Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Terapi pengganti ginjal buatan hemodialisis merupakan salah satu tindakan
pada manajemen pasien gagal ginjal akut, acute on chronic renal failure,
intoksikasi obat atau bahan kimia, dan penyakit ginjal kronik tahap akhir atau
gagal ginjal terminal (Sukandar, 2006).
Populasi pasien gagal ginjal terminal dengan program hemodialisis regular
makin meningkat di setiap negara, termasuk Indonesia. Kenaikan populasi pasien
hemodialisis regular berhubungan dengan kenaikan insiden gagal ginjal terminal
dan keterbatasan transplantasi ginjal dengan donor hidup keluarga atau donor
mayat. Khusus di Indonesia, transplantasi ginjal sangat langkam bukan karena
masalah teknik medic, tetapi karena keterbatasan donor hidup keluarga dan
donor mayat (Sukandar, 2006).
Pengurus Besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia sejak tahun 1985 telah
mengambil kebijakan untuk mengembangkan satelit pelayanan hemodialisis di
setiap daerah termasuk Rumah Sakit Daerah dengan beberapa kebutuhan khusus,
baik perangkat keras maupun perangkat lunak, terutama tenaga pelaksana untuk
menjamin aspek legal (Sukandar, 2006).
Menurut data yang dikumpulkan the National Health and Nutrition
Examination Survey, terdapat sekitar 11,5% dari keseluruhan penduduk yang
berusia 20 tahun keatas di Amerika Serikat yang membutuhkan terapi ini.
Ironisnya, hanya sebagian kecil dari nilai estimasi tersebut yang benar-benar
menjalani terapi hemodialisis dikarenakan berbagai alasan. Pada tahun 2006,
pemerintah Amerika mengestimasi sekitar $33.61 miliar yang telah dikeluarkan
untuk menjalankan program ini. Pasien-pasien dialisis kebanyakan menjalankan
terapi ini di rumah sakit. Tetapi, tidak sedikit dari pasien tersebut yang
menjalankan terapi ini di rumah. Terdapat sekitar 354,754 pasien di Amerika
yang menjalani terapi dialisis, 325,229 diantaranya menjalankan terapi
hemodialisis di rumah sakit, 2,455 menjalankan terapi hemodialisis di rumah
2

mereka, dan 26,114 sisanya menjalankan terapi peritoneal dialisis (NKUDIC,
2009).
Pada dekade terakhir, dialisis sebagai terapi pengganti ginjal mendapat
sambutan hangat di berbagai negara karena dapat meningkatkan harapan hidup
pasien. Namun, ternyata dialisis tidak sepenuhnya mengembalikan kualitas hidup
penderita seperti semula. Menurut United States Renal Data System (2009)
dalam Mailloux dan Henrich (2009) walaupun dialisis berkala mencegah
kematian akibat uremia, rendahnya harapan hidup pasien masih menjadi suatu
permasalahan, bahkan di negara maju sekalipun. Saat terapi pengganti ginjal
sudah dimulai, rentang harapan hidup pasien yang dilaporkan adalah sekitar 8
tahun (tergantung ras) untuk pasien dialisis berumur 40 sampai 44 tahun, dan
sekitar 4,5 tahun untuk pasien yang berumur 60 sampai 64 tahun. Angka ini
hanya sedikit lebih baik dari angka kematian akibat kanker paru dan jauh lebih
buruk dibanding populasi umum yang memiliki harapan hidup 30 sampai 40
tahun untuk umur 40 sampai 44, dan 17 sampai 22 tahun untuk umur 60 sampai
64 (Sukandar, 2006).
Di Indonesia sendiri, ada dua pilihan untuk menjalani terapi pengganti ginjal,
yaitu hemodialisis (HD) dan dialisis peritoneal (DP). Namun kendala pada
program DP di Indonesia seperti (1) biaya DP per bulan masih lebih mahal
daripada HD dan (2) sanitasi lingkungan dan tingkat pendidikan untuk sebagian
besar pasien merupakan faktor yang tidak menunjang program ini, membuat HD
sebagai program pilihan terapi pengganti ginjal utama. Pasien hemodialisis
mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena kebanyakan dari pasien
hemodialisis adalah pasien produktif yang berusia antara 20-60 tahun. Dengan
adanya penurunan pada fungsi ginjal, atau bahkan mengalami kegagalan, tidak
hanya kualitas hidup menurun, pengobatan seumur hidup juga memakan biaya
yang tidak sedikit. Penurunan dari kualitas hidup ini dapat mengakibatkan
penurunan devisa negara (Sukandar, 2006).
Mengingat pentingnya hemodialisis untuk pasien yang mengalami penurunan
fungsi ginjal itulah penulis menyusun proposal Tugas Pengenalan Profesi ini.
Penulis ingin tahu lebih banyak tentang hemodialisis dan manfaatnya pada
pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal.
3

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip dasar hemodialisis?
2. Apa indikasi dilakukannya hemodilisis?
3. Apa saja alat-alat yang digunakan dalam proses hemodialisis?
4. Bagaimana cara pengoperasian alat hemodialisis?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui prinsip dasar hemodialisis.
2. Mengetahui indikasi hemodialisis.
3. Mengetahui alat-alat yang digunakan dalam proses hemodialisis.
4. Mengetahui cara pengoperasian alat hemodialisis

1.4 Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang hemodialisis berhubungan
dengan penyakit gagal ginjal.
















4

BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus
abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di
bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjaradrenal (juga disebut kelenjar
suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada
orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-
kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1%
berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.
Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke
dalam. Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari
ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal
wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri
untuk memberi tempat lobus hepatis dexter yang besar. Ginjal dipertahankan
dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus
oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa,
terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak
kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut
papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis
berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi
dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi
dua atau tiga kaliks renalis minores.
5

Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-
piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-
segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap
piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian
terminal dari banyak duktus pengumpul
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distalis.
Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal.
Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks
Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf
atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul
dan calix minor.
Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.

Ginjal merupakan organ yang mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan
cara membuang sampah-sampah sisa metabolism dan menahan zat-zat yang
dibutuhkan tubuh. Fungsi ini sangat penting bagi tubuh untuk menjaga
homeostasis. Walaupun begitu, ginjal tidak selalu bisa mengatur keadaan cairan
tubuh dalam kondisi normal. Pada keadaan minimal, ginjal harus mengeluarkan
minimal 0,5 liter air perhari untuk kebutuhan pembuangan racun.
Secara singkat, kerja ginjal dapat diuraikan menjadi :
6

Mempertahankan keseimbangan kadar air tubuh.
Mempertahankan keseimbangan osmolaritas tubuh.
Mengatur jumlah dan konsentrasi dari kebanyakan ion di cairan ekstraseluler.
Mengatur volume plasma.
Membantu mempertahankan kadar asam basa cairan tubuh dengan mengatur
eksresi H
+
dan HCO3
-
.
Membuang sampah sisa metabolism yang beracun bagi tubuh, terutama otak.
Membuang berbagai komponen asing seperti obat, bahan adiktif makanan,
pestisidin.
Memproduksi eritropoeitin.
Memproduksi rennin.
Mengubah kembali vitamin D kebentuk aktifnya.
Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut
nefron. Tiap ginjal tersusun atas 1 juta nefron yang saling disatukan oleh jaringan
ikat. Nefron terdiri atas glomerulus dan tubulus.

2.2 Hemodialisis
2.2.1 Definisi dan Tujuan Hemodialisis
Hemodialisis adalah sebuah terapi medis. Kata ini berasal dari kata
haemo yang berarti darah dan dilisis sendiri merupakan proses pemurnian
suatu sistem koloid dari partikel-partikel bermuatan yang menempel pada
permukaan Pada proses digunakan selaput Semipermeabel. Proses
pemisahan ini didasarkan pada perbedaan laju transport partikel.
Hemodialisis berfungsi membuang produk-produk sisa metabolisme
seperti potassium dan urea dari darah dengan menggunakan mesin dialiser.
Mesin ini mampu berfungsi sebagai ginjal menggantikan ginjal penderita
yang sudah rusak kerena penyakitnya, dengan menggunakan mesin itu
selama 24 jam perminggu, penderita dapat memperpanjang hidupnya
sampai batas waktu yang tidak tertentu.
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan
hemodialisa antara lain :
7

1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang
sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan
yang lain.
2.2.2 Prinsip Hemodialisis
Prinsip dari hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmosis
dan ultrafiltrasi pada ginjal buatan dalam membuang sisa-sisa metabolisme
tubuh. Pada hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk
kedalam mesin dialiser (yang berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk
dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh
cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di dalam ruang dialisat
lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan,
limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput
dan masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute
(zat terlarut) melalui suatu membrane semipermeable. Molekul zat terlarut
(sisa metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah kedalam
kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati
membran semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan,
darah dialirkan kembali ke dalam tubuh (Sukandar, 2006).

8




Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan
larutan dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk
mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler ke alat dializer. Dializer
adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi pertukaran
zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Sedangkan tusukan vaskuler
merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer
dan selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita. Kecepatan dapat di atur
biasanya diantara 300-400 ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak
antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat
harus dipanaskan antara 34-39 C sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu
larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat
menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin HD sangat
penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan
(Sukandar, 2006).
Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan
asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga
dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi
sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi
kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tuguh untuk
memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis.
9

Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikabornat
kedalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada
pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan
vasodilatasi (Sukandar, 2006)

2.2.4 Indikasi Hemodialisis
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi
glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 mL/menit. Keadaan pasien hanya
mempunyai TKK< 5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut :
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum >6meq/L
Ureum darah >200 mg/dL
pH darah <7,1
anuria berkepanjangan (>5hari)
fluid overloaded

2.2.5 Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi
selama hemodialisis berlangsung. Beberapa komplikasi yang terkait
hemodialisis (Sukandar, 2006) :
a. Hipotensi terkait hemodialisis
hampir 20-30% pasien hemodialisis pernah mengalami episode
hipotensi. Etiologi hipotensi terkait hemodialisis sangat kompleks,
paling sering berhubungan dengan penurunan volume plasma,
kegagalan efek vasokonstriksi dan faktor jantung (kardiomiopati,
hipertrofi ventrikel kiri) terutama pada pasien nefropati diabetic dan
usia lanjut.


10

b. Kram otot
kram otot hampir 5-20% dialami oleh pasein hemodialisis, disebabkan
penurunan volume cairan ekstraselullar akibat peningkatan
ultrafiltration rate atau konsentrasi Na dalam konsentrat tidak adekuat.
Kram otot ini sering terjadi pada akhir atau mendekati sesi
hemodialisis.
Pemberian garam fisiologis atau hipertonis merupakan terapi pilihan
pertama untuk meredakan kram otot.
c. Mual dan muntah
keluhan mual dan muntah jarang berdiri sendiri, sering menyertai
hipotensi dan tidak jarang merupakan salah satu presentasi klinik
disequilubrium syndrome.
d. Sakit kepala
keluhan sakit kepala tidak jarang ditemukan selama hemodialisis,
sebanya tidak diketahui, mungkin berhubungan dengan dialisat asetat
atau disequilubrium syndrome.
e. Hipoksemia
Hipoksemia terkait hemodialisis sering terjadi bila menggunakan non-
substituted cellulosic membrane dan acetat buffered dialysate.
f. Gatal-gatal
keluhan gatal-gatal sering ditemukan dengan insiden 5-80% dari
populasi pasien hemodialisis. Diduga karena deposit kristal kalsium
fosfor, kulit kering, alergi terhadap obat, dan pelepasan histamine dan
mast sel.







11

BAB III
Metode Pelaksanaan

3.1 Tempat Pelaksanaan
Rumah Sakit PUSRI, Palembang

3.2 Waktu Pelaksanaan
Hari dan Tanggal : Senin, 8 Oktober 2012
Jam : 07.30 WIB

3.3 Subjek Tugas Mandiri
Mengobservasi penyelenggaraan Hemodialisis di Rumah Sakit Pusri
Palembang

3.4 Langkah Kerja
1. Membuat proposal
2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi
3. Meminta izin kepada petugas Rumah Sakit secara administratif
4. Mengobservasi penyelenggaraan Hemodialisis di Rumah Sakit Pusri
Palembang
5. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan
6. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi dari data yang sudah
didapatkan

3.5 Penatalaksaan Tugas Pengenalan Profesi
Wawancara langsung dengan tenaga pelaksana hemodialisis dan pasien
hemodialisis








12

Palembang, Oktober 2012





Mahasiswa Blok XIV, Kelompok Tutorial 1




Mengetahui dan menyetujui,
Pembimbing Kelompok Tutorial 1





dr. Hj. Siti Hildani Thaib, M.Kes


















13

BAB IV
Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil
Perawatan Hemodialisa
I. Perawatan Sebelum Hemodialisis (Pra HD)
Persiapan mesin
Alat dan Bahan:
- Listrik
- Air (sudah melalui pengolahan)
- Saluran pembuangan
- Dialisat (proportioning sistim, batch sistim)
- Persiapan peralatan
- Dialyzer/ Ginjal buatan (GB) F7HPS
- Mesin Fresenius Medical Care 4008B
- AV Blood line
- AV fistula/abocath
- Infuse set
- Spuit : 50 cc, 5 cc, 20 cc dll ; insulin
- Heparin inj
- Xylocain (anestesi local) atau ethil clorida
- NaCl 0,90 %
- Kain kasa/ Gaas steril
- Duk steril
- Sarung tangan steril
- Bak kecil steril
- Mangkuk kecil steril
- Klem
- Plester
- Desinfektan (alcohol + bethadine)
14

- Gelas ukur (mat kan)
- Timbangan BB
- Formulir hemodialisis
- Sirkulasi darah
- Cuci tangan

Cara Kerja:
1. Letakkan GB pada holder, dengan posisi merah diatas
2. Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah
3. Hubungkan ujung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru VBL
dihubungkan dengan alat penampung/ mat-kan
4. Letakkan posisi GB terbalik, yaitu yang tanda merah dibawah, biru
diatas
5. Gantungkan NaCl 0,9 % (2-3 kolf)
6. Pasang infus set pada kolf NaCl
7. Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat
khusus
8. Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL, (untuk hubungan
tekanan arteri, tekanan vena, pemberian obat-obatan)
9. Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set
10. Jalankan aliran darah (Qb) dengan kecepatan kurang lebih 100 ml/m
11. Udara yang ada dalam GB harus hilang (sampai bebeas udara) dengan
cara menekan-nekan VBL
12. Air trap/Bubble trap diisi 2/3-3/4 bagian
13. Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf baru Qb dimatikan
14. Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung
VBL, klem tetap dilepas
15. Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U
16. Ganti kolf NaCl dengan yang baru yang telah diberi heparin 500 U dan
klem infus dibuka
15

17. Jalankan sirkulasi darah + soaking (melembabkan GB) selama 10-15
menit sebelu dihubungkan dengan sirkulasi sistemik (pasien).

Persiapan Sirkulasi
1. Rinsing/Membilas GB + VBL + ABL
2. Priming/ mengisi GB + VBL + ABL
3. Soaking/ melembabkan GB.
4. Volume priming : darah yang berada dalam sirkulasi (ABL + GB +
VBL )
5. Cara menghitung volume priming :
NaCl yang dipakai membilas dikurangi jumlah NaCl yang ada
didalam mat kan (gelas tampung/ ukur)
Contoh :
NaCl yang dipakai membilas : 1000 cc
NaCl yang ada didalam mat kan : 750 cc
Jadi volume priming : 1000 cc 750 cc = 250 cc
6. Cara melembabkan (soaking) GB Yaitu dengan menghubungkan GB
dengan sirkulasi dialisat
7. Bila mempergunakan dialyzer reuse / pemakaian GB ulang :
Buang formalin dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat
Hubungkan dialyzer dengan selang dialisat Biarkan kurang lebih 15
menit pada posisi rinse.

Test formalin dengan tablet clinitest :
1. Tampung cairan yang keluar dari dialyzer atau drain
2. Ambil 10 tts (1/2 cc), masukkan ke dalam tabung gelas, masukkan
1cairan tablet clinitest ke dalam tabung gelas yang sudah berisi cairan
3. Lihat reaksi :
Warna biru : / negative
Warna hijau : + / positif
Warna kuning : + / positif
16

Warna coklat : +/ positif
4. Selanjutnya mengisi GB sesuai dengan cara mengisi GB baru

Persiapan pasien
1. Persiapan mental
2. Izin hemodialisis
3. Persiapan fisik :Timbang BB, Posisi, Observasi KU (ukur TTV)

II. Prosedur Intra Hemodialisa
Persiapan Pasien
1. Observasi keadaan umum
2. Jika keadaan umum baik, anjurkan pasien mencuci tangan
3. Timbang berat badan pasien
4. Anjurkan pasien berbaring di tempat tidur/kursi tindakan dialysis
5. Posisi mesin disesuaikan dengan posisi cimino
6. Berikan posisi pasien yang nyaman
7. Lakukuan pemeriksaan: tanda2 vital, anamnesa riwayat dialysis yang
lalu, kaji keluhan pasien hari ini, jika sesak pasang oksigen, jika ada
keluhan sakit dada atau riwayat sakit jantung pasang ECG
8. Tentukan daerah punksi atau tempat cimino, K/P dengarkan dengan
stethoscope untuk memastikan desiran cimino
9. Jelaskan pada pasien tindakan akan dimulai
10. Letakkan perlak atau kain alas pada bagian bawah tangan pasien
11. Dekatkan alat-alat punksi ke tempat pasien
12. Perawat mencuci tangan
13. Pakailah apron, masker, kacamata dan sarung tangan untuk memulai
tindakan



17

Punksi Cimino
1. Bukalah set dialysis, letakkan AV-Fistula, spuit dan sarung tangan di
atas set tersebut
2. Tuangkan normal saline 0,9 % dan bethadine solution ke dalam
mangkok steril
3. Siapkan micropore, K/P heparin masukan dalam spuit insulin
4. Perawat memakai sarung tangan steril
5. Mulailah melakukan desinfeksi daerah cimino pada arteri dan venous
dengan cara: tangan kanan memegang klem arteri dan menjepit 1 buah
tuffer bethadin, oleskan tuffer bethadine pada daerah cimino dan
venous lain dengan memutar dari dalam kearah luar, masukkan tuffer
kotor ke dalam plastic kotor, bersihkan kembali tempat cimino dan
vena dengan kasa alcohol dengan cara yang sama di atas sampai bersih
6. Letakkan kain alas steril di bawah tangan yang telah didesinfeksi
7. Isilah spuit 5 cc atau 10 cc dengan normal saline secukupnya dan
bilaslah AV-Fistula
8. Lakukan punksi venous pada cimino (arterial lines) dengan jarak 8-10
cm dari anastomose, bilas AV-Fistula sampai bersih lalu tutuplah AV-
Fistula
9. Lakukan punksi venous pada pembuluh darah lain (venous lines)
caranya sama seperti di atas
10. Selesai punksi cimino, alat2 kotor masukkan ke dalam disposal
11. Bedakan dengan alat yang terkontaminasi, bersihkan dari darah
masukkan ke dalam kantong plastic

Menyambung Blood Lines dengan AV-Fistula
1. Matikan pompa darah
2. Klem selang infuse
3. Masing2 kedua ujung selang darah arteri dan fistula diswab dengan
kassa bethadine sebagai desinfektan lalu sambung dan dan kencangkan
18

4. Ujung selang darah venous masukkan ke dalam gelas ukur atau
drainage bag (jika ada)
5. Hidupkan pompa darah dan tekan tombol ^ atau v mulai Rpm
6. Perhatikan aliran cimino apakah lancar, fixasi selang darah dengan
micropore, jika aliran cimino tidak lancar rubahlah posisi jarum fistula
atau posisi tangan
7. Perhatikan darah di bulbe trip tidak boleh penuh (kosong), sebaiknya
terisi bagian
8. Cairan normal saline yang tersisa ditampung dalam gelas ukur/drainage
bag disebut : cairan sisa priming
9. Setelah darah mengisi semua selang darah dan dializer matikan pompa
darah
10. Sambungkan ujung selang darah venous ke ujung AV fistula venous
(outlet) kedua ujungnya diberi kassa bethadine sebagai desinfentan
11. Masing2 sambungan dikencangkan
12. Bukalah klem pada selang arteri dan venous, sedangkan selang infuse
tetap ditutup
13. Pastikan tidak ada udara pada selang venous lalu hidupkan pompa
darah mulai dari 100 Rpm tingkatkan sesuai dengan keadaan pasien
14. Tekan tombol ON pada menu UF, pada layer monitor terbaca
DIALISIS
15. Selama proses HD berlangsung ada 7 lampu hijau yang menyala a.l:
lampu monitor, ON, Dialisis start, pompa, heparin, UF dan Flow

III. Prosedur Post Dialisis
1. Sebelum 5 menit selesai, pasien diobservasi TTV (T, N, S)
2. Kecilkan kecepatan aliran darah (pompa darah) sampai 100 Rpm
3. Perawat mencuci tangan
4. Perawat memakai apron, masker, kaca mata, sarung tangan tidak steril
5. Mesin menunjukkan UFG reached= UFG sudah tercapai (angka UF
volume = angka UFG)
19

6. Jika proses HD sudah selesai, posisi mesin akan terbaca Reinfusion
tekan confirm (pompa akan mati secara otomatis)
7. Tekan tombol dialysis start
8. Untuk mengakhiri dialysis matikan pompa darah
9. Klem fistula arteri dan selang darah arteri
10. Cabut fistula inlet (arteri), tekan bekas tusukan dengan kassa betadine
11. Bilas fistula, selang darah dan dializer dengan normal saline 0,9 %
sampai bersih dan gunakan Qb 100 Rpm jika bulbe trip outlet sudah
bersih, mesin akan tertulis Dialysis END dan empty bi-bag lalu tekan
tombol confirm
12. Cabut fistula outlet (venous), Tekan bekas tusukan dengan kasa
betadine
13. Jika tidak ada darah pada bekas tusukan, maka berilah nebacetin
powder (K/P) dan tutuplah dengan band aid
14. K/P berilah perband gulung pada luka tusukan dan fixasi
15. Observasi TTV, timbang BB
Kembalikan alat-alat ke tempat semula

4.2 Pembahasan
Setelah melakukan wawancara kepada staf hemodialisis di RS PUSRI
untuk melakukan observasi langsung alat dan proses hemodialisis di RS PUSRI,
didapatkan bahwa alat hemodialisis digunakan sebagai ginjal buatan untuk
membantu ginjal pasien membuang zat-zat hasil metabolisme tubuh melalui
proses osmosis dan ultrafiltrasi.
Indikasi pasien yang harus menjalani hemodialiasa, khususnya di RS. Pusri
adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit.
Dari keseluruhan rangkaian kerja hemodialisis yang tertera di tinjauan
pustaka, tidak banyak ditemukan perbedaan dengan rangkaian kerja hemodialisis
yang ada di RS PUSRI. Adapun perbedaan tersebut :
1. RS Pusri menggunakan Ethyl Chlorida Spray sebagai alat anastesi lokal.
20

2. RS Pusri menggunakan Dializer Single use yang hanya dapat digunakan
dalam 1 kali proses hemodialisis, sedangkan dibeberapa tinjauan pustaka
hemodialisis menggunakan dializer reuse dengan penggunaan maksimal 5x.

Saat kami, kelompok tutorial 1 melakukan observasi langsung ke RS Pusri,
ada 3 pasien yang dijadwalkan melakukan cuci darah. Adapun data hasil
wawancara dengan pasien-pasien tersebut :
Pasien I Pasien II Pasien III
Nama Tn. Saitun Nasri Tn. Tamim Tn. Budi
Umur 52 tahun 60 tahun
Penyebab Diabetes Melitus Diabetes Melitus Hipertensi
Indikasi Gagal ginjal
kronik
Gagal ginjal
kronik
Gagal ginjal kronik
Operasi
Cimino
2 kali gagal berhasil Berhasil
Pemasangan
Outlet darah
keluar
Femoral Cimino Cimino
Konsumsi
obat
Obat ginjal Obat diabetes Obat hipertensi
(norvas)
BB datang 57,5 kg 68,5 kg 66,5
Target
pembuangan
cairan
2000 2250 3500
BB kering 56 66,5 63,5
Efeksamping
setelah
Pegal
Keram
Pegal
Keram
Pegal
Keram
21

proses
hemodialisa
Mual
Muntah
Hb menurun
Hb menurun Hb menurn
Penyuntikan
epoitin alfa
Ya Ya Ya

Patogenesis
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol merupakan salah satu faktor
terjadinya nefropati diabetikum. Telah diperkirakan bahwa 35-40% pasien DM tipe 1
akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15-25 tahun setelah
awitan diabetes. Sedang DM tipe 2 lebih sedikit. DM menyerang struktur dan fungsi
ginjal dalam berbagai bentuk dan dapat dibagi menjadi 5 stadium.
Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewat
ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi.
Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat menyebabkan
glomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus matriks mesangeal dengan
bahan eosinofilik disertai penebalan membran basalin kapiler. Bila penebalan
semaklin meningkat dan GFR juga semakin meningkat, maka masuk ke stadium 2.
Pada stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan.
Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi
hipertensi. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati
dan hipertensi hampir selalu ditemui. Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai
dengan peningkatan BUN dan kreatinin plasma disebabkan oleh penurunan GFR
yang cepat.
Penyebab lain gagal ginjal pada pasien adalah hipertensi. Namun, penyebab ini tidak
bisa ditetapkan pada pasien karena riwayat hipertensi tidak diketahui. Dan telah
diketahui bahwa hipertensi dan gagal ginjal membentuk suatu lingkaran setan.
Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik dapat
22

menimbulkan hipertensi. Karena alasan inilah, terkadang seorang ahli nefrologi
kadang mengalami kesulitan dalam menentukan mana yang primer.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur
pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding
pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada
ginjal, arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis.
Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen
pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan
kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. Terjadilah
gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90% hipertensi
bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara <
10% bergantung pada renin.
Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan tahanan perifer.
Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga meningkatkan curah
jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah. Selain itu, kerusakan nefron akan
memacu sekresi renin yang akan mempengaruhi tahanan perifer sehingga semakin
meningkat.












23


Daftar Pustaka

Atmakusuma, Djumhana. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing

Robbins, Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II. Jakarta : EGC

Sukandar, Enda. 2006. Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung : Pusat Informasi Ilmiah
FK UNPAD.





















24

Anda mungkin juga menyukai