Undergraduat Undergraduat e
Education e Education e Education Technological
Management Quality Management & Professional
Capacity Capacity Skill
Development

Beneficiary Developing State-Owned State-Owned State-Owned


Population State-Owned & Private HEI HEI & Private HEI;
HEI except: UI,
UGM, IPB, ITB,
and Education
& Art HEI
The Projects

DUE QUE DUE-like TPSDP


Target Unit Study Study Study Study
Program & Program Program & Program, ISS
ISS ISS & New Study
Program

Type of Tiered Free Tiered Tiered


Competition Competition Competition Competition Competition

Source of World Bank World Bank Government ADB Loan


Fund Loan Loan
Project DUE
Implementasi Tahun 1999
Didanai oleh Bank Dunia
Latar Belakang
• Mulai tahun 1999, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi mengimplementasikan Proyek "DUE-
like" (Development for Undergraduate
Education) yang dibiayai oleh Bank Dunia, mulai
dari proses seleksi perguruan tinggi yang akan
ikut dalam Proyek DUE-like sampai dengan
proses monitoring dan evaluasinya.
• Proyek ini merupakan implementasi konsep baru
Manajemen Pendidikan Tinggi yang disebut “
Paradigma Baru Pendidikan Tinggi” (Higher
Education New Paradigm).
• Awalnya fokus dari proyek ini adalah untuk
pengembangan pendidikan S-1 (undergraduate)
pada Perguruan Tinggi Negeri, yang diseleksi
berdasarkan komitmen yang ditunjukan oleh
perguruan tinggi tersebut dan perkembangan yang
telah dicapainya sampai saat ini (track record).
• Mulai tahun 2002, Proyek DUE-like diminta oleh
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi untuk juga
membantu Program D-2 Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (D-2 PGSD) yang dikaitkan dengan
program pengembangan Program Studi Pendidikan
Tenaga Kependidikan (PTK) yang ada di Perguruan
Tinggi Negeri.
TUJUAN PROYEK DUE-like
• Tujuan utama adalah membantu Perguruan Tinggi
untuk dapat (1) meningkatan kualitas pendidikan S-1
agar dapat menghasilkan lulusan S-1 berkualitas sesuai
dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan (2)
meningkatkan kapasitas perguruan tinggi tersebut
untuk dapat melakukan upaya perbaikan yang
berkesinambungan.
• Bantuan yang diberikan harus digunakan untuk
meningkatkan kinerja perguruan tinggi, terutama dalam
pelaksanaan program pendidikan S-1 dan perbaikan serta
peningkatan fasilitas utama yang dikelola terpusat oleh
perguruan tinggi yang dapat mendukung program
pendidikan S-1 tersebut.
• Tujuan spesifik, yaitu peningkatan
Relevansi (Relevance), Suasana Akademik
(Academic Atmosphere), Pengelolaan
Internal dan Pengorganisasian (Internal
Management and Organization) termasuk
komitmen intitusi, Keberlangsungan
Institusi (Sustainability), dan juga Efisiensi
dan Produktivitas (Efficiency and
productivity), yang disingkat RAISE.

• Peran dari program studi dalam


mengembangkan keahliannya dan
menghasilkan lulusan yang lebih baik,
merupakan salah satu kriteria utama dalam
melakukan seleksi perguruan tinggi yang akan
mendapat bantuan.
Daftar PTN

Mendapatkan dana hibah


Project DUE
Batch 01    (1999-2005)
1. Universitas Negeri Padang
2. Universitas Andalas
3. Universitas Jambi
4. Universitas Sriwijaya
5. Institut Teknologi Bandung
6. Universitas Pendidikan Indonesia
7. Universitas Jenderal Soedirman
8. Universitas Negeri Yogyakarta
9. Universitas Negeri Sebelas Maret
10.STSI Surakarta
11.Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya
12.Universitas Brawijaya
13.Universitas Negeri Malang
14.Universitas Mataram
Batch 02    (2001-2006)
1. Universitas Syiah Kuala
2. STSI Padang Panjang
3. Universitas Indonesia
4. Universitas Negeri Jakarta
5. Universitas Padjajaran
6. IKIP Singaraja
7. Universitas Lambung Mangkurat
8. Universitas Halu Oleo
9. Universitas Negeri Manado
Batch 03    (2002-2007)
1. Insitut Pertanian Bogor
2. Universitas Diponegoro
3. Universitas Negeri Semarang
4. Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya
5. Universitas Airlangga
6. Universitas Negeri Malang
7. Universitas Udayana
8. Universitas Tanjung Pura
9. Universitas Palangka Raya
10.Universitas Tadulako
11.Universitas Papua
12.Universitas Cenderawasih
Batch 04    (2003-2008)
1. Universitas Gadjah Mada
2. Institut Seni Indonesia Yogyakarta
3. STSI Denpasar
4. Universitas Hasanuddin
5. Universitas Negeri Manado

Untuk D2-PGSD :
1. Universitas Bengkulu
2. Universitas Sriwijaya
3. Universitas Negeri Yogyakarta
4. Universitas Negeri Manado
Project QUE
Latar Belakang
• Kebutuhan akan lulusan perguruan tinggi yang
berkualitas tinggi
• Kompetisi yang semakin ketat untuk
mendapatkan pekerjaan di waktu mendatang
• Era kompetisi global dan pasar terbuka, lulusan
S1 Indonesia harus berkompetisi dengan lulusan
mancanegara
• Lulusan S1 Indonesia pada umumnya masih
dibawah peringkat internasional, sehingga sulit
untuk berkompetisi karena kurang kompetensi
dalam bidangnya. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya kualitas proses pendidikan yang
dialami mahasiswa S1.
• Banyak program studi di beberapa perguruan tinggi
yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut
sehingga berkualitas internasional.
• Sumberdaya yang tersedia dan pengalaman yang
dipunyai oleh program studi tidak cukup untuk
menanggapi tantangan masa datang.
• Dukungan tambahan melalui program kompetisi yang
menerapkan konsep “Paradigma Baru” bertujuan untuk
menciptakan daya dorong dan insentif bagi program
studi yang mengejar tujuan tersebut. Paradigma Baru
sebagai sebuah mekanisme yang digunakan Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi untuk perencanaan dalam
mencapai perbaikan kualitas.
• Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi melakukan
implementasi konsep “Paradigma Baru” melalui
beberapa proyek yang didanai dengan sistem "Block
Grant," salah satu diantaranya adalah proyek "Quality
for Undergraduate Education (QUE)."
Paradigma Baru
1. Hasil dan kinerja perguruan tinggi harus selalu
mengacu pada kualitas yang berkelanjutan.
2. Kualitas yang berkelanjutan, yang dilandasi
kreativitas, ingenuitas dan produktivitas pribadi
sivitas akademika, dapat dirangsang oleh pola
manajemen yang berasaskan otonomi.
3. Otonomi perguruan tinggi harus senapas dengan
akuntabilitas/ pertanggungjawaban.
4. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
handal dan sahih mengenai penyelenggaraan,
kinerja dan hasil perguruan tinggi, diaktualisasikan
melalui proses akreditasi oleh Badan Akreditasi
Nasional.
5. Tindakan manajerial utama yang melandasi
pengambilan keputusan dan perencanaan di
perguruan tinggi adalah proses evaluasi.
Penerima Batch I
1. Jurusan Biologi, FMIPA - Institut Pertanian Bogor
2. Jurusan Kimia, FMIPA - Institut Teknologi Bandung
3. Jurusan Fisika, FMIPA - Institut Teknologi Bandung
4. Jurusan Teknik Elektro, FTI - Institut Teknologi Bandung
5. Jurusan Akuntansi, FE - Universitas Gadjah Mada
6. Jurusan Produksi Ternak, FAPET - Universitas Gadjah Mada
7. Fakultas Biologi - Universitas Gadjah Mada
8. Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika, FMIPA - Universitas
Gadjah Mada
9. Jurusan Manajemen, FE - Universitas Gadjah Mada
10.Fakultas Kedokteran - Universitas Gadjah Mada
11.Jurusan Akuntansi, FE - Universitas Indonesia
12.Jurusan Teknik Sipil, FT - Universitas Indonesia
13.Fakultas Ilmu Komputer- Universitas Indonesia
14.Jurusan Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan, FE - Universitas
Indonesia
15.Jurusan Matematika, FMIPA- Universitas Indonesia
16.Jurusan Ilmu Komunikasi Massa, FISIP - Universitas Negeri Sebelas
Maret
Penerima Batch II
1. Jurusan Teknologi Pangan, FATETA - Institut Pertanian Bogor
2. Program Studi Ilmu Tanah,FAPERTA - Institut Pertanian Bogor
3. Jurusan Matematika, FMIPA - Institut Teknologi Bandung
4. Jurusan Teknik Fisika, FTI - Institut Teknologi Bandung
5. Jurusan Biologi, FMIPA - Institut Teknologi Bandung
6. Jurusan Kimia, FMIPA - Universitas Gadjah Mada
7. Jurusan Teknik Sipil, FT - Universitas Gadjah Mada
8. Jurusan Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan, FE - Universitas Gadjah
Mada
9. Jurusan Kimia, FMIPA - Universitas Padjadjaran
10. Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran
11. Jurusan Teknik Elektro, FT - Universitas Indonesia
12. Jurusan Teknik Arsitektur, FT - Universitas Indonesia
13. Jurusan Teknik Mesin, FTI - Institut Teknologi Sepuluh Nopember
14. Program Studi Produksi Ternak, FAPET - Universitas Jendral Soedirman
Penerima Batch III
1. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FATETA - Institut Pertanian Bogor
2. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, FAPERTA - Institut Pertanian
Bogor
3. Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia
4. Fakultas Sarjana Kedokteran Gigi - Universitas Indonesia
5. Jurusan Fisika, FMIPA - Universitas Indonesia
6. Jurusan Teknik Kimia, FT - Universitas Indonesia
7. Fakultas Psikologi - Universitas Indonesia
8. Jurusan Teknik Informatika, FTI - Institut Teknologi Bandung
9. Jurusan Teknik Kimia, FTI - Institut Teknologi Bandung
10. Jurusan Teknik Kimia, FT - Universitas Gadjah Mada
11. Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, FATETA - Universitas
Gadjah Mada
12. Fakultas Farmasi - Universitas Gadjah Mada
13. Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
14. Jurusan Teknik Kimia, FTI - Institut Teknologi Sepuluh Nopember
15. Fakultas Farmasi - Universitas Airlangga
16. Jurusan Akuntansi, FE - Universitas Andalas
• Otonomi kampus akhirnya dilegalkan oleh
pemerintah tahun 1999 :
– PP no.60 mencakup perubahan administrasi
institusi Pendidikan Tinggi (DIKTI)
– PP no.61 Pembentukan Perguruan Tinggi sebagai
badan hukum.
• Januari 2000, ditunjuk 4 Perguruan Tinggi
untuk memulai proses otonomi kampus
(secara akademik dan finansial), yaitu : ITB,
UI, UGM dan IPB.
• Selanjutnya USU (Universitas Sumatera Utara)
sebagai perintis otonomi kampus di luar Jawa.
• UPI tahun 2005
• UNAIR, 14 September 2006
LANDASAN IMPLEMENTASI
PTN SEBAGAI BHMN

Oleh:
Satryo Soemantri
Brodjonegoro
Dirjen Pendidikan Tinggi
MANFAAT SEBAGAI BHMN (1)
• Akan terjadinya Otonomi yang lebih luas
(pemekaran Fakultas/Program Studi/Jurusan)
• Diperlukan pemahaman publik tentang BHMN
• Ada kekhawatiran penterjemahan BHMN secara
bebas oleh setiap pihak, sesuai dengan
kepentingan pribadi masing-masing
• Tanpa adanya konsensus nasional, dapat
mengakibatkan kondisi yang tidak menentu
MANFAAT SEBAGAI BHMN (2)
• Masalah Otonomi keuangan mungkin
diterjemahkan oleh dosen sebagai
kenaikan gaji yang mungkin berakibat
kepada kenaikan SPP
• Masalah Otonomi bagi mahasiswa
mungkin diterjemahkan sebagai
kebebasan untuk bertindak bebas,
termasuk menolak SPP
• Bahkan Departemen Keuangan
mungkin menterjemahkan otonomi
sebagai lepasnya tanggung jawab
pemerintah
MANFAAT SEBAGAI BHMN (3)
• PTN diberi kebebasan untuk
merancang kurikulum, mengelola
personil sesuai beban kerja,
mengalokasikan sumber daya
sesuai perubahan dan mengubah
struktur manajemen
• Memiliki akuntabilitas lebih tinggi
• Pemerintah dapat menerapkan
kebijakan untuk pendidikan tinggi
KEBERHASILAN OTONOMI
• Akan terjadi perubahan kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan tinggi
• Kerangka legislatif dan pengaturan
tentang hakekat otonomi
• Kebutuhan akan akuntabilitas
• Ada mekanisme pendanaan
• Kesiapan PTN untuk mengemban
otonomi
KERANGKA LEGISLATIF DAN
PERATURAN
• Aspek utama yang perlu pengaturan
perubahan yaitu dalam aspek: masalah
ketenagaan, keuangan dan akuntabilitas :
– Ketenagaan: bagaimana perubahan dari PNS
ke non-PNS
– Keuangan: penerimaan uang baik dari
pemerintah maupun dari masyarakat
– Akuntabilitas: kejelasan penggunaan uang
pemerintah dan masyarakat
KEUANGAN BHMN
• BHMN mendapat dua sumber keuangan,
dari pemerintah dan masyarakat
• BHMN melakukan dua macam kegiatan:
pemerintah dan “swasta”
– Untuk melakukan kegiatan “swasta”
harus memenuhi syarat:
– (1) konsisten dan komplementer dengan
misi utama PT-BHMN;
– (2) tidak mengganggu kegiatan yang
didanai pemerintah
DAMPAK NEGATIF JIKA PTN
DIJADIKAN PTS
• Jika PTN dijadikan PTS, maka :
– Terjadinya penurunan tingkat layanan
pendidikan oleh pemerintah kepada
masyarakat
– Minimnya pendidikan sains dan teknologi
karena mahalnya biaya investasi dan
operasi
– Minimnya kegiatan penelitian
– Terjadinya disparitas (kesenjangan) sosial
dan ekonomi antar daerah
ASPEK AKUNTABILITAS (1)
• Pemerintah berkepentingan bahwa dana
pemerintah digunakan sepenuhnya sesuai
dengan tujuannya, tidak digunakan untuk
kegiatan lain misalnya program ekstensi,
program pascasarjana dan lainnya yang
memungut biaya yang cukup besar dari
masyarakat
• Sejauh mana akuntabilitas dosen
(komitmen sebagai dosen ?)—masih
dalam perumusan.
AKUNTABILITAS (2)
• Ada 3 macam mekanisme yang
diperlukan:
1. Perwakilan dalam keanggotaan MWA
dan mekanisme MWA
2. Validasi independen terhadap keluaran
PT
3. Pengaturan proses audit terhadap
penggunaan dana publik untuk
menghasilkan keluaran tersebut
MAJELIS WALI AMANAT
• Merupakan mekanisme utama untuk
memperoleh akuntabilitas publik
• Merupakan lembaga tertinggi di PT,
harus akuntabel
• MWA merepresentasikan
stakeholders sehingga
keanggotaannya seharusnya tidak
didominasi oleh kalangan perguruan
tinggi akan tetapi oleh kalangan luar
PT
KEGAGALAN PROSES
MENJADI BHMN
• Suatu PTN akan gagal menjadi
BHMN ditandai dengan:
– Perguruan tinggi menjadi bangkrut
secara teknis, dan jika demikian perlu
ditetapkan bagaimana penanganannya
– Perguruan tinggi menjadi unit komersial
yang menyimpang dari tugasnya dalam
bidang pendidikan dan penelitian serta
pengabdian pada masyarakat
BENTUK RANCANGAN
PENDANAAN (1)
1. Berbentuk “block funding” dari
pemerintah
2. Komponennya terdiri atas dana rutin
dan dana pembangunan
3. Dana rutin terdiri atas dana dasar
untuk penyelenggaraan program
sarjana, dana tambahan/insentif
untuk peningkatan mutu pendidikan,
dan dana khusus untuk penugasan
spesifik
RANCANGAN PENDANAAN
(2)
4. Dana pembangunan terdiri atas dana
investasi untuk perbaikan/penataan, dan
dana pengembangan berdasarkan
kompetisi/seleksi
5. Formula pendanaan perlu ditetapkan
secara terukur
6. Biaya pendidikan tinggi seyogyanya
dipikul bersama antara pemerintah dan
masyarakat
BAGAIMANA PENETAPAN
BESARAN SPP KAMPUS BHMN
1. Akses pemerataan, khususnya untuk
mahasiswa golongan ekonomi lemah
2. Penetapan SPP yang terlalu rendah tidak
akan memberikan pemerataan yang adil
karena justru terjadi subsidi bagi yang kaya
3. Secara teoritis penetapan besaran SPP dapat
diserahkan sepenuhnya kepada PT tanpa
adanya batas maksimal, tetapi hal ini kurang
bijaksana
APA YG TERJADI BILA PENETAPAN
SPP OLEH PT TANPA BATAS
MAKSIMAL
1. Perguruan tinggi favorit akan dapat
menerapkan SPP yang tinggi sehingga
menutup akses bagi kelompok
masyarakat yang kurang mampu
(hanya diisi oleh orang kaya saja)
2. Pemerintah perlu mengetahui berapa
kontribusi mahasiswa melalui SPP
untuk menutupi kebutuhan biaya
pendidikan sebenarnya sehingga tidak
tumpang tindih (pendanaan ganda)
MEKANISME PENETAPAN
BESARAN SPP
• Pemerintah tidak perlu menetapkan
SPP secara rinci akan tetapi perlu
adanya asumsi publik mengenai
besaran yang memadai sehingga ada
kontrol dari masyarakat
• Berapapun SPP ditetapkan, pasti ada
mahasiswa yang tidak mampu,
sehingga perlu beasiswa, Alternatif
pendanaan bagi mahasiswa: kredit
pendidikan tinggi ?
ASPEK PENGAWASAN
1. Terjadi perbedaan dalam konsep
pengawasan yang terjadi di PTN
selama ini
2. Pengawasan diarahkan kepada
pemenuhan kewajiban sesuai
peruntukan “block funding”
3. Termasuk pengawasan terhadap
penyalahgunaan dana pemerintah
yang digunakan untuk kegiatan
“swasta’

Anda mungkin juga menyukai